Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Obat


Obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sakit.
Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar
pula dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat
kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran
rumah sakit. Dengan kondisi seperti ini, manajemen obat di rumah sakit sangat
penting untuk dilakukan. Peran terpenting pada sistem persediaan yaitu untuk
memperlancar kegiatan operasional. Kekurangan obat akan mengakibatkan
terlambatnya pelayanan pasien. Ketersediaan obat yang tepat pada waktu yang tepat
dan tempat yang tepat akan membantu tujuan organisasi dalam melayani pasien,
produktivitas, keuntungan dan kembali modal (Bachtiar, Germas and Andarusito,
2019)
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek
perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang dikelola secara
optimal untuk menjamin tercapainya ketepatan jumlah dan jenis perbekalan farmasi
dengan memanfaatkan sumber- sumber yang tersedia seperti tenaga, dana, sarana
dan perangkat lunak (metode dan tata laksana) dalam upaya mencapai tujuan yang
ditetapkan diberbagai tingkat unit kerja (Mangindara et al., 2012)
Menurut Asnawi et al. (2019), tujuan manajemen pengelolaan obat yaitu agar
tersedia obat setiap dibutuhkan baik mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara
efisien, dengan demikian manajemen pengelolaan obat dapat dipakai sebagai proses
penggerakkan dan pemberdayaan semua sumber daya yang potensial untuk
dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap saat dibutuhkan
untuk operasional yang efektif dan efisien.
2.2 Organisasi Farmasi Rumah Sakit
Farmasi merupakan salah satu unit di dalam rumah sakit yang memiliki tugas
yang terbilang cukup berat, mengingat perbekalan farmasi rumah sakit merupakan
suatu hal yang kompleks. Oleh sebab itu pengelolaan farmasi harus
mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, kepentingan ilmiah atau profesi dan
faktor pasien (Syahrani, Rinawati and Pujotomo, 2019).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit tempat
penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk
keperluan rumah sakit dan pasien. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah
kegiatan yang menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengelolaan perbekalan farmasi (perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, distribusi, pencatatan, pelaporan, pemusnahan/penghapusan),
pelayanan resep, pelayanan informasi obat, konseling, farmasi klinik di ruangan. 
IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan
pelayanan produk yaitu sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dan gas medis habis
pakai serta pelayanan jasa yaitu farmasi klinik (PIO, Konseling, Meso, Monitoring
Terapi Obat, Reaksi Merugikan Obat) bagi pasien atau keluarga pasien.
IFRS adalah fasilitas pelayanan penunjang medis, di bawah pimpinan seorang
Apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan kompeten secara profesional, yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup
perencanaan; pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan
farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat
jalan; pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh
perbekalan kesehatan di rumah sakit; serta pelayanan farmasi klinis. IFRS berfungsi
sebagai unit pelayanan dan unit produksi. Unit pelayanan yang dimaksud adalah
pelayanan yang bersifat manajemen (nonklinik) adalah pelayanan yang tidak
bersentuhan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lain. Pelayanan IFRS
yang menyediakan unsur logistik atau perbekalan kesehatan dan aspek administrasi.
IFRS yang berfungsi sebagai pelayanan nonmanajemen (klinik) pelayanan yang
bersentuhan langsung dengan pasien atau kesehatan lainnya. Fungsi ini berorientasi
pasien sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih luas tentang aspek yang
berkaitan dengan penggunaan obat dan penyakitnya serta menjunjung tinggi etika
dan perilaku sebagai unit yang menjalankan asuhan kefarmasian yang handal dan
professional (Rusli, 2018)

2.3 Pengelolaan obat di IFRS


Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan
farmasi klinik. Salah satu jenis persediaan farmasi yang dibutuhkan oleh pihak
rumah sakit dan sangat penting adalah persediaan obat. Sumber daya obat dan
perbekalan kesehatan merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang
menjamin ketersediaan, pemerataan, serta mutu obat dan perbekalan kesehatan
secara terpadu dan saling mendukung dalam rangka tercapainya derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya (Bachtiar, Germas and Andarusito, 2019).
Instalasi farmasi rumah sakit merupakan satu-satunya unit di rumah sakit
bertanggung jawab pada penggunaan obat yang aman dan efektif di rumah sakit
secara keseluruhan. Manajemen obat di rumah sakit merupakan salah satu aspek
penting dari rumah sakit. Ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif
terhadap biaya operasional bagi rumah sakit, karena bahan logistik obat merupakan
salah satu tempat kebocoran anggaran. Untuk itu manajemen obat dapat dipakai
sebagai proses pengerak dan pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki untuk
dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap dibutuhkan agar
operasional efektif dan efisien (Wati, Fudholi and Pamudji, 2013).
Pelayanan kefarmasian bersifat manajerial yakni disebut dengan pengelolaan
perbekalan sediaan farmasi yang mana berupa siklus. Siklus pengelolaan perbekalan
sediaan farmasi yakni terdiri dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi. Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan. Perencanaan merupakan kegiatan dalam menentukan jumlah dan periode
pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai
dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis,
tepat jumlah, tepat waktu dan efisien (RI, 2016).
Menurut Febreani and Chalidyanto (2016), pengadaan adalah suatu kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan obat sesuai dengan kebutuhan operasional yang telah
ditetapkan di dalam proses perencanaan. Pengadaan obat memiliki tiga syarat
penting yang harus dipenuhi, antara lain: sesuai rencana; sesuai kemampuan; sistem
atau cara pengadaan sesuai ketentuan. Saat obat datang dilakukan kegiatan
penerimaan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu
penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi
fisik yang diterima. Setelah barang diterima di instalasi farmasi maka dilakukan
penyimpanan. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan
kefarmasian sebelum dilakukannya pendistribusian barang tersebut.
Pendistribusian merupakan suatu rangkaian dalam rangka menyalurkan sediaan
farmasi, alat kesehatan, BHP Medis dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan atau pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah,
ketepatan waktu. Bagi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang tidak memenuhi persyaratan mutu, produk telah kadaluwarsa, produk tidak
memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan
ilmu pengetahuan, produk tersebut dicabut izin edarnya maka akan dilakukan
pemusnahan dan penarikan. Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh instalasi farmasi harus
bersama dengan komite/tim farmasi dan terapi di rumah sakit. Terkait dengan
adminisitrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan guna
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Salah satu kegiatan
administrasi yakni pencatatan dan pelaporan (RI, 2016).
2.4 Diagram Fishbone
Diagram tulang ikan atau fishbone diagram adalah salah satu metode / tool di
dalam meningkatkan kualitas. Diagram ini disebut juga diagram Sebab-Akibat atau
cause effect diagram. Penemunya adalah seorang ilmuwan jepang pada tahun 60-an.
Bernama Dr. Kaoru Ishikawa, sehingga sering juga disebut dengan diagram
ishikawa. Metode tersebut awalnya lebih banyak digunakan untuk manajemen
kualitas yang menggunakan data verbal (non-numerical) atau data kualitatif
(Murnawan, 2014).
Dikatakan diagram fishbone (Tulang Ikan) karena memang berbentuk mirip
dengan tulang ikan yang moncong kepalanya menghadap ke kanan. Diagram ini
akan menunjukkan sebuah dampak atau akibat dari sebuah permasalahan dengan
berbagai penyebabnya (Sari, 2019).
Struktur fishbone diagram terdiri dari kepala dan tulang-tulang. Kepala
merepresentasikan masalah yang akan diselesaikan dan tulang-tulang berisi
penyebab masalah tersebut yang dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu manusia
(man), pengukuran (measurement), metode (method), bahan (material), mesin
(machine), dan lingkungan (environment) (Syahrani, Rinawati and Pujotomo, 2019).

Fungsi dari fishbone diagram adalah:


a) Menyimpulkan sebab-sebab variasi dalam proses.
b) Mengidentifikasi kategori dan subkategori sebab-sebab yang
mempengaruhi suatu karakteristik kualitas tertentu.
c) Memberikan petunjuk mengenai macam-macam data yang diperlu
dikumpulkan.
Diagram ini akan menunjukan dampak atau akibat dari sebuah permasalahan
secara terperinci dengan berbagai penyebabnya sehingga akan dengan mudah
mengidentifikasi masalah. Hasilnya berupa pemecahan suatu masalah menjadi
beberapa kategori yang saling berkaitan, diantaranya mencakup material, mesin,
metode, manusia serta lingkungan (Sari, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, R. et al. (2019) ‘Analisis Manajemen Pengelolaan Obat Di Puskesmas


Wolaang’, Kesmas, 8(6), pp. 306–315.

Bachtiar, M. A. P., Germas, A. and Andarusito, N. (2019) ‘Analisis Pengelolaan Obat di


Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jantung Bina Waluya Jakarta Timur’,
Manajemen Dan Administrasi Rumah Sakit Indonesia (MARSI), 3(2), pp. 119–130.

Febreani, S. H. and Chalidyanto, D. (2016) ‘Pengelolaan Sediaan Obat Pada Logistik


Farmasi Rumah Sakit Umum Tipe B di Jawa Timur’, Jurnal Administrasi
Kesehatan Indonesia, 4(2), p. 136. doi: 10.20473/jaki.v4i2.2016.136-145.

Mangindara et al. (2012) ‘Analisis Pengelolaan Obat di Puskesmas Kampala Kecamatan


Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Tahun 2011’, Jurnal AKK.

Murnawan, H. (2014) ‘PERNECANAAN PRODUKTIVITAS KERJA DARI HASIL


EVALUASI PRODUKTIVITAS DENGAN METODE FISHBONE DI
PERUSAHAAN PERCETAKAN KEMASAN PT . X Latar belakang Masalah’,
Jurnal Teknik Industri HEURISTIC Vol 11 No 1 April 2014. ISSN 1693-8232,
11(1), pp. 27–46.

RI, L. N. (2016) ‘Permenkes No. 72 2016’, Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah


Sakit.

Rusli (2018) Farmasi Klinik, Kementerian Kesehatan RI.

Sari, P. I. (2019) ‘PENERAPAN TOTAL QUALITY MANAGEMENT PADA


PERENCANAAN KAIZEN KUALITAS PLATING DI PT SURTECKARIYA
INDONESIA DENGAN METODE FISHBONE BERBASIS ANDROID’,
Informatika SIMANTIK, 4, pp. 14–20.
Syahrani, F., Rinawati, D. I. and Pujotomo, D. (2019) ‘Penerapan Lean Healthcare Untuk
Mereduksi Waktu Tunggu Pelayanan Resep Obat Jadi Pada Depo Farmasi Merpati
Rsup Dr. Kariadi Semarang’, Industrial Engineering Online Journal, 7(4).
Available at: https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/ieoj/article/view/22781.

Wati, W., Fudholi, A. and Pamudji, G. (2013) ‘EVALUASI PENGELOLAAN OBAT


DAN STRATEGI PERBAIKAN DENGAN METODE HANLON DI INSTALASI
FARMASI RUMAH SAKIT TAHUN 2012’, Jurnal Manajemen dan Pelayanan
Farmasi, 3, pp. 283–290.

Anda mungkin juga menyukai