Program Kekhususan Pengembangan Masyarakat, Kemiskinan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail:fauziahmad.14@gmail.com
Abstrak
Tesis ini membahas mengenai implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta ditinjau
dari pelaksanaan model intervensi komunitas yang dilakukan, peran dari para pelaku perubahan yang terlibat
serta hambatan yang terjadi di dalam upaya menangani masalah remaja putus sekolah terlantar. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif di desa Ciwaringin, Kabupaten
Cirebon. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa program layanan luar panti menggunakan model
kebijakan/perencanaan sosial sebagai upaya intervensi komunitas terhadap remaja putus sekolah terlantar
sehingga pemberdayaan terhadap komunitas sebagai penerima manfaat lebih fokus kepada terselesaikannya
suatu kegiatan dari rencana program yang telah ditetapkan.
Abstract
This thesis discussed the implementation of the non-housing service program by PSBR Bambu Apus Jakarta in
terms of the implementation of community intervention models that do, the role of the actors involved and the
barriers that occur in efforts to addressing the youth with dropout and neglected problem. This study is a
qualitative and using descriptive approach at Ciwaringin village, Cirebon. The Result showed that the non-
housing service program is using a policy / social planning model as an intervention for community so that the
empowerment of the beneficiaries more focused on the tasks completion.
Keywords : Adolescent; Community Intervention; Non-Housing Service Program; Youth with Dropout and
Neglected
1
Ahmad Fauzi adalah Penulis dan merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia yang telah mempertahankan Tesisnya di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 24 Juni 2015.Dra. Dwi
Amalia Chandra Sekar, M.Si adalah Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia yang merupakan Dosen Pembimbing Penulis.
Pendahuluan
model pelayanan anak berkelanjutan tersebut sejak tahun 2011 melalui program pelayanan
luar panti (non panti). Program layanan luar panti merupakan salah satu alternatif program
yang dipilih oleh PSBR Bambu Apus sebagai model pelayanan sosial kelompok remaja putus
sekolah terlantar yang tidak terlayani di dalam panti. Pelaksanaan program layanan luar panti
dilakukan dengan berbasiskan sumber masyarakat dimana yang menjadi kelompok sasaran
ialah remaja putus sekolah yang tidak mampu menjangkau akses pemenuhan kebutuhannya
terhadap sumber pendidikan, keterampilan dan kegiatan pengembangan remaja lainnya.
Program ini berada di bawah tanggung jawab Seksi Program dan Advokasi Sosial.
Dalam dua kali pelaksanaannya di tahun 2011 dan 2013, program layanan luar panti oleh
PSBR Bambu Apus Jakarta senantiasa mendorong proses pembelajaran bagi para remaja
putus sekolah terlantar agar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial
mereka sehingga mampu berpikir dan bertindak secara mandiri di dalam mencapai tujuan-
tujuan sosial tertentu sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Di samping itu,
sebagai bagian dari komunitas, remaja putus sekolah dan terlantar ini didorong agar mampu
menghargai serta mengembangkan aset lokal yang dapat menjadi potensi sumber pendapatan
bagi ekonomi keluarga. Pada tahun 2014 kegiatan layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus
Jakarta diselenggarakan di daerah Cirebon, Jawa Barat, tepatnya di Desa Ciwaringin,
Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebondengan potensi sumber lokal yang telah disepakati
berdasarkan hasil survey dan assessment bersama pihak Dinas Sosial setempat yaitu
keterampilan menulis batik khas Ciwaringin.
Strategi dalam pelaksanaan program layanan luar panti dalam menangani masalah remaja
putus sekolah dan terlantar oleh PSBR Bambu Apus mengikuti pedoman umum tanggung
jawab negara dalam pelayanan sosial anak terlantar yang dikeluarkan oleh Direktorat
Kesejahteraan Sosial Anak Kementerian Sosial RI tahun 2006 serta senantiasa mengacu
kepada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Salah satu strategi yang menjadi
prinsip dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus tersebut adalah
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Partisipasi, yaitu pelibatan seluruh warga
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak terlantar,
termasuk patisipasi anak sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan pemberdayaan
masyarakat, yaitu peningkatan kemampuan ”dari dan oleh” keluarga dan masyarakat ”untuk”
memelihara kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan hak-hak anak terlantar.
(Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2006, h. 47).
Namun dalam prakteknya, program layanan luar panti ini tidak murni menggerakan roda
pemberdayaan masyarakat karena adanya pembagian tanggungjawab secara sektoral antara
PSBR Bambu Apus di pusat dengan Pihak Dinas Sosial di daerah. Terlebih pelayanan yang
akan diberikan juga melibatkan atribut persyaratan bagi para calon penerima manfaat
program. Selain dari batasan usia penerima manfaat yaitu 15 – 18 tahun, calon penerima
manfaat juga harus terlebih dahulu lulus seleksi dalam tahap assessment yang dilakukan oleh
petugas. Sehingga mulai dari tahap penjajakan dan penjalinan relasi, proses sosialisasi dan
seleksi penerima manfaat, hingga implementasi program di komunitas sasaran, peran dan
keterampilan dari para pelaku perubahan, baik instruktur keterampilan maupun pekerja sosial
lembaga yang terlibat dalam program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus juga
menempati posisi strategis dalam menentukan keberhasilan program yang hendak dicapai.
Dengan demikian penting untuk ditindaklanjuti bagaimana PSBR Bambu Apus yang
selama ini menjalankan program-program rehabilitasi sosial terhadap remaja putus sekolah
dan terlantar berbasiskan prosedur danlayanan di dalam lembaga kemudian berupaya
menjangkau dan memberikan intervensi sosial dalam konteks pemenuhan kebutuhan
penerima manfaat program yang sama namun layanan diberikan dengan berbasis masyarakat
(community based).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian yang muncul
dari perumusan masalah ini, yaitu:
a. Bagaimana pelaksaaan model intervensi komunitas yang dilakukan dalam
implementasi Program Layanan Luar Panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa
Ciwaringin?
b. Apa saja peran dari pelaku perubahan yang terlibat dalam implementasi Program
Layanan Luar Panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin?
c. Apa saja hambatan-hambatan dalam implementasi Program Layanan Luar Panti oleh
PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin?
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan pelaksanaan model intervensi komunitas yang dilakukan dalam
implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa
Ciwaringin.
b. Mendeskrispsikan peran dari pelaku perubahan yang terlibat dalam implementasi
program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin
c. Mendeskrispsikan hambatan-hambatan dalam implementasi program layanan luar
panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin
Tinjauan Teoritis
yakni melalui pendekatan yang bersifat konsensus seperti Pengembangan Masyarakat Lokal
(Locality Development); kepatuhan seperti pendekatan perencanaan dan kebijakan sosial
(Social Planning/Policy); ataupun melalui pendekatan konfik seperti Aksi Sosial (Social
Action).
Pandangan Rothman, Tropman dan Erlich mengenai pengorganisasian masyarakat (yang
kemudian istilahnya diubah menjadi intervensi komunitas) kemudian disempurnakan menjadi
lima model intervensi seperti yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. (Adi, 2013a, h. 87)
Model intervensi perencanaan sosial dan kebijakan sosial di atas merupakan model
intervensi yang diarahkan pada upaya mengubah masyarakat di tingkatan yang lebih luas,
misalnya di tingkatan provinsi, regional (antar provinsi) ataupun nasional. Sedangkan model
intervensi yang terkait dengan upaya melakukan perubahan di level komunitas adalah model
pengembangan masyarakat. (Adi, 2013b, h. 188-189).
Namun, istilah intervensi komunitas yang digunakan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial RI adalah menggunakan kalimat pelayanan sosial berbasis keluarga dan
masyarakat. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari definisi pelayanan anak terlantar
berbasiskan keluarga dan masyarakat yaitu sebuah sistem pelayanan anak yang bertujuan
untuk mencegah dan menangani anak dari keterlantaran, melalui penguatan keluarga secara
psikososial dan ekonomi, menciptakan sistem pengasuhan alternatif berbasis keluarga dan
memperkuat kemampuan masyarakat untuk berperan mencegah dan memberikan pelayanan
terhadap anggotanya (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2008a, h. 10).
a. Hambatan internal komunitas yang berasal dari dalam komunitas sasaran terdiri dari:
a) Faktor predisposisi dari komunitas sasaran
Faktor ini muncul sebelum perilaku itu terjadi dan menyediakan landasan motivasional
ataupun rasional terhadap perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Faktor predisposisi
dapat berbentuk pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap dan persepsi dari komunitas
sasaran.
b) Kebiasaan dari komunitas
Setiap individu pada umumnya akan bereaksi sesuai dengan kebiasaan yang mereka
anggap paling menguntungkan (otonomi fungsional). Pada satu sisi, kebiasaan dapat
membantu community worker untuk mengembangkan rencana perubahan. Tapi di sisi
lain, kebiasaan dapat menjadi faktor penghambat perubahan terutama kebiasaan yang
sudah mengakar dan “dibenarkan” oleh masyarakat umum tersebut.
c) Ketergantungan komunitas sasaran terhadap orang lain
Ketergantungan terhadap seseorang dapat menjadi penghambat terjadinya suatu
perubahan dalam masyarakat. Bila dalam suatu kelompok masyarakat terlalu banyak
orang yang mempunyai ketergantunga terhadap orang lain, maka proses ‘pemandirian’
masyarakat tersebut dapat menjadi lebih lama dari waktu yang perkirakan.
d) Pengalaman keberhasilan terdahulu
Bila tindakan pertama yang dilakukan seseorang mendatangkan hasil yang
memuaskan ketika menghadapi suatu situasi tertentu, maka ia cenderung
mengulanginya pada saat yang lain (ketika menghadapi situasi yang sama)
e) Pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu
Faktor internal lain yang dapat menghambat partisipasi yang efektif adalah
kecenderungan untuk menghindari hal yang tidak menyenangkan di masa lalu. Mereka
merasa bahwa perubahan yang akan terjadi justru akan meningkatkan ‘kecemasan dan
ketakutan’ sehingga mereka menjadi pihak yang cenderung menolak pembaruan.
b. Hambatan internal komunitas yang berasal dari luar komunitas sasaran terdiri dari:
a) Faktor penguat perubahan (reinforcing factors)
Faktor penguat perubahan adalah sesuatu yang muncul sebelum perilaku itu terjadi
dan memfasilitasi motivasi tersebut agar dapat terwujud. Faktor penguat perubahan
terkait dengan covert dan overt behavior dari pihak yang terkait dengan komunitas
sasaran.
bersama, mengidentifikasikan landasan dasar yang sama dari berbagai pihak dalam
masyarakat dan membantu warga untuk bergerak ke arah pencapaian konsensus.
e) Fasilitasi kelompok. Keefektifan kerja dari pelaku perubahan sebagai pemberdaya
masyarakat sangat terkait dari keterampilannya untuk berinteraksi dengan
kelompok-kelompok kecil. Disinilah kemampuan memfasilitasi kelompok dari
agen pemberdaya masyarakat ‘ujian’ karena keanekaragaman masyarakat termasuk
juga dalam tuntutannya.
f) Pemanfaatan sumber daya dan keterampilan. Pelaku perubahan sebagai
pemberdaya masyarakat harus dapat mengindentifikasi dan memanfaatkan berbagai
keterampilan dan sumber daya yang ada di dalam komunitas maupun kelompok
g) Mengorganisasi. Keterampilan mengorganisasi membutuhkan kemampuan pelaku
perubahan untuk berpikir tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan; hal mana
yang tidak perlu dilakukan sendiri; dan memastikan bahwa semua itu mungkin
untuk diwujudkan.
h) Komunikasi personal. Seorang community worker harus mampu melakukan
komunikasi personal dengan dan pada berbagai pihak yang terkait dengan
komunitas sasarannya. Berbagai keterampilan seperti bagaimana memulai
pembicaraan, bagaimana menciptakan situasi dan pembicaraan yang menarik,
menyimpulkan hasil pembicaraan, dan berbagai keterampilan komunikasi
antarpribadi sangatlah diperlukan oleh seorang community worker agar dapat
memperlancar proses fasilitasi yang dilakukan. (Adi, 2013a, h. 217)
b. Peran dan keterampilan edukasional, yaitu berkaitan dengan tugas seorang community
worker yang harus memiliki masukan positif dan terarah di dalam komunitas, baik itu
hasil dari pengetahuan keterampilan maupun pengalamannya (Ife, 2013, h. 319). Peran
dan keterampilan edukasional terdiri dari empat peran khusus yaitu:
a) Membangkitkan kesadaran masyarakat. Upaya membangkitkan kesadaran
masyarakat (consciousness raising) berawal dari upaya menghubungkan antara
individu dengan struktur yang lebih makro (seperti struktur sosial dan politik). Hal
ini bertujuan untuk membantu individu melihat permasalahan, impian, aspirasi,
penderitaan maupun kekecewaan mereka dari perspektif sosial politik yang lebih
luas. Penyadaran masyarakat mempunyai dua komponen lainnya. Pertama,
membantu masyarakat untuk dapat melihat berbagai alternatif yang ada. Kedua,
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif.Pendekatan kualitatif adalah analisa sistemik tentang tindakan yang
bermakna secara sosial melalui observasi terperinci secara langsung terhadap orang-orang di
dalam setting alamiah untuk mencapai pemahaman dan interpretasi tentang bagaimana orang-
orang menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka (Neuman, 2006. h.157).
Penelitian dengan tema intervensi komunitas ini hendak menggambarkan bagaimana
pelaksanaan model intervensi komunitas yang dilakukan dalam implementasi program
layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin, peran dari pelaku perubahan
yang terlibat dan hambatan-hambatan dalam implementasi program tersebut. Sebagai
penelitian deskriptif, maka data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara,
catatan lapangan, foto, video tape, dokumen resmi (Moleong, 2010, h. 11).
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Ciwaringin, Kecamatan Ciwaringin,
Kabupaten Cirebon.Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan pemetaan, pertimbangan dan
kesepakatan bahwa Desa Ciwaringin memiliki potensi permasalahan remaja putus sekolah
terlantar yang belum terlayani oleh pemerintah setempat disamping memiliki potensi sumber
lokal yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Hal tersebut diperoleh melalui survey yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Cirebon bersama PSBR Bambu Apus yang meliputi
penilaian terhadap lokasi sasaran, calon penerima manfaat, dan calon instruktur yang akan
bertugas di lapangan.
Adapun teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan teknik purposive sampling. Sugiyono (2008, h. 54) menjelaskan bahwa dalam
teknik ini, setiap populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai
informan. Siapa yang akan diambil sebagai informan disesuaikan dengan pertimbangan dan
tujuan penelitian. Teknik purposive sampling yang digunakanberkaitan dengan informan yang
berasal dari masing-masing lembaga yang terlibat dalam implementasi program layanan luar
panti di desa Ciwaringin, yaitu PSBR Bambu Apus Jakarta dan Dinas Sosial Kabupaten
Cirebon. Dari PSBR Bambu Apus diperoleh informan Kepala Seksi Program dan Advokasi
Sosial dan Pekerja Sosial Fungsional. Sedangkan dari Dinas Sosial Kabupaten Cirebon
diperoleh informan Kepala Seksi Pengembangan Sosial.
Selain itu, teknik pemilihan informan dalam penelitian ini juga menggunakan teknik
snowball. Menurut Neuman (2006, h. 223) snowball adalah metode untuk mengidentifikasi
dan menyelidiki kasus yang berupa jaringan dengan menggunakan analogi sebuah bola salju
yang pertama-tama kecil, lalu kemudian membesar. Dalam penelitian ini, teknik snowball
digunakan untuk memperoleh informan dari unsur pendamping lokal dan penerima manfaat
program layanan luar panti di desa Ciwaringin.
Pada awalnya informasi bersumber dari Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial di
PSBR Bambu Apus selaku penanggungjawab program layanan luar panti. Informasi yang
diberikan mencakup ke dalam siapa saja pihak yang terlibat secara langsung dalam praktek
pelaksanaan program di lapangan yang terdiri dari unsur Dinas Sosial dan komunitas sasaran.
Dari unsur Dinas Sosial diperoleh informasi lebih mendalam mengenai siapa saja instruktur
yang dilibatkan dalam kegiatan di komunitas sasaran sehingga ditemukan kriteria masing-
masing instruktur selaku unit observasi. Selanjutnya dari keterangan salah satu instruktur
diperoleh informasi lebih mendalam mengenai penerima manfaat yang dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kriteria informan.
Berikut ini adalah beberapa informan sebagai unit observasi yang termasuk ke dalam
penelitian:
1. Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS) PSBR Bambu Apus. Informan
merupakan unsur dari pimpinan lembaga (panti) yang juga adalah pejabat struktural
yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam menggunakan anggaran DIPA
ke dalam realisasi program dan kegiatan yang berlangsung selama satu tahun anggaran
dan secara konseptual memahami latar belakang dan maksud pengembangan layanan
sosial terhadap remaja putus sekolah terlantar melalui program layanan luar panti.
2. Kepala Seksi Pengembangan Sosial Dinas Sosial Kabupaten Cirebon. Informan
merupakan unsur dari pimpinan lembaga yang saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi
Pengembangan dan Pemberdayaan Partisipasi Sosial Masyarakat. Selain memiliki
kewenangan dan tanggungjawab dalam mengatasi masalah remaja putus sekolah dan
terlantar, khususnya di Kabupaten Cirebon, informan juga memiliki kemampuan
dalam merencanakan, mengkoordinir dan mengevaluasi pelaksanaan program,
misalnya dalam hal penentuan lokasi sasaran, pendataan calon penerima manfaat
program yang sesuai, dan pengawasan jalannya program.
3. Petugas instruktur keterampilan. Informan merupakan merupakan anggota dari
komunitas lokal setempat; ditunjuk untuk membantu pelaksanaan program layanan
luar panti; memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cakap dalam membuat dan
mengembangkan batik khas Ciwaringin dan memiliki perhatian khusus terhadap
permasalahan sosial anak, termasuk remaja putus sekolah dan terlantar.
4. Pekerja sosial fungsional PSBR Bambu Apus. Informan merupakan merupakan
pekerja sosial yang telah bekerja di PSBR Bambu Apus minimal selama 5 tahun;
ditunjuk sebagai petugas dalam implementasi program layanan luar panti tahun 2014;
mempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial;
berpengalaman dalam melakukan pelayanan sosial tidak hanya terhadap klien individu
di dalam panti, melainkan juga cakap dalam melakukan intervensi sosial di
masyarakat.
5. Penerima manfaat program (beneficiaries). Informan merupakan merupakan remaja
putus sekolah (SD dan SMP); berasal dari keluarga miskin di desa Ciwaringin; berusia
15-18 tahun; telah lulus seleksi sebagai penerima manfaat (beneficiaries); mengikuti
seluruh tahap kegiatan mulai dari awal (sosialisasi dan seleksi) sampai dengan akhir
(penutupan).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Studi literatur
b. Dokumentasi
c. Wawancara mendalam. Rubin dan Rubin (dalam Rubin dan Babbie, 2008, h. 441-442)
menyatakan bahwa wawancara kualitatif merupakan sebuah desain yang fleksibel,
interaktif dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini digunakan jenis wawancara semi
terstruktur (semistructure interview). Jenis wawancara ini digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai ide-ide dasar serta pemahaman yang utuh di balik
sebuah kebijakan atau program. Selain itu, juga untuk memperoleh informasi
mengenai proses pemberdayaan masyarakat dalam program layanan luar panti,
pengalaman dan manfaat yang diperoleh beneficiaries, serta hambatan yang dirasakan
selama implementasi program
d. Observasi. Dalam penelitian ini menggunakan jenis observasi tidak terstruktur. Alston
dan Bowles (2003, h. 195) menjelaskan, dalam observasi jenis ini peneliti tidak
memiliki rancangan mendalam tentang perilaku dan kategorisasi tertentu dari unit
yang akan diobservasi. Dalam observasi tidak terstruktur, peneliti dipersilahkan untuk
menyelami lingkungan observasi yang bebas dari suatu pandangan sebelumnya
tentang situasi di dalam lingkungan tersebut. Dalam penelitian ini, observasi tidak
terstruktur yang dilakukan ialah dalam hal merekam sebuah kejadian, kesan-kesan,
atau dialog yang terkait dengan situasi penelitian.
teknis program di komunitas sasaran. Selain itu, pekerja sosial bersama Dinas Sosial dan
LSM lokal juga banyak terlibat pada tahapan awal kegiatan, misalnya pada kontak awal
melalui pemetaan wilayah dan survey lokasi kegiatan, hingga akhirnya dipilih dan ditentukan
jenis keterampilan membatik di desa Ciwaringin. Pengumpulan dan penganalisisan data
menggunakan tenaga dari luar komunitas semacam ini mencerminkan praktek dalam
perencanaan sosial.
Selain itu, karakteristik taktik dan teknik perubahan yang digunakan untuk mewujudkan
remaja putus sekolah terlantar yang mandiri di desa Ciwaringin melalui program pelayanan
luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta ialah dengan cara membentuk konsensus atau
kesepakatan bersama serta komunikasi antar kelompok kepentingan di masyarakat yang
terlibat dalam implementasi program. Misalnya kesepakatan dalam pemilihan batik tulis
sebagai jenis keterampilan yang akan dikembangkan dalam program layanan luar panti
ataspertimbangan mudah dilaksanakan dan biayanya murah.
Dari sisi peran praktisi yang menonjol pun, berdasarkan temuan lapangan dalam
implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta, maka peran yang
dominan dari para pelaku perubahan ialah sebagai expert (pakar) yang ditekankan pada
penemuan fakta di lapangan melalui pemetaan sosial, implementasi program dan bagaimana
relasi dengan berbagai macam birokrasi khususnya di dalam memecahkan masalah remaja
putus sekolah terlantar di desa Ciwaringin. Relasi dengan birokrasi di daerah, yakni antara
PSBR Bambu Apus dengan Dinas Sosial Kabuaten Cirebon dapat dilihat dalam kacamata
peran antar lembaga dalam tahap implementasi kegiatan layanan luar panti di komunitas
sasaran.
Sedangkan dari sisi batasan definisi dan konsepsi mengenai penerima manfaat layanan
(beneficiaries) dilihat berdasarkan kepada kesatuan fungsionalnya (kelompok tertentu),
dengan melibatkan struktur-struktur kekuasaan dari kesatuan geografisnya, yaitu remaja putus
sekolah terlantar yang ada di desa Ciwaringin. Batasan definisi penerima layanan yang lebih
terbatas kepada segmentasi remaja putus sekolah terlantar di desa Ciwaringin tersebut
dipertegas dengan adanya beberapa persyaratan yang menjadi kriteria bagi calon penerima
manfaat program. Pada tahap sosialisasi dan seleksi calon penerima manfaat ditemui fakta
seperti keluarga remaja putus sekolah terlantar di desa Ciwaringin sebagian besar adalah
TKW dan banyak anak remaja yang menjadi pekerja anak di beberapa perusahaan berskala
mikro dan sebagian besar beneficiaries yang lulus seleksi merupakan santri yang notebene
secara mental telah siap untuk mengikuti kegiatan layanan, namun masih perlu memperoleh
penguatan secara sosial. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh banyaknya pondok pesantren di
sekitar desa Ciwaringin. Sehingga dari sini batasan definisi dari putus sekolah ialah putus di
jenjang pendidikan secara formal sebagaimana telah disebutkan dalam persyaratan bagi calon
penerima manfaat program layanan luar panti yang berlaku
Selain itu dari tahap sosialisasi dan seleksi calon penerima manfaat layanan, diketahui
pula bahwa faktor yang mendorong beneficiaries tertarik untuk mengikuti program layanan
luar panti di desa Ciwaringin pada umumnya karena ingin menambah pengalaman baru dan
berharap bisa membuat batik sendiri. Khususnya mereka yang merupakan santri mengaku
ingin memperoleh pengalaman baru di samping mendalami ilmu agama Islam.Hal ini tidak
dapat dipungkiri mengingat pada usia remaja awal, salah satu minat mereka ialah terhadap
pekerjaan di mana pada periode ini anak laki-laki maupun perempuan mulai untuk
memikirkan secara lebih serius tentang masa depan mereka. Setelah mereka mengikuti
program layanan tersebut, baik beneficiaries yang dalam status menetap di pondok pesantren
maupun tinggal bersama orangtua atau kerabat merasakan manfaat yang sama, yaitu memiliki
bekal keterampilan membuat batik tulis lokal khas Ciwaringin disamping mendapat teman-
teman baru. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa penerima manfaat merupakan
konsumen dari suatu layanan (services) dimana mereka akan memanfaatkan program dan
layanan yang telah direncanakan.
Secara ringkas uraian mengenai model intevensi komunitas yang digunakan dalam
program layanan luar panti di desa Ciwaringin dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Model Intervensi Komunitas dalam Implementasi Program Layanan Luar Panti
di Desa Ciwaringin
Sebagai sebuah model intervensi komunitas, implementasi program layanan luar panti
PSBR Bambu Apus di desa Ciwaringin juga merupakan sebuah kegiatan pemberdayaan
masyarakat, khususnya terhadap remaja putus sekolah terlantar yang menjadi penerima
manfaat (beneficiaries). Akan tetapi dalam prakeknya, program pemberdayaan yang
dilakukan dapat dipandang sebatas pada suatu program. Sebagaimana dijelaskan oleh Sanders
bahwa sebagai suatu “program” maka metode pemberdayaan masyarakat dinyatakan sebagai
suatu gugus prosedur dan isinya dinyatakan sebagai suatu daftar kegiatan. Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa pada implementasi program layanan luar panti di desa Ciwaringin,
khususnya terkait dengan asumsi struktur komunitas dan batasan definisi penerima layanan
ialah terbatas kepada suatu isu yang spesifik dari permasalahan anak, yaitu remaja putus
sekolah terlantar.
Koordinasi dan kolaborasi antara PSBR Bambu Apus, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon,
serta tokoh masyarakat lokal yang menjadi pendamping lokal (instruktur keterampilan) mulai
dari tahap penjajakan awal hingga evaluasi dan tindak lanjut program hanya berfokus kepada
terlaksananya setiap tahapan kegiatan di komunitas sasaran dengan baik sesuai dengan
rencana program sehingga masih memerlukan tindak lanjut yang lebih nyata dalam
pengembangan layanan sejenis di komunitas sasaran. Sebagai sebuah model
kebijakan/perencanaan sosial, intervensi komunitas dalam program layanan luar panti oleh
PSBR Bambu Apus lebih berorientasi kepada terselesaikannya suatu tugas atau kegiatan (task
oriented) daripada proses pemberdayaan masyarakat itu sendiri (process oriented).
2. Peran Pelaku Perubahan dalam Implementasi Program Layanan Luar Panti oleh
PSBR Bambu Apus di Desa Ciwaringin
Secara umum dalam pelaksanannya di komunitas sasaran, peran yang dijalankan oleh
masing-masing pelaku perubahan dapat dibagi menjadi tiga yaitu sebagai broker yang
dilakukan oleh pekerja sosial, sebagai educator yang dijalankan oleh para instruktur
keterampilan dan sebagai expert yang dijalankan oleh PSBR sebagai suatu lembaga.
Peran sebagai penghubung atau brokerdapat dilihat misalnya pada tahap penjajakan awal
(meliputi penjelasan lokasi dan survey tempat pelaksanaan kegiatan di komunitas sasaran),
dimana melalui keterbukaan dan komunikasi yang baik, pekerja sosial berusaha untuk
melihat bagaimana konteks permasalahan remaja putus sekolah terlantar di Kabupaten
Cirebon dan mencari sumber potensi lokal di masyarakat yang dapat dikembangkan guna
mendukung tercapainya tujuan program layanan luar panti. Kemudian pada tahap
implementasi kegiatan layanan (bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan), pekerja sosial
juga menjadi penghubung antara penerima manfaat program dengan peluang-peluang yang
ada di masyarakat tersebut. Misalnya saja mencoba menghubungkan beneficiaries yang
memang memiliki bakat dan keterampilan membatik yang bagus dengan pengusaha batik
lokal seandainya kegiatan layanan luar panti di Ciwaringin telah berakhir.
Dalam intervensi komunitas peran educator mengharuskan seorang community worker
mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan jelas, serta mudah
ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran perubahan. Peran ini lebih banyak dijalankan
oleh petugas instruktur keterampilan pada tahapan implementasi kegiatan layanan luar panti
di mana mereka mendidik dan melatih para penerima manfaat tentang keterampilan membuat
batik tulis khas Ciwaringin. Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, para instruktur
tetap memberikan pelatihan membatik dari awal sampai dengan selesai sesuai dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki oleh beneficiaries, termasuk tentang bagaimana manajemen bisnis
juga perlu dipelajari oleh beneficiaries.
Dalam implementasi program layanan luar panti di desa Ciwaringin, peran sebagai expert
atau tenaga ahli ini muncul pada tahap evaluasi dan tindak lanjut program. Dalam
pembahasan evaluasi dan tindak lanjut dari program layanan luar panti oleh PSBR Bambu
Apus di desa Ciwaringin, posisi dan peran PSBR Bambu Apus ialah memberikan masukan
informasi kepada mitra kerja yaitu Dinas Sosial tentang beberapa hal yang harus dipersiapkan
sehingga mendorong mereka untuk dapat mengembangkan alternatif program selanjutnya
dalam upaya mengatasai masalah remaja putus sekolah terlantar.
Namun dalam kaitannya dengan praktek pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari
intervensi komunitas secara khusus, terdapat beberapa peran dan keterampilan yang dimiliki
oleh pelaku perubahan dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus di
desa Ciwaringin yaitu antara lain:
a. Membentuk Konsensus. Membentuk konsensus melibatkan penekanan terhadap tujuan
umum bersama, mengidentifikasikan landasan dasar yang sama dari berbagai pihak
dalam masyarakat dan membantu warga untuk bergerak ke arah pencapaian
konsensus. Dalam implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus
di Desa Ciwaringin, para Stakeholder (PSBR, Dinas Sosial dan petugas lokal) di
komunitas sasaran membentuk kesepakatan atau konsensus bersama. Misalnya pada
tahap penjajakan awal dimana setelah melalui survey dan pemetaan lokasi bersama,
PSBR Bambu Apus dan Dinas Sosial kemudian duduk bersama untuk melihat peluang
terbaik yang dapat diputuskan bersama dan membuat kesepakatan dengan pihak-pihak
lokal di komunitas sasaran, mulai dari memberikan rekomendasi jenis keterampilan
yang akan dikembangkan sampai dengan koordinasi dengan LSM dan tokoh
masyarakat di Ciwaringin yang bersedia mengambil peran dalam pelaksanaan kegiatan
layanan luar panti.
b. Fasilitasi kelompok. Hal ini terlihat dalam peran yang diambil oleh Dinas Sosial
Kabupaten Cirebon secara umum yakni sebagai fasilitator, di mana mereka membantu
atau memfasilitasi terselenggaranya program layanan luar panti di desa Ciwaringin
agar dapat berjalan dengan lancar
c. Pemanfaatan sumber daya dan keterampilan. Melalui keterbukaan dan komunikasi
yang baik, pekerja sosial berusaha untuk melihat bagaimana konteks permasalahan
remaja putus sekolah terlantar di Kabupaten Cirebon dan mencari sumber potensi
lokal di masyarakat yang dapat dikembangkan, yakni batik tulis Ciwaringin sebagai
bekal pelatihan keterampilan di dalam pelaksanaan program layanan luar panti PSBR
Bambu Apus.
d. Komunikasi personal. Peran ini terlihat pada tahap sosialisasi dan seleksi dimana
peran penting yang dilaksanakan ialah bagaimana kemampuan menyampaikan
informasi yang jelas kepada para Stakeholder dan calon penerima manfaat layanan
agar mereka memiliki persamaan persepsi tentang implementasi program layanan luar
panti tersebut. Selain itu juga teknik komunikasi yang baik menjadi faktor pendukung
tersampaikannya maksud dan tujuan dari program yang akan diselenggarakan di
komunitas sasaran. Komunikasi personal juga digunakan dalam tahap monitoring
layanan oleh pekerja sosial. Pekerja sosial memberikan motivasi agar beneficiaries
tetap memiliki semangat tinggi di dalam mengikuti kegiatan layanan hingga akhir
nanti. Semangat belajar ini yang kemudian dirasa akan menumbuhkan kreativitas dari
para penerima manfaat.
e. Pelatihan. Pelatihan pada dasarnya akan lebih efektif bila keterampilan yang diajarkan
adalah keterampilan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat. Pada tahap
implementasi kegiatan layanan di desa Ciwaringin, peran ini dilaksanakan oleh
instruktur keterampilan dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan membuat
batik tulis kepada para beneficiaries sebagai bekal keterampilan yang dipilih dalam
mewujudkan kemandirian remaja putus sekolah terlantar.
Kesimpulan
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa implementasi program layanan luar panti oleh
PSBR Bambu Apus di desa Ciwaringin merupakan pelaksanaan sebuah model
kebijakan/perencanaan sosial dari sebuah intevensi komunitas di dalam menangani masalah
remaja putus sekolah terlantar. Hal ini berdasarkan analisis terhadap beberapa variabel model
intervensi komunitas yang meliputi kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat; asumsi
mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahannya; strategi dasar dalam melakukan
perubahan; karakterisitik taktik dan teknik perubahan; peran praktisi yang menonjol; media
perubahan; orientasi terhadap struktur kekuasaan; batasan definisi penerima layanan
(beneficiaries); konsepsi mengenai penerima layanan (beneficiaries) dan konsepsi mengenai
peran penerima layanan (beneficiaries).
Sebagai sebuah model kebijakan/perencanaan sosial, maka upaya pemberdayaan
masyarakat dalam implementasi program layanan luar panti di desa Ciwaringin ini hanya
berorientasi kepada suatu program, artinya lebih mengedepankan kepada terlaksananya suatu
tugas atau selesainya tahapan kegiatan yang telah direncanakan daripada mengutamakan
sebuah proses pemberdayaan masyarakat seutuhnya. Hal ini terlihat dari bagaimana relasi
organisasi antara PSBR Bambu Apus, Dinas Sosial Kabupaten Cirebon, tokoh masyarakat
lokal yang menjadi pendamping lokal (instruktur keterampilan) mulai dari tahap penjajakan
awal hingga evaluasi dan tindak lanjut program di mana hanya berfokus kepada terlaksananya
setiap tahapan kegiatan di komunitas sasaran. Sehingga kurang adanya komitmen yang kuat
dari para pelaku perubahan di dalam mendukung terlaksananya program di komunitas
sasaran. Dari sisi penerima manfaat yang mengikuti kegiatan bimbingan pun hanya bertindak
sebagai pengguna layanan dari manfaat program yang sudah direncanakan.
Peran dari para pelaku perubahan dalam implementasi program layanan luar panti yang
dimulai dari tahap penjajakan awal sampai dengan evaluasi program antara lain adalah
membentuk konsensus, fasilitasi kelompok, pemanfaatan sumber daya dan keterampilan,
komunikasi personal serta pelatihan. Bagi PSBR Bambu Apus, pekerja sosial sebagai salah
satu pelaku perubahan lebih banyak berperan sebagai penghubung (broker), yakni pada tahap
penjajakan awal yang meliputi pemetaan informasi dan survey lokasi pelaksanaan kegiatan
dan tahap implementasi bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan kepada beneficiaries.
Pada tahap evaluasi dan tindak lanjut program, PSBR berperan sebagai tenaga ahli (expert)
yang memberikan masukan dan saran kepada Dinas Sosial selaku mitra kerja dalam
implementasi program layanan luar panti. Sedangkan instruktur keterampilan yang mendidik
dan melatih para beneficiaries tentang proses pembuatan batik merupakan cerminan dari
peran sebagai pendidik (educator) dari pelaku perubahan.
Sementara itu, kurangnya dukungan terhadap fungsi penguatan keluarga penerima
manfaat, kegiatan yang lebih terfokus kepada pemberian bimbingan keterampilan, minimnya
keterlibatan pekerja sosial dalam pelaksanaan program, waktu dan fasilitas kegiatan yang
dirasa kurang oleh penerima manfaat serta adanya bentuk penolakan awal terhadap kehadiran
petugas menjadi hambatan dalam implementasi program yang bersumber dari eksternal
komunitas. Sedangkan hambatan yang bersumber dari internal komunitas meliputi munculnya
persepsi dari pendamping lokal terhadap beneficiaries yang dinilai belum cukup matang
dalam belajar membuat batik, adanya rasa tidak percaya diri dari tenaga pendamping lokal
dalam memberikan motivasi bimbingan keterampilan, adanya pengalaman keberhasilan
terdahulu dari pendamping lokal dalam komunitas sasaran serta masih adanya ketergantungan
beneficiaries terhadap orang lain.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran bagi
perbaikan implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus Jakarta yang
lebih baik, secara strategis maupun praktis yang perlu dipertimbangkan. Beberapa saran
tersebut antara lain yaitu:
a. Saran bagi perbaikan dalam tatanan strategis program yang meliputi:
• Dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus Jakarta di
desa Ciwaringin tercatat bahwa upaya penanganan terhadap masalah remaja
putus sekolah terlantar di Kabupaten Cirebon pada umumnya masih
tersegmentasi. Sehingga untuk menindaklanjuti hal ini, maka PSBR Bambu
Apus perlu mengembangkan jaringan kerja sama dengan Dinas Pendidikan
setempat guna mendukung telaksananya program layanan luar panti, baik
dukungan dalam bentuk data maupun sinergitas kegiatan yang dapat dilakukan
bersama di daerah.
• Relasi organisasi khususnya antara PSBR Bambu Apus Jakarta dengan Dinas
Sosial yang cenderung berorientasi terhadap terealisasinya semata program di
komunitas sasaran memang merupakan ciri dari model intervensi komunitas
sebagai sebuah kebijakan/perencanaan sosial. Namun diharapkan ke depannya
PSBR Bambu Apus harus dapat memiliki gambaran komunitas sasaran
khususnya terhadap remaja putus sekolah terlantar di awal kegiatan selain
berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh Dinas Sosial selaku mitra kerja
di daerah. Sehingga memperoleh gambaran permasalahan dan calon penerima
manfaat yang sesuai dengan tujuan program.
• Dalam implementasi program layanan luar panti oleh PSBR Bambu Apus
Jakarta di desa Ciwaringin tercatat bahwa kurang adanya komitmen yang kuat
dari perencanaan program yang tela dilakukan bersama dengan Dinas Sosial di
Kabupaten Cirebon dengan perangkat sumber daya lokal di komunitas sasaran.
Oleh sebab itu PSBR Bambu Apus Jakarta bersama Dinas Sosial Kabupaten
Cirebon perlu membuat komitmen bersama terhadap keberlanjutan program di
masa yang akan datang. Komitmen secara tertulis perihal keberlanjutan
program terhadap purna penerima manfaat, baik dalam hal tanggung jawab
maupun dukungan pelaksanaan kegiatan sangat diperlukan.
b. Saran bagi perbaikan dalam tatanan praktis di komunitas sasaran yang meliputi:
• Dalam praktek intervensi komunitas program layanan luar panti PSBR Bambu
Apus Jakarta di desa Ciwaringin yang cenderung kepada pendekatan
kebijakan/perencanaan sosial, maka peran pekerja sosial sebagai pelaku
perubahan di komunitas sasaran menjadi terbatas. Oleh sebab itu, sebagai
sebuah upaya penanganan masalah remaja putus sekolah terlantar berbasis
masyarakat, maka perlu melibatkan peran pekerja sosial dalam lingkup praktek
yang lebih luas. sehingga seorang pekerja sosial memiliki gambaran yang utuh
terhadap profil, permasalahan sekaligus perubahan yang dicapai oleh penerima
manfaat di komunitas sasaran secara berkesinambungan.
• Dalam implementasi program layanan luar panti PSBR Bambu Apus di desa
Ciwaringin, kegiatan lebih terfokus kepada pemberian bimbingan keterampilan
tanpa ada dukungan kegiatan terhadap penguatan fungsi keluarga penerima
manfaat. Sehingga diharapkan untuk masa yang akan datang, meskipun waktu
pelaksanaan kegiatan di komunitas sasaran itu terbatas, namun dengan perlu
adanya penguatan terhadap fungsi keluarga sehingga dukungan terhadap
kemandirian beneficiaries tetap dapat berjalan di tengah keluarga mereka
Daftar Referensi
Adi, I.R. (2013a). Intervensi komunitas dan pengembangan masyarakat sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat. (edisi revisi 2012). Jakarta: Rajawali Pers
Adi, I.R. (2013b). Kesejahteraan sosial (pekerjaan sosial, pembangunan sosial dan kajian
pembangunan). Jakarta: Rajawali Pers
Alston, M., dan Bowles, W. (2003). Research for social workers: An introduction to
methods. 2nd edition. London: Routledge
Badan Pusat Statistik RI. (2013). Indikator kesejahteraan rakyat 2013. Jakarta: Badan Pusat
Statistik (BPS)
Bloom, D., dan Haskins, R. (2010). Helping high school dropouts improve their prospects
diakses pada 9 Oktober 2014
http://futureofchildren.org/futureofchildren/publications/docs/20_01_PolicyBrief.pdf
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. (2006). Pedoman umum tanggungjawab negara dalam
pelayanan sosial anak terlantar. Jakarta: Kementerian Sosial RI
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. (2008a). Standar pelayanan sosial anak terlantar
berbasiskan keluarga dan masyarakat. Jakarta: Kementerian Sosial RI
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. (2008b). Standar pelayanan sosial panti sosial bina
remaja (PSBR). Jakarta: Kementerian Sosial RI
Huruswati, I. (2012). Panti sosial bina remaja naibonat: Tantangan pendidikan masa depan
dalam Jurnal Sosiokonsepsia. Vol 17. No. 03 (Desember), h. 336-356
Ife, J. (2006). Community development. 3rd edition. Sydney: Pearson Education Australia Pty
Ltd
Ife, J. (2013). Community development in an uncertainty world. Cambridge: Cambridge
University Press
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2012). Profil anak
indonesia 2012 diakses pada 10 Oktober 2014.
www.kemenpppa.go.id/v3/index.../profil-anak?...510%3Aprofilanak2012
Kenny, S. (2007). Developing communities for the future. 3rd edition. Melbourne: Thomson
Moleong, L.J. (2010). Metode penelitian kualitatif. (Edisi Revisi, Cetakan ke- 27). Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nasdian, F.T. (2014). Pengembangan masyarakat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Neuman, L.W. (2006). Social research methods:Qualitative and quantitative approches. 6th
edition. India : Pearson Education Company
Rencana Strategis Kementerian Sosial RI Tahun 2010-2014
Rubin, A., dan Babbie, E.R. (2008). Research methods for social work. 6th edition. Belmont :
Thomson Brooks/Cole
Sugiyono. (2008). Memahami penelitian kualitatif. Cetakan keempat. Bandung: Alfabeta.
Tropman, J.E., Erlich, J.L., dan Jack Rothman. (2001). Tactics and techniques of community
intervention. 4th edition. Belmont, CA: Brooks/Cole - Thomson Learning
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
USAID. (2015). Relevansi pendidikan untuk remaja. Diakses pada 6 Februari 2015.
http://www.prioritaspendidikan.org/id/media/view/gfile/cat/relevansi-pendidikan-
untuk-remaja
Zastrow, C. (2006). Social work with group: A comprehensive workbook. 6th edtion. Belmont:
Thomson Brooks/Cole