Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MANAJEMN GEJALA DAN KELUHAN FISIK PASIEN PALIATIF

Dosen Pengajar : Hj. Umi Kalsum, M.Kes

Kelompok 3 :

1. Theresia Creysela AN P07220220077


P07220220075 8. Rina Safitri
2. Vitha kumala P07220220068
P07220220078 9. Rosari ardinata elenari
3. Rizka Febriani Adha P07220220070
P07220220069 10. Tiara
4. Selvia Mayrani P07220220076
P07220220073 11. Sasmita Maharani
5. Yolanda Pasyha Wulandari P07220220071
P07220220079 12. savira vera fairish farikhayu
6. Yuli Rovina Nur Hamidah P07220220072
P07220220080 13. Theresia Romauli Nainggolan
7. Tri Kusmi Rahayu P07220220074

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUB AKADEMIK 2020/2020

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat dan bimbingan-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini
merupakan tugas mata pelajaran Keperawatan Medical Bedah I dengan judul materi
“Managemen Gejala Dan Keluhan Fisik Pasien Paliatif”.

Terimakasih kami ucapkan kepada dosen yang telah membantu kami baik secara
moral maupun materi. Terimakasih juga kami ucapkan kepada teman teman seperjuangan
yang yang telah mendukung kami sehingga kami meyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, Bahasa, maupun penulisan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar kami bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah kami ini bisa menambah wawasan para pembaca dan informasi mengenai
managemen gejala dan keluhan fisik pasienn paliatif.

Samarinda,10 Agustus 2021

Kelompok 3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan dibidang kesehatan merupakan salah satu pelayanan yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan dan ikut menentukan mutu dari pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2015).
Keperawatan sebagai suatu profesi menekankan pada bentuk pelayanan profesional yang
sesuai dengan standar etik dan moral sehingga pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh
masyarakat dengan baik.

Keperawatan merupakan upaya pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic


dan profesional. Pelayanan keperawatan diberikan secara komprehensif, mencakup seluruh
aspek bio-psiko-sosio-spiritual, memberikan pelayanan pada seluruh tingkat usia baik yang
sehat maupun yang sakit, pasien dengan penyakit akut sampai kronis dan terminal. Salah satu
bentuk dari pelayanan keperawatan adalah perawatan paliatif (Widyawati, 2012).

Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien yang terminal
yangdapat dilakukan secara sederhana sering kali prioritas utama adalah kualitas hidup dan
bukankesembuhan dari penyakit pasien. Tujuan perawatan paliatif adalah meningkatkan
kualitashidup dan menganggap kematian sebagai prose normal, tidak mempercepat atau
menundakeamatian, menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu, menjaga
keseimbangan psikologis dan spiritual, mengusahakan agar penderita tetap aktif sapai akhir
hayatnya dan danmengusahakanmembantu mengatasi duka cita pada keluarga. Namun masih
jarangterdapat perawatan paliatif dirumah sakit berfokus kepada kuratif,. Sedangkan
perubahan pada fisiksocial dan spiritual tidak bisa intervensi Reaksi emosional tersebut ada
lima yaitu denail,anger, bergaining, depression dan acceptance(Kubler-Ross,2003).Undang-
undang Kesehatan No. 36/2009 menyapaikan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik
secara fisik, mentalspiritual maupun sosial dan ekonomis. Sakit adalah gangguan
keseimbangan status kesehatan baik secara fisik, mental, intelektual, sosial dan spiritual
(Kozier, 2010). Prevalensi penyakittidak menular di Indonesia seperti tumor merupakan
penyakit urutan keempat (4,3 per mil),sedangkan tumor ganas yang merupakan penyebab
kematian semua tumor. Sebagian dari penderita penyakit tumor ganas akan masuk pada
stadium lanjut diamana pasien tidak lagimerespon terhadap tindakan kuratif (Riset Kesehatan
Dasar, 2009).
Perawat sebagai pemberi perawatan paliatif memiliki peranan penting, menurut ANA
(2016) perawat bertanggung jawab untuk mengenali gejalagejala pasien, mengambil tindakan,
memberikan obat-obatan, menyediakan langkah-langkah lain untuk mengurangi gejala, dan
berkolaborasi dengan profesional lain untuk mengoptimalkan kenyamanan pasien dan
keluarga (ANA, 2016). Sedangkan menurut Kementrian Kesehatan RI, peran perawat dalam
melakukan perawatan paliatif adalah penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik
lain, melakukan asuhan keperawatan, memberikan dukungan psikologis, sosial, kultural dan
spiritual serta memberikan dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement)
( Kepmenkes RI, 2007).

B.Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan managemen nyeri dan bagaimana Penggunaan analgesia
menurut WHO dan terapi analgesia menurut WHO ?
2. Apa yang di maksud dengan managemen non nyeri dan bagaimana managemennya pada
keadaan seperti dyspnea, anoreksia dan kaheksia, mual dan muntah, konstipasi, asites,
dehidrasi, diaredan fatique (kelelahan) ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pembelajaran di harapkan mahasiswa dapat mengetahui managemen
gejala dan keluhan fisik pasienn paliatif.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui mengenai managemen nyeri dan bagaimana Penggunaan analgesia


menurut WHO dan terapi analgesia menurut WHO.
b. Untuk mengetahui mengenai managemen non nyeri dan bagaimana managemennya
pada keadaan seperti dyspnea, anoreksia dan kaheksia, mual dan muntah, konstipasi,
asites, dehidrasi, diaredan fatique (kelelahan).
D. Manfaat

1. Manfaat teoritis
a. Memberikan informasi mengenai managemen gejala dan keluhan fisik pasienn paliatif.
b. Sebeagai referensi
2. Manfaat praktis
a. Bagi penulis
Dapat menamba wawasan serta pengetahuan mengenai managemen gejala dan keluhan
fisik pasienn paliatif
b. Bagi Dosen
Untuk menilai kerja mahasiswa dalam penyusunan makalah tentang materi
managemen gejala dan keluhan fisik pasienn paliatif
c. Bagi pembaca
Dapat mengetahui tentang managemen gejala dan keluhan fisik pasienn paliatif.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyelesaian penyusunan masalah ini ,maka penulis menyusun


sistematika penulisan sebagai berikut :
1. Bab I Pendahuluan ,berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan , manfaat dan
sistematika penulisan
2. Bab II Pembahasan. berisi pembahsan rumusan masalah
3. Bab III Penutup, berisi kesimpulan dan saran pembahasan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Managemen Nyeri

1. Pengertian Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri adalah mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau


emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional secara mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan. Manajemen nyeri bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri yang sampai mengganggu aktivitas penderita.
Manajemen nyeri akan diberikan ketika seorang merasakan sakit yang signifikan atau
berkepanjangan. Tujuan adanya manajemen nyeri antara lain: mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan, meningkatkan fungsi bagian tubuh yang sakit dan meningkatkan kualitas hidup.

2. Prosedur manajemen nyeri

Prosedur sebelum dilakukan manajemen nyeri adalah:


 Evaluasi
 Tes diagnostik untuk menentukan penyebab utama nyeri
 Rujukan untuk operasi (bergantung pada hasil tes dan evaluasi)
 Intervensi seperti pemberian suntik atau stimulasi saraf tulang belakang
 Terapi fisik untuk meningkatkan kekuatan tubuh
 Jika diperlukan, ada psikiater untuk mengatasi masalah kecemasan, depresi, atau keluhan
mental lain yang dialami saat menderita nyeri kronis
 Pengobatan komplementer

Ada beberapa kategori yang bisa diringankan dengan manajemen nyeri seperti:
1) Nyeri akut
Merupakan nyeri yang terjadi tiba-tiba dan hanya berlangsung sebentar dan sesekali.
Biasanya, nyeri akut terjadi karena patah tulang, kecelakaan, terjatuh, luka bakar, persalinan,
dan operasi.
2) Nyeri kronis
Jenis nyeri yang terjadi selama lebih dari 6 bulan dan dirasakan hampir setiap hari.
Biasanya, nyeri kronis diawali dengan nyeri akut namun tidak hilang meskipun cedera atau
penyakit telah sembuh. Biasanya, nyeri kronis terjadi karena nyeri tulang belakang, kanker,
diabetes, sakit kepala, atau masalah pada sirkulasi darah.
3) Nyeri yang terjadi tiba-tiba (breakthrough pain)
Breakthrough pain yaitu jenis nyeri dengan rasa ditusuk-tusuk yang terjadi dengan
cepat. Nyeri ini terjadi pada seseorang yang sudah mengonsumsi obat untuk mengatasi nyeri
kronis akibat kanker atau arthritis. Breakthrough pain bisa terjadi saat seseorang melakukan
aktivitas sosial, batuk, atau stres. Lokasi terjadinya nyeri kerap terjadi di titik yang sama.
4) Nyeri tulang
Ciri-cirinya adalah rasa nyeri dan ngilu di satu tulang atau lebih dan muncul saat
berolahraga atau beristirahat. Pemicunya bisa karena kanker, patah tulang, hingga
osteoporosis.
5) Nyeri saraf
Merupakan jenis nyeri yang terjadi karena ada peradangan saraf. Sensasinya seperti
ditusuk-tusuk dan terbakar. Bahkan beberapa penderitanya yang menjelaskan sensasinya
seperti tersetrum dan jadi kian parah di malam hari.
6) Nyeri seperti ditusuk, kram, atau terbakar (phantom pain)
Phantom pain terasa seperti datang dari bagian tubuh yang tidak lagi ada di tempatnya.
Biasanya, orang yang menjalani amputasi kerap merasakannya. Phantom pain bisa mereda
seiring dengan berjalannya waktu.
7) Nyeri jaringan lunak
Nyeri ini terjadi karena ada peradangan jaringan, otot, atau ligamen. Biasanya
berhubungan dengan cedera saat olahraga, nyeri tulang belakang, hingga masalah saraf
sciatica.
8) Nyeri alih pada bagian tubuh tertentu
Nyeri alih terasa seperti datang dari titik tertentu namun sebenarnya merupakan dampak
dari cedera atau peradangan di organ lain atau lokasi lain. Misalnya masalah di pankreas
akan menyebabkan rasa nyeri di perut bagian atas hingga punggung.

B. Pertimbangan Penggunaan Analgesia Menurut WHO

Analgetik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetik dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan
opioid dan non-opioid.
1) Golongan Analgetik
a. Analgetik golongan opioid
Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Saat ini analgetik opioid adalah
analgetik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-
berat sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri
pascaoperasi, dan nyeri terkait kanker. Contoh jenis analgetik golongan opioid seperti
kodein, morfin, methadone, oksikodon, dan hidrokodon.
b. Analgetik golongan non-opioid
Analgetik golongan non-opioid merupakan golongan obat yang bekerja di sistem
saraf perifer untuk menghasilkan efek analgesia. Golongan non-opioid sangat efektif dalam
mengatasi nyeri akut derajat ringan, dan penyakit radang kronik seperti artritis. Contoh jenis
analgetik non-opioid seperti Asetaminofen, obat-obat golongan OAINS (obat anti-inflamasi
nonsteroid) seperti Ibuprofen, Aspirin, Naproxen, Diklofenak, Asam mefenamat dan
Piroksikam.
2) Analgetik Dalam Manajemen Nyeri
Pada tahun 1986 WHO mempublikasikan petunjuk dalam memberikan analgetik
pada pasien nyeri kanker yang berisi tentang konsep tangga analgetik (tangga analgetik
berjenjang tiga). Tangga analgetik ini telah digunakan di negara maju dan negara
berkembang dengan keberhasilan terapi mencapai 80% (Levy, 1996). Sesuai dengan
ketetapan WHO, prinsip penggunaan analgetik memiliki tiga langkah, yaitu: 15
1) Tahap pertama dalam manajemen nyeri adalah menggunakan analgetik non-
opioid. contoh: aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS atau NSAID)
dan paracetamol. Obat ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau
bertambah maka naik ke tahap berikutnya.
2) Jika nyeri masih dirasakan setelah menggunakan analgetik non opioid, maka
pada penatalaksaan ditambahkan opioid lemah. contoh: codeine. Obat
nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan. Bila nyeri masih menetap atau
bertambah maka naik ke tahap berikutnya. Obat yang umum diberikan di
tahap 2 ini adalah codeine atau tramadol, baik yang dikombinasikan dengan
paracatemol atau tidak.
3) Tahap terakhir jika nyeri yang dirasakan belum ada perbaikan adalah memberi
analgetik opioid kuat. Contoh: morfin, methadone, patch buprenorphine,
fentanyl sistem transdermal. Obat nonopioid dan/atau ajuvan dapat diberikan
Obat penunjang harus diberikan pada indikasi spesifik. Obat penunjang (adjuvan)
yang digunakan adalah antiemetic, laksansia, kortikosteroid, antidepresan trisiklik,
antikonvulsan dan antipsikotik (WHO, 1996)

Pemberian obat analgetik sesuai dengan anak tangga WHO ataupun langsung
diberikan morfin pada sebuah studi acak dengan 2 kelompok ditemukan efek penurunan
nyeri dan peningkatan kualitas hidup yang tidak berbeda bermakna antar dua kelompok
ini. Kejadian efek samping (seperti mual, muntah dan konstipasi) timbul lebih banyak
pada kelompok yang langsung mendapatkan morfin. Tingkat kepuasan lebih tinggi pada
kelompok yang langsung diberikan morfin, namun tidak berbeda bermakna dengan
kelompok yang mengikuti anak tangga WHO.
Pemberian obat-obatan tambahan atau ajuvan dapat diberikan sesuai dengan
indikasi klinis. Walau demikian, terdapat beberapa modifikasi untuk prinsip WHO ini.
Pertama, tidak semua kasus harus memulai dari anak tangga pertama.
Pertimbangan untuk menentukan anak tangga mana yang dipilih harus didasarkan pada
hasil evaluasi nyeri pasien.
Kedua, terdapat kontroversi pilihan obat untuk tahap 2, antara opioid lemah
dengan morfin dosis rendah. Studi menunjukkan morfin lebih efektif untuk mengatasi
nyeri dengan efek samping yang sebanding dengan opioid lemah. Walau demikian,
pertimbangan untuk memilih obat tahap 2 ini juga harus didasarkan pada preferensi
pasien karena dapat berdampak pada penggunaan yang tidak efektif dan tidak sesuai
dosis terapeutik.

C. Terapi penggunaan analgesik menurut WHO


Sejak tahun 1980-an WHO merekomendasikan penanganan nyeri kronis, khususnya kanker,
adalah secara bertahap seperti menaiki anak tangga. Obat sebaiknya diberikan melalui rute per
oral dan bila tidak memungkinkan maka dapat diberikan per rektal atau intravena. Obat diberikan
sesuai dengan waktunya dengan atau tanpa timbulnya gejala nyeri. WHO telah menyusun suatu
program penggunaan analgesic untuk nyeri hebat, seperti pada kanker, yang menggolongkan
obat dalam 3 kelas yakni:
a) Analgesic Non opioid

 Parasetamol
Parasetamol dapat digunakan sebagai analgesia besama-sama dengan obat
analgesik lainnya. Mekanisme kerja parasetamol secara pasti belum diketahui
tetapi efek analgesik diperkirakan melalu penghambatan sintesis prostaglandin.
Efek antipiretiknya dapat dipertimbangkan sebagai manfaat. Formulasi intravena
sekarang ini sudah digunakan sebagai terapi jangka pendek untuk nyeri termasuk
nyeri postoperatif.
 Non Steroidal Anti Inflammation Drugs (NSAID)
NSAID menghambat enzim cyclo-oxygenase sehingga menghambat
pembentukan prostaglandin, prostacyclin, dan tromboxane. NSAID kovensional
(ibuprofen, diclofenac, indomethacin, ketorolac) menghambat enzim COX-1 dan
COX-2. COX-1 berperan di dalam sintesis prostaglandin yang bersifat protektif
(mukosa lambung, ginjal, platlet), sedangkan COX-2 berperan di dalam respon
inflamasi. Penghambatan sintesis prostaglandin PGE2 dan PGI2 menimbulkan
efek samping pada gastrointestinal dan gangguan pada ginjal karena prostaglandin
ini berperan sebagai gastroprotektan dan vasodilator pada ginjal. Penghambatan
dapat mengurangi renal blood flow dan menyebabkan gagal ginjal. NSAID yang
bekerja secara selektif pada COX-2 (celecoxib, meloxicam, dan paracoxib) lebih
aman untuk gasrointestinal, fungsi ginjal dan platelet. Namun akhir-akhir ini
penggunaan COX-2 selektif NSAID dihindari pada pasien dengan resiko
kardiovaskuler. NSAID sering dikombinasikan dengan opoid untuk mengurangi
efek samping yang berkaitan dengan dosis masing-masing obat tersebut. NSAID
kadang-kadang diberikan bersama-sama dengan H2 antagonis atau proton pump
inhibitor sebagai gastroprotektan pada perioperatif.

b) Opioid lemah

Kira-kira 10% dari agonis lemah reseptor miu yaitu kodein (3-metil morphine)
dimetabolisme menjadi morfin. Tidak seperti morfin, obat ini hanya sedikit menyebabkan
euphoria dan kurang poten dibandingkan dengan morfin oral. Dihydrocodein merupakan
derivat sintetik dari kodein yang sedikit lebih poten daripada kodein. Tramadol
merupakan opioid sintetik yang memiliki efek samping opiat yang lebih ringan tetapi
berkaitan dengan halusinasi dan kejang sehingga harus dihindari penggunaannya pada
pasien dengan riwayat epilepsi. Tramadol sedikit lebih poten daripada kodein.

c) Opioid kuat

Morfin merupakan agonis murni reseptor opioid. Morfin merupakan standar tolak ukur
potensi opioid yang lain. Morfin dapat diadministrasikan secara subkutan, intramuskuler,
intravena, atau epidural. Nmun pemberian secara iv lebih disukai karena onsetnya lebih
cepat, kadar dalam darah lebih mudah diprediksi, dan administrasinya lebih mudah.
Morfin oral memiliki biavailabiltas yang buruk karena metabolisme yang ekstensif di
hepar. Diamorphin, derivat dietil dari morphin, memilki kelarutan yang lebih tinggi
terhadap lemak daripada morfin tetapi juga masih memiliki kelarutan yang tinggi
terhadap air, membuat obat ini diadministrasikan dalam volume yang kecil. Diamorphin
subkutan tiga kali lebih poten dari pada morphin oral. Namun durasi kerjanya lebih
singkat daripada morphine.Oxycodone dua kali lebih poten dari pada morfin. Obat ini
memiliki lebih sedikit efek halusinasi dan biasanya digunakan untuk pasien yang tidak
toleran dengan efek samping morfin. Pethidine merupakan opioid sintetik dengan durasi
kerja yang lebih singkat daripada morfin. Obat ini memiliki efek euforia yang sama
dengan morfin. Fentanyl juga opioid sintetik sama seperti pethidine. Obat ini sangat
poten dengan efek yang sama dengan morfin.
Obat ini memiliki kelarutan terhadap lemak yang tinggi dan dapat diadministrasikan
secara intravena, transdermal, dan bukal (aqtiq lozenges). Fentanyl, alfentanyl, dan
remifantanyl, adalah alternatif yang sesuai untuk morfin jika membutuhkan obat dengan
onset cepat tetapi durasi kerjanya singkat. 3,4,5 Methadone memiliki bioavailabilitas oral
yang bagus dengan waktu paruh lebih dari 24 jam. Obat ini digunakan untuk menghindari
efek withdrawal dari pasien yeng memiliki ketergantungan dengan morfin.

Terapi Adjuvan

Terapi adjuvan yang dimaksud disini adalah obat-obat yang digunakan secara
kombinasi dengan opioid sehingga dapat mengurangi dosis opioid untuk nyeri
postoperatif. NMDA antagonis (ketamin, dextromethorphan) memiliki efek samping
psikomimetik pada dosis yang tinggi tetapi pada dosis yang moderat dapat digunakan
untuk mengurangi dosis apioid untuk kontrol nyeri yang lebih baik. Alpha-2 adrenergik
agonis (clonidine, dexmedetomidine) dapat menyebabkan sedasi, hipotensi, dan
bradikardi pada dosis moderat. Namun pada dosis rendah juga dapat menghemat dosis
opioid terutama pada administrasi spinal. Antikonvulsan (gabapentin, pregabalin)
memiliki potensi yang lemah untuk nyeri akut, tetapi kombinasi dengan opioid, dapat
mngurangi dosis opioid dan meningkatkan analgesia. Sedangkan kortikosteroid
(dexamethasone) memiliki peran yang terbatas sebagai adjuvan.

C. Pengertian Manajemen Non Nyeri


Pengertian manajemen nyeri non farmakologi adalah upaya mengelola sakit atau nyeri
yang dirasakan tanpa menggunakan obat-obatan yang biasanya menggunakan pengobatan
alternatif.
Manajemen nyeri non farmakologi merupakan strategi penyembuhan nyeri tanpa
menggunakan obat-obatan tetapi lebih kepada perilaku caring. Untuk itu, tenaga medis yang
dominan berperan adalah para perawat karena bersentuhan langsung dengan tugas
keperawatan. Dalam kenyataannya managemen nyeri non farmakologi bukanlah menjadi
pekerjaan yang mudah bagi para perawat. Hal ini terutama berkaitan dengan persepsi yang
berbeda dari para pasien tentang nyeri yang sedang dialaminya.
Perbedaan inilah yang cenderung menyulitkan perawat untuk mendiagnosa dan
menangani rasa nyeri dari pasien. Oleh karena itu, salah satu hal yang perlu bagi perawat
dalam menangani rasa nyeri pasien adalah mengembangkan kompetensi dan pemahaman
yang terus menerus tentang management nyeri non farmakologi. Terdapat beberapa jenis
mangemen non farmakologis antara lain: teknik relaksasi, distraksi masase, terapi es dan
panas, stimulasi saraf elektris transkutan, hipnosis, guided imagery dan musik.
Tujuan manajemen nyeri Non Farmakologi :
1. Menangani nyeri akut atau kronis
2. Memberikan rasa nyaman
3. Mengurangi ketergantungan pasien pada obat-obatan penghilang rasa sakit.

D. Dypsnea

1.DEFINISI
Dyspnea atau sesak nafas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan aktivitas
fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat bersifat akut atau kronis.
Sesak napas dikenal juga dengan istilah “Shortness Of Breath”. Dyspnea atau sesak nafas di
bedakan menjadi 2 yaitu :
a. Dyspnea akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab umum kunjungan ke ruang
gawat darurat. Penyebab dyspnea akut diantaranya penyakit pernapasan (paru-paru dan
pernapasan), penyakit jantung atau trauma dada.
b. Dyspnea kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru, tumor, kelainan pita suara.
2. ETIOLOGI
Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi
meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada pertukaran gas antara O2 dan CO2
sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada
orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang
dalam keadaan patologis pada saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga
jika terjadi peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan juga
dapat menebab kan dispnea. Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurnan
terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru maka
makinbesar gradien tekanan transmural yang harusdibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan
pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah
satu nya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau
iritan yang sama.

3.PATOFISIOLOGI
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh
reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia.Unit fungsional dasar dari hepar
disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri.Sering dengan
berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu.Gangguan terhadap
suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel
hepar.Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon
sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat.Oleh karenanya, sebagian besar
klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal. Inflamasi pada hepar
karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati
yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini
dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati. Timbulnya ikterus karena
kerusakan sel parenkim hati.Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi
masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu
intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati.Selain itu
juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi.Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan
melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi
pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang
sudah mengalami konjugasi(bilirubin direk).Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan
karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin. Tinja mengandung
sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis).Karena bilirubin konjugasi larut
dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine
dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan
garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.

4. MANIFESTASI KLINIK
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas yang pendek dan
penggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular,
emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit obstruktif
paru (emfisema, bronkitis, asma), kecemasan (Price dan Wilson, 2006). Parenkim paru tidak
sensitif terhadap nyeri, dan sebagian besar penyakit paru tidak menyebabkan nyeri. Pleura
parietalis bersifat sensitif, dan penyakit peradangan pada pleura parietalis menimbulkan nyeri
dada. Batuk adalah gejala umum penyakit pernapasan. Hal ini disebabkan oleh :
Stimulasi refleks batuk oleh benda asing yang masuk ke dalam larink, Akumulasi sekret pada
saluran pernapasan bawah. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan
penyakit dengan gejala batuk yang mencolok (Chandrasoma, 2006). Pemeriksaan sputum/ dahak
sangat berguna untuk mengevaluasi penyakit paru. Sediaan apusan gram dan biakan sputum
berguna untuk menilai adanya infeksi. Pemeriksaan sitologi untuk sel-sel ganas. Selain itu, dari
warna, volum, konsistensi, dan sumber sputum dapat diidentifikasi jenis penyakitnya.
Hemoptisis adalah batuk darah atau sputum dengan sedikit darah. Hemoptisis berulang biasanya
terdapat pada bronkitis akut atau kronik, pneumonia, karsinoma bronkogenik, tuberkulosis,
bronkiektasis, dan emboli paru. Jari tabuh adalah perubahan bentuk normal falanx distal dan
kuku tangan dan kaki, ditandai dengan kehilangan sudut kuku, rasa halus berongga pada dasar
kuku, dan ujung jari menjadi besar. Tanda ini ditemukan pada tuberkulosis, abses paru, kanker
paru, penyakit kardiovaskuler, penyakit hati kronik, atau saluran pencernaan. Sianosis adalah
berubahnya warna kulit menjadi kebiruan akibat meningkatnya jumlah Hb terreduksi dalam
kapiler (Price dan Wilson, 2006).
Ronki basah berupa suara napas diskontinu/ intermiten, nonmusikal, dan pendek, yang
merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran napas besar. Terdapat pada
pneumonia, fibrosis, gagal jantung, bronkitis, bronkiektasis. Wheezing/ mengik berupa suara
kontinu, musikal, nada tinggi, durasi panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara
cepat melewati saluran napas yang mendatar/ menyempit. Ditemukan pada asma, bronkitis
kronik, CPOD, penyakit jantung. Stridor adalah wheezing yang terdengar saat inspirasi dan
menyeluruh. Terdengar lebih keras di leher dibanding di dinding dada. Ini menandakan obstruksi
parsial pada larink atau trakea. Pleural rub adalah suara akibat pleura yang inflamasi. Suara mirip
ronki basah kasar dan banyak (Reviono, dkk, 2008)
Anoreksia dan kaheksia
A. Pengertian anoreksia dan kaheksia
1. Anoreksia adalah menurunnya keinginan untuk makanan dan merupakan salah satu gejala
paling sering pada kaheksia kanker. Penyebab dan mekanisme anoreksia pada kanker
sangat kompleks dan multifaktorial, bisa terjadi karena perubahan rasa kecap yang
menyebabkan pasien menolak makanan tertentu, stres psikologis, efek samping, terapi
kanker maupun terjadi karena peran sitokin dalam regulasi makanan di hipotalamus
melalui jaras anoreksigenik dan oroksigenik yang melibatkan leptin dan neuropeptida Y
(Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011). Leptin adalah hormon yang disekresikan oleh
jaringan adiposa yang berperan menstimulasi respon starvasi. Jika kadar leptin di otak
rendah, maka akan meningkatkan aktivitas sinyal oroksigenik di hipotalamus yang akan
menstimulasi keinginan untuk makan dan mensupresi energy expenditure serta
menurunkan sinyal anoreksigenik. Sedangkan neuropeptida Y adalah peptida yang paling
poten dalam menstimulasi keinginan makan dan terkait dengan jaras oroksigenik lainnya
(seperti galanin, peptida opioid, melanin-concentrating hormone/MCH, oreksin, dan
agouti-related peptida/AGRP) (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011). Pada kaheksia
kanker, peran sitokin dapat menstimulasi jaras anoreksigenik dalam jangka panjang.
Interleukin-1, IL-6 dan TNFα dapat menstimulasi pelepasan leptin sehingga
meningkatkan aktivitas jaras anoreksigenik. Selain itu beberapa sitokin dapat menembus
blood brain barrier dan menginhibisi pula jaras oroksigenik. Serotonin juga mempunyai
efek dalam terjadinya anoreksia pada kanker. Peningkatan level triptofan (prekursor
serotonin) di plasma dan otak serta peningkatan level triptofan (prekursor serotonin) di
plasma dan otak serta peningkatan IL-1 dapat meningkatkan aktivitas serotonergik
(Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011).
2. Malnutrisi pada pasien kanker atau kaheksia kanker merupakan sindrom yang ditandai
dengan penurunan berat badan, anoreksia, asthenia, dan anemia. Berbagai faktor
malnutrisi kanker yang dikenal sebagai kaheksia telah lama dilaporkan, namun belum
dapat dipastikan dan diduga penyebabnya multifaktorial yaitu menurunnya asupan nutrisi
dan perubahan metabolisme di dalam tubuh. Menurunnya asupan nutrisi terjadi akibat
menurunnya asupan makanan per oral (karena anoreksia, mual muntah, perubahan
persepsi rasa dan bau), efek lokal dari tumor (odinofagi, disfagi, obstruksi
gaster/intestinal, malabsorbsi, early satiety), faktor psikologis (depresi, ansietas), dan efek
samping terapi (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011).
Dahulu, pandangan klasik menyatakan bahwa kaheksia kanker terjadi akibat
ketidakseimbangan energi, yaitu menurunnya asupan makanan dan meningkatnya
konsumsi energi. Namun kini pandangan yang lebih modern menitikberatkan pada peran
sitokin yang menyebabkan terjadinya anoreksia dan perubahan metabolisme lemak,
protein, dan karbohidrat. Sitokin yang berperan dapat diproduksi dari tubuh (IL-1, IL-6,
TNFα, IFNϒ) dan dapat berasal dari sel kanker (PIF/proteolysis-introducing factor,
LMF /lipid mobilizing factor) (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011.
Anoreksia dan kaheksia adalah penyebab umum malnutrisi pada pasien kanker.
Anoreksia (kehilangan nafsu makan atau keinginan untuk makan) adalah gejala yang
umum pada orang kanker. Anoreksia dapat terjadi pada awal atau tahap lanjut penyakit, jika
kanker tumbuh atau menyebar. Beberapa pasien sudah memiliki anoreksia saat
didiagnosis dengan kanker. Hampir semua pasien kanker stadium lanjut akan memiliki
anoreksia. Anoreksia adalah penyebab paling umum malnutrisi pada pasien kanker
sedangkan kaheksia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya nafsu makan,
penurunan berat badan, kehilangan otot, dan kelemahan umum. Hal ini umum pada pasien
dengan tumor paru-paru, pankreas, dan saluran pencernaan bagian atas. Penting untuk
mengawasi dan mengobati kaheksia awal pada pengobatan kanker karena sulit untuk
memperbaikinya.
Pasien kanker mungkin memiliki anoreksia dan kaheksia pada saat yang
sama. Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh makan lebih sedikit kalori.
Penting untuk menangani penurunan berat badan yang disebabkan oleh kanker dan
pengobatannyaAdalah Penting jika gejala dan efek samping Kanker yang mempengaruhi
makan dan menyebabkan penurunan berat badan ditangani dini. Baik Terapi nutrisi
maupun obat-obatan dapat membantu Pasien tetap pada kondisi berat badan yang sehat.
 Obat Dapat digunakan untuk :
1. Untuk membantu meningkatkan nafsu makan.
2. Untuk membantu mencerna makanan.
3. Untuk membantu otot-otot kontrak perut dan usus (untuk menjaga makanan terus
bergerak).
4. Untuk mencegah atau menangani mual dan muntah.
5. Untuk mencegah atau mengobati diare
6. Untuk mencegah dan menangani masalah mulut (seperti mulut kering, infeksi, rasa sakit,
dan luka).
7. Untuk mencegah dan mengobati rasa sakit.
 Hal-hal untuk diingat
1. Malnutrisi dapat terjadi jika Anda makan kurang dari apa yang dibutuhkan tubuh
Anda, jika Anda makan jenis makanan yang salah, atau jika tubuh Anda tidak
dapat mencerna dan menyerap makanan Anda.
2. Gizi rendah adalah bentuk malnutrisi yang terjadi ketika tubuh Anda mengambil
energi, protein, dan nutrisi lain lebih rendah.
3. Pasien kanker berisiko lebih tinggi mengalami malnutrisi dibandingkan penduduk
lainnya.
4. Identifikasi awal risiko malnutrisi dan diagnosis dini malnutrisi penting agar dapat
ditangani sesegera mungkin.
5. Ahli gizi dapat merancang diet yang sesuai dengan situasi khusus Anda untuk
Membantu Anoreksia dan kaheksiamerupakan gangguan makan sekaligus gangguan
nutrisi yang dapat memicu gangguan nutrisi lainnya pada pasien kemoterapi.
Pasien yang Mengalami anoreksia atau kehilangan nafsu makan disebabkan oleh
beberapa efek samping kemoterapi seperti gangguan pada lidah yang menyebabkan
perubahan rasa dan aroma makanan menjadi pahit. Akibatnya, pasien kemoterapi
menghindari konsumsi berbagai makanan dan menyebabkan tubuhnya kekurangan
berbagai nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan. Kondisi anoreksia pada
seseorang yang sedang menjalani kemoterapi juga sering disertai dengan kaheksia yang
ditandai dengan penurunan berat badan secara drastis dan menurunnya massa otot.
Kondisi ini lebih umum dialami pasien kemoterapi pada kanker paru, pankreas, dan
saluran pencernaan atas. Kondisi ini sulit untuk membaik, oleh karena itu penanganan pasien
dengan kondisi ini perlu dilakukan sejak dini.
 Cara menangani kondisi anoreksia dan kaheksia pada penderita kanker
1. Atasi perubahan rasa pada makanan dengan menambahkan beberapa bumbu masakan
alami seperti serbuk cabai, bawang merah dan putih, kecap, saus dan dedaunan herbal
seperti oregano dan mint.
2. Jagalah kebersihan mulut untuk mengurangi rasa tidak enak saat mengonsumsi
makanan dengan menyikat gigi dan membersihkan lidah secara rutin.
3. Sajikan masakan dalam suhu ruangan agar lebih mudah dikonsumsi.
4. Perbanyak konsumsi buah segar yang mengandung banyak air seperti anggur,
jeruk, dan semangka dan sajikan dalam keadaan dingin.
5. Jika pasien kemoterapi tidak ingin makan besar, sajikan snack atau makanan
ringan sepanjang hari agar perut tetap terisi.
6. Penuhi kebutuhan kalori dan protein dengan menyajikan makanan dengan olahan teur,
selai kacang, keju, tuna dan ayam, serta beberapa jenis minuman seperti es krim,
pudding, dan suplemen nutrisi cair.
7. Untuk mengatasi penurunan berat badan berlebih, lakukan pengobatan terhadap
gangguan pencernaan seperti rasa mual, diare, dan sembelit, serta tangani kondisi
dehidrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Boediwarsono. Terapi Nutrisi Pada Penderita Kanker. Dalam: Naskah Lengkap Surabaya
Hematology Oncology Update IV. Medical Care of the Cancer Patient, editor: Boediwarsono,
Soegianto, Ami Ashariati, Made Putra Sedana, Ugroseno; 2012. hlm 134-141.

Argiles JM. Cancer-associated malnutrition. Eur J Oncol. 2005;9(suppl2):S39-S50.

Donohue CL, Ryan AM, Reynolds JV. Cancer cachexia: Mechanisms and clinical implications.
Gastroenterol Res Pract. 2011; doi:10.155/2011/601434.

Caderholm T, Bosaeus I, Barrazoni R, Bauer J, Van Gossum A, Slek S, et al. Diagnostic

Gupta, D., Vashi, P.G., Lammersfeld C.A., Braun, D.P., 2011. Role of Nutritional Status in
Predicting theLength of Stay in Cancer: A Systematic Review of the Epidemiological Literature.
Cancer Treatment Centers of America _ at Midwestern Regional Medical Center, Zion, Ill. ,
USA, 2011;59:96–106.

Harmoko, B., 2010. Gambaran Status Nutrisi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis Berkala
di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010. Artikel Penelitian, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara : Medan

Anda mungkin juga menyukai