Anda di halaman 1dari 28

1

PELAKSANAAN MODEL INTERVENSI KOMUNITAS DALAM


IMPLEMENTASI PROGRAM LAYANAN LUAR PANTI
OLEH PSBR BAMBU APUS JAKARTA
(STUDI DESKRIPTIF UPAYA PENANGANAN MASALAH REMAJA
PUTUS SEKOLAH TERLANTAR BERBASIS MASYARAKAT DI DESA
CIWARINGIN KABUPATEN CIREBON JAWA BARAT)

Ahmad Fauzi, Dwi Amalia Chandra Sekar.1

Program Kekhususan Pengembangan Masyarakat, Kemiskinan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail:fauziahmad.14@gmail.com

Abstrak

Tesis ini membahas mengenai implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta ditinjau
dari pelaksanaan model intervensi komunitas yang dilakukan, peran dari para pelaku perubahan yang terlibat
serta hambatan yang terjadi di dalam upaya menangani masalah remaja putus sekolah terlantar. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif di desa Ciwaringin, Kabupaten
Cirebon. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa program layanan luar panti menggunakan model
kebijakan/perencanaan sosial sebagai upaya intervensi komunitas terhadap remaja putus sekolah terlantar
sehingga pemberdayaan terhadap komunitas sebagai penerima manfaat lebih fokus kepada terselesaikannya
suatu kegiatan dari rencana program yang telah ditetapkan.

The Implementing of a Community Interventon Model in Implementation of the Non-


Housing Service Programe (Descriptive Study on Addressing the Issue of Youth with
Dropout and Neglected by Community Based at Ciwaringin Village,
Cirebon District of West Java)

Abstract

This thesis discussed the implementation of the non-housing service program by PSBR Bambu Apus Jakarta in
terms of the implementation of community intervention models that do, the role of the actors involved and the
barriers that occur in efforts to addressing the youth with dropout and neglected problem. This study is a
qualitative and using descriptive approach at Ciwaringin village, Cirebon. The Result showed that the non-
housing service program is using a policy / social planning model as an intervention for community so that the
empowerment of the beneficiaries more focused on the tasks completion.

Keywords : Adolescent; Community Intervention; Non-Housing Service Program; Youth with Dropout and
Neglected

                                                                                                                       
1
Ahmad Fauzi adalah Penulis dan merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia yang telah mempertahankan Tesisnya di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 24 Juni 2015.Dra. Dwi
Amalia Chandra Sekar, M.Si adalah Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia yang merupakan Dosen Pembimbing Penulis.

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


2  

Pendahuluan

Anak memiliki posisi strategis dalam menentukan kelangsungan hidup bangsa.


Pengasuhan dan perhatian yang benar oleh orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah
diperlukan untuk melindungi dan menjamin keberlangsungan tumbuh kembangnya. Namun,
kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat cenderung menyebabkan tidak
terpenuhinya hak-hak anak sehingga mendorong seorang anak ke dalam kelompok kurang
beruntung (disadvantaged groups) dan kelompok rentan (vulnerable groups). Menurut
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Kementerian Sosial RI (2008a, h. 8) anak yang tidak
terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik kebutuhan fisik, mental, spiritual maupun sosial
disebut dengan anak terlantar.
Dalam aspek pendidikan, masalah keterlantaran pada anak menjadi penting karena
menunjukkan bagaimana pemerataan akses anak terhadap pendidikan yang sekaligus
menjawab tantangan bagi Indonesia di dalam mencapai target ke 2 dari Tujuan Pembangunan
Mileniumatau Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yaitu mencapai pendidikan dasar
untuk semua. Namun sayangnya, secara umum tingkat partisipasi sekolah yang menjadi
penentu derajat keterlantaran anak menurut usia sekolah dan daerah tempat tinggal di
Indonesia menunjukkan bahwa penduduk di perkotaan memiliki kesempatan yang lebih besar
dalam memperoleh pendidikan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perdesaan.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (2013, h. 65)
bahwa terjadi kesenjangan sangat jelas pada kelompok umur 16-18 tahun dimana Angka
Partisipasi Sekolah (APS) di perkotaan sebesar 66,66 persen, sedangkan di perdesaan hanya
sebesar 55,04 persen. Hasil Susenas 2011 (dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2012, h. 51) juga menunjukkan bahwa anak putus sekolah cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya kelompok umur. Baik di perkotaan maupun di
perdesaan, jumlah anak putus sekolah menurut kelompok umur memiliki kecenderungan
peningkatan pada kelompok usia remaja, yakni pada kelompok umur 13-15 tahun dan 16-17
tahun.
Permasalahan remaja putus sekolah telah menjadi fenomena sosial klasik yang senantiasa
membelenggu harapan anak-anak Indonesia untuk dapat menikmati kesempatan menempuh
dunia pendidikan yang lebih tinggi. Padahal pendidikan dan sekolah adalah salah satu
kebutuhan dasar yang penting bagi proses perkembangan diri seorang remaja baik secara
fisik, psikis maupun sosial.

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


3  

Di Amerika, bahkan Bloom dan Haskins (2010, h. 2) menyebutkan bahwa masalah


remaja putus sekolah sangat berkaitan dengan permasalahan lainnya yang harus dibayar
mahal oleh masyarakat, antara lain yaitu meningkatnya angka pengangguran atau
tersingkirkan sepenuhnya dari angkatan kerja, rendahnya angka pernikahan, meningkatnya
peristiwa perceraian atau kelahiran anak di luar pernikahan, meningkatnya jumlah
penyandang masalah kesejahteraan sosial yang berpengaruh terhadap standar kesehatan
mereka yang buruk.
Model pendidikan alternatif (non formal) dan pelatihan vokasional (keterampilan) telah
banyak dikembangkan oleh beberapa negara berkembang sebagai pendekatan langsung dalam
mengatasi permasalahan anak putus sekolah. Remaja putus sekolah dipandang lebih siap
menerima pendidikan berkelanjutan, memasuki dunia kerja serta berperan aktif dalam bidang
pengembangan masyarakat (USAID, 2015).Hal ini merupakan peluang bagi pemerintah
dalam upaya mendorong proses pembelajaran bagi anak-anak yang kurang memiliki
kesempatan melanjutkan pendidikannya di bangku sekolah. Proses pembelajaran melalui jalur
non formal ini dapat dilakukan melalui sumber-sumber pelayanan sosial, baik di dalam
lembaga pelayaan sosial yang dimiliki oleh pemerintah maupun di luar lembaga dengan
pendekatan aset berbasiskan masyarakat.
Sayangnya, menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial
RI pada 2009 (dalam Rencana Strategis Kementerian Sosial RI 2010-2014, h. 8) tercatat
bahwa selama periode 2005-2009, sebanyak 836.788 anak terlantar, termasuk di dalamnya
remaja putus sekolah terlantar yang diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan keluarga/orang
tua untuk menunjang pendidikan, lebih banyak terlayani di dalam panti daripada dalam
pengasuhan keluarga. Sebagai perbandingan pada tahun 2008, jumlah anak terlantar yang
mendapatkan pelayanan sosial ialah sebanyak 60.200 (dalam asuhan keluarga) dan 145.000
(dalam panti). Sedangkan pada tahun 2009, jumlahnya masing-masing adalah sebanyak 4.100
(dalam asuhan keluarga) dan 145.000 (dalam panti).
Namun seiring dengan perubahan paradigma dalam hal perlindungan anak, maka upaya
rehabilitasi anak bermasalah sosial di dalam panti menjadi alternatif terakhir apabila fungsi
keluarga dipandang tidak dapat berjalan dengan baik. Artinya intervensi yang dilakukan oleh
pemerintah, khususnya Kementerian Sosial RI lebih fokus kepada penguatan fungsi
pengasuhan dalam keluarga dan dukungan dari masyarakat di dalam proses pemenuhan
kebutuhan remaja putus sekolah dan terlantar.
Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Bambu Apus Jakarta sebagai salah satu Unit Pelaksana
Teknis (UPT) milik Kementerian Sosial RI berupaya merespon tantangan pengembangan

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


4  

model pelayanan anak berkelanjutan tersebut sejak tahun 2011 melalui program pelayanan
luar panti (non panti). Program layanan luar panti merupakan salah satu alternatif program
yang dipilih oleh PSBR Bambu Apus sebagai model pelayanan sosial kelompok remaja putus
sekolah terlantar yang tidak terlayani di dalam panti. Pelaksanaan program layanan luar panti
dilakukan dengan berbasiskan sumber masyarakat dimana yang menjadi kelompok sasaran
ialah remaja putus sekolah yang tidak mampu menjangkau akses pemenuhan kebutuhannya
terhadap sumber pendidikan, keterampilan dan kegiatan pengembangan remaja lainnya.
Program ini berada di bawah tanggung jawab Seksi Program dan Advokasi Sosial.
Dalam dua kali pelaksanaannya di tahun 2011 dan 2013, program layanan luar panti oleh
PSBR Bambu Apus Jakarta senantiasa mendorong proses pembelajaran bagi para remaja
putus sekolah terlantar agar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial
mereka sehingga mampu berpikir dan bertindak secara mandiri di dalam mencapai tujuan-
tujuan sosial tertentu sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Di samping itu,
sebagai bagian dari komunitas, remaja putus sekolah dan terlantar ini didorong agar mampu
menghargai serta mengembangkan aset lokal yang dapat menjadi potensi sumber pendapatan
bagi ekonomi keluarga. Pada tahun 2014 kegiatan layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus
Jakarta diselenggarakan di daerah Cirebon, Jawa Barat, tepatnya di Desa Ciwaringin,
Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebondengan potensi sumber lokal yang telah disepakati
berdasarkan hasil survey dan assessment bersama pihak Dinas Sosial setempat yaitu
keterampilan menulis batik khas Ciwaringin.
Strategi dalam pelaksanaan program layanan luar panti dalam menangani masalah remaja
putus sekolah dan terlantar oleh PSBR Bambu Apus mengikuti pedoman umum tanggung
jawab negara dalam pelayanan sosial anak terlantar yang dikeluarkan oleh Direktorat
Kesejahteraan Sosial Anak Kementerian Sosial RI tahun 2006 serta senantiasa mengacu
kepada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Salah satu strategi yang menjadi
prinsip dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus tersebut adalah
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi, yaitu pelibatan seluruh warga
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak terlantar,
termasuk patisipasi anak sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan pemberdayaan
masyarakat, yaitu peningkatan kemampuan ”dari dan oleh” keluarga dan masyarakat ”untuk”
memelihara kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan hak-hak anak terlantar.
(Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2006, h. 47).
Namun dalam prakteknya, program layanan luar panti ini tidak murni menggerakan roda
pemberdayaan masyarakat karena adanya pembagian tanggungjawab secara sektoral antara

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


5  

PSBR Bambu Apus di pusat dengan Pihak Dinas Sosial di daerah. Terlebih pelayanan yang
akan diberikan juga melibatkan atribut persyaratan bagi para calon penerima manfaat
program. Selain dari batasan usia penerima manfaat yaitu 15 – 18 tahun, calon penerima
manfaat juga harus terlebih dahulu lulus seleksi dalam tahap assessment yang dilakukan oleh
petugas. Sehingga mulai dari tahap penjajakan dan penjalinan relasi, proses sosialisasi dan
seleksi penerima manfaat, hingga implementasi program di komunitas sasaran, peran dan
keterampilan dari para pelaku perubahan, baik instruktur keterampilan maupun pekerja sosial
lembaga yang terlibat dalam program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus juga
menempati posisi strategis dalam menentukan keberhasilan program yang hendak dicapai.
Dengan demikian penting untuk ditindaklanjuti bagaimana PSBR Bambu Apus yang
selama ini menjalankan program-program rehabilitasi sosial terhadap remaja putus sekolah
dan terlantar berbasiskan prosedur danlayanan di dalam lembaga kemudian berupaya
menjangkau dan memberikan intervensi sosial dalam konteks pemenuhan kebutuhan
penerima manfaat program yang sama namun layanan diberikan dengan berbasis masyarakat
(community based).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian yang muncul
dari perumusan masalah ini, yaitu:
a. Bagaimana pelaksaaan model intervensi komunitas yang dilakukan dalam
implementasi Program Layanan Luar Panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa
Ciwaringin?
b. Apa saja peran dari pelaku perubahan yang terlibat dalam implementasi Program
Layanan Luar Panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin?
c. Apa saja hambatan-hambatan dalam implementasi Program Layanan Luar Panti oleh
PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin?
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan pelaksanaan model intervensi komunitas yang dilakukan dalam
implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa
Ciwaringin.
b. Mendeskrispsikan peran dari pelaku perubahan yang terlibat dalam implementasi
program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin
c. Mendeskrispsikan hambatan-hambatan dalam implementasi program layanan luar
panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


6  

Tinjauan Teoritis

1. Konsep Remaja Putus Sekolah dan Terlantar


Putus sekolah menurut publikasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (2012, h. 49) didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat
menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga
belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut. Menurut Bernard (dalam Huruswati,
2012, h. 339), remaja putus sekolah sebagai orang yang rentan memerlukan dukungan dari
keluarga dan masyarakat untuk mengembangkan kompetensi sosial, keterampilan
memecahkan masalah, kemandirian dan suatu sikap memiliki tujuan hidup serta pandangan
tentang masa depan.
Adapun dalam lingkungan Kementerian Sosial RI, definisi remaja putus sekolah masuk
ke dalam nomenklatur definisi anak terlantar. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa pedoman
umum dan standar pelayanan yang dimiliki oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak
sebagai berikut:
a. Menurut Buku Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar Berbasiskan Keluarga dan
Masyrakat yang diterbitkan oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (2008a, h. 14),
yang dimaksud dengan anak terlantar itu terbagi ke dalam 3 kategori, yaitu:
• Anak yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan, seperti anak yatim
piatu, anak yatim, anak piatu, anak orang tua tunggal, anak dengan ayah ibu
tiri, anak dari keluarga yang kawin muda dan anak yang tidak diketahui asal
usul (anak yang dibuang oleh orang tuanya)
• Anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhannya, seperti anak yang
mengalami tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis, eksploitasi
ekonomi, eksploitasi seksual dan trafficking.
• Anak yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dikarenakan kemiskinan,
seperti anak yang kurang gizi dan anak yang tidak sekolah/putus sekolah.
Dengan demikian remaja putus sekolah terlantar termasuk ke dalam kategori terakhir,
yaitu anak yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dikarenakan kemiskinan.
b. Menurut Buku Standar Pelayanan Sosial Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) yang
diterbitkan oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (2008b, h. 7), anak putus
sekolah terlantar dalam binaan PSBR adalah remaja usia sekolah antara 15 sampai
dengan 18 tahun yang karena suatu sebab tidak dapat melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi.

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


7  

2. Konsep Pendekatan Intervensi Komunitas (Community Intervention Approach)


2.1 Pengertian Komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai kumpulan individu (bisa juga dalam
bentuk kelompok) yang masih memiliki tingkat kepedulian dan interaksi antar anggota
masyarakat yang menempati suatu wilayah yang relatif kecil (lokalitas) dengan batas-batas
yang jelas. (Nasdian, 2014, h 62)
Sedangkan menurut Kenny (2007, h. 47) pengertian komunitas dapat dipahami secara
deskriptif dan normatif. Secara deskriptif pengertian komunitas merujuk kepada sekelompok
orang yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang memiliki perasaan sebagai bagian
dari jaringan komunitas tersebut, dilandasi dengan ikatan solidaritas, kepercayaan dan
keamaan bersama. Secara normatif, komunitas dapat menunjukkan adanya kepentingan untuk
berbagi dan bekerja sama di dalam segala aspek kehidupan manusia. Peran normatif ini
berlangsung secara terus menerus karena pada ruang ini tatanan normatif dalam komunitas
dapat berkembang menjadi sebuah ideologi bersama. Ideologi bersama dalam komunitas
dapat digunakan untuk menyamarkan adanya konflik kepentingan.
Dalam kaitannya dengan luas lingkup intervensi komunitas, Mayo merujuk kepada
Gulbenkian Report 1969 (dalam Adi, 2013a, h. 82-83) melihat setidaknya komunitas
mempunyai tiga tingkatan yang berbeda dimana sebuah intervensi komunitas dapat dilakukan,
yaitu:
a. grassroot ataupun neighbourhoodwork (pelaku perubahan melakukan itervensi
terhadap kelompok masyarakat yang berada di daerah tersebut, misalnya di dalam
suatu Kelurahan ataupun Rukun Tetangga)
b. local agency dan inter-agency work (pelaku perubahan melakukan intervensi terhadap
organisasi paying di tingkat local, provinsi ataupun di tingkat yang lebih luas, bersama
jajaran pemerintahan yang terkait serta organisasi non pemerintahan yang berminat
terhadap hal tersebut)
c. regional dan national community planning work (misalnya pelaku perubahan
melakukan intervensi pada isu yang terkait dengan pembangunan ekonomi, ataupun
isu mengenai perencanaan lingkungan yang mempunyai cakupan lebih luas dari
bahasan di tingkat lokal)

2.2. Beberapa Model Intervensi Komunitas


Rothman (dalam Adi, 2013a, h. 85) menggambarkan bahwa proses pemberdayaan
masyarakat melalui intervensi komunitas dapat dilakukan melalui tiga model (pendekatan),

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


8  

yakni melalui pendekatan yang bersifat konsensus seperti Pengembangan Masyarakat Lokal
(Locality Development); kepatuhan seperti pendekatan perencanaan dan kebijakan sosial
(Social Planning/Policy); ataupun melalui pendekatan konfik seperti Aksi Sosial (Social
Action).
Pandangan Rothman, Tropman dan Erlich mengenai pengorganisasian masyarakat (yang
kemudian istilahnya diubah menjadi intervensi komunitas) kemudian disempurnakan menjadi
lima model intervensi seperti yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. (Adi, 2013a, h. 87)

Tabel 1. Tiga Model Intervensi dalam Intervensi Komunitas

Model A Model B Model C


Variabel Intervensi Kebijakan
No Pengembangan
Komunitas Sosial/Perencanaan Aksi Sosial
Masyarakat Lokal
Sosial
1 Kategori tujuan Kemandirian; Pemecahan masalah Pergeseran (pengalihan)
tindakan terhadap pengembangan kapasitas dengan memperhatikan sumber daya dan relasi
masyarakat dan pengintegrasian masalah yang penting kekuasaan; perubahan
masyarakat yang ada pada institusi dasar
masyarakat
2 Asumsi mengenai Adanya anomie dan Masalah sosial yang Populasi yang
struktur komunitas dan kemurungan dalam sesungguhnya; dirugikan; kesenjangan
kondisi masyarakat; kesenjangan kesehatan fisik dan sosial, perampasan hak,
permasalahannya relasi dan kapasitas dalam mental, perumahan dan dan ketidakadilan
memecahkan masalah rekreasional
secara demokratis;
komunitas berbentuk
tradisional statis
3 Strategi dasar dalam Pelibatan berbagai Pengumpulan data yang Kristalisasi dari isu dan
melakukan perubahan kelompok dalam terkait dengan masalah, pengorganisasian massa
menentukan dan dan memilih serta untuk menghadapi
memecahkan masalah menentukan bentuk sasaran yang menjadi
mereka sendiri tindakan yang paling musuh mereka
rasonal
4 Karakterisitik taktik dan Konsensus; komunikasi Konsensus atau konflik Konflik atau kontes;
teknik perubahan antar kelompok dan konfrtontasi; aksi yang
kelompok kepentingan bersifat langsung,
dalam masyarakat negosiasi
(komunitas); diskusi
kelompok
5 Peran praktisi yang Sebagai enabler-katalis, Pengumpul dan Aktivis, advokat;
menonjol koordinator; orang meng- penganalisis data, Agitator, pialang,
'ajar'-kan keterampilan pengimplementasi negosiator, partisan
memecahkan masalah dan program, dan fasilitator
nilai-nilai etis
6 Media perubahan Manipulasi kelompok Manipulasi organisasi Manipulasi organisasi
kecil yang berorientasi formal dan data yang massa dan proses politik
pada terselesaikannya tersedia
suatu tugas

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


9  

7 Orientasi terhadap Anggota dari struktur Struktur kekuasaan Struktur kekuasaan


struktur kekuasaan kekuasaan bertindak sebagai pemilik dan sebagai sasaran
sebagai kolaborator dalam sponsor (pendukung) eksternal dari tindakan
suatu 'ventura' yang yang dilakukan, mereka
bersfiat umum yang memberikan
tekanan harus dilawan
dengan memberikan
tekanan balik
8 Batasan definisi Keseluruhan komunitas Keseluruhan komunitas Segmen dalam
penerima layanan geografis atau suatu segmen komunitas
(beneficiaries) dalam komunitas
9 Asumsi mengenai Kepentingan umum atau Permufakatan Konflik kepentingan
kepentingan dari permufakatan dari kepentingan atau yang sulit dicapai kata
kelompok-kelompok di berbagai perbedaan konflik mufakat; kelangkaan
dalam suatu komunitas sumber daya
10 Konsepsi mengenai Warga masyarakat konsumen (pengguna Korban'
penerima layanan jasa)
(beneficiaries)
11 Konsepsi mengenai Partisipan pada proses Konsumen atau resipien Employer, konstituen,
peran penerima layanan interaksional pemecahan anggota
(beneficiaries) masalah
12 Pemanfaatan Mengembangkan Mencari tahu dari para Meraih kekuasaan
pemberdayaan kapasitas komunitas untuk pengguna jasa tentang objektif bagi mereka
(Pemberdayaan mengambil keputusan layanan apa yang yang tertindas agar
digunakan untuk) bersama; serta mereka butuhkan; serta dapat memilih dan
membangkitkan rasa memberitahu para memutuskan cara yang
percaya diri akan pengguna jasa tentang tepat guna melakukan
kemampuan masing- pilihan jasa yang ada aksi; serta
masing anggota membangkitkan rasa
masyarakat percaya diri partisipan
akan kemampuan
mereka
Sumber: Adi, 2013a, h.87

Model intervensi perencanaan sosial dan kebijakan sosial di atas merupakan model
intervensi yang diarahkan pada upaya mengubah masyarakat di tingkatan yang lebih luas,
misalnya di tingkatan provinsi, regional (antar provinsi) ataupun nasional. Sedangkan model
intervensi yang terkait dengan upaya melakukan perubahan di level komunitas adalah model
pengembangan masyarakat. (Adi, 2013b, h. 188-189).
Namun, istilah intervensi komunitas yang digunakan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial RI adalah menggunakan kalimat pelayanan sosial berbasis keluarga dan
masyarakat. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari definisi pelayanan anak terlantar
berbasiskan keluarga dan masyarakat yaitu sebuah sistem pelayanan anak yang bertujuan
untuk mencegah dan menangani anak dari keterlantaran, melalui penguatan keluarga secara
psikososial dan ekonomi, menciptakan sistem pengasuhan alternatif berbasis keluarga dan
memperkuat kemampuan masyarakat untuk berperan mencegah dan memberikan pelayanan
terhadap anggotanya (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2008a, h. 10).

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


10  

3. Konsep Pemberdayaan Masyarakat


3.1 Definisi Pemberdayaan Masyarakat
Ife (2006, h. 66-67) memberikan definisi mengenai pemberdayaan sebagai:
“Upaya untuk meningkatkan daya dari kelompok yang kurang beruntung
(disadvantaged people) atas pilihan pribadi dan kehidupan mereka (personal choice
and life); kesempatan (chances); definisi kebutuhan (need definition); gagasan (ideas);
institusi (institutions); sumber-sumber daya (resources); aktivitas ekonomi (economic
activity) dan reproduksi (reproduction) dengan melakukan intervensi melalui
pembuatan perencanaan dan kebijakan (policy and planning); aksi politik dan sosial
(social and political action); serta pendidikan (education)”

Sanders (dalam Nasdian, 2014, h. 33-35) menunjukkan pemberdayaan masyarakat dapat


dipandang sebagai suatu proses, metode, program, dan gerakan. Perbedaannya yaitu:
a. Sebagai suatu “Proses”. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses bergerak
dalam tahapan-tahapan, dari suatu kondisi atau keadaan tertentu ke tahap-tahap
berikutnya yang mencakup kemajuan dan perubahan dalam artian kriteria
terspesifikasi.
b. Sebagai suatu “Metode”. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu cara untuk
mencapai tujuan dengan cara sedemikian rupa sehinga beberapa tujuan dapat
dicapai. Penekanannya pada beberapa tujuan.
c. Sebagai suatu “Program”. Metode pemberdayaan masyarakat dinyatakan sebagai
suatu gugus prosedur dan isinya dinyatakan sebagai suatu daftar kegiatan. Sebagai
suatu program, pemberdayaan masyarakat berhubungan dengan bidang-bidang
subjek yang khas, seperti kesehatan, kesejahteraan, pertanian, indsutri dan rekreasi.
Dengan demikian fokusnya ada pada kegiatan-kegiatan.
d. Sebagai suatu “Gerakan”. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu perjuangan
sehingga menjadi alasan yang membuat orang-orang mengabdi. Sebagai suatu
gerakan, pemberdayaan masyarakat juga cenderung melembaga dan membangun
struktur organisasinya sendiri, menerima prosedur dan praktisi-praktisi
professional.

3.2. Hambatan Dalam Proses Pemberdayaan Masyarakat


Adi (2013a, h. 190-200) menguraikan sejumlah hambatan atau kendala yang harus dilalui
oleh para pelaku perubahan dalam prakek pemberdayaan masyarakat. Hambatan-hambatan
tersebut dapat berasal dari:

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


11  

a. Hambatan internal komunitas yang berasal dari dalam komunitas sasaran terdiri dari:
a) Faktor predisposisi dari komunitas sasaran
Faktor ini muncul sebelum perilaku itu terjadi dan menyediakan landasan motivasional
ataupun rasional terhadap perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Faktor predisposisi
dapat berbentuk pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap dan persepsi dari komunitas
sasaran.
b) Kebiasaan dari komunitas
Setiap individu pada umumnya akan bereaksi sesuai dengan kebiasaan yang mereka
anggap paling menguntungkan (otonomi fungsional). Pada satu sisi, kebiasaan dapat
membantu community worker untuk mengembangkan rencana perubahan. Tapi di sisi
lain, kebiasaan dapat menjadi faktor penghambat perubahan terutama kebiasaan yang
sudah mengakar dan “dibenarkan” oleh masyarakat umum tersebut.
c) Ketergantungan komunitas sasaran terhadap orang lain
Ketergantungan terhadap seseorang dapat menjadi penghambat terjadinya suatu
perubahan dalam masyarakat. Bila dalam suatu kelompok masyarakat terlalu banyak
orang yang mempunyai ketergantunga terhadap orang lain, maka proses ‘pemandirian’
masyarakat tersebut dapat menjadi lebih lama dari waktu yang perkirakan.
d) Pengalaman keberhasilan terdahulu
Bila tindakan pertama yang dilakukan seseorang mendatangkan hasil yang
memuaskan ketika menghadapi suatu situasi tertentu, maka ia cenderung
mengulanginya pada saat yang lain (ketika menghadapi situasi yang sama)
e) Pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu
Faktor internal lain yang dapat menghambat partisipasi yang efektif adalah
kecenderungan untuk menghindari hal yang tidak menyenangkan di masa lalu. Mereka
merasa bahwa perubahan yang akan terjadi justru akan meningkatkan ‘kecemasan dan
ketakutan’ sehingga mereka menjadi pihak yang cenderung menolak pembaruan.

b. Hambatan internal komunitas yang berasal dari luar komunitas sasaran terdiri dari:
a) Faktor penguat perubahan (reinforcing factors)
Faktor penguat perubahan adalah sesuatu yang muncul sebelum perilaku itu terjadi
dan memfasilitasi motivasi tersebut agar dapat terwujud. Faktor penguat perubahan
terkait dengan covert dan overt behavior dari pihak yang terkait dengan komunitas
sasaran.

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


12  

b) Norma sosial yang negatif


Norma sebagai suatu aturan yang tidak tertulis mengikat sebagian besar anggota
masyarakat pada suatu komunitas tertentu. Pada titik tertentu, norma dapat menjadi
faktor yang menghambat terhadap perubahan yang ingin diwujudkan.
c) Kelompok kepentingan
Adanya berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat tidak jarang menjadi faktor
penghambat dalam upaya pengembangan masyarakat karena mereka cenderung ingin
menyelamatkan, mengamankan dan memperluas asset yang mereka miliki tanpa
memerhatikan kepentingan kelompok lainnya.
d) Nilai-nilai sakral di dalam komunitas
Salah satu yang mempunyai nilai kesulitan untuk berubah yang tinggi adalah ketika
suatu teknologi ataupun program inovatif yang akan dilontarkan ternyata membentur
nilai-nilai keagaman atau nilai-nilai yang dianggap ‘sakral’ dalam suatu komunitas.
e) Faktor pemungkin perubahan (enabling factors)
Faktor pemungkin perubahan adalah faktor yang mengikuti suatu perilaku dan
menyediakan ‘imbalan’ yang berkelanjutan untuk berkembangnya perilaku tersebut
dan memberikan kontribusi terhadap tetap bertahannya perilaku tersebut. Termasuk di
dalamnya adalah aspek keterjangkauan layanan atau ketersediaan pelatihan guna
mengembangkan keterampilan baru untuk melakukan perubahan.

c. Hambatan yang bersumber dari eksternal komunitas sasaran terdiri dari:


a) Penolakan terhadap ‘orang luar’
Community worker biasanya merupakan orang yang berasal dari luar komunitas
sehingga masyarakat dalam komunitas tersebut cenderung melakukan penolakan. Oleh
sebab itu seorang community worker harus mempunyai keterampilan berkomunikasi
yang baik agar ia tidak menjadi orang luar dalam masyarakat tersebut.
b) Program lembaga eksternal komunitas yang tidak memberdayakan
Banyaknya program yang tidak terkoordinasi yang dilaksanakan oleh berbagai
lembaga eksternal, baik itu program dari LSM, pemerintah maupun dunia usaha
tersebut tidak jarang justru membuat komunitas sasaran menjadi tergantung terhadap
program-program tersebut.
c) Kebijakan dan peraturan perundangan yang tidak memberdayakan
Peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat di level mikro tidak jarang menjadi
kebijakan yang tidak memberdayakan, karena melibatkan berbagai kelompok

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


13  

kepentingan sehingga kepentingan masyarakat menjadi relatif tersingkirkan ataupun


tidak jarang hanya dijadikan pelengkap dalam rumusan peraturan perundangan dan
kebijakan yang mereka buat.

4.KonsepPeran dan Keterampilan Community Workersebagai Pelaku Perubahan dalam


Pemberdayaan Masyarakat
Zastrow (2006, h. 36-38) dan Adi (2013a, h. 101-106) melihat bahwa terdapat banyak
peran dapat dijalankan oleh seorang community worker ketika melakukan intervensi
komunitas. Sekurang-kurangnya ada tujuh peran yang seringkali diadopsi dan dikembangkan
oleh community worker, yaitu:Pemercepat Perubahan (Enabler); Perantara (Broker); Pendidik
(Educator); Tenaga Ahli (Expert);Perencana Sosial (Social Planner); Advokat (Advocate) dan
Aktivis (Activist).
Ife (2013, h. 306-307) mengelompokkan peran pemberdaya masyarakat ke dalam empat
golongan peran. Dua diantaranya adalah peran dan keterampilan fasilitatif dan edukasional.
a. Peran dan keterampilan fasiliatif, yaitu berkaitan dengan stimulasi dan penunjang
proses pengembangan masyarakat (Ife, 2013, h. 307). Peran fasilitatif terdiri dari tujuh
peran khusus yaitu:
a) Animasi sosial. Keterampilan melakukan animasi sosial adalah kemampuan petugas
untuk membangkitkan energi, inspirasi, antusiasme masyarakat. Termasuk di
dalamnya adalah mengaktifkan, menstimulasi dan mengembangkan motivasi warga
untuk bertindak.
b) Mediasi dan negosiasi. Seorang pemberdaya masyarakat harus dapat menjalankan
fungsi mediasi, ataupun menjadi mediator guna menghubungkan kelompok-
kelompok yang sedang berkonflik agar tercapai sinergi dalam komunitas tersebut.
c) Pemberi dukungan. Salah satu peran dari pemberdaya masyarakat adalah untuk
menyediakan dan mengembangkan dukungan terhadap warga yang mau terlibat
dalam struktur dan aktivitas tersebut. Dukungan itu sendiri tidak terlalu bersifat
ekstrinsik ataupun dukungan materil, tetapi dapat juga dukungan intrinsik.
d) Membentuk konsensus. Pendekatan konsensus dalam proses pengembangan
masyarakat merupakan upaya yang dikembangkan untuk ‘melawan’ pendekatan
konflik yang seringkali sudah diterima ‘begitu saja’ pada beragam interaksi politik,
ekonomi, dan sosial pada berbagai negara industri. Membentuk konsensus adalah
kelanjutan dari peran mediasi yang melibatkan penekanan terhadap tujuan umum

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


14  

bersama, mengidentifikasikan landasan dasar yang sama dari berbagai pihak dalam
masyarakat dan membantu warga untuk bergerak ke arah pencapaian konsensus.
e) Fasilitasi kelompok. Keefektifan kerja dari pelaku perubahan sebagai pemberdaya
masyarakat sangat terkait dari keterampilannya untuk berinteraksi dengan
kelompok-kelompok kecil. Disinilah kemampuan memfasilitasi kelompok dari
agen pemberdaya masyarakat ‘ujian’ karena keanekaragaman masyarakat termasuk
juga dalam tuntutannya.
f) Pemanfaatan sumber daya dan keterampilan. Pelaku perubahan sebagai
pemberdaya masyarakat harus dapat mengindentifikasi dan memanfaatkan berbagai
keterampilan dan sumber daya yang ada di dalam komunitas maupun kelompok
g) Mengorganisasi. Keterampilan mengorganisasi membutuhkan kemampuan pelaku
perubahan untuk berpikir tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan; hal mana
yang tidak perlu dilakukan sendiri; dan memastikan bahwa semua itu mungkin
untuk diwujudkan.
h) Komunikasi personal. Seorang community worker harus mampu melakukan
komunikasi personal dengan dan pada berbagai pihak yang terkait dengan
komunitas sasarannya. Berbagai keterampilan seperti bagaimana memulai
pembicaraan, bagaimana menciptakan situasi dan pembicaraan yang menarik,
menyimpulkan hasil pembicaraan, dan berbagai keterampilan komunikasi
antarpribadi sangatlah diperlukan oleh seorang community worker agar dapat
memperlancar proses fasilitasi yang dilakukan. (Adi, 2013a, h. 217)

b. Peran dan keterampilan edukasional, yaitu berkaitan dengan tugas seorang community
worker yang harus memiliki masukan positif dan terarah di dalam komunitas, baik itu
hasil dari pengetahuan keterampilan maupun pengalamannya (Ife, 2013, h. 319). Peran
dan keterampilan edukasional terdiri dari empat peran khusus yaitu:
a) Membangkitkan kesadaran masyarakat. Upaya membangkitkan kesadaran
masyarakat (consciousness raising) berawal dari upaya menghubungkan antara
individu dengan struktur yang lebih makro (seperti struktur sosial dan politik). Hal
ini bertujuan untuk membantu individu melihat permasalahan, impian, aspirasi,
penderitaan maupun kekecewaan mereka dari perspektif sosial politik yang lebih
luas. Penyadaran masyarakat mempunyai dua komponen lainnya. Pertama,
membantu masyarakat untuk dapat melihat berbagai alternatif yang ada. Kedua,

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


15  

menyadarkan masyarakat tentang struktur dan strategi perubahan sosial dimana


warga dapat berpartisipasi dan bertindak secara efektif.
b) Menyampaikan informasi. Pemberian informasi yang relevan mengenai suatu
masalah yang sedang dihadapi komunitas sasaran tidak jarang dapat menjadi peran
yang bermakna terhadap komunitas tersebut.
c) Mengonfrontasikan. Seorang pelaku perubahan sebagai pemberdaya masyarakat
perlu melakukan teknik konfrontasi apabila pelaku perubahan telah
mempertimbangkan bahwa kalau kondisi yang sekarang terjadi tetap dibiarkan
maka keadaan akan semakin memburuk.
d) Pelatihan. Pelatihan merupakan peran edukatif yang paling spesifik, karena secara
mendasar memfokuskan pada upaya mengajarkan pada komunitas sasaran
bagaimana cara melakukan sesuatu hal yang akan berguna bagi mereka secara
khusus, dan lebih luas lagi adalah bagi komunitasnya. Pelatihan pada dasarnya akan
lebih efektif bila keterampilan yang diajarkan adalah keterampilan yang dibutuhkan
dan diinginkan oleh masyarakat. (Adi, 2013a, h. 221)

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif.Pendekatan kualitatif adalah analisa sistemik tentang tindakan yang
bermakna secara sosial melalui observasi terperinci secara langsung terhadap orang-orang di
dalam setting alamiah untuk mencapai pemahaman dan interpretasi tentang bagaimana orang-
orang menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka (Neuman, 2006. h.157).
Penelitian dengan tema intervensi komunitas ini hendak menggambarkan bagaimana
pelaksanaan model intervensi komunitas yang dilakukan dalam implementasi program
layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin, peran dari pelaku perubahan
yang terlibat dan hambatan-hambatan dalam implementasi program tersebut. Sebagai
penelitian deskriptif, maka data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara,
catatan lapangan, foto, video tape, dokumen resmi (Moleong, 2010, h. 11).
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin,
Kabupaten Cirebon.Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan pemetaan, pertimbangan dan
kesepakatan bahwa Desa Ciwaringin memiliki potensi permasalahan remaja putus sekolah
terlantar yang belum terlayani oleh pemerintah setempat disamping memiliki potensi sumber

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


16  

lokal yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Hal tersebut diperoleh melalui survey yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Cirebon bersama PSBR Bambu Apus yang meliputi
penilaian terhadap lokasi sasaran, calon penerima manfaat, dan calon instruktur yang akan
bertugas di lapangan.
Adapun teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan teknik purposive sampling. Sugiyono (2008, h. 54) menjelaskan bahwa dalam
teknik ini, setiap populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai
informan. Siapa yang akan diambil sebagai informan disesuaikan dengan pertimbangan dan
tujuan penelitian. Teknik purposive sampling yang digunakanberkaitan dengan informan yang
berasal dari masing-masing lembaga yang terlibat dalam implementasi program layanan luar
panti di desa Ciwaringin, yaitu PSBR Bambu Apus Jakarta dan Dinas Sosial Kabupaten
Cirebon. Dari PSBR Bambu Apus diperoleh informan Kepala Seksi Program dan Advokasi
Sosial dan Pekerja Sosial Fungsional. Sedangkan dari Dinas Sosial Kabupaten Cirebon
diperoleh informan Kepala Seksi Pengembangan Sosial.
Selain itu, teknik pemilihan informan dalam penelitian ini juga menggunakan teknik
snowball. Menurut Neuman (2006, h. 223) snowball adalah metode untuk mengidentifikasi
dan menyelidiki kasus yang berupa jaringan dengan menggunakan analogi sebuah bola salju
yang pertama-tama kecil, lalu kemudian membesar. Dalam penelitian ini, teknik snowball
digunakan untuk memperoleh informan dari unsur pendamping lokal dan penerima manfaat
program layanan luar panti di desa Ciwaringin.
Pada awalnya informasi bersumber dari Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial di
PSBR Bambu Apus selaku penanggungjawab program layanan luar panti. Informasi yang
diberikan mencakup ke dalam siapa saja pihak yang terlibat secara langsung dalam praktek
pelaksanaan program di lapangan yang terdiri dari unsur Dinas Sosial dan komunitas sasaran.
Dari unsur Dinas Sosial diperoleh informasi lebih mendalam mengenai siapa saja instruktur
yang dilibatkan dalam kegiatan di komunitas sasaran sehingga ditemukan kriteria masing-
masing instruktur selaku unit observasi. Selanjutnya dari keterangan salah satu instruktur
diperoleh informasi lebih mendalam mengenai penerima manfaat yang dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kriteria informan.
Berikut ini adalah beberapa informan sebagai unit observasi yang termasuk ke dalam
penelitian:
1. Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS) PSBR Bambu Apus. Informan
merupakan unsur dari pimpinan lembaga (panti) yang juga adalah pejabat struktural
yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam menggunakan anggaran DIPA

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


17  

ke dalam realisasi program dan kegiatan yang berlangsung selama satu tahun anggaran
dan secara konseptual memahami latar belakang dan maksud pengembangan layanan
sosial terhadap remaja putus sekolah terlantar melalui program layanan luar panti.
2. Kepala Seksi Pengembangan Sosial Dinas Sosial Kabupaten Cirebon. Informan
merupakan unsur dari pimpinan lembaga yang saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi
Pengembangan dan Pemberdayaan Partisipasi Sosial Masyarakat. Selain memiliki
kewenangan dan tanggungjawab dalam mengatasi masalah remaja putus sekolah dan
terlantar, khususnya di Kabupaten Cirebon, informan juga memiliki kemampuan
dalam merencanakan, mengkoordinir dan mengevaluasi pelaksanaan program,
misalnya dalam hal penentuan lokasi sasaran, pendataan calon penerima manfaat
program yang sesuai, dan pengawasan jalannya program.
3. Petugas instruktur keterampilan. Informan merupakan merupakan anggota dari
komunitas lokal setempat; ditunjuk untuk membantu pelaksanaan program layanan
luar panti; memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cakap dalam membuat dan
mengembangkan batik khas Ciwaringin dan memiliki perhatian khusus terhadap
permasalahan sosial anak, termasuk remaja putus sekolah dan terlantar.
4. Pekerja sosial fungsional PSBR Bambu Apus. Informan merupakan merupakan
pekerja sosial yang telah bekerja di PSBR Bambu Apus minimal selama 5 tahun;
ditunjuk sebagai petugas dalam implementasi program layanan luar panti tahun 2014;
mempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial;
berpengalaman dalam melakukan pelayanan sosial tidak hanya terhadap klien individu
di dalam panti, melainkan juga cakap dalam melakukan intervensi sosial di
masyarakat.
5. Penerima manfaat program (beneficiaries). Informan merupakan merupakan remaja
putus sekolah (SD dan SMP); berasal dari keluarga miskin di desa Ciwaringin; berusia
15-18 tahun; telah lulus seleksi sebagai penerima manfaat (beneficiaries); mengikuti
seluruh tahap kegiatan mulai dari awal (sosialisasi dan seleksi) sampai dengan akhir
(penutupan).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Studi literatur
b. Dokumentasi
c. Wawancara mendalam. Rubin dan Rubin (dalam Rubin dan Babbie, 2008, h. 441-442)
menyatakan bahwa wawancara kualitatif merupakan sebuah desain yang fleksibel,

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


18  

interaktif dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini digunakan jenis wawancara semi
terstruktur (semistructure interview). Jenis wawancara ini digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai ide-ide dasar serta pemahaman yang utuh di balik
sebuah kebijakan atau program. Selain itu, juga untuk memperoleh informasi
mengenai proses pemberdayaan masyarakat dalam program layanan luar panti,
pengalaman dan manfaat yang diperoleh beneficiaries, serta hambatan yang dirasakan
selama implementasi program
d. Observasi. Dalam penelitian ini menggunakan jenis observasi tidak terstruktur. Alston
dan Bowles (2003, h. 195) menjelaskan, dalam observasi jenis ini peneliti tidak
memiliki rancangan mendalam tentang perilaku dan kategorisasi tertentu dari unit
yang akan diobservasi. Dalam observasi tidak terstruktur, peneliti dipersilahkan untuk
menyelami lingkungan observasi yang bebas dari suatu pandangan sebelumnya
tentang situasi di dalam lingkungan tersebut. Dalam penelitian ini, observasi tidak
terstruktur yang dilakukan ialah dalam hal merekam sebuah kejadian, kesan-kesan,
atau dialog yang terkait dengan situasi penelitian.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Pelaksanaan Model Intervensi Komunitas yang Dilakukan dalam Implementasi
Program Layanan Luar Panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin
Dari sepuluh variabel model intervensi komunitas menurut Rothman di atas menunjukkan
bahwa pelaksanaan program layanan luar panti PSBR Bambu Apus di desa Ciwaringin secara
substansi merupakan sebuah model kebijakan atau perencanaan sosial. Hal ini dapat dilihat
dari temuan di lapangan di mana pada tahap penjajakan awal diantaranya meliputi pemilihan
komunitas sasaran yang dilakukan berdasarkan pemetaan wilayah, komunikasi dan
rekomendasi antar lembaga (PSBR dan Dinsos); pelibatan Stakeholder dalam implementasi
program dihasilkan melalui kesepakatan bersama dan Pekerja sosial PSBR terlebih dahulu
menginventarisasi struktur komunitas sasaran dan permasalahannya serta mempersiapkan
bahan informasi tentang program layanan luar panti untuk disampaikan kepada Dinsos.
Strategi dasar yang digunakan untuk menangani masalah remaja putus sekolah terlantar
di desa Ciwaringin ialah melalui pelibatan partisipasi masyarakat lokal yang menjadi
Stakeholders tersebut dimulai dari tahap penjajakan awal, sosialisasi hingga pelaksanaan
kegiatan bimbingan di komunitas sasaran.Namun partisipasi dari masyarakat lokal itu tidak
begitu kental dalam tindakan bersama karena PSBR Bambu Apus selaku penyelenggara
kegiatan menggunakan peran Dinas Sosial di Kabupaten Cirebon untuk mengembangkan

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


19  

teknis program di komunitas sasaran. Selain itu, pekerja sosial bersama Dinas Sosial dan
LSM lokal juga banyak terlibat pada tahapan awal kegiatan, misalnya pada kontak awal
melalui pemetaan wilayah dan survey lokasi kegiatan, hingga akhirnya dipilih dan ditentukan
jenis keterampilan membatik di desa Ciwaringin. Pengumpulan dan penganalisisan data
menggunakan tenaga dari luar komunitas semacam ini mencerminkan praktek dalam
perencanaan sosial.
Selain itu, karakteristik taktik dan teknik perubahan yang digunakan untuk mewujudkan
remaja putus sekolah terlantar yang mandiri di desa Ciwaringin melalui program pelayanan
luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta ialah dengan cara membentuk konsensus atau
kesepakatan bersama serta komunikasi antar kelompok kepentingan di masyarakat yang
terlibat dalam implementasi program. Misalnya kesepakatan dalam pemilihan batik tulis
sebagai jenis keterampilan yang akan dikembangkan dalam program layanan luar panti
ataspertimbangan mudah dilaksanakan dan biayanya murah.
Dari sisi peran praktisi yang menonjol pun, berdasarkan temuan lapangan dalam
implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta, maka peran yang
dominan dari para pelaku perubahan ialah sebagai expert (pakar) yang ditekankan pada
penemuan fakta di lapangan melalui pemetaan sosial, implementasi program dan bagaimana
relasi dengan berbagai macam birokrasi khususnya di dalam memecahkan masalah remaja
putus sekolah terlantar di desa Ciwaringin. Relasi dengan birokrasi di daerah, yakni antara
PSBR Bambu Apus dengan Dinas Sosial Kabuaten Cirebon dapat dilihat dalam kacamata
peran antar lembaga dalam tahap implementasi kegiatan layanan luar panti di komunitas
sasaran.
Sedangkan dari sisi batasan definisi dan konsepsi mengenai penerima manfaat layanan
(beneficiaries) dilihat berdasarkan kepada kesatuan fungsionalnya (kelompok tertentu),
dengan melibatkan struktur-struktur kekuasaan dari kesatuan geografisnya, yaitu remaja putus
sekolah terlantar yang ada di desa Ciwaringin. Batasan definisi penerima layanan yang lebih
terbatas kepada segmentasi remaja putus sekolah terlantar di desa Ciwaringin tersebut
dipertegas dengan adanya beberapa persyaratan yang menjadi kriteria bagi calon penerima
manfaat program. Pada tahap sosialisasi dan seleksi calon penerima manfaat ditemui fakta
seperti keluarga remaja putus sekolah terlantar di desa Ciwaringin sebagian besar adalah
TKW dan banyak anak remaja yang menjadi pekerja anak di beberapa perusahaan berskala
mikro dan sebagian besar beneficiaries yang lulus seleksi merupakan santri yang notebene
secara mental telah siap untuk mengikuti kegiatan layanan, namun masih perlu memperoleh
penguatan secara sosial. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh banyaknya pondok pesantren di

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


20  

sekitar desa Ciwaringin. Sehingga dari sini batasan definisi dari putus sekolah ialah putus di
jenjang pendidikan secara formal sebagaimana telah disebutkan dalam persyaratan bagi calon
penerima manfaat program layanan luar panti yang berlaku
Selain itu dari tahap sosialisasi dan seleksi calon penerima manfaat layanan, diketahui
pula bahwa faktor yang mendorong beneficiaries tertarik untuk mengikuti program layanan
luar panti di desa Ciwaringin pada umumnya karena ingin menambah pengalaman baru dan
berharap bisa membuat batik sendiri. Khususnya mereka yang merupakan santri mengaku
ingin memperoleh pengalaman baru di samping mendalami ilmu agama Islam.Hal ini tidak
dapat dipungkiri mengingat pada usia remaja awal, salah satu minat mereka ialah terhadap
pekerjaan di mana pada periode ini anak laki-laki maupun perempuan mulai untuk
memikirkan secara lebih serius tentang masa depan mereka. Setelah mereka mengikuti
program layanan tersebut, baik beneficiaries yang dalam status menetap di pondok pesantren
maupun tinggal bersama orangtua atau kerabat merasakan manfaat yang sama, yaitu memiliki
bekal keterampilan membuat batik tulis lokal khas Ciwaringin disamping mendapat teman-
teman baru. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa penerima manfaat merupakan
konsumen dari suatu layanan (services) dimana mereka akan memanfaatkan program dan
layanan yang telah direncanakan.
Secara ringkas uraian mengenai model intevensi komunitas yang digunakan dalam
program layanan luar panti di desa Ciwaringin dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Model Intervensi Komunitas dalam Implementasi Program Layanan Luar Panti
di Desa Ciwaringin

No Variabel Intervensi Komunitas Model A Model B Model C


1 Kategori tujuan tindakan terhadap
masyarakat - √ -
2 Asumsi mengenai struktur komunitas dan
- √ -
kondisi permasalahannya
3 Strategi dasar dalam melakukan perubahan - √ -
4 Karakterisitik taktik dan teknik perubahan - √ -
5 Peran praktisi yang menonjol - √ -
6 Media perubahan - √ -
7 Orientasi terhadap struktur kekuasaan - √ -
8 Batasan definisi penerima layanan
(beneficiaries) - √ -
9 Konsepsi mengenai penerima layanan
- √ -
(beneficiaries)
10 Konsepsi mengenai peran penerima layanan
(beneficiaries) - √ -
Sumber: Olahan penelitian

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


21  

Sebagai sebuah model intervensi komunitas, implementasi program layanan luar panti
PSBR Bambu Apus di desa Ciwaringin juga merupakan sebuah kegiatan pemberdayaan
masyarakat, khususnya terhadap remaja putus sekolah terlantar yang menjadi penerima
manfaat (beneficiaries). Akan tetapi dalam prakeknya, program pemberdayaan yang
dilakukan dapat dipandang sebatas pada suatu program. Sebagaimana dijelaskan oleh Sanders
bahwa sebagai suatu “program” maka metode pemberdayaan masyarakat dinyatakan sebagai
suatu gugus prosedur dan isinya dinyatakan sebagai suatu daftar kegiatan. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa pada implementasi program layanan luar panti di desa Ciwaringin,
khususnya terkait dengan asumsi struktur komunitas dan batasan definisi penerima layanan
ialah terbatas kepada suatu isu yang spesifik dari permasalahan anak, yaitu remaja putus
sekolah terlantar.
Koordinasi dan kolaborasi antara PSBR Bambu Apus, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon,
serta tokoh masyarakat lokal yang menjadi pendamping lokal (instruktur keterampilan) mulai
dari tahap penjajakan awal hingga evaluasi dan tindak lanjut program hanya berfokus kepada
terlaksananya setiap tahapan kegiatan di komunitas sasaran dengan baik sesuai dengan
rencana program sehingga masih memerlukan tindak lanjut yang lebih nyata dalam
pengembangan layanan sejenis di komunitas sasaran. Sebagai sebuah model
kebijakan/perencanaan sosial, intervensi komunitas dalam program layanan luar panti oleh
PSBR Bambu Apus lebih berorientasi kepada terselesaikannya suatu tugas atau kegiatan (task
oriented) daripada proses pemberdayaan masyarakat itu sendiri (process oriented).

2. Peran Pelaku Perubahan dalam Implementasi Program Layanan Luar Panti oleh
PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin
Secara umum dalam pelaksanannya di komunitas sasaran, peran yang dijalankan oleh
masing-masing pelaku perubahan dapat dibagi menjadi tiga yaitu sebagai broker yang
dilakukan oleh pekerja sosial, sebagai educator yang dijalankan oleh para instruktur
keterampilan dan sebagai expert yang dijalankan oleh PSBR sebagai suatu lembaga.
Peran sebagai penghubung atau brokerdapat dilihat misalnya pada tahap penjajakan awal
(meliputi penjelasan lokasi dan survey tempat pelaksanaan kegiatan di komunitas sasaran),
dimana melalui keterbukaan dan komunikasi yang baik, pekerja sosial berusaha untuk
melihat bagaimana konteks permasalahan remaja putus sekolah terlantar di Kabupaten
Cirebon dan mencari sumber potensi lokal di masyarakat yang dapat dikembangkan guna
mendukung tercapainya tujuan program layanan luar panti. Kemudian pada tahap
implementasi kegiatan layanan (bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan), pekerja sosial

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


22  

juga menjadi penghubung antara penerima manfaat program dengan peluang-peluang yang
ada di masyarakat tersebut. Misalnya saja mencoba menghubungkan beneficiaries yang
memang memiliki bakat dan keterampilan membatik yang bagus dengan pengusaha batik
lokal seandainya kegiatan layanan luar panti di Ciwaringin telah berakhir.
Dalam intervensi komunitas peran educator mengharuskan seorang community worker
mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan jelas, serta mudah
ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran perubahan. Peran ini lebih banyak dijalankan
oleh petugas instruktur keterampilan pada tahapan implementasi kegiatan layanan luar panti
di mana mereka mendidik dan melatih para penerima manfaat tentang keterampilan membuat
batik tulis khas Ciwaringin. Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, para instruktur
tetap memberikan pelatihan membatik dari awal sampai dengan selesai sesuai dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki oleh beneficiaries, termasuk tentang bagaimana manajemen bisnis
juga perlu dipelajari oleh beneficiaries.
Dalam implementasi program layanan luar panti di desa Ciwaringin, peran sebagai expert
atau tenaga ahli ini muncul pada tahap evaluasi dan tindak lanjut program. Dalam
pembahasan evaluasi dan tindak lanjut dari program layanan luar panti oleh PSBR Bambu
Apus di desa Ciwaringin, posisi dan peran PSBR Bambu Apus ialah memberikan masukan
informasi kepada mitra kerja yaitu Dinas Sosial tentang beberapa hal yang harus dipersiapkan
sehingga mendorong mereka untuk dapat mengembangkan alternatif program selanjutnya
dalam upaya mengatasai masalah remaja putus sekolah terlantar.
Namun dalam kaitannya dengan praktek pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari
intervensi komunitas secara khusus, terdapat beberapa peran dan keterampilan yang dimiliki
oleh pelaku perubahan dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus di
desa Ciwaringin yaitu antara lain:
a. Membentuk Konsensus. Membentuk konsensus melibatkan penekanan terhadap tujuan
umum bersama, mengidentifikasikan landasan dasar yang sama dari berbagai pihak
dalam masyarakat dan membantu warga untuk bergerak ke arah pencapaian
konsensus. Dalam implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus
di Desa Ciwaringin, para Stakeholder (PSBR, Dinas Sosial dan petugas lokal) di
komunitas sasaran membentuk kesepakatan atau konsensus bersama. Misalnya pada
tahap penjajakan awal dimana setelah melalui survey dan pemetaan lokasi bersama,
PSBR Bambu Apus dan Dinas Sosial kemudian duduk bersama untuk melihat peluang
terbaik yang dapat diputuskan bersama dan membuat kesepakatan dengan pihak-pihak
lokal di komunitas sasaran, mulai dari memberikan rekomendasi jenis keterampilan

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


23  

yang akan dikembangkan sampai dengan koordinasi dengan LSM dan tokoh
masyarakat di Ciwaringin yang bersedia mengambil peran dalam pelaksanaan kegiatan
layanan luar panti.
b. Fasilitasi kelompok. Hal ini terlihat dalam peran yang diambil oleh Dinas Sosial
Kabupaten Cirebon secara umum yakni sebagai fasilitator, di mana mereka membantu
atau memfasilitasi terselenggaranya program layanan luar panti di desa Ciwaringin
agar dapat berjalan dengan lancar
c. Pemanfaatan sumber daya dan keterampilan. Melalui keterbukaan dan komunikasi
yang baik, pekerja sosial berusaha untuk melihat bagaimana konteks permasalahan
remaja putus sekolah terlantar di Kabupaten Cirebon dan mencari sumber potensi
lokal di masyarakat yang dapat dikembangkan, yakni batik tulis Ciwaringin sebagai
bekal pelatihan keterampilan di dalam pelaksanaan program layanan luar panti PSBR
Bambu Apus.
d. Komunikasi personal. Peran ini terlihat pada tahap sosialisasi dan seleksi dimana
peran penting yang dilaksanakan ialah bagaimana kemampuan menyampaikan
informasi yang jelas kepada para Stakeholder dan calon penerima manfaat layanan
agar mereka memiliki persamaan persepsi tentang implementasi program layanan luar
panti tersebut. Selain itu juga teknik komunikasi yang baik menjadi faktor pendukung
tersampaikannya maksud dan tujuan dari program yang akan diselenggarakan di
komunitas sasaran. Komunikasi personal juga digunakan dalam tahap monitoring
layanan oleh pekerja sosial. Pekerja sosial memberikan motivasi agar beneficiaries
tetap memiliki semangat tinggi di dalam mengikuti kegiatan layanan hingga akhir
nanti. Semangat belajar ini yang kemudian dirasa akan menumbuhkan kreativitas dari
para penerima manfaat.
e. Pelatihan. Pelatihan pada dasarnya akan lebih efektif bila keterampilan yang diajarkan
adalah keterampilan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat. Pada tahap
implementasi kegiatan layanan di desa Ciwaringin, peran ini dilaksanakan oleh
instruktur keterampilan dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan membuat
batik tulis kepada para beneficiaries sebagai bekal keterampilan yang dipilih dalam
mewujudkan kemandirian remaja putus sekolah terlantar.

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


24  

3. Hambatan-hambatan dalam Implementasi Program Layanan Luar Panti oleh PSBR


Bambu Apus di Desa Ciwaringin
Hambatan atau kendala yang ditemui selama pelaksanaan program layanan luar panti
PSBR Bambu Apus di desa Ciwaringin dibagi menjadi dua bagian, yaitu hambatan yang
berasal dari internal komunitas dan hambatan yang berasal dari eksternal komunitas. Untuk
hambatan yang berasal dari internal komunitas selama berlangsungnya kegiatan layanan
terhadap beneficiaries yaitu meliputi: (a) Faktor predisposisi dari komunitas sasaran, seperti
munculnya persepsi dari pendamping lokal terhadap beneficiaries yang dinilai belum cukup
matang matang untuk belajar tentang usaha pembuatan batik tulis dan rasa tidak percaya diri
dalam memberikan motivasi bimbingan keterampilan meskipun tidak sampai mempengaruhi
proses bimbingan keterampilan yang diberikan; (b) Ketergantungan komunitas sasaran
terhadap orang lain, di mana para penerima manfaat secara tidak langsung di mana mereka
merasa sulit lepas dari pengalaman kedekatan dengan teman-teman baru dan instruksi dari
instruktur keterampilan saat kegiatan layanan luar panti telah usai dan beneficiaries dibekali
dengan buku panduan. Menurut perspektif psikologi remaja, perkembangan minat remaja itu
memang dipengaruhi oleh bagaimana ia mampu mencapai hubungan baru dengan teman
sebaya; (c) Pengalaman keberhasilan terdahulu, di mana menurut salah satu pendamping
lokal, instruktur keterampilan yang pernah diikutinya mengikuti suatu kegiatan pelatihan dan
dianggap sebagai suatu model pengembangan usaha yang berhasil, sehingga
membandingkannya dengan kegiatan layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di desa
Ciwaringin. Menurutnya akan lebih baik jika layanan yang diberikan oleh PSBR Bambu Apus
saat ini juga dapat menerapkan model yang sama seperti itu
Sementara itu beberapa hambatan yang berasal dari eksternal komunitas selama
berlangsungnya kegiatan layanan luar panti antara lain: (a) Program lembaga eksternal
komunitas yang tidak memberdayakan, seperti kurangnya dukungan langsung terhadap
orangtua penerima manfaat sertakegiatan yang lebih terfokus kepada pemberian bimbingan
keterampilan; (b) Kebijakan dan peraturan perundangan yang tidak memberdayakan, seperti
masih kentalnya nuansa ego sektoral yang adamengakibatkan kurang optimalnya peran
pekerja sosial di komunitas sasaran; (c) Waktu dan fasilitas kegiatan yang terbatas; (d)
Adanya penolakan terhadap ‘Orang Luar’, misalnya dalam tahap sosialisasi seleksi ketika
calon beneficiaries memiliki perasaan khawatir terhadap petugas seleksi yang sedang
melakukan kegiatan assessment. Pada tahap ini calon penerima manfaat merasa takut dan
grogi terhadap petugas seleksi yang menandakan adanya bentuk penolakan awal terhadap
kehadiran petugas.

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


25  

Kesimpulan
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa implementasi program layanan luar panti oleh
PSBR Bambu Apus di desa Ciwaringin merupakan pelaksanaan sebuah model
kebijakan/perencanaan sosial dari sebuah intevensi komunitas di dalam menangani masalah
remaja putus sekolah terlantar. Hal ini berdasarkan analisis terhadap beberapa variabel model
intervensi komunitas yang meliputi kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat; asumsi
mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahannya; strategi dasar dalam melakukan
perubahan; karakterisitik taktik dan teknik perubahan; peran praktisi yang menonjol; media
perubahan; orientasi terhadap struktur kekuasaan; batasan definisi penerima layanan
(beneficiaries); konsepsi mengenai penerima layanan (beneficiaries) dan konsepsi mengenai
peran penerima layanan (beneficiaries).
Sebagai sebuah model kebijakan/perencanaan sosial, maka upaya pemberdayaan
masyarakat dalam implementasi program layanan luar panti di desa Ciwaringin ini hanya
berorientasi kepada suatu program, artinya lebih mengedepankan kepada terlaksananya suatu
tugas atau selesainya tahapan kegiatan yang telah direncanakan daripada mengutamakan
sebuah proses pemberdayaan masyarakat seutuhnya. Hal ini terlihat dari bagaimana relasi
organisasi antara PSBR Bambu Apus, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon, tokoh masyarakat
lokal yang menjadi pendamping lokal (instruktur keterampilan) mulai dari tahap penjajakan
awal hingga evaluasi dan tindak lanjut program di mana hanya berfokus kepada terlaksananya
setiap tahapan kegiatan di komunitas sasaran. Sehingga kurang adanya komitmen yang kuat
dari para pelaku perubahan di dalam mendukung terlaksananya program di komunitas
sasaran. Dari sisi penerima manfaat yang mengikuti kegiatan bimbingan pun hanya bertindak
sebagai pengguna layanan dari manfaat program yang sudah direncanakan.
Peran dari para pelaku perubahan dalam implementasi program layanan luar panti yang
dimulai dari tahap penjajakan awal sampai dengan evaluasi program antara lain adalah
membentuk konsensus, fasilitasi kelompok, pemanfaatan sumber daya dan keterampilan,
komunikasi personal serta pelatihan. Bagi PSBR Bambu Apus, pekerja sosial sebagai salah
satu pelaku perubahan lebih banyak berperan sebagai penghubung (broker), yakni pada tahap
penjajakan awal yang meliputi pemetaan informasi dan survey lokasi pelaksanaan kegiatan
dan tahap implementasi bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan kepada beneficiaries.
Pada tahap evaluasi dan tindak lanjut program, PSBR berperan sebagai tenaga ahli (expert)
yang memberikan masukan dan saran kepada Dinas Sosial selaku mitra kerja dalam
implementasi program layanan luar panti. Sedangkan instruktur keterampilan yang mendidik

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


26  

dan melatih para beneficiaries tentang proses pembuatan batik merupakan cerminan dari
peran sebagai pendidik (educator) dari pelaku perubahan.
Sementara itu, kurangnya dukungan terhadap fungsi penguatan keluarga penerima
manfaat, kegiatan yang lebih terfokus kepada pemberian bimbingan keterampilan, minimnya
keterlibatan pekerja sosial dalam pelaksanaan program, waktu dan fasilitas kegiatan yang
dirasa kurang oleh penerima manfaat serta adanya bentuk penolakan awal terhadap kehadiran
petugas menjadi hambatan dalam implementasi program yang bersumber dari eksternal
komunitas. Sedangkan hambatan yang bersumber dari internal komunitas meliputi munculnya
persepsi dari pendamping lokal terhadap beneficiaries yang dinilai belum cukup matang
dalam belajar membuat batik, adanya rasa tidak percaya diri dari tenaga pendamping lokal
dalam memberikan motivasi bimbingan keterampilan, adanya pengalaman keberhasilan
terdahulu dari pendamping lokal dalam komunitas sasaran serta masih adanya ketergantungan
beneficiaries terhadap orang lain.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran bagi
perbaikan implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta yang
lebih baik, secara strategis maupun praktis yang perlu dipertimbangkan. Beberapa saran
tersebut antara lain yaitu:
a. Saran bagi perbaikan dalam tatanan strategis program yang meliputi:
• Dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus Jakarta di
desa Ciwaringin tercatat bahwa upaya penanganan terhadap masalah remaja
putus sekolah terlantar di Kabupaten Cirebon pada umumnya masih
tersegmentasi. Sehingga untuk menindaklanjuti hal ini, maka PSBR Bambu
Apus perlu mengembangkan jaringan kerja sama dengan Dinas Pendidikan
setempat guna mendukung telaksananya program layanan luar panti, baik
dukungan dalam bentuk data maupun sinergitas kegiatan yang dapat dilakukan
bersama di daerah.
• Relasi organisasi khususnya antara PSBR Bambu Apus Jakarta dengan Dinas
Sosial yang cenderung berorientasi terhadap terealisasinya semata program di
komunitas sasaran memang merupakan ciri dari model intervensi komunitas
sebagai sebuah kebijakan/perencanaan sosial. Namun diharapkan ke depannya
PSBR Bambu Apus harus dapat memiliki gambaran komunitas sasaran
khususnya terhadap remaja putus sekolah terlantar di awal kegiatan selain

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


27  

berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh Dinas Sosial selaku mitra kerja
di daerah. Sehingga memperoleh gambaran permasalahan dan calon penerima
manfaat yang sesuai dengan tujuan program.
• Dalam implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus
Jakarta di desa Ciwaringin tercatat bahwa kurang adanya komitmen yang kuat
dari perencanaan program yang tela dilakukan bersama dengan Dinas Sosial di
Kabupaten Cirebon dengan perangkat sumber daya lokal di komunitas sasaran.
Oleh sebab itu PSBR Bambu Apus Jakarta bersama Dinas Sosial Kabupaten
Cirebon perlu membuat komitmen bersama terhadap keberlanjutan program di
masa yang akan datang. Komitmen secara tertulis perihal keberlanjutan
program terhadap purna penerima manfaat, baik dalam hal tanggung jawab
maupun dukungan pelaksanaan kegiatan sangat diperlukan.

b. Saran bagi perbaikan dalam tatanan praktis di komunitas sasaran yang meliputi:
• Dalam praktek intervensi komunitas program layanan luar panti PSBR Bambu
Apus Jakarta di desa Ciwaringin yang cenderung kepada pendekatan
kebijakan/perencanaan sosial, maka peran pekerja sosial sebagai pelaku
perubahan di komunitas sasaran menjadi terbatas. Oleh sebab itu, sebagai
sebuah upaya penanganan masalah remaja putus sekolah terlantar berbasis
masyarakat, maka perlu melibatkan peran pekerja sosial dalam lingkup praktek
yang lebih luas. sehingga seorang pekerja sosial memiliki gambaran yang utuh
terhadap profil, permasalahan sekaligus perubahan yang dicapai oleh penerima
manfaat di komunitas sasaran secara berkesinambungan.
• Dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus di desa
Ciwaringin, kegiatan lebih terfokus kepada pemberian bimbingan keterampilan
tanpa ada dukungan kegiatan terhadap penguatan fungsi keluarga penerima
manfaat. Sehingga diharapkan untuk masa yang akan datang, meskipun waktu
pelaksanaan kegiatan di komunitas sasaran itu terbatas, namun dengan perlu
adanya penguatan terhadap fungsi keluarga sehingga dukungan terhadap
kemandirian beneficiaries tetap dapat berjalan di tengah keluarga mereka

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015


28  

Daftar Referensi

Adi, I.R. (2013a). Intervensi komunitas dan pengembangan masyarakat sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat. (edisi revisi 2012). Jakarta: Rajawali Pers
Adi, I.R. (2013b). Kesejahteraan sosial (pekerjaan sosial, pembangunan sosial dan kajian
pembangunan). Jakarta: Rajawali Pers
Alston, M., dan Bowles, W. (2003). Research for social workers: An introduction to
methods. 2nd edition. London: Routledge
Badan Pusat Statistik RI. (2013). Indikator kesejahteraan rakyat 2013. Jakarta: Badan Pusat
Statistik (BPS)
Bloom, D., dan Haskins, R. (2010). Helping high school dropouts improve their prospects
diakses pada 9 Oktober 2014
http://futureofchildren.org/futureofchildren/publications/docs/20_01_PolicyBrief.pdf
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. (2006). Pedoman umum tanggungjawab negara dalam
pelayanan sosial anak terlantar. Jakarta: Kementerian Sosial RI
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. (2008a). Standar pelayanan sosial anak terlantar
berbasiskan keluarga dan masyarakat. Jakarta: Kementerian Sosial RI
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. (2008b). Standar pelayanan sosial panti sosial bina
remaja (PSBR). Jakarta: Kementerian Sosial RI
Huruswati, I. (2012). Panti sosial bina remaja naibonat: Tantangan pendidikan masa depan
dalam Jurnal Sosiokonsepsia. Vol 17. No. 03 (Desember), h. 336-356
Ife, J. (2006). Community development. 3rd edition. Sydney: Pearson Education Australia Pty
Ltd
Ife, J. (2013). Community development in an uncertainty world. Cambridge: Cambridge
University Press
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2012). Profil anak
indonesia 2012 diakses pada 10 Oktober 2014.
www.kemenpppa.go.id/v3/index.../profil-anak?...510%3Aprofilanak2012
Kenny, S. (2007). Developing communities for the future. 3rd edition. Melbourne: Thomson
Moleong, L.J. (2010). Metode penelitian kualitatif. (Edisi Revisi, Cetakan ke- 27). Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nasdian, F.T. (2014). Pengembangan masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Neuman, L.W. (2006). Social research methods:Qualitative and quantitative approches. 6th
edition. India : Pearson Education Company
Rencana Strategis Kementerian Sosial RI Tahun 2010-2014
Rubin, A., dan Babbie, E.R. (2008). Research methods for social work. 6th edition. Belmont :
Thomson Brooks/Cole
Sugiyono. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Cetakan keempat. Bandung: Alfabeta.
Tropman, J.E., Erlich, J.L., dan Jack Rothman. (2001). Tactics and techniques of community
intervention. 4th edition. Belmont, CA: Brooks/Cole - Thomson Learning
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
USAID. (2015). Relevansi pendidikan untuk remaja. Diakses pada 6 Februari 2015.
http://www.prioritaspendidikan.org/id/media/view/gfile/cat/relevansi-pendidikan-
untuk-remaja
Zastrow, C. (2006). Social work with group: A comprehensive workbook. 6th edtion. Belmont:
Thomson Brooks/Cole

Pelaksanaan model..., Ahmad Fauzi, FISIP UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai