Obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sakit. Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar pula dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Dengan kondisi seperti ini, manajemen obat di rumah sakit sangat penting untuk dilakukan. Peran terpenting pada sistem persediaan yaitu untuk memperlancar kegiatan operasional. Kekurangan obat akan mengakibatkan terlambatnya pelayanan pasien. Ketersediaan obat yang tepat pada waktu yang tepat dan tempat yang tepat akan membantu tujuan organisasi dalam melayani pasien, produktivitas, keuntungan dan kembali modal (Bachtiar, Germas and Andarusito, 2019) Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang dikelola secara optimal untuk menjamin tercapainya ketepatan jumlah dan jenis perbekalan farmasi dengan memanfaatkan sumber- sumber yang tersedia seperti tenaga, dana, sarana dan perangkat lunak (metode dan tata laksana) dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan diberbagai tingkat unit kerja (Mangindara et al., 2012) Menurut Asnawi et al. (2019), tujuan manajemen pengelolaan obat yaitu agar tersedia obat setiap dibutuhkan baik mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efisien, dengan demikian manajemen pengelolaan obat dapat dipakai sebagai proses penggerakkan dan pemberdayaan semua sumber daya yang potensial untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap saat dibutuhkan untuk operasional yang efektif dan efisien. 2.2 Organisasi Farmasi Rumah Sakit Farmasi merupakan salah satu unit di dalam rumah sakit yang memiliki tugas yang terbilang cukup berat, mengingat perbekalan farmasi rumah sakit merupakan suatu hal yang kompleks. Oleh sebab itu pengelolaan farmasi harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, kepentingan ilmiah atau profesi dan faktor pasien (Syahrani, Rinawati and Pujotomo, 2019). Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit dan pasien. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah kegiatan yang menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengelolaan perbekalan farmasi (perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pencatatan, pelaporan, pemusnahan/penghapusan), pelayanan resep, pelayanan informasi obat, konseling, farmasi klinik di ruangan. IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan pelayanan produk yaitu sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dan gas medis habis pakai serta pelayanan jasa yaitu farmasi klinik (PIO, Konseling, Meso, Monitoring Terapi Obat, Reaksi Merugikan Obat) bagi pasien atau keluarga pasien. IFRS adalah fasilitas pelayanan penunjang medis, di bawah pimpinan seorang Apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan; pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan; pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit; serta pelayanan farmasi klinis. IFRS berfungsi sebagai unit pelayanan dan unit produksi. Unit pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang bersifat manajemen (nonklinik) adalah pelayanan yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lain. Pelayanan IFRS yang menyediakan unsur logistik atau perbekalan kesehatan dan aspek administrasi. IFRS yang berfungsi sebagai pelayanan nonmanajemen (klinik) pelayanan yang bersentuhan langsung dengan pasien atau kesehatan lainnya. Fungsi ini berorientasi pasien sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih luas tentang aspek yang berkaitan dengan penggunaan obat dan penyakitnya serta menjunjung tinggi etika dan perilaku sebagai unit yang menjalankan asuhan kefarmasian yang handal dan professional (Rusli, 2018)
2.3 Pengelolaan obat di IFRS
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Salah satu jenis persediaan farmasi yang dibutuhkan oleh pihak rumah sakit dan sangat penting adalah persediaan obat. Sumber daya obat dan perbekalan kesehatan merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan, pemerataan, serta mutu obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung dalam rangka tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Bachtiar, Germas and Andarusito, 2019). Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit bertanggung jawab pada penggunaan obat yang aman dan efektif di rumah sakit secara keseluruhan. Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu aspek penting dari rumah sakit. Ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap biaya operasional bagi rumah sakit, karena bahan logistik obat merupakan salah satu tempat kebocoran anggaran. Untuk itu manajemen obat dapat dipakai sebagai proses pengerak dan pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap dibutuhkan agar operasional efektif dan efisien (Wati, Fudholi and Pamudji, 2013). Pelayanan kefarmasian bersifat manajerial yakni disebut dengan pengelolaan perbekalan sediaan farmasi yang mana berupa siklus. Siklus pengelolaan perbekalan sediaan farmasi yakni terdiri dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi. Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Perencanaan merupakan kegiatan dalam menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien (RI, 2016). Menurut Febreani and Chalidyanto (2016), pengadaan adalah suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan obat sesuai dengan kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam proses perencanaan. Pengadaan obat memiliki tiga syarat penting yang harus dipenuhi, antara lain: sesuai rencana; sesuai kemampuan; sistem atau cara pengadaan sesuai ketentuan. Saat obat datang dilakukan kegiatan penerimaan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Setelah barang diterima di instalasi farmasi maka dilakukan penyimpanan. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian sebelum dilakukannya pendistribusian barang tersebut. Pendistribusian merupakan suatu rangkaian dalam rangka menyalurkan sediaan farmasi, alat kesehatan, BHP Medis dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan atau pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, ketepatan waktu. Bagi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak memenuhi persyaratan mutu, produk telah kadaluwarsa, produk tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, produk tersebut dicabut izin edarnya maka akan dilakukan pemusnahan dan penarikan. Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh instalasi farmasi harus bersama dengan komite/tim farmasi dan terapi di rumah sakit. Terkait dengan adminisitrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan guna memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Salah satu kegiatan administrasi yakni pencatatan dan pelaporan (RI, 2016). 2.4 Diagram Fishbone Diagram tulang ikan atau fishbone diagram adalah salah satu metode / tool di dalam meningkatkan kualitas. Diagram ini disebut juga diagram Sebab-Akibat atau cause effect diagram. Penemunya adalah seorang ilmuwan jepang pada tahun 60-an. Bernama Dr. Kaoru Ishikawa, sehingga sering juga disebut dengan diagram ishikawa. Metode tersebut awalnya lebih banyak digunakan untuk manajemen kualitas yang menggunakan data verbal (non-numerical) atau data kualitatif (Murnawan, 2014). Dikatakan diagram fishbone (Tulang Ikan) karena memang berbentuk mirip dengan tulang ikan yang moncong kepalanya menghadap ke kanan. Diagram ini akan menunjukkan sebuah dampak atau akibat dari sebuah permasalahan dengan berbagai penyebabnya (Sari, 2019). Struktur fishbone diagram terdiri dari kepala dan tulang-tulang. Kepala merepresentasikan masalah yang akan diselesaikan dan tulang-tulang berisi penyebab masalah tersebut yang dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu manusia (man), pengukuran (measurement), metode (method), bahan (material), mesin (machine), dan lingkungan (environment) (Syahrani, Rinawati and Pujotomo, 2019).
Fungsi dari fishbone diagram adalah:
a) Menyimpulkan sebab-sebab variasi dalam proses. b) Mengidentifikasi kategori dan subkategori sebab-sebab yang mempengaruhi suatu karakteristik kualitas tertentu. c) Memberikan petunjuk mengenai macam-macam data yang diperlu dikumpulkan. Diagram ini akan menunjukan dampak atau akibat dari sebuah permasalahan secara terperinci dengan berbagai penyebabnya sehingga akan dengan mudah mengidentifikasi masalah. Hasilnya berupa pemecahan suatu masalah menjadi beberapa kategori yang saling berkaitan, diantaranya mencakup material, mesin, metode, manusia serta lingkungan (Sari, 2019) DAFTAR PUSTAKA
Asnawi, R. et al. (2019) ‘Analisis Manajemen Pengelolaan Obat Di Puskesmas
Wolaang’, Kesmas, 8(6), pp. 306–315.
Bachtiar, M. A. P., Germas, A. and Andarusito, N. (2019) ‘Analisis Pengelolaan Obat di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jantung Bina Waluya Jakarta Timur’, Manajemen Dan Administrasi Rumah Sakit Indonesia (MARSI), 3(2), pp. 119–130.
Febreani, S. H. and Chalidyanto, D. (2016) ‘Pengelolaan Sediaan Obat Pada Logistik
Farmasi Rumah Sakit Umum Tipe B di Jawa Timur’, Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 4(2), p. 136. doi: 10.20473/jaki.v4i2.2016.136-145.
Mangindara et al. (2012) ‘Analisis Pengelolaan Obat di Puskesmas Kampala Kecamatan
Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Tahun 2011’, Jurnal AKK.
Murnawan, H. (2014) ‘PERNECANAAN PRODUKTIVITAS KERJA DARI HASIL
EVALUASI PRODUKTIVITAS DENGAN METODE FISHBONE DI PERUSAHAAN PERCETAKAN KEMASAN PT . X Latar belakang Masalah’, Jurnal Teknik Industri HEURISTIC Vol 11 No 1 April 2014. ISSN 1693-8232, 11(1), pp. 27–46.
RI, L. N. (2016) ‘Permenkes No. 72 2016’, Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit.
Rusli (2018) Farmasi Klinik, Kementerian Kesehatan RI.
Sari, P. I. (2019) ‘PENERAPAN TOTAL QUALITY MANAGEMENT PADA
PERENCANAAN KAIZEN KUALITAS PLATING DI PT SURTECKARIYA INDONESIA DENGAN METODE FISHBONE BERBASIS ANDROID’, Informatika SIMANTIK, 4, pp. 14–20. Syahrani, F., Rinawati, D. I. and Pujotomo, D. (2019) ‘Penerapan Lean Healthcare Untuk Mereduksi Waktu Tunggu Pelayanan Resep Obat Jadi Pada Depo Farmasi Merpati Rsup Dr. Kariadi Semarang’, Industrial Engineering Online Journal, 7(4). Available at: https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/ieoj/article/view/22781.
Wati, W., Fudholi, A. and Pamudji, G. (2013) ‘EVALUASI PENGELOLAAN OBAT
DAN STRATEGI PERBAIKAN DENGAN METODE HANLON DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT TAHUN 2012’, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 3, pp. 283–290.