Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM

Perkembangan Hukum Islam Di Dunia dan Di Indonesia

Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh
pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah
Air ? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir
di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan
sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di
masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses
sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga
dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para
tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang.
Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses
yang dapat selesai seketika.

 B. Identifikasi Masalah

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Sejarah hukum islam  dibagi menjadi beberapa priode. Pembagian  priode hukum islam ini yaitu :

1.      Pada masa nabi Muhammad saw (610 M – 632 M )

2.      Pada masa khulafaur rasidin ( 632 M – 662 M )

3.      Pada masa pembinaan & pembukuan ( abad VII  M-X  M )

4.      Masa kelesuan pemikiran ( abad X M-XIX M )

5.      Masa kebangkitan ( XIX M sampai sekarang )

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran
dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim
paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.

Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa
pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan
Hukum Islam pada :

    Masa Prapenjajahan Belanda

    Masa Penjajahan Belanda


    Masa Pendudukan Jepang

    Masa Kemerdekaan (1945)

    Era Orde Lama dan Orde Baru

    Era Reformasi

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A.    Masa Nabi Muhammad (610 M – 632 M).

Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul semenanjung Arab. Daerah yang sangat panas,
penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang begitu keras memberntuk manusia-manusia
yang individualistis serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan berdasarkan garis
Patrilineal, yang saling bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian
adat. Susunan klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.

Oleh karena itu Nabi Muhammad setelah pindah atau hijrah dari Mekah ke Madinah,dianggap telah
memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu pula diperangi oleh anggota klen asalnya.
Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap
kerasulan Nabi Muhammad.[1]

Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an
dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyuNya Allah
menegaskan posisi Muhammad dalam rangka agama islam, yaitu :

1. Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Q.s.21:107).

2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah RasulNya (Q.s.4:59).

3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.s.4:80).

4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).

Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan hukum itu
terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan, perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah.
Dengan mempergunakan Al Qur’an sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan
setiap masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.

B.     Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M ).

Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun dan demikian halnya
dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi ututsan Tuhan tidak mungkin tegantikan, tetapi
tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang
khalifah dari kalangan sahabat Nabi.
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara. Memiliki hak
memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menajaga keamanan dan batas Negara,
menegakkan keadilan dan kebenaran,berusaha agar semua lembaga Negara memisahakan antara
yang

baik dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al Qur’an, mengawaasi jalannya
pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.

 Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin sangat
penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh digenerasi-
generasi berikutnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan
catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah
kurma dan tulang-tulang unta dan menghimpunnya daam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar
Bin Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah

Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh ijthad Umar adalah menurut (Q.s.5:38)
orang yang mencuri, diancam dengan hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi
kelaparan dalam masyarakat disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri
tersebut tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan
kemaslahatan jiwa masyarakat. Selanjutnya pada pemilihan khalifah,[2]

Usman menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi nepotisme karena kelemahannya.
Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke barat sampai ke Maroko, ke timur
menuju India dan keutara bergerak keraha konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al Qur’an
standar yang disebut modifikasi al Qur’an. Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan adalah
Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad.

Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan hukum Islam karena
keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam,
yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.

C.    Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)

Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis suci islam,
muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak
faktor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :

a. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal usul, adat istiadat dan
berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau
norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam
masyarakat.

b. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk membangun serta
mengembangkan hukum fiqih Islam.
c. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam
masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir penilaian mengenai baik
buruknya mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-
khamsah.[3]

D.    Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M).

Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya yang asli tapi hanya
sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mashabnya masing-masing. Yang
menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan
usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Qur’an dan
sunah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum
para imamnya saja.

Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam dimasa itu adalah ;

1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru.

2. Ketidakstabilan politik.

3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya kewibawaan


pengendalian perkembangan hukum.

4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian perkembangan hukum Islam pada
periode ini menjadi lesu.[4]

E.     Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang ).

Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah bangkit kembali,
timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut yang telah membawa kemunduran hukum
islam. Pada abad ke XIV telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru
dalam perkembangan hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al
Jaujiyyah walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad Ibnu Abdul
Wahab yang terkenal dengan gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang
menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali,
SH dalam bukunya. Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.

Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum Islam, sesungguhnya pada
masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad,
untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai
contoh pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara segar dan
baru dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu Taimiyah
(1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan
pada abad ke 17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan
Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).

Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan
situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam
cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti
percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya
ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang
yang mendalaminya secara serius.

Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di atas, dilanjutkan
kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan politik. Jamaluddin Al-Afgani
inilah yang memasyhurkan ayat Al-Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu
bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri (Q.S. Ar-
Ra’du (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada
umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat
Islam itu pada dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.

Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat terhadap dunia Islam,
maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam dapat maju kembali, maka penyebab
utamanya itu yang dalam hal ini adalah penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk
itulah maka Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini,
yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.

Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan Islamisme ini masih relevan
sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk
diterapkan dalam dunia Islam yang nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat
dan mengental ditambah tidak seluruhnya negara-negara muslim negaranya berdasarkan Islam.
Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani ini adalah relevan pada masanya, namun
demikian masih perlu diterjemahkan ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini. Sebab
menurut penulis persatuan dunia Islam sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional
tidak memungkinkan untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu
untuk memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan bersama
untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan
adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia Islam saat ini.

Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh (1849-
1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-
pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di
seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan
Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun
1912. Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yanag diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan pada
pendirian negara islam internasionalnya.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda


Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad
pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke
dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik
awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas
muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya

kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama
Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian
menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di
Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak,
Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan
Ternate serta Tidore.

Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian
menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai
hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang
telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya
literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan
kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

 B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi
Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah
organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat
dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai
perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi
perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.
Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena
penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC,
yaitu:

    Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum
kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

    Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat.
Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium
Freijer.
    Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan
Bone

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-
Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer,
dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan
kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan
terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan
akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat
Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda
mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan
agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada
aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia
Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :

    Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar;
yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di
Indonesia dengan hukum Belanda.

    Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda
menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi
dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas
kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam
di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

    Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di
Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat

    Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang
isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim
akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak
ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia
Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

 C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang
untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan
berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang
menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang
oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya
posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk
menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

    Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas
penduduk pulau Jawa.

    Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

    Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

    Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

    Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

    Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan
Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk
menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo
dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa
pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik
daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur
masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah
Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang
terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik
yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam
adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

 D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam
Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang
memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan
Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi
dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih
mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak
mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei
1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok
Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang
dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta
berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat
Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang
disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada
kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka
bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya
pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi
rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi
mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia
Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang
pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang
yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru
Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan
mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur
lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang
masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa
revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin
kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,

Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-
negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan
perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang
disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi
Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung
aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi
hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan
batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan
Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara
Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,
mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur
ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian,
Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika
dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab
ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD
Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa
“Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap
penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan
keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini
adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-
undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun
sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang
tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat
“hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.
Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi
undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD
Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk
memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514
orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956.

Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit
Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam
peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu
saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono
lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.

Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama
dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak
didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya
“bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori
oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara
Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan
Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi
Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia
pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik
yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih
banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam
mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang
mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.

E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan
komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-
citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan
pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat
pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol
Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong
Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2
ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu
kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut
membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di
era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam
Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam
sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde
Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun
segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di
awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali
partai Masyumi.

Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di
masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini
ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi
Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan
hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian
membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah
satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya
menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang
peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk
mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat
pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan
menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

 F. Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok
Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai
menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang
lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang
menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan
yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam
dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era

ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe
Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah
pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem
hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.

--> 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang),
1971.

[2] Farrukh. Al-Arab Wa Al-Islam Fi Al-Haudl Alsyarqiy Al- Bahr Al-Abyad Al-Mutawassith, (Beirut: Dar
al kutub), 1966.

[3] Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.

[4] Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 42.

[5] http://kopikejuenak.blogspot.com/2008/07/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-hukum
isla

——————–http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum islam/perkembangan-
hukum-islam/

——————–http://www.slideworld.com/slideshows.aspx/SEJARAH PERTUMBUHAN-DAN-
PERKEMBANGAN-HUKUM-ISLAM-ppt-906543
——————-http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-islam/perkembangan-
hukum-islam-pada-era-reformasi-di-indonesia.

——————-http://wawasanhukum.blogspot.com/2008/04/periodisasi-perkembangan-hukum-
islam.html

TUGAS
TARIKH TASYRI’
Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikh Tasyri’
 

Oleh :
HANDAYANI
310.006

Dosen Pembimbing :
Drs. ADITIAWARMAN M.Ag

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1432 H / 2011 M

SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL


            1.Situasi masyarakat arab pra islam
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan
dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak
ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini
penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat
kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan
dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang
berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap
baik serta langkah yang mulia.
            Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang
di jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi
hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan
aturan dan mencegah sipembuat kerusakan.[1]

            2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian


Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan  tetapi di mulai dengan perbaikan
orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-
orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita  ketahui dua perkara: Behalaisme dalam
agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya
pengelamatan dari kebiadaban dan  pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah,
dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk
mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari  jiwa mereka  akhlak
yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia,
berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan
mereka, agar mereka berjalan di  atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[2]
A.    PEMBENTUKAN HUKUM DI MEKKAH
Pada  awal mulanya, islam berorientasi  memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat
berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia melanjutkan oreantasi
berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan
dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan
tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah
umat terdahulu.[3]
B.     PEMBENTUKAN HUKUM DI MADINAH
Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum
hokum yang meliputi  segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat,
jihad, pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang
mencakup ilmu fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:
1.      Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur
tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk
berselisih dalam hukum.
2.      Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari
suatu pertanyaan.
3.      Bahwasanya hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan sebagian-
sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD


          Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi
hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian
hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada
perang tabuk bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang
munafik untuk tidak ikut perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni
menerima tebusan tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah
satu sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.
          Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian
setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan,
karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga
dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan.
Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka
ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah.[5]
          Sebagian sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu
masalah persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu
permasalahan. Seperti:
“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman dalam rangka sebagai seorang qadhi
atau hakim. Rasulullah menitipkan sabda kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu
dan mengokohkan lidahmu. Kalau ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau
memvonis atau menetapkan suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar
penjelasan dari pihak kedua sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama,
karena hal ini akan lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]
          Pada masa sahabat, mereka telah menyebarkan kewajiban tasyri ini dengan cara
menjelaskan dan menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum
ada ketetapan hkum nya. Merekalah pemegang tasyri’ pada periode ini selaku pengganti
Rasulullah. Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, bahkan banyak dari kalangan
sahabat sebagai Dewan Pertimbangan bagi Nabi dalam mengaktualkan ijtihadnya. Mereka
mampu menjelaskan nash-nash dan berijtihad tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak
ada ketetapannya menurut konteks nash.[7]
      
          Pada masa sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat
tinggal di Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di
berbagai kota dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini dengan
ijma’, kemudian mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing sahabat
menghadapi persoalan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat setempat,
sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.[8]
          Periode kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan
munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul gerakan
penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah Nabi, Fatwa-fatwa
sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode
ini, muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar terhadap pembentukan undang-
undang dan meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi peristiwa yang terjadi dan yang akan
terjadi.[9]
SUMBER HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN

  Masa Rasul
         Pada periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan
ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya. Di
dalamnya Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal kebenaran dan
kebatilan. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, karena
terjadi perselisihan, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa maka Allah menurunkan wahyu
kepada Rasulullah satu atau beberapa ayat yang menerangkan tentang hukum-hukumnya.
Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah
yang menjadi hukum yang wajib diikuti.
         Kalau terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak
menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan
hukum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa
hukum. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib
diikuti.[10]

  Masa Sahabat
         Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat besarlah yang memikul beban perjuangan
islam. Memreka menghadapi tugas yang sulit dan perkara yang besar, karena meluasnya
wilayah islam keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim mendapatkan
dirinya dihadapkan kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya.
         Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam
Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum
masalah-masalah yang menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi
mereka untuk berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm
Alqur’an dan Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan
bagi mereka jalan berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala bagi
ijtihad mereka, benar atau salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan kemampuannya
mengeluarkan hukum-hukum masalah yang mereka hadapi.[11]
        Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:
1.      Alqur’anul Karim
2.      Sunnah Rasulullah
3.      Ijtihad Sahabat.

  Masa Tabi’in
         Sumber tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka
sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Senua
hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini
muncul Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu,kedua aliran tersebut berbeda dalam
metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang
pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu
yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan
logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas,
sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan beragam.[12]

  Masa Keemasan
         Sumber hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:
1.      Al qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu: istihsan,
istishab, fatwa sahabat, Al’urf, Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.
           Kalau seorang mufti mendapatkan ktetapan hukum hukum suatu masalah dalam
Alqur’an atau Sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut. Dan
kalau tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Alqur’an dan sunnah, namun dia
mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang
fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Selanjutnya, kalau tidak mendapatkan ketetapan
hukum suatu masalah dalam Alqur’an dan Sunnah dan tidak ada juga ketetapan ijma’ ulama,
maka barulah ia berijtihad dan beristinbat dan beristinbat dengan metode istinbat yan
ditunjukkan syari’at.[13]

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN


       
         Periode ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih
spesifik, kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh),
penulisan sunnah, metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]
         Faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada
periode ini cukup banyak, diantaranya:

1.      Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.
2.      Fiqh islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini
kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan duniawi.
3.      pada periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan
memberi fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.
4.      Pada periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam hal
ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.
5.      Periode ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh
faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang, seperti, Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]
6.      Terjadinya perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’,
seperti berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain itu mereka
juga berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.
7.      Ilmu pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an
dan As sunnah serta Ushul Fiqh.
8.      Munculnya beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu
untuk lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan beberapa istilah lain
yang tidak familiar sebelumnya.
9.      Ruang perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada
banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang memadai di
setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri sehingga sulit bagi fuqaha
untuk bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di
antara mereka tidak menimbulkan rasa benci, bahkan setiap orang meyakini pendapatnya
benar, tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan
benar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta,


PT
RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)
Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta,
AKADEMIKA PRESSINDO, 1996)

[1] Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,  (Jakarta,


AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14
[2] Ibid., hlm. 14
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA
GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9
[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17
[5] Ibid., hlm. 17-18
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11
[7] Ibid., hlm. 46
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70
[9] Ibid. hlm. 105
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13
[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59
[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82
[14] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 71-73

Anda mungkin juga menyukai