Anda di halaman 1dari 26

DDC: 302.

4
MULTIKULTURALISME:
BELAJAR DARI MASYARAKAT PERDESAAN

MULTIKULTURALISM:
LEARNING FROM RURAL COMMUNITY

Robert Siburian
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
E-mail: robertsdes1970@gmail.com

ABSTRAK
Tulisan ini membahas implementasi multikulturalisme oleh masyarakat yang bermukim di Desa
Kerta Buana. Nilai-nilai multikulturalisme itu telah diterapkan sejak pemerintah Indonesia menempatkan
mereka di lokasi yang baru itu sebagai peserta transmigrasi. Implementasi dari nilai-nilai itu penting
karena para transmigran di desa yang jauh dari asal mereka datang dari berbagai tempat dengan agama dan
kebudayaan yang berbeda. Perbedaan itu berpotensi menciptakan konflik apabila gagal dikelola. Tokoh
dari setiap kelompok masyarakat dan agama memahami perbedaan itu, sehingga mereka mendorong setiap
kelompok agar dapat hidup bersama. Meskipun masyarakat di Desa Kerta Buana tidak memahami konsep
multikulturalisme, secara tidak sadar bahwa nilai-nilai multikulturalisme itu sudah mereka aplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Lewat tulisan ini, kita dapat melihat masyarakat multikulturalisme di Desa
Kerta Buana melalui kehidupan yang mereka jalani.
Kata Kunci: Multikulturalisme, nilai, transmigrasi, kebudayaan, agama, dan Desa Kerta Buana.
ABSTRACT
Through this paper, I would like to explain how multiculturalism was implemented by the citizens
in Kerta Buana village. The multiculturalism values had been implemented since the government of
Indonesia located them at there. Those values of multiculturalism are important to be implemented
because transmigrants who were alocated in Kerta Buana village came from various places and different
religions and cultures, such as Hindu-Bali and Islam-Java came from Bali island, and Sasak-Lombok
came from Lombok island. The differences had became a conflict potention if those differences fail to be
managed. Public figures of each society and religion group understood on the situation, so they pushed
each their group to live together with other society. Although they did not know what multiculturalism
was, the values of multiculturalism had been implemented by them. We can see the multiculturalism of
community in Kerta Buana village through their everyday life.
Keywords: Multiculturalism, value, transmigration, culture, religion, and Kerta Buana Village.

207
PENDAHULUAN Berbeda dengan desa transmigrasi lain yang
bertetangga dengan Desa Kerta Buana, menurut
Fokus tulisan ini menjelaskan dinamika
penjelasan Hamka, tindakan kejahatan seperti
kehidupan sosial masyarakat dengan latar
pembunuhan sudah pernah terjadi di sana beberapa
belakang yang beraneka ragam, baik dari sisi
tahun lalu. Padahal, penduduk Desa Kerta Buana
agama, etnisitas, maupun latar belakang budaya
dengan identitas agama dan kebudayaan berbeda,
yang hidup berdampingan di Desa Kerta Buana,
sesungguhnya berpotensi menjadi salah satu
Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten
pemicu yang dapat mempermudah terjadinya
Kutai Kartanegara. Kehidupan sosial masyarakat
konflik dalam eskalasi besar. Kehidupan harmonis
di desa itu menarik untuk dikaji karena latar
dalam keanekaragaman itu, menjadikan Desa
belakang berbeda tidak menjadi hambatan bagi
Kerta Buana dapat dilihat sebagai ‘Indonesia
mereka untuk dapat hidup berdampingan dan
Mini’ untuk memahami Indonesia Raya dengan
mengekspresikan identitas kulturalnya secara
keanekaragaman yang sangat kompleks.
bebas. Dibandingkan dengan desa-desa lain
di Kecamatan Tenggarong Seberang, realitas Penduduk di Desa Kerta Buana menganut
sosial masyarakat yang bermukim di Desa agama Islam, Hindu, dan Kristen. Sementara
Kerta Buana termasuk yang paling heterogen. jika dilihat berdasarkan etnis penduduknya lebih
Meskipun demikian, sejak desa itu dijadikan bervariasi lagi, yaitu: Bali, Sasak (Lombok), Jawa,
lokasi transmigrasi pada tahun 1980 sekaligus Kutai, Batak, Bugis, Manado, Dayak, Toraja,
awal menjadikan masyarakat di desa itu heterogen dan etnis yang berasal dari Pulau Flores. Secara
hingga awal tahun 2016, tindak kekerasan antar statistik, sesungguhnya agama dengan jumlah
etnis dan agama, termasuk kasus pembunuhan, penganut terbesar adalah Islam dan Hindu. Etnis
belum pernah terjadi. Hal tersebut disampaikan dengan jumlah yang cukup besar ada empat, yaitu:
oleh Hamka (76 tahun) salah seorang tokoh Bali, Lombok, Jawa, dan Kutai. Meskipun latar
masyarakat di desa itu: belakang agama, etnis, dan kebudayaan berbeda-
beda, masing-masing kelompok masyarakat
“Masalah yang meresahkan masyarakat
tersebut bebas mengekspresikan kegiatan agama
(pembunuhan) belum pernah terjadi di Desa
yang dianut dan kebudayaan yang dimilikinya,
Kerta Buana, seperti di desa-desa lain: L1,
L2, dan L31 serta Separi. Di desa-desa yang tanpa rasa takut akan adanya intimidasi dan
bertetangga dengan Desa Kerta Buana tekanan dari pihak manapun, karena memang
tersebut telah terjadi kejadian pembunuhan. hal seperti itu belum pernah terjadi. Toleransi
Justru bercampurnya banyak suku (dan menjadi kata kunci dari kehidupan sosial yang
agama), di situ mereka saling menjaga agar dipraktekkan oleh masing-masing kelompok
tidak terjadi masalah dan menjadi satu. masyarakat di Desa Kerta Buana itu.
Islam kami (Lombok) mengikuti Imam Sebagai lokasi transmigrasi, masyarakat
Syafii mengatakan, mataku sendiri melihat yang bermukim di desa itu awalnya adalah
air itu tergenang dalam satu tempat, tidak
para migran yang disponsori oleh pemerintah
ada jalannya pergi dan tidak ada jalannya
bertambah, rusak air itu dan bau. Membasuh
melalui proyek transmigrasi. Setelah itu, pada
tangan tidak bisa dipakai, apalagi untuk tahun-tahun berikutnya, migran-migran yang
diminum. Jika dibuatkan parit untuk jalan, lain pun berdatangan untuk mencari penghidupan
bersih air itu karena parit yang dibuat itu yang lebih baik, terutama seiring dengan
merupakan jalan untuk bercampur. Sebab, beroperasinya dua perusahaan di wilayah itu.
kalau hanya air itu saja dan tidak bercampur, Dengan keanekaragaman suku bangsa dan agama
tetap saja air itu rusak”.2 yang dianut, mengikuti uraian Chaudhuri, dapat
1
L1, L2, dan L3 adalah nama lain yang sering digunakan dikategorikan bahwa kelompok masyarakat
oleh masyarakat di Kecamatan Tenggarong Seberang untuk yang bermukim di Desa Kerta Buana sebagai
menyebut Desa Bukit Raya (L1), Desa Manunggal Jaya masyarakat urban. Dalam konteks itu, urban tidak
(L2), dan Desa Bangun Rejo (L3). Ketiga desa ini bersama dilihat dari perspektif wilayah yang merupakan
dengan Desa Kerta Buana (sering disebut L4) adalah desa-
desa yang menjadi lokasi penempatan transmigrasi yang
lawan (opposite) dari rural (desa), tetapi lebih pada
dikenal dengan lokasi penempatan Teluk Dalam. heterogenitas masyarakat yang bermukim di sana.
2
Pernyataan Hamka ini sebagai upaya untuk mengondisi- Dalam konteks urban, masyarakat yang berdiam
kan kehidupan bermasyarakat di Desa Kerta Buana dengan
heteroginitasnya, juga disampaikan pada saat Bupati Oktober 2015, bertempat di Madrasah Nahdathul Wathan di
Lombok Timur mengunjungi Desa Kerta Buana pada bulan Desa Kerta Buana.

208 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


di daerah itu pada dasarnya adalah multi-etnis, toleransi, kesetaraan, dan satu sama lain saling
dibuktikan dengan adanya berbagai komunitas menghargai (Syaifuddin 2006, 5).
etnis, beserta tradisi, nilai-nilai dan pandangan Definisi multikulturalisme merujuk
dunia yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Rosado (1996, 2) adalah: “.....a system of beliefs
Proses penyesuaian terhadap lingkungan baru and behaviors that recognizes and respects the
dan interaksi yang terbangun dengan kelompok presence of all diverse groups in an organization
masyarakat lain, berkonsekuensi bergesernya or society, acknowledges and values their socio-
tradisi sosio-kultural, nilai-nilai, dan pandangan cultural differences, and encourages and enables
dunia yang mereka miliki sebelumnya untuk their continued contribution within an inclusive
memroduksi kebudayaan baru di lingkungan yang cultural context which empowers all within the
baru itu (Chauduri 2009, 189). organization or society.” Didasarkan pada definisi
Terkait keanekaragaman suku bangsa dan itu, Rosado menambahkan ada lima tindakan
agama yang dianut oleh penduduk di Desa Kerta substantif untuk membangun definisi terkait
Buana, masing-masing suku bangsa dan pemeluk multikulturalisme, yaitu: sistem kepercayaan
agama itu dapat mengekspresikan kebudayaan dan dan perilaku (system of beliefs and behaviors),
kegiatan keagamaan secara bebas. Hal tersebut mengakui dan menghormati kehadiran semua
menimbulkan dua bentuk pertanyaan. Pertama, kelompok yang beragam (recognizes and
bagaimana proses terbentuknya Desa Kerta respects), mengakui dan menghargai perbedaan
Buana sehingga muncul sebagai desa dengan nilai-nilai sosio-kultural (acknowledges and
konsep multikulturalisme? Kedua, bagaimana values), mendorong dan memungkinkan
multikulturalisme itu diimplementasikan oleh kontribusi (encourages and enablesi), dan
masyarakat di Desa Kerta Buana dalam aktivitas memberdayakan semua kelompok (empowers).
sehari-hari. Pertanyaan tersebut dapat dijawab Kelima tindakan substantif itu merupakan bagian
melalui lima bagian tulisan ini, yang dimulai dari satu kesatuan yang saling berhubungan (a set
dengan penjelasan konsep multikulturalisme of interrelated parts) untuk membentuk sebuah
itu sendiri, berlanjut pada upaya saya untuk sistem, yang disebut multikulturalisme. Dengan
menjelaskan Desa Kerta Buana dari perspektif demikian, multikulturalisme merupakan sebuah
sejarah dan pertumbuhan penduduk yang sistem yang saling terhubung satu sama lain,
terjadi di desa itu. Bagian berikutnya terkait sehingga jika salah satu dari lima tindakan itu
proses membangun Desa Kerta Buana tidak dapat beroperasi, multikulturalisme pun
yang dilakukan melalui semangat tolerasi. tidak dapat beroperasi.
Kemudian, penjelasan tentang implementasi dari Prato (2009, 2), menyebutkan bahwa
multikultarlisme itu sendiri kendati masyarakat multikulturalisme menekankan kesetaraan dan
yang mengimplementasikan nilai-nilai itu tidak hak-hak sipil, yang selanjutnya mendorong
memahami bahwa tindakan yang dilakukan itu terciptanya nilai-nilai positif untuk terjadinya
sesungguhnya adalah pengejawantahan nilai-nilai toleransi sosial menuju terciptanya konstruksi
multikulturalisme. Tulisan ini saya akhiri dengan harmoni sosial. Dengan kata lain, satu kelompok
penutup. masyarakat tidak menjadi subordinat bagi
MULTIKULTURALISME SEBAGAI kelompok masyarakat lain. Demikian pula
KONSEP sebaliknya, satu kelompok masyarakat tidak
menjadi tirani bagi kelompok masyarakat
Multikulturalisme adalah konsep yang saya lain. Neumannova dalam makalahnya yang
gunakan untuk melihat dinamika masyarakat disampaikan pada sebuah Konferensi di Turin
yang terjadi dengan latar belakang kebudayaan, pada tahun 2007 menyebutkan bahwa banyak
agama, dan etnis yang berbeda, tetapi hidup dan ilmuwan dan peneliti mengidentifikasi isu
bermukim dalam satu wilayah bernama Desa multikulturalisme sebagai sebuah tantangan pada
Kerta Buana. Jika konsep pluralisme menekankan sistem demokrasi liberal dan masyarakat sipil
keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, (civil society), sebab pada masyarakat liberal
multikulturalisme lebih menekankan relasi terdapat jaminan hak universal yang dimiliki
antar-kebudayaan sehingga keberadaan suatu oleh individu untuk kebebasan dan otonomi.
kebudayaan harus mempertimbangkan keberadaan Dalam konteks ini, semua pihak mengakui adanya
kebudayaan lainnya, antara lain melalui sikap perbedaan dan masing-masing individu berbeda

Multikulturalisme...... (Robert Siburian) │ 209


itu bebas untuk mengekspresikan, baik nilai etnik yang berbeda tetapi mereka dapat hidup
kebudayaan, agama, maupun bahasa secara bebas secara harmonis dalam suatu wilayah, yang oleh
dan otonomi tanpa mendapat gangguan dari pihak He dan Kymlica (2005, 3) disebut mengelola
lain, karena semua kebudayaan mempunyai nilai keanekaragaman (managing diversity), hal itu
yang setara (tidak ada kebudayaan yang lebih menjadi kunci untuk stabilitas politik di wilayah
dominan terhadap kebudayaan lain). itu.
Sementara Reitz (2009, 1-2) menjelaskan Dalam masyarakat multikulturalisme, praktek
bahwa konsep multikulturalisme dapat sosial yang sangat diperlukan adalah toleransi.
digunakan untuk memahami secara mendasar Praktek toleransi secara tradisional merupakan
dinamika masyarakat yang berbeda, baik dari salah satu prinsip dari nilai liberalisme. Prinsip
sisi kebudayaan dan etnis. Reitz menyebutkan toleransi itu merupakan pilihan yang disengaja
Kanada menjadi salah satu contoh negara untuk untuk tidak mengganggu pelaksanaan dari
melihat bekerjanya multikulturalisme dalam suatu kegiatan yang tidak disetujuinya (Horton
kehidupan masyarakatnya. Seluruh kebudayaan 1993, 4). Dalam konteks masyarakat, nilai
para imigran yang datang ke negara itu diakui oleh toleransi itu terjadi apabila masing-masing
negara dan dapat diekspresikan, baik pada tataran kelompok masyarakat dapat mengekspresikan,
kelompok maupun pada tingkat individu. Selain baik kebudayaan maupun ritual keagamaannya.
itu, pemerintah Kanada juga mengklaim selaku Kegiatan mengekspresikan kebudayaan dan
negara yang berhasil membuat kebijakan terkait ritual keagamaan tersebut tidak diganggu oleh
multikulturalisme. Meskipun demikian, kritik kelompok masyarakat lain meskipun kegiatan
yang ditujukan pada negara itu tidak sedikit karena yang sedang dilaksanakan itu tidak disetujuinya
dalam realitasnya, banyak juga para imigran yang karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
datang ke negara itu tidak sukses terintegrasi yang ada dalam individu ataupun kelompok
dengan masyarakat Kanada, ataupun mereka masyarakat yang lain itu. Bahkan oleh Kaplin
tidak teradopsi dalam ‘nilai-nilai masyarakat (1993, 32) dijelaskan bahwa bagi masyarakat
Kanada (Canadian velues). Senada dengan Reitz, multikulturalisme, perbedaan itu sangat kontras
Kymlicka (2012, 10) juga menyebutkan bahwa baik dalam kebudayaan maupun agama , tetapi
Kanada merupakan contoh negara yang berhasil kelompok masyarakat yang berbeda tajam itu
menerapkan kebijakan multikultural terhadap dapat eksis dalam komunitas politik yang sama.
penduduk imigran dan kelompok etnik pribumi, Munculnya multi-etnik dalam suatu daerah
dan kebijakan multikultural itu diadopsi menjadi dengan latar belakang sosio-kultural, nilai-nilai,
konstitusi negara. dan pandangan dunia yang berbeda-beda yang
Reitz (2009, 20) melanjutkan bahwa dibawa oleh para migran yang datang ke suatu
multikulturalisme muncul dalam suatu masyarakat wilayah sehingga terbentuk perkotaan etnik
heterogen, dan salah satu indikatornya adalah (“Ethni Cities”), merupakan konsekuensi dari
terjadi kohesi sosial dan integrasi pada kelompok restrukturasi politik dan ekonomi yang telah
masyarakat yang berbeda satu sama lain itu. meningkatkan diversifikasi tenaga kerja dan
Kohesi sosial terjadi ketika masing-masing mobilisasi modal. Perpindahan penduduk melalui
individu dari latar belakang kelompok masyarakat sistem migrasi itu, termasuk di dalamnya migrasi
yang berbeda dapat melakukan dan berkontribusi internal, migrasi tingkat regional, migrasi global,
dalam membangun kegiatan kelompok yang migrasi ilegal, dan migrasi pengungsi (Krase
efektif, dan sebaliknya kohesi sosial gagal 2009, 21). Kaitan dengan ditempatkannya
terbangun apabila masing-masing individu tidak transmigran di Desa Kerta Buana dari Pulau
dapat berkontribusi secara efektif, bahkan yang Bali dan Pulau Lombok oleh pemerintah pada
muncul justru konflik sosial. Tidak adanya kohesi tahun 1980, maka jenis perpindahan penduduk
sosial, menyebabkan satu kelompok masyarakat berdasarkan kategorisasi yang dilakukan oleh
dengan kelompok masyarakat lain akan saling Krase itu, masuk pada sistem migrasi internal.
curiga, yang berakibat tidak terbangunnya saling
percaya di antara mereka. Padahal, saling percaya
S E J A R A H D A N P E RT U M B U H A N
PENDUDUK DI DESA KERTA BUANA
(trust) merupakan modal sosial yang penting agar
kehidupan sosial dapat berjalan baik. Dengan Sebelum berbentuk desa, wilayah Desa Kerta
berbagai latar belakang sosial, agama, dan Buana yang menjadi lokasi studi ini, adalah

210 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


ruang kosong yang tidak berpenduduk. Wilayah dijadikan sebagai kawasan konservasi untuk
itu sebagian besar merupakan bekas rawa-rawa menjaga kestabilan ekosistem daerah aliran
dan lahan gambut dengan tingkat kedalaman satu sungai (Napitupulu dan Mudiantoro 2015).
sampai tiga meter. Sementara tanah kering yang Berdasarkan tingkat kedalaman gambut,
ada di sana menjadi tempat perladangan berpindah maka lahan yang dialokasikan pemerintah
masyarakat lokal (orang Kutai) yang ada di menjadi lokasi transmigrasi dengan tingkat
Desa Separi dan Desa Embalut, sehingga Desa kedalaman gambut satu sampai tiga meter,
Kerta Buana menjadi bagian dari kedua desa itu. sesungguhnya tidak diarahkan pada tanaman
Baik Desa Separi maupun Desa Embalut berada pangan/semusim tetapi untuk pengembangan
di pesisir Sungai Mahakam yang berbatasan tanaman tahunan. Para transmigran yang telah
dengan Desa Kerta Buana. Salah satu ciri khas berhasil menjadikan Desa Kerta Buana sebagai
permukiman orang Kutai seperti halnya orang kawasan pertanian sawah, tidak lepas dari musim
Dayak, adalah membangun permukiman di tepi kemarau yang berlangsung selama sebelas bulan
sungai besar. pada akhir tahun 1982 sampai pertengahan tahun
Pada tahun 1980, pemerintah Indonesia 1983. Musim kemarau yang cukup panjang itu
menetapkan bagian dari wilayah Desa Separi membuat lahan gambut dalam kondisi kering
dan Desa Embalut sebagai lokasi transmigrasi, dan dapat dibakar habis untuk diolah menjadi
setelah sebelumnya dilakukan diskusi dengan persawahan.
masyarakat lokal selaku pemilik wilayah Transmigran yang ditempatkan di Desa
(indigenousterritorial). Ketika infrastruktur Kerta Buana pada akhir tahun 1980 berjumlah
permukiman untuk transmigran selesai dibangun, 430 kepala keluarga, dengan rincian 300 kepala
pemerintah pun mendatangkan transmigran ke keluarga berasal dari Pulau Bali, 76 kepala
wilayah itu. Ada tiga kelompok masyarakat yang keluarga berasal dari Pulau Lombok, dan 54
ditempatkan di lokasi itu, yaitu: Bali, Jawa, dan kepala keluarga merupakan transmigran lokal.
Sasak; dan mereka semua berasal dari daerah asal Jumlah transmigran yang berasal dari masyarakat
transmigrasi, Pulau Bali dan Pulau Lombok. lokal tidak lebih 20% dari seluruh peserta
Sebelum para transmigran itu diberangkatkan, transmigrasi yang ditempatkan dalam suatu
pemerintah telah melakukan sosialisasi terkait kawasan tertentu. Lokasi transmigrasi itu dibagi
lokasi di mana mereka akan ditempatkan. Akan menjadi empat blok, yaitu Blok A, Blok B, Blok
tetapi, berdasarkan informasi beberapa peserta C1, Blok C2, dan Blok D. Peserta transmigrasi itu
transmigran di Desa Kerta Buana, kondisi ketika berada di daerah asal adalah petani, oleh
lokasi itu berbeda jauh dari apa yang mereka karena itu tidak mengherankan apabila pekerjaan
dengar saat sosialisasi lokasi dilakukan. Pada mereka setelah tiba di lokasi transmigrasi pun
saat transmigran tiba, tanah pertanian belum siap adalah juga petani.
untuk diolah, bahkan jenis tanah yang diberikan Jumlah penduduk Desa Kerta Buana pada
pemerintah pada transmigran pun tidak layak tahun 2015 mencapai 5.411 jiwa (Lihat Tabel 1),
dijadikan sebagai lahan pertanian, karena berupa terdiri atas 16 suku bangsa yang ada di Indonesia
tanah gambut. Berdasarkan tingkat kedalaman, ini. Jumlah penduduk yang bertambah sekitar
gambut dibedakan menjadi empat bagian: (i) 182,85% selama 35 tahun (jumlah penduduk
gambut dangkal (50–100 cm), (ii) gambut sedang pada tahun 1980 adalah 1.913 jiwa), tidak lepas
(100–200 cm), (iii) gambut dalam (200–300 dari keberadaan perusahaan pertambangan
cm), dan (iv) gambut sangat dalam (>300 cm) batubara yang beroperasi di Desa Kerta Buana
(Agus dan Subiksa 2008: 1,6), sehingga tingkat dan sekitarnya. Hal itu disebabkan oleh kehadiran
kedalaman gambut di Desa Kerta Buana termasuk perusahaan pertambangan yang menjadi faktor
dalam katagori gambut sedang dan dalam. penarik bagi penduduk di luar Desa Kerta
Peruntukan masing-masing tanah gambut Buana. Mereka datang ke desa itu untuk mencari
dengan kedalaman yang bervariasi itu, juga pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan
berbeda. Gambut dangkal diarahkan untuk pertambangan batubara itu. Tabel berikut
pengembangan pertanian tanaman pangan/ memperlihatkan komposisi penduduk Desa Kerta
semusim, gambut sedang dan dalam diperuntukkan Buana berdasarkan etnis pada tahun 2015
bagi pengembangan tanaman tahunan (hortikultura Desa Kerta Buana adalah salah satu desa
dan perkebunan), dan gambut sangat dalam harus yang berada di Kecamatan Tenggarong Seberang.

Multikulturalisme...... (Robert Siburian) │ 211


Gambar 1 Peta Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur

Sumber: https://www.google.co.id (Akses 14 Desember 2017).

Tabel 1 Komposisi Penduduk Desa Kerta Buana Berdasarkan Etnis pada Tahun 2015

No Etnis Jumlah Persentase (%)


1. Kutai 189 orang 34.92
2. Dayak 65 orang 1.20
3. Jawa 781 orang 14.43
4. Lombok 1.972 orang 36.44
5. Bali 2.013 orang 37.20
6. Bugis 161 orang 2.96
7. Batak 98 orang 1.81
8. Lainnya a 132 orang 1.44
Jumlah 5.411 orang 100,00
Sumber: Profil Desa Kerta Buana 2015.

a
Suku bangsa lain itu meliputi Manado, Banjar, suku bangsa berasal dari Pulau Flores, Sunda, Sumbawa, Bali-Lombok,
Madura, dan Tionghoa.

212 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


Desa ini lebih dikenal dengan sebutan L4, yaitu pemerintah untuk mereka tempati dan usahakan
lokasi desa itu sebelum resmi bernama Desa pada tahun 1980 lalu, tidak layak dijadikan
Kerta Buana, sekaligus salah satu desa yang sebagai lahan pertanian. Tanah gambut dan rawa
menjadi lokasi penempatan transmigrasi Teluk merupakan jenis tanah yang mereka tempati.
Dalam, bersama empat desa lainnya.3 Desa Kerta Namun dengan kegigihan para petani transmigran
Buana yang disebut L4, dikenal juga sebagai yang diberangkatkan dari Pulau Bali dan Pulau
‘Kampung Bali’ karena desa itu banyak dihuni Lombok, dibantu dengan hadirnya musim
oleh orang Bali dengan ekspresi kebudayaan dan kemarau sekitar 11 bulan pada tahun 1983,
keagamaan yang menonjol, walaupun jumlah telah berhasil mengubah lahan gambut dan rawa
penduduk Hindu-Bali hanya 37% dari seluruh menjadi areal persawahan yang produktif.
jumlah penduduk pada 2015.
MEMBANGUN DESA DENGAN
Sebelum tiba di Desa Kerta Buana, wilayah SEMANGAT TOLERANSI
yang merupakan bagian dari Pulau Kalimantan
ini, adalah desa yang ‘menyeramkan’ bagi para Untuk menjadikan Desa Kerta Buana dengan
transmigran. Orang Dayak selaku penduduk tingkat pembauran yang tinggi pada saat sekarang
asli di Pulau Kalimantan dikategorikan sebagai (2016), bukan tanpa halangan, termasuk ‘halangan’
pemakan orang, stereotip yang ditanamkan dari pemerintah sendiri yang diwakili oleh Kepala
oleh penjajah Belanda (Riwut 1979, 1) dapat Unit Permukiman Transmigrasi yang bertugas
menyesatkan pikiran penduduk Indonesia waktu itu, sebagai representasi pemerintah di
lain. Oleh sebab itu, calon transmigran yang lokasi transmigrasi. Salah satu halangan itu adalah
memperoleh lokasi penempatan di Pulau tingkat pendidikan para transmigran yang begitu
Kalimantan banyak mengurungkan niatnya untuk rendah—rata-rata Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar
mengikuti program transmigrasi. Kendatipun sekarang) dan bahkan di antaranya banyak yang
demikian, tidak semua calon transmigran percaya tidak sampai lulus—menjadikan pengetahuan dan
pada propaganda penjajah Belanda itu, sebab ada ruang interaksi dengan suku bangsa lain terbatas
di antara peserta transmigrasi, misalnya Sutejo karena mereka tidak memiliki pengalaman hidup
(62 tahun),4 mencoba menarik persinggungan di luar komunitasnya. Interaksi yang lebih luas,
antara Kalimantan dengan Jawa dari faktor biasanya terjadi di tingkat sekolah yang lebih
sejarah. Hal itu dirujuk oleh Sutejo sekedar tinggi, seperti SMA yang rata-rata terdapat di
untuk menghilangkan stereotype yang dibangun kota, sebab murid-murid di sekolah itu umumnya
penjajah Belanda tersebut. Sutejo mencoba berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
meyakinkan dirinya bahwa Jawa dan Kalimantan Oleh sebab itu, sekolah tingkat atas sesungguhnya
itu masih bersaudara dengan menghubungkan dapat menjadi media yang memudahkan mereka
Raja Mulawarman yang pernah memimpin berbaur dan hidup bertetangga dengan ‘orang
Kerajaan Kutai Martadipura pada 400-460 Masehi asing’. Ketika para transmigran masih tinggal di
dengan Raja Purnawarman yang pernah berkuasa daerah asal, penduduk yang bermukim di desa
di Kerajaan Tarumanegara pada 395 Masehi. yang mereka tempati berasal dari komunitas
sendiri, sehingga pada saat diberangkatkan ke
Desa Kerta Buana pada awalnya adalah desa
lokasi transmigrasi, mereka tidak dibekali hidup
pertanian, seiring terdapatnya hampir 1.000 hektar
dan berinteraksi sepanjang hari dengan kelompok
sawah yang diusahakan oleh para transmigran.
masyarakat yang berbeda.
Dengan luas sawah sebanyak itu, Desa Kerta
Buana dapat memberikan kontribusi signifikan Transmigran yang ditempatkan di Desa
untuk menjadikan Kecamatan Tenggarong Kerta Buana, berasal dari empat suku bangsa,
Seberang sebagai lumbung padi bagi Kabupaten yaitu mereka yang berasal dari Bali, Jawa,
Kutai Kartanegara. Menciptakan ratusan hektar dan Sasak (Lombok), ditambah Kutai selaku
sawah di Desa Kerta Buana bukan perkara transmigran lokal. Dengan suku bangsa berbeda
mudah, sebab lokasi transmigrasi yang disediakan satu sama lain ditambah pengalaman tinggal di
tempat yang heterogen belum ada sebelumnya,
memungkinkan timbulnya kekhawatiran
3
Desa-desa penempatan transmigrasi di Teluk Dalam
adalah Bangun Rejo, Manunggal Jaya, Karang Tunggal, dari Kepala Unit Permukiman Transmigrasi
dan Teluk Dalam. (UPT) untuk memisahkan permukiman peserta
4
Wawancara dengan Sutejo (bukan nama sebenarnya, 62 transmigrasi itu. Padahal, dalam Pasal 2 Undang-
tahun) di Desa Kerta Buana, 31 Agustus 2015. Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-

Multikulturalisme...... (Robert Siburian) │ 213


Ketentuan Pokok Transmigrasi sebagai dasar Dewa Ketut,5 selaku Kepala Rombongan peserta
hukum pelaksanaan program transmigrasi pada transmigrasi dari pulau Bali.
waktu itu, salah satu sasaran yang ingin dicapai Berdasarkan informasi yang disampaikan
adalah kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh oleh Almarhum I Dewa Ketut Alit pada penulis
sebab itu, apabila permukiman transmigran ketika masih hidup, Kepala UPT sebenarnya
dikelompokkan berdasarkan etnis atau suku menawarkan rumah yang berada di jalan poros,
bangsa, sasaran yang ingin dicapai akan sulit yang menjadi jalan utama di Desa Kerta Buana.
terwujud dan besar kemungkinan terjadinya Akan tetapi, I Dewa Ketut Alit konsisten dengan
potensi konflik, karena interaksi antar satu usulannya bahwa peserta transmigran untuk
suku bangsa dengan suku bangsa lain jarang mendapatkan rumah dilakukan dengan cara
dilakukan. Berbeda apabila permukiman mereka mengundi tanpa kecuali, dan rumah yang didapat
tidak dipisahkan, interaksi di antara mereka akan tidak boleh ditolak. Artinya, I Dewa Ketut Ali
sering terjadi sehingga satu sama lain akan lebih menolak rumah yang ditawarkan oleh Kepala
cepat saling memahami, kesatuan dan persatuan Kantor UPT untuk mengganti rumah yang
bangsa di tingkat unit permukiman transmigran diperoleh berdasarkan undian. Dengan kata lain,
pun dapat terwujud. Interaksi dan relasi yang I Dewa Ketut Alit tidak memanfaatkan posisinya
terbangun pada masyarakat yang berbeda sebagai Kepala Rombongan untuk memilih rumah
kebudayaan, memunculkan multikulturalisme. kesukaannya, tetapi melanggar aturan yang sudah
Syaifuddin (2006, 5) menyebutkan bahwa dibuat sebelumnya dan telah disepakati bersama.
multikulturalisme lebih menekankan relasi Dalam perkembangannya, I Dewa Ketut Alit
antarbudaya, dengan pengertian suatu kebudayaan justru merasa tepat pada pilihannya dulu karena
harus mempertimbangkan kebudayaan lain. berubahnya Desa Kerta Buana menjadi konsesi
Dengan adanya relasi antarbudaya itu, muncullah pertambangan, mengakibatkan jalan poros
gagasan kesetaraan, toleransi, dan saling yang ada di desa itu menjadi sibuk dengan arus
menghargai antar masing-masing kelompok hilir-mudik kendaraan bermotor milik beberapa
masyarakat yang saling berbeda kebudayaan itu. perusahaan yang beraktivitas di Kecamatan
Ketika ada tawaran dari Kepala UPT untuk Tenggarong Seberang.
membagi permukiman sesuai latar belakang Sesungguhnya, tokoh masyarakat sudah
budaya, agama, dan daerah asal yang sama, tawaran berupaya untuk menciptakan permukiman
itu ditolak Kepala Rombongan dari masing- transmigran tidak ditempati oleh mereka yang
masing peserta transmigrasi. Kepala Rombongan, hanya berasal dari satu daerah saja dengan
sekaligus menjadi peserta transmigrasi, lebih cara mengundi. Meskipun demikian, di antara
berorientasi pada perdamaian yang terwujud transmigran ada juga yang saling bertukar rumah
pada masa yang akan datang dibandingkan dengan secara diam-diam. Saling bertukar rumah itu
usulan Kepala UPT. Perdamaian itu hanya bisa terjadi karena lokasi permukiman yang ditempati
terjadi apabila interaksi antar masyarakat yang sebelumnya, didominasi oleh kelompok etnis yang
berbeda suku bangsa dan agama itu terjadi dalam berbeda dengan kelompok etnisnya. Pertukaran
kesehariannya. Oleh sebab itu, pembagian rumah yang terjadi tidak saja di tataran permukiman,
yang menjadi jatah transmigran dilakukan dengan tetapi juga pada lahan pertanian (sawah).
cara mengundi. Hidup bertetangga diharapkan
Pembagian lahan pertanian, baik lahan satu
menjadi instrumen untuk membangun interaksi
yang luasnya satu hektar maupun lahan dua yang
itu. Pada saat pengundian berlangsung dan sudah
luasnya 3/4 hektar dibagi berdasarkan RT (Rukun
dinyatakan memperoleh rumah sesuai hasil
Tetangga). Setelah lahan dibagi berdasarkan RT,
undian, rumah dimaksud tidak boleh ditolak
selanjutnya anggota masyarakat dalam satu RT
bagaimanapun kondisinya. Syarat rumah yang
itu membaginya juga berdasarkan undian. Jika
sudah didapat tidak boleh ditolak, juga berlaku
dalam satu RT didominasi suku bangsa tertentu
bagi Kepala Rombongan. Padahal, Kepala
yang berbeda dengan suku bangsanya, yang
Rombongan sesungguhnya dimungkinkan untuk
bersangkutan menawarkan lahan pertaniannya
mendapat keistimewaan dalam memilih rumah
untuk ditukar dengan lahan transmigran di tempat
sesuai keinginannya, tetapi masing-masing Kepala
lain yang juga menjadi suku minoritas. Alasan
Rombongan tidak menggunakan keistimewaan
itu, seperti yang dilakukan oleh Almarhum I 5
Hasil wawancara dengan I Dewa Ketut Ali di Desa
Kerta Buana, 5 Desember 2014.

214 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


yang dikemukakan adalah agar mereka yang adalah sama-sama pendatang dan tinggal jauh
satu suku bangsa berada dalam satu kelompok dari kampung halaman. Oleh sebab itu, hidup
karena merasa lebih nyaman. Dengan demikian, berdampingan dengan semangat toleransi adalah
bertukar tempat tinggal ternyata lebih didorong indikator untuk tercapainya kedamaian, sehingga
oleh perbedaan agama daripada suku bangsa, masing-masing individu dapat melaksanakan
misalnya antara transmigran Bali beragama Hindu aktivitas kesehariannya. Semangat toleransi itu
dengan transmigran Lombok atau Jawa yang pula yang telah menjadikan Desa Kerta Buana
beragama Islam. luput dari konflik antar etnis dan agama, termasuk
Berdasarkan fenomena itu, harapan tokoh luput dari kasus pembunuhan seperti dijelaskan
masyarakat agar para transmigran menerima oleh Hamka di awal tulisan ini.
rumah dan lahan sesuai hasil undian, tidak Pada saat ini, kehidupan yang mereka jalankan
sepenuhnya berjalan. Kendatipun ada beberapa tidak lepas dari awal kehadiran transmigran di
orang tidak dapat hidup berdampingan dengan Desa Kerta Buana. Daerah asal keberangkatan
kelompok masyarakat lain, dalam realitasnya, transmigran itu adalah Pulau Lombok dan Pulau
pembauran tetap terjadi meskipun antar blok Bali. Sementara suku bangsa para transmigran
satu dengan blok lain tetap ada suku bangsa yang dari dua pulau yang berada di kepulauan Nusa
mendominasi. Tenggara itu adalah Bali, Jawa, dan Sasak
Komposisi penduduk di Desa Kerta (Lombok), ditambah dengan transmigrasi lokal
Buana dalam realitasnya menunjukkan bahwa yang berasal dari etnis Kutai.
permukiman di Blok A dan Blok B didominasi Mayoritas penduduk di Desa Kerta Buana dari
transmigran beretnis Sasak-Lombok dan Jawa sisi agama yang dianut adalah Islam. Berdasarkan
yang beragama Islam, sementara penduduk data pada tahun 2015, penduduk Desa Kerta
di Blok C1, Blok C2, dan Blok D didominasi Buana yang beragama Islam berjumlah 3.293
kelompok masyarakat Hindu-Bali. Dengan jiwa atau 64 persen dari seluruh penduduk yang
kelompok mayoritas demikian, maka kelian berjumlah 5.411 jiwa. Agama yang dianut oleh
(ketua) adat Hindu-Bali juga merujuk pada orang penduduk di urutan kedua adalah Hindu-Bali
Hindu-Bali yang bermukim di masing-masing dengan jumlah 1.820 jiwa atau 34 persen dari
blok. Untuk Blok A dan Blok B yang dihuni oleh seluruh penduduk (Kantor Desa Kerta Buana
umat Hindu Bali dengan jumlah tidak begitu 2016). Kendati jumlah penganut agama Islam
banyak, mereka dikelompokkan dalam satu lebih besar, tetapi oleh kebanyakan orang dari
kelian adat. Adapun untuk Blok C1, Blok C2, dan masyarakat yang bermukim di Kecamatan
Blok D dengan masing-masing blok yang dihuni Tenggarong Seberang dan sekitarnya, Desa Kerta
mayoritas umat Hindu-Bali menjadikan masing- Buana lebih dikenal sebagai ‘Kampung Bali’.
masing blok memiliki kelian adat sendiri-sendiri. Istilah itu muncul secara alami sesuai fenomena
yang terjadi di desa itu. Pengalaman penulis di
M U LT I K U LT U R A L I S M E: Kota Samarinda, bagi mereka yang mengetahui
I M P L E M E N TA S I TA N PA H A R U S
DIPAHAMI Desa Kerta Buana atau L4, juga lebih mengenal
desa itu dengan sebutan ‘Kampung Bali’.
Hidup berdampingan dengan masyarakat Berdasarkan fakta di lapangan, sebutan Desa
berbeda agama, etnis, dan kebudayaan menjadi Kerta Buana sebagai ‘kampung Bali’ sepertinya
modal sosial (social capital) yang dimiliki tidak keliru. Aktivitas umat Hindu-Bali di desa
oleh masyarakat yang bermukim di Desa Kerta transmigrasi sekaligus pertambangan itu terasa
Buana agar tercipta kohesi dan integrasi sosial. menonjol sekali yang diwarnai oleh maraknya
Transmigran, baik berasal dari Jawa, Bali, upacara keagamaan dan adat. Dengan kedua
Lombok, maupun Kutai selaku masyarakat upacara dimaksud, dapat disebut juga: ‘Tiada
lokal yang tinggal di Desa Kerta Buana, sadar hari tanpa upacara’, seperti dikemukakan oleh
betul bahwa mereka itulah yang membangun Kelaci (1996, 13) untuk menggambarkan
Desa Kerta Buana. Tidak itu saja, penduduk kehidupan keagamaan di Pulau Bali, juga
Desa Kerta Buana yang berasal dari Pulau Jawa, terjadi di Desa Kerta Buana. Desa yang disebut
Bali, dan Lombok, baik yang datang ke desa sebagai ‘kampung Bali’ ini, sudah pernah dicoba
itu selaku peserta transmigrasi maupun mereka dihilangkan sebutannya oleh tokoh masyarakat
yang datang kemudian untuk mencari pekerjaan, Lombok dengan cara membangun sekolah

Multikulturalisme...... (Robert Siburian) │ 215


madrasah, namun Desa Kerta Buana tetap identik menyelenggarakan sendra tari dan pertunjukan
dengan kampung Bali. drama ‘calon arang’ di pelataran Pura Dalem
Seperti diketahui, aktivitas keagamaan Agung. Pengumuman sekaligus undangan bagi
Hindu-Bali lebih menonjol di Desa Kerta seluruh warga Desa Kerta Buana yang dilakukan
Buana meskipun jumlah mereka lebih sedikit secara terbuka melalui kendaraan (mobil)
dibandingkan dengan penduduk yang beragama yang mengelilingi permukiman, dimaksudkan
Islam, umat mayoritas itu tidak terasa terganggu untuk mengajak seluruh masyarakat desa tanpa
oleh aktivitas umat Hindu-Bali. Beberapa upacara memandang latar belakang etnis, agama, dan
keagamaan Hindu-Bali yang dirayakan secara sosial untuk hadir menyaksikan pertunjukan itu.
khusus, justru difasilitasi ataupun dimudahkan. Pengamatan saya memperlihatkan bahwa ribuan
Salah satu di antaranya adalah upacara “Ngenteg penonton datang menyaksikan pertunjukan itu,
Linggih” yang berlangsung pada 28 September tidak saja berasal dari umat Hindu-Bali selaku
2015 lalu. Upacara dimaksud diselenggarakan penyelenggara dan pemilik acara, melainkan
untuk menyucikan pura agung yang berlangsung seluruh masyarakat di Desa Kerta Buana dan
dalam 30 tahun sekali itu, merupakan hari libur desa-desa di sekitarnya. Hal itu dapat dilihat
di Desa Kerta Buana. Pada hari itu, kantor desa, dari pakaian yang dikenakan. Jika penonton
Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama yang datang bukan orang Hindu-Bali, pakaian
diliburkan untuk memberi kesempatan kepada yang dikenakan lebih santai dan bebas, ataupun
pegawai dan murid sekolah yang beragama Hindu ada yang mengenakan jilbab bagi sebagian
untuk merayakan upacara tersebut. Perusahaan wanita muslim. Sementara kalau yang datang itu
pertambangan batubara yang beroperasi di Desa adalah umat Hindu-Bali, mereka mengenakan
Kerta Buana khususnya ataupun Kecamatan pakaian adat seperti kebaya untuk perempuan
Tenggarong Seberang pada umumnya yang dan kamen lengkap dengan udeng (ikat kepala)
memiliki karyawan beragama Hindu dari Desa bagi pria. Drama yang disertai sendra tari yang
Kerta Buana diberi dispensasi untuk tidak masuk berlangsung hingga dini hari itu, bukan sebuah
pada saat itu. pertunjukan gratis karena setiap penonton
dikenakan tiket masuk sebesar Rp2.000,00.
“Ngenteg Linggih” merupakan kegiatan umat
Banyaknya pengunjung yang menyaksikan drama
Hindu yang tergolong agung. Selain persiapannya
tari itu mengindikasikan bahwa mereka tidak
memerlukan waktu begitu lama (sekitar tiga
keberatan dengan tarif masuk yang dikenakan
bulan) dan melibatkan seluruh umat Hindu-Bali
panitia.
di Desa Kerta Buana, pendeta yang memimpin
upacara dimaksud pun khusus didatangkan dari Selain pagelaran drama tari calon arang
Pulau Bali. Dengan kata lain, umat Hindu yang tersebut, salah satu jenis kebudayaan Bali yang
berada di Desa Kerta Buana diberi waktu untuk ditampilkan oleh umat Hindu-Bali di Desa Kerta
mengekspresikan ajaran agamanya tanpa harus Buana dengan mengundang banyak orang untuk
disibukkan dengan urusan sekolah ataupun menonton dan berpartisipasi adalah tari (joged)
perusahaan. Padahal, jika merujuk pada kalender bumbung, seperti dilaksanakan pada tanggal
nasional, hari pelaksanaan upacara dimaksud 8 November 2015 untuk merayakan ulang
adalah hari kerja. Demikian juga pada saat hari tahun Pura Ratu Gede milik transmigran Bali
Nyepi berlangsung pada tanggal 10 Maret 2016 asal Kabupaten Jembrana. Pertunjukan joged
lalu. Kalau dalam kalender nasional mencatat bumbung tersebut, juga disaksikan oleh seluruh
hari libur jatuh hanya pada hari raya Nyepi itu masyarakat yang ada di Desa Kerta Buana tanpa
saja, tetapi untuk kegiatan di Sekolah Dasar dan membedakan latar belakang agama dan suku
Sekolah Menengah Pertama di Desa Kerta Buana bangsa. Artinya, meskipun umat Hindu-Bali
diliburkan selama dua hari. Artinya, pihak sekolah jumlahnya hanya 35% dari seluruh penduduk
memberi kesempatan yang lebih leluasa kepada yang bermukim di Desa Kerta Buana, hal itu
anak didik dan guru/staf pegawai yang beragama tidak menjadi halangan bagi mereka untuk
Hindu untuk merayakan hari raya umat Hindu mengekspresikan kebudayaannya. Bahkan, dalam
tersebut. kegiatan yang bersifat lokal, seperti perayaan
ulang tahun desa, masing-masing kelompok suku
Dua hari setelah upacara “Ngenteg
bangsa diminta untuk menyuguhkan pertunjukan
Linggih” berlangsung, tepatnya pada tanggal 30
kesenian sebagai bentuk partisipasi. Oleh sebab
September 2015, kalangan pemuda Hindu-Bali

216 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


itu, pada perayaan ulang tahun desa yang ke 35 saling mengenal kecuali yang berasal dari satu
pada tanggal 21 November 2015 lalu, masyarakat suku bangsa atau satu daerah. Setelah itu, kepala
di Desa Kerta Buana mengadakan doa bersama desa dan sekretaris desa selalu berasal dari etnis
yang dihadiri tokoh-tokoh agama Islam, Hindu, yang berbeda. Akan tetapi, sejak sekretaris desa
dan Kristen. Pada malam harinya, sebagai sudah menjadi pegawai negeri sipil sehingga
malam ucapan syukur, suku bangsa yang ada pengisian posisi itu tidak lagi tergantung kepada
di Desa Kerta Buana menampilkan kesenian kepala desa terpilih, sekretaris desa merupakan
masing-masing, seperti tari bumbung dari Bali, pegawai kecamatan yang ditempatkan di kantor
gendang beleq dari Lombok, dan gamelan dari desa. Demikian halnya dengan ketua lembaga
Jawa. Suku-suku bangsa itu merupakan tiga suku masyarakat adat/badan perwakilan desa yang
bangsa terbesar di Desa Kerta Buana. Atraksi selalu berasal dari suku bangsa berbeda dengan
kesenian demikian menjadi hiburan malam bagi kepala desa. Hal itu menunjukkan bahwa tidak
seluruh masyarakat dari berbagai lapisan karena terjadi dominasi satu suku bangsa yang berkuasa
selalu disesaki penonton. Kesempatan itu juga dalam pemerintahan Desa Kerta Buana.
dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang kecil Politik lokal ketika pemilihan kepala desa
untuk menjajakan dagangannya, seperti pedagang berlangsung di Desa Kerta Buana, seluruh warga
makanan dan minuman ringan, jajanan anak-anak, lebih mengutamakan kemampuan sang calon.
dan penjual rokok. Memilih kepala desa tidak semata-mata didasarkan
Kesadaran bahwa masyarakat yang bermukim pada sentimen suku bangsa dan agama. Kalaupun
di Desa Kerta Buana terdiri dari berbagai latar ada, sentimen suku bangsa itu relatif kecil dan
belakang suku bangsa dan kebudayaan, dan hanya menarik bagi orang-orang tertentu saja.
toleransi di antara mereka harus terus dibangun, Oleh karena itu, kendati calon kepala desa tidak
dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat. berasal dari suku bangsa mayoritas, sang calon
Toleransi yang ditampilkan oleh seluruh lapisan mampu memenangkan kompetisi itu dan terpilih
masyarakat Desa Kerta Buana tidak saja dalam menjadi kepala desa. Pada pemilihan kepala
mengekspresikan kebudayaan masing-masing desa untuk jabatan periode tahun 1991–1999
suku bangsa, tetapi juga keterwakilan masing- menjadi salah satu contoh. Calon kepala desa yang
masing suku bangsa dalam bentuk kepanitiaan ‘bertarung’ saat itu hanya dua orang saja, yaitu I
pada suatu kegiatan yang akan dilaksanakan Dewa Ketut Alit asal Bali berhadapan dengan H.
ataupun keanggotaan sebagai pengurus dalam Abdul Wa’it asal Lombok. Dalam pertarungan
suatu organisasi ataupun struktur, meskipun tersebut, H. Abdul Wa’it berhasil mengalahkan I
jumlahnya tidak sama. Keterwakilan itu juga Dewa Ketut Alit yang juga incumbent waktu itu,
terlihat dari perangkat desa, bahkan kepala desa padahal jumlah pemilih berasal dari Bali jauh
yang pernah memimpin Desa Kerta Buana, tidak lebih banyak. Ada dugaan bahwa pemilih berasal
selalu berasal dari suku bangsa ataupun agama dari Bali menginginkan suatu perubahan untuk
mayoritas. Sejak tahun 1980 sampai pada tahun memimpin Desa Kerta Buana delapan tahun ke
2016, kepala desa yang memimpin Desa Kerta depan. Oleh karena calon kepala desa hanya dua
Buana sudah lima orang, yang dipilih langsung orang, maka pada akhirnya pilihan pun ditujukan
oleh warga desa. Penduduk Desa Kerta Buana pada H. Abdul Wa’it yang beragama Islam itu.
mayoritas beragama Islam, dan jika agama Pemilihan kepala desa untuk periode tahun
menjadi rujukan, sudah seharusnya kepala desa 1999–2006, dari sisi pertarungan etnisitas
yang terpilih untuk memimpin Desa Kerta Buana terhadap calon kepala desa, kurang menarik.
selalu beragama Islam. Akan tetapi, fakta yang Calon kepala desa yang memperebutkan kepala
terjadi tidak demikian meskipun dinamika politik desa pada waktu itu hanya dua orang, dan
di tingkat lokal berpengaruh dalam menentukan keduanya berasal dari Bali. Sementara pemilihan
calon kepala desa, seperti terlihat dalam Tabel 2 kepala desa periode tahun 2016–2013 kembali
berikut ini. menarik karena jumlah calon ada tiga orang, yaitu
Tabel 2 memperlihatkan bahwa antara kepala Sukisno (Jawa), I Dewa Putu (Bali), dan Buleleng
desa dengan sekretaris desa selalu berasal dari (asal Manado beragama Kristen, sekaligus tenaga
etnis berbeda, kecuali untuk kepala desa dan penyuluh pertanian lapangan di Desa Kerta
sekretaris desa pertama, keduanya adalah orang Buana). Berdasarkan pengamatan Suratman (60
Bali. Ada dugaan bahwa warga masyarakat belum

Multikulturalisme...... (Robert Siburian) │ 217


Tabel 2. Nama unsur pimpinan Desa Kerta Buana berdasarkan periode menjabat

Periode
1980 – 1991 1991-1999 1999-2006 2006-2013 20013-2019
Jabatan
Kepala Desa I Dewa Ketut H. Abdul Wa’it I Wayan Arthina Sukisno Zainuddin
Alit
Suku bangsa Bali Lombok Bali Jawa Lombok
Sekretaris Desa I Wayan Parnen I Nengah Chandra M. Said M. Said Abdul Basit
Suku bangsa Bali Bali Lombok Lombok Madura/PNS
Ketua LMD/ Mahmud Irun 1. Sukardi I Komang Widyana I Wayan Karta
BPD 2. Amiruddin
Suku bangsa Kutai Dayak 1. Jawa Bali Bali
2. Lombok
Sumber: Siburian (2017, 110).

th),6 Sukisno berhasil merangkul kelompok etnik calon tersebut. Hal ini terlihat dari suara yang
lain selain Jawa, sehingga kelompok masyarakat berhasil dikumpulkannya ternyata tidak mampu
lain, seperti Lombok, mengalihkan suaranya ke menghantar I Wayan Karti sebagai kepala desa
Sukisno. Sesungguhnya, Sukisno juga mencoba terpilih. I Wayan Karti hanya mampu berada di
merangkul kelompok masyarakat yang berasal urutan tiga setelah Zainuddin berada di urutan
dari Bali melalui dialog dan sosialisasi program 1 dan berhak menjadi kepala desa, disusul oleh
yang dilakukan di Balai Adat, tetapi pemilih Bali I Ketut Parnan di urutan ke 2. Kemudian, bagi
tidak banyak beralih untuk memilih Sukisno pada kepala desa yang terpilih, seakan sudah menjadi
hari penyoblosan karena mereka lebih memilih komitmen bersama bahwa ketika kepala desa
calon yang berasal dari kelompok etniknya sudah berasal dari suku bangsa tertentu, maka
sendiri, yaitu I Dewa Putu. Sementara warga ketua lembaga masyarakat desa atau badan
yang memilih Buleleng tidak begitu signifikan perwakilan desa berasal dari suku bangsa lain,
karena suara yang dapat diperoleh tidak lebih sehingga yang terjadi di Desa Kerta Buana bahwa
dari 60 suara. kepala desa tidak pernah berasal dari kelompok
Selanjutnya, pemilihan kepala desa periode suku Banga yang sama dengan ketua LMD/BPD.
tahun 2013-2019 diikuti lima calon, yaitu Contoh lain dari Desa Kerta Buana yang
Zainuddin (asal Lombok), I Ketut Parnan (asal mengedepankan semangat multikulturalisme
Bali), I Nyoman Satria (asal Bali), Wagiman adalah keanggotaan Perlindungan Masyarakat
(asal Jawa), dan I Wayan Karti (perempuan (Linmas). Jumlah anggota Perlindungan
asal Bali). Adanya tiga calon kepala desa dari Masyarakat di desa itu mencapai 30 orang pada
kelompok masyarakat Bali, mengakibatkan suara tahun 2015 dan masing-masing suku bangsa
yang mendukung calon yang berasal dari Bali mayoritas terwakili dalam keanggotaan Linmas
menjadi terpecah dan terdistribusi pada ketiga itu, yaitu: Lombok 11 orang, Jawa 5 orang, Kutai
calon tersebut. Oleh sebab itu, pemilihan kepala 2 orang, dan Bali-Lombok 5 orang. Menurut ketua
desa pada saat itu dimenangkan oleh calon dari Linmas, Desa Kerta Buana mengakomodir setiap
Lombok, meskipun calon tersebut hanya menang suku bangsa yang membangun Desa Kerta Buana
di dua blok, yaitu Blok A dan Blok B yang dalam keanggotaan Perlindungan Masyarakat
didominasi oleh transmigran berasal dari Lombok. guna menjaga keharmonisan masyarakat yang
Padahal, pengakuan Suratman ketika malam tiba berada di Desa Kerta Buana. Berdasarkan realitas
sebelum hari penyoblosan , rumah calon tersebut yang terjadi pada masyarakat yang bermukim di
sepi dari hiruk-pikuk pedukungnya. Tidak seperti Desa Kerta Buana, kehidupan yang multikultural
rumah calon-calon kepala desa lain, rumah I sudah diaplikasikan oleh masyarakat desa. Seperti
Wayan Karti ramai dikunjungi warga sekedar yang dikatakan oleh Suparlan (2002, 100), yang
untuk makan malam dan mengambil rokok yang menyebutkan bahwa multikulturalisme terserap
disediakan oleh sang calon, meskipun mereka dalam berbagai interaksi yang ada di berbagai
yang datang pada malam hari itu bukan pemilih struktur kegiatan kehidupan manusia, meliputi
kehidupan sosial, ekonomi dan bisnis, politik, dan
6
Hasil wawancara dengan Suratman yang berada di Desa
Kerta Buana melalui telepon pada 14 Juni 2017. berbagai kegiatan lainnya.

218 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


Permukiman penduduk pun demikian pun tidak berlanjut berkat peran serta kepala desa
halnya. Sudah menjadi pemandangan umum beragama Hindu-Bali itu.7
bahwa di pekarangan umat Hindu-Bali di Selanjutnya, kebiasaan yang dilakukan
Desa Kerta Buana selalu terdapat pura keluarga oleh kelompok etnis lain tidak menimbulkan
yang disebut merajan atau pun sanglah, mulai intoleransi pada masyarakat yang bermukim
dari bentuk yang sederhana sampai pada yang di Desa Kerta Buana. Salah satu kebiasaan
mewah dan membutuhkan dana ratusan juta untuk transmigran Bali adalah memelihara babi di
membangunnya. Keberadaan pura keluarga itu dalam pekarangan dengan membuat kandang
tidak mengganggu masyarakat lain yang berbeda agar babi tidak berkeliaran, atau mengikatnya
agama kendatipun rumahnya saling bersebelahan. pada sebatang pohon atau tiang yang ada di
Dengan kata lain, masing-masing suku bangsa pekarangan itu. Artinya, kebiasaan tersebut tidak
sudah saling memahami kehidupan masyarakat menjadi penghalang bagi kelompok masyarakat
dari suku bangsa maupun dari agama lain, dan Hindu-Bali untuk berinteraksi dengan kelompok
membiarkan ekspresi agama dan kebudayaan masyarakat Lombok, Jawa, dan Kutai yang
dijalankan oleh masing-masing kelompok beragama Islam.
masyarakat.
Sesungguhnya, jika dikaji dari jumlah
PENUTUP
pemeluk agama di Desa Kerta Buana, jumlah Hidup berdampingan dengan semangat toleransi
pemeluk agama Islam jauh lebih besar sudah tercipta pada masyarakat yang bermukim
dibandingkan dengan pemeluk agama Hindu- di Desa Kerta Buana sebagai desa transmigrasi
Bali, yaitu 3.293 jiwa berbanding 1.820 jiwa. yang dihuni sejak 1980. Nilai-nilai toleransi
Akan tetapi, jumlah tempat ibadah umat Islam yang berkembang pada masyarakat di desa kecil
berupa mesjid hanya ada empat unit, yaitu Mesjid yang merupakan bagian dari Kabupaten Kutai
Al-Ijtihadi (mesjid paling tua) berada di RT 1 Blok Kartanegara, dapat menjadi bahan pembelajaran
A, Mesjid At-Thahiriyah terdapat di RT 17 Blok pada masyarakat heterogen di tempat lain.
C1, Mesjid Al-Amin berlokasi di RT 10 Blok B, Terciptanya nilai-nilai toleransi sudah
dan Mesjid Jami’atul Muslimin berada di RT 11 digagas sejak awal, dimulai dengan permukiman
Blok B. Sementara jumlah langgar ada delapan peserta transmigrasi yang tidak didasarkan pada
unit, yaitu: (i) Hamzanuwadi (RT 7 Blok A), (ii) kelompok etnis tertentu saja. Dengan demikian,
Al-Ijtihad (RT 6 Blok A), (iii) Al-Ihsan (RT 5 masing-masing blok permukiman peserta
Blok A), (iv) Al-Muhajirin (RT 11 Blok B), (v) transmigrasi itu dihuni oleh semua kelompok
Al-Ikhlas (RT 16 Blok C1), (vi) Nurul Huda suku bangsa dan agama yang menjadi peserta
(RT 20 Blok C2), (vii) Raudatul Janah (RT 22 transmigrasi. Semangat yang ingin dicapai dengan
Blok D), dan (viii) Thoriqul Janah (RT 26 Blok menempatkan setiap transmigran mempunyai
D). Pembangunan mesjid Jami’atul Muslimin kesempatan sama untuk bermukim dengan
itu sendiri melibatkan peran I Dewa Ketut Alit peserta transmigrasi lain dengan etnis dan agama
yang bertindak selaku kepala desa waktu itu. berbeda, merupakan cara membangun interaksi
Keterlibatannya disebabkan pembangunan mesjid di antara transmigran berbeda agama dan etnis
itu tidak didukung oleh seluruh umat Islam di itu. Harapannya adalah pemahaman yang benar
desa itu, terutama oleh seorang tokoh Islam yang terhadap masing-masing agama dan etnis lain
dihormati. Sang tokoh bersikap demikian karena akan tercipta, sehingga potensi konflik berlatar
di Desa Kerta Buana sudah ada sebuah mesjid. belakang agama dan suku dapat diminimalisir.
Akan tetapi, banyak umat Islam, terutama di
Tokoh masyarakat dari masing-masing
Blok B, mendatangi rumah kepala desa untuk
kelompok masyarakat yang berbeda memahami
minta dukungan pembangunan mesjid dimaksud.
potensi intoleransi bila permukiman didasarkan
Permintaan umat Islam itupun diberikan oleh sang
pada kelompok etnis dan agama tertentu. Para
kepala desa beragama Hindu-Bali itu, bukan saja
tokoh itulah yang menjadi pionir membangun
berupa dukungan moril tetapi ia juga ikut serta
paham multikulturalisme di antara transmigran
membantu membangunnya setiap hari Minggu.
Akhirnya, penentangan pembangunan mesjid itu 7
Hasil wawancara dengan almarhum I Dewa Ketut Alit
ketika masih hidup di Desa Kerta Buana, 5 Desember 2014.
Belia meninggal pertengahan 2015, enam bulan setelah
saya mewawancarai beliau.

Multikulturalisme...... (Robert Siburian) │ 219


yang ditempatkan di Desa Kerta Buana, meskipun Krase, Jerome. 2009. “A Visual Approach to
mereka tidak memahami konsep multikulturalisme Multiculturalism”. Dalam Giuliana B. Prato
itu. Penanaman semangat multikulturalisme (Editor) Beyond Multiculturalism:Views
menjadikan Desa Kerta Buana yang memiliki from Anthropology. England: Ashgate
penduduk heterogen, baik dari sisi suku bangsa, Publishing Limited. Hlm.: 1-19.
agama, maupun kebudayaan. Setiap kelompok
Kymlicka, Will. 2012. Multiculturalism: Success,
masyarakat tersebut dapat mengekspresikan
kebudayaan dan keberagamaan masing-masing Failure, and the Future. Washington, DC:
secara bebas. Bahkan untuk atraksi tertentu, suatu Migration Policy Institute. Hlm.: 21-38.
kegiatan keagamaan dan kebudayaan yang sedang Napitupulu, S. M., B. Mudiantoro. 2015.
dilaksanakan oleh kelompok masyarakat, dapat “Pengelolaan sumberdaya air pada lahan
menjadi tontonan yang menghibur bagi kelompok gambut yang berkelanjutan”. Dalam Annual
masyarakat lain. Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru.
PUSTAKA ACUAN Hlm.: 330-337.
Neumannova, Radka. 2007. Multiculturalism and
Agus, F dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan
Cultural Diversity in Modern Nation State.
Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Makalah disampaikan pada Conference
Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian
Turin 2007.
Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Prato, Giuliana B. 2009. “Introduction – Beyond
Multiculturalism: Anthropology at the
Chaplin, Jonathan. 1993. “How Much Cultural
Intersections Between the Local, the National
and Religious Pluralism can Liberalism
and the Global”. Dalam Giuliana B. Prato
Tolerate?. Dalam J. Horton (editor)
(Editor) Beyond Multiculturalism:Views
Liberalism, Multiculturalism and Toleration.
from Anthropology. England: Ashgate
New York: PALGRAVE. Hlm.: 32-49.
Publishing Limited. Hlm.: 1-19.
Chaudhuri, Sumita. 2009.“Sharing Cultures:
Reitz, Jeffrey G. 2009. “Assessing Multiculturalism
Integration, Assimilationand Interaction
as a Behavioural Theory”. Dalam Jeffrey G.
in the Indian Urban Context”. Dalam
R., R. Breton, K. K. Dion, dan K. L. Dion
Giuliana B. Prato (Editor) Beyond
Multiculturalism and Social Cohesion:
Multiculturalism:Views from Anthropology.
Potentials and Challenges of Diversity.
England: Ashgate Publishing Limited.
Canadian: Springer. Hlm.: 1-48.
Hlm.: 189-200.
Riwut, Tj. 1979. Kalimantan Membangun.
Donner, Wolf. 1987. Land Use and Environment
Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset.
in Indonesia. The United Kingdom: C. Hurst
& Company Ltd. Rosado, Caleb. 1996. “Toward a Definition of
Multiculturalism”. Dalam www.rosado.net.
He, Baogang dan W. Kymlicka. 2005.
(Akses 7 Maret 2017).
“Introduction”. Dalam Baogang He dan W.
Kymlicka Multiculturalism in Asia. New Siburian, Robert. 2017. Pertanian Versus
York: Oxford University Press Inc. Pertambangan Batubara: Kontestasi
Penguasaan Tanah di Desa Kerta Buana.
Horton, John. 1993. “Liberalism, Multiculturalism
Disertasi pada Departemen Antropologi,
and Toleration”. Dalam J. Horton (editor)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Liberalism, Multiculturalism and Toleration.
Universitas Indonesia.
New York: PALGRAVE. Hlm.: 1-17.
Suparlan, Parsudi. 2002. “Menuju Masyarakat
Kelaci, Ida Peranda Raka. 1996. “Upacara
Indonesia yang Multikultural”. Dalam
Keagamaan dalam Perspektif Perilaku dan
Antropologi Indonesia 69. Hlm.: 98-105.
Ekonomi”. Dalam Jurnal Kajian Hindu,
Budaya, dan Pembangunan. Edisi Puputan Syaifuddin, Achmad Fedyani. 2006.
1(2). “Membumikan Multikulturalisme di
Indonesia”. Dalam Jurnal Antropologi
Budaya Etnovisi 2(1). Hlm.: 1-10.

220 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


DDC: 302.4
MENEGUHKAN KEMBALI KEBERAGAMAN INDONESIA

REEMPOWERING OF INDONESIA DIVERSITY

Sudarto
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI)
Email: Masstoto75@gmail.com

ABSTRAK
Fitur permanen demokrasi adalah keberagaman. Persoalan pokok dalam negara demokrasi adalah
mengelola keberagaman tersebut dalam prinsip kesetaraan dan berkeadilan. Tidak bisa dipungkiri,
Indonesia adalah negara majemuk dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Pada satu sisi, Indonesia
sedang dalam pematangan demokrasi. Pada sisi lain, Indonesia masih dihadapkan pada banyak tantangan
dalam mengelola keberagaman. Problem kemajemukan di Indonesia disebabkan oleh tiga hal: Pertama,
masih banyaknya regulasi yang diproduksi oleh negara yang pada esensinya justru menyulitkan
pengelolaan keberagaman itu sendiri. Kedua, kurangnya tindakan perlindungan kebebasan beragama
dan berkepercayaan bagi masyarakat oleh aparat penegak hukum. Ketiga, dirasakan masih rapuhnya
pondasi toleransi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Ketiga akar masalah tersebut memiliki hubungan
interkausal. Akibatnya, kelompok-kelompok non-mainstream yang menjadi komponen kemajemukan,
terutama dari kalangan non-mainstream menjadi korban diskriminasi, terutama komunitas agama lokal
nusantara yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Persoalannya bagaimana mengelola
kembali keberagaman Indonesia menurut prinsip kesetaraan dan berkeadilan bagi setiap warga negara,
utamanya bagi komunitas agama lokal nusantara? Untuk menjawab pertanyaan besar tersebut, penulis
menggunakan pendekatan “Civic pluralism” yang digunakan oleh Robert Hefner. Menurut Hefner,
masyarakat dapat disebut civic pluralist, ketika anggota-anggotanya membuang jauh-jauh upaya atau
niat untuk menekan atau mengurangi keberagaman (Hefner, 200,159). Tulisan ini bertujuan untuk
menawarkan konsep pengelolaan keberagaman yang diharapkan dapat berkonstribusi mengukuhkan
kembali keberagaman Indonesia.
Kata kunci: agama lokal, agamaisasi, regulasi, pengelolaan keberagaman, restrukturisasi
ABSTRACT
The basic feature of democracy is diversity. So the main issue in democracy is how to manage the
diversity according to the principles of equality and justice. In this regard, it is undeniable that Indonesia
is a plural country with the largest Muslim population in the world. On the one hand Indonesia is in the
maturation of democracy, but on the other hand Indonesia is still faced with many challenges in managing
the diversity. The plurality of problems as described above is caused by the following: First, there are
still many regulations produced by the state which in essence precisely complicate the management of
the diversity itself. Included in this problem is the lack of protection of freedom of religion and belief
by law enforcement officials. Second, the strong desire to dominate from dominant groups to smaller
groups of quantities. Third, felt still fragile foundation of tolerance in society body itself. The three roots
of the problem have an intercausal relationship. As a result, non-mainstream groups become victims of
discrimination, especially local religious groups, which occur in a structured, widespread and systematic
manner. The problem is how to rearrange the Indonesian religion according to the principles of equality
and justice especially to the local religious groups of the archipelago? To answer the big question, the
author uses civic pluralism approach offered by Robert W Hefner. According to Hefner, society can be
called a civic pluralist, when each member throws away efforts to suppress and reduce diversity (Hefner,
2003, 195). This paper aims to offer the concept of diversity management that is expected to contribute
to re-establish Indonesia’s diversity.
Keywords: local religions, regulation, management of diversity, restructurization, and religionization

221
PENDAHULUAN konstitusional penghayat Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Persoalan Agama Lokal di Indonesia Bermula dari hak identitas keagamaan,
Perjalanan panjang mendampingi agama lokal catatan sipil atas pernikahan, akte kelahiran, hak
nusantara, menghentakkan kesadaran kita akan pendidikan keagamaan termasuk hak menjadi
masih adanya diskriminasi akut. Meskipun PNS/TNI Polri hingga hak mendapatkan tempat
Indonesia telah 72 tahun menjadi negara pada pemakaman umum terus dikebiri dengan dalih
bangsa (nation state) merdeka, namun sebagian agamanya tidak diakui. Singkat kata kelompok
rakyat Indonesia belum cukup menikmati agama lokal nusantara mengalami diskriminasi
hasil kemerdekaan berkepala tujuh tersebut. sejak dari kelahiran hingga kematiannya. Dengan
Pengalaman peminggiran dan diskriminasi adanya fenomena tersebut, masih layakkah
terhadap komunitas agama lokal masih menjadi kita menyandang sebagai negara yang banyak
cerita duka yang menyertainya. Mereka bagaikan meratifikasi kovenan dan konvensi internasional?
tamu di negeri sendiri yang setiap saat menjadi Di mana para ahli hukum yang berderat gelar
objek rebutan penyebaran agama-agama besar di negeri ini, sehingga seakan bisu tak bersuara
maupun dalam kontestasi politik lainnya. dengan nasib tidak kurang 12 juta anggota
Seperti telah menjadi pemahaman umum dan komunitas agama lokal, baik yang bergabung
cerita gundah bahwa praktik-praktik terhadap dalam 186 organisasi kelompok penghayat
kelompok agama lokal masih saja terjadi. kepercayaan ataupun yang berkeyakinan secara
Diskriminasi yang dialami oleh kemunitas individual? Sementara itu, dalam ICCPR pasal
agama lokal setidaknya melibatkan empat 18 dengan tegas dinyatakan bahwa kelompok
aktor utama. Pertama, diskriminasi melibatkan Kepercayaan(belief) memiliki hak yang sama
aktor pemerintah atas nama negara melalui dengan agama (religion). (Sudarto, 2016, 169).
produk-produk kebijakkan. Pada level negara, Kedua, diskriminasi yang dilakukan oleh
pemerintah disadari atau tidak telah membangun kelompok agama dominan melalui definisi
sistem kebijakan dan/atau sistem regulasi terhadap sesuatu yang disebut ”agama”. Selain
pengelolaan keberagaman yang serba ambigu, juga disadari atau tidak ternyata pondasi
tumpang tindih dan minus perspektif Hak Asasi toleransi di masyarakat kita masih cukup rapuh.
Manusia. Akibatnya, terjadi diskriminatif masif Akibatnya perlindungan kebebasan beragama
yang menyakitkan bagi komunitas agama lokal dan berkeyakinan tidak terpenuhi, karena antara
nusantara. penegak hukum dan rapuhnya pondasi toleransi
Problem pokok dari sisi kebijakan menjadi dua akar masalah yang berkelindan
menyangkut pengakuan (rekognisi) negara secara interkausal. Dalam konteks ini diskusi
terhadap eksistensi kelompok-kelompok agama kebenaran agama dan Kepercayaan bukan
lokal nusantara. Kluster persoalan yang dialami berdasarkan kebenaran apa adanya, melainkan
komunitas agama lokal bermula dari tidak melalui religious discourseatau kebenaran
diakuinya mereka sebagai agama yang secara yang diinginkan atau dimaui oleh agama dan
regulatif bermula dari UU No 1/1965 tentang Kepercayaan dominan. Melalui semangat
PNPS yang dikukuhkan dalam Tap MPR No. IV/ monopoli akan kebenaran, agama-agama besar
MPR/1978.1 Dua produk hukum ini telah menjadi melakukan politik penyingkiran (exclusionary
payung hukum kebijakan-kebijakan turunan untuk politic) terhadap agama lokal (Dhakidae, 2003,
mendiskriminasi atau bahkan menindas kelompok 311).
agama lokal nusantara. Dari dua produk kebijakan Ketiga, praktek diskriminasi terhadap
ini pula semua regulasi untuk merestriksi, penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
mendiskriminasi, bahkan memanipulasi hak-hak Maha Esa melibatkan kalangan akademisi.
Kaum terdidik dan akademisi melanggengkan
1
Landasan perlakukan diskriminatif terhadap kelompok- stigma-stigma dan kategorisasi akademik
kelompok agama lokal atau yang lebih dikenal sebagai
penghayat Kepercayaan. Meskipun penjelasan pasal 1
terhadap sesuatu kepercayaan,melalui kategorisasi
UU PNPS tidak disebutkan istilah diakui dan tidak diakui agamadan bukan agama. Keyakinan yang datang
terhadap suatu agama/Kepercayaan, namun dalam UU ke nusantara disebut agama dengan segala hak
Adminduk dan surat edaran kemenag yang menjadikan UU yang melekat di dalamnya, sementara keyakinan
PNPS sebagai paying hokum secara tegas menyebutkan lokal tidak dianggap sebagai agama dengan segala
“Agama-agama yang belum diakui”

222 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


persoalan yang melekat terhadapnya. Bahkan mereka tidaklah hidup di alam idealisme. Mereka
lebih tragis lagi, Kepercayaan terhadap Tuhan butuh sekolah, butuh pekerjaan, butuh nikah.
Yang Maha Esa distigma sebagai keyakinan Mereka butuh catatan/akte kelahiran, pendidikan,
primitif dengan sebutan stigma animisme atau akte nikah, dan yang terpenting mereka ingin
dinamisme dan lainnya. mendapatkan kenyamanan dalam pergaulan sosial
Kalangan akademisi seringkali gamang. tanpa stigma. Atas alasan itulah, realitas politik
Mereka menolak konsep-konsep yang lahir harus disikapi dengan membentuk organisasi,
dari khazanah intelektualisme Barat, termasuk sembari terus berjuang menuntut hak-hak
sebagiannya menolak gagasan HAM yang konstitusionalnya yang telah diabaikan negara.
dikatakan sebagai produk Barat. Namun, Di pihak lain, mereka yang tidak berorganisasi
manakala mendefinisi agama-agama, kalangan berangkat dari alasan rasionalitas dalam negara
akademisi menjadi permisif menggunakan demokrasi. Berorganisasi atau tidak berorganisasi
kategori-kategori antropolologis dan sosiologis adalah hak, alias bukan kewajiban. Selain itu,
Barat dalam mendefinisi agama yang tentunya hal penting yang tidak boleh diabaikan ialah
bias agama-agama besar atau yang sering disebut pengalaman traumatik berorganisasi, yang
Abrahamic religions. ternyata selain belum menjamin mereka bisa
Keempat, diskriminasi yang dilakukan hidup nyaman, tetapi juga pengalaman traumatik
oleh media-media mainstream dengan liputan- pembubaran dan penganiayaan oleh rezim yang
liputan yang menggunakan mindset agama berkuasa, utamanya zaman Orde Baru.
dominan. Contohnya adalah liputan primitive Kedua argumentasi dari kelompok agama
runway yang menggambarkan bahwa penganut lokal nusantara sama-sama memiliki dasar yang
keyakinan lokal dipandang sebagai manusia kuat. Namun, yang cukup disayangkan diskusi
primitif serta dianggap belum beradab, bahkan tentang tata kelola dan apa tujuan keduanya belum
tidak jarang dianggap sebagai komunitas yang cukup tereksplorasi dan mendapat porsi yang
menjijikkan karena makanannya. Ritual-ritual memadai. Laporan-laporan lembaga HAM, baik
agama lokal dieksploitasi sebagai tontonan mistis yang dibiayai negara maupun swadaya tentang
dan diperankan sebagai pelaku antagonis versus kelompok agama lokal, masih didominasi oleh
agama dan keyakinan dominan sebagai pihak deretan inventarisasi cerita duka dibanding
yang berperan sebagai protagonis. Akibatnya, pemikiran bernas pengelolaan keberagaman itu
opini yang terbentuk mengenai Kepercayaan sendiri.
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala Hal lain yang juga menjadi keprihatinan,
ritualnya adalah mereka sebagai penjahat, klenik banyak penghayat atau penganut agama lokal
ilmu hitam, dan angker. Sementara itu agama yang belum siap mengosongkan kolom agama
pendatang sebagai agama putih, suci dan penegak pada kartu identituas penduduk (KTP) atau
kebenaran. catatan administrasi lainnya. Tentunya juga tidak
Di luar keempat isu tersebut, pada internal adil menuduh mereka bukan penghayat yang
komunitas agama lokal juga memiliki persoalan konsisten. Keadaan yang mendesak membuat
yang tidak bisa dianggap sederhana. Selain friksi mereka harus bersembunyi di balik logo agama-
yang terjadi antara kelompok penghayat yang agama yang diakui negara. Demikian halnya
memilih berorganisasi dengan yang memilih juga kurang bijak memaksa mereka harus
tidak berorganisasi juga menjadi perdebatan yang memilih salah satu dari agama-agama yang
melelahkan dan terkadang cenderung tidak sehat. diresmikan negara (official religion). Dilema
Akan tetapi tak antara kedua kelompok tidak itulah yang menghimpit komunitas agama lokal
jarang saling menuding dengan argumen masing- yang menuntut sesegera mungkin dicarikan jalan
masing. Hal ini tentunya menjadi situasi yang keluarnya.
ditunggu-tunggu untuk menghambat pemenuhan Penelitian ini dilakukan sekaligus ditujukan
hak konstitusional mereka. mengadvoksi kelompok agama lokal, atau
Argumen yang digunakan kelompok agama yang lazim disebut dengan riset advokasi.
lokal yang berorganisasi sangatlah logis. Bagi Selain melakukan studi literatur dan produk
mereka, perjuangan pemenuhan hak akan kebijakan, penulis secara inten juga mendampingi
identitas keagamaan yang mereka yakini adalah secara langsung terhadap komunitas agama
harapan dan cita-cita ideal. Namun, anak-anak lokal sedikitnya terhadap 30 komunitas agama

Meneguhkan Kembali Keberagaman Indonesia.(Sudarto) │ 223


lokal pada masing-masing daerah. Penelitian terhadap penghayat. Berbagai data dan informasi
ini ini menggunakan beberapa pendekatan yang terkumpul dianalisis dan dituliskan dalam
dalam kerangka penelitian kualitatif, antara lain bentuk draft naskah pelaporan tematik yang
melalui: 1) analisis literatur, 2) studi dokumen, kemudian dipertajam kembali melalui FGD
3) wawancara tidak terstruktur, dan 4) diskusi ketiga yang melibatkan para ahli dari unsur-unsur
kelompok terfokus atau focus group discussion sebagaimana terurai di atas.
(FGD) yang melibatkan perwakilan komunitas
agama lokal, wakil pemerintah terkait, akademisi,
KONSTRUKSI SOSIAL AGAMA DI
INDONESIA
peneliti dan perwakilan organisasi masyarakat
sipil yang terlibat dalam advokasi terhadap Kebijakan politik kehidupan beragama pada
kelompok penghayat Kepercayaan. era kemerdekaan Indonesia, baik zaman Orde
Studi literatur dan dokumen dilakukan Lama maupun Orde Baru, memiliki hubungan
dengan mengumpulkan arsip-arsip dan dokumen genealogis dengan kebijakan politik agama
serta buku yang di dalamnya mengkaji keberadaan pada zaman pemerintahan kolonialisme Belanda
penghayat Kepercayaan, meliputi sejarahnya, maupun pemerintahan militerisme Jepang. Daniel
pengalaman yang dinamis kelompok penghayat Dhakidae menyebutkan dua penguasa rezim Orde
menghadapi regulasi pemerintah serta produk- Lama maupun Orde Baru merupakan penganut
produk kebijakan yang dinamis pula dalam setia mazhab Snouck Hurgronje (Hurgonjesian)
merespons keberadaan kelompok penghayat. dalam pengelolaan keragaman agama. Satu sisi
Adapun sebagaimana disebutkan pembahasan memberikan dukungan seluas-luasnya kepada
dalam tulisan ini tetap berpijak pada pembatasan umat Islam dalam hal pelaksanaan kegiatan dan
tentang bagaimana Negara memenuhi jaminan seremonial kegamaan, atau dukungan untuk
konstitusional terhadap kelompok penghayat. sarana dan prasarana ritual keagamaan, dan pada
saat yang sama melakukan represi jika mulai
Wawancara tidak terstruktur dilakukan untuk
mengarah pada aktivitas politik (Dhakidae,
mengetahui secara lebih komprehensif terkait
2003, 531-32). Melalui kebijakan tersebut,
pengalaman kelompok penghayat Kepercayaan
hubungan antara Islam dan negara, khususnya
direspons oleh negara via pemerintah dan
yang melibatkan gerakan politik Islam selama dua
perkembangan regulasi yang khusus dibuat
rezim pemerintahan pascakemerdekaan tersebut
dalam rangka penghormatan, perlindungan dan
tidak pernah berhenti, serta mengalami pasang
pemenuhan HAM kelompok penghayat oleh
surut yang saling memanfaatkan atau bahkan
Negara. Adapun kelompok-kelompok yang
saling mengintervensi.
diwawancarai meliputi, perwakilan kelompok
penghayat secara terpisah, wakil penyelenggara Secara umum, setelah menyatakan
Negara, dalam hal ini Direktorat Kepercayaan kemerdekaannya Indonesia setidaknya dihadapkan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kejaksaan dengan dua isu penting. Pertama, bagaimana
Agung dan Disdukcapil Kementerian Dalam mempertahankan diri dari kemungkinan
Negeri. kembalinya penjajahan Belanda dan sekutunya?
Kedua, bagaimana mengamankan Indonesia
Sementara itu FGD dilakukan untuk
dari berlarutnya partarungan ideologi antara
mendapatkan informasi lebih lengkap, sekaligus
dua kekuatan politik yang terjadi antara dua
mengonfirmasi temuan-temuan lapangan
kelompok: kelompok nasionalis sekuler dan
sekaligus menyempurnakan penulisan dari laporan
nasionalis Islam? (Latif, 2001, 69). Kelompok
ini. Setara Institute telah menyelenggarakan
nasionalis religius menghendaki Islam sebagai
2 (tiga) kali FGD meliputi; pertemuan ahli
dasar negara. Sementara itu, kelompok yang oleh
(expert meeting), melibatkan pimpinan MLKI,
Robert W. Hefner disebut sebagai kelomppok
wakil pemerintah, akademisi, serta kelompok
”Multconfessional”, menghendaki Indonesia
organisasi masyarakat sipil yang memiliki
dibangun atas dasar filosofi kemajemukan
kepedulian terhadap kelompok penghayat
(Hefner, 2014, 25).
Kepercayaan. Diskusi terfokus melibatkan secara
langsung perwakilan penghayat Kepercayaan Pertarungan ideologi yang utama adalah
yang sebagiannya tersebut dalam profil singkat sekitar pembentukan dasar negara Indonesia.
penghayat dalam laporan ini, kalangan aktivis Meskipun proklamasi telah dikumandangkan,
CSO dan akademisi yang memiliki concern Indonesia yang baru merdeka dihadapkan pada

224 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


kenyataan bahwa masing-masing merasa tidak dengan itu hilang sifatnya yang murni” (Latif,
puas terhadap rumusan dasar negara. Kelompok 2011, 73).
nasionalis Islam yang juga terlibat dalam panitia Pidato Hatta tidak sepenuhnya diterima,
persiapan kemerdekaan Indonesia menginginkan terutama oleh kelompok nasionalis religious.
Islam sebagai dasar negara. Adapun tema yang Namun, pertarungan sengit tersebut secara
menjadi perdebatan sengit dan memakan waktu formal “dimenangkan” oleh kelompok sekuler.
menyangkut dasar negara Pancasila, terutama Kenyataan ini tentu harus diterima oleh kelompok
pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada pihak nasionalis Islam. Dalam suasana kebatinan
lain, rumusan Piagam Jakarta yang berbunyi seperti itulah, pemerintahan Orde Lama di
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan
syariat bagi pemeluknya” tidak cukup memuaskan Wakil Presiden Muhammad Hatta, enam bulan
kelompok nasionalis nonagama. Atas prakarsa setelah kemerdekaan mengeluarkan Surat
Mohammad Hatta, sila pertama akhirnya Ketetapan Pemerintah pada tanggal 2 Januari
disepakati menjadi “Ketuhanan Yang Maha 1946 Nomor 1/SD/1946 tentang pembentukan
Esa”. Itu terjadi setelah Hatta melakukan lobi atau pendirian Kementerian Agama atau yang
dan/atau kompromi dengan beberapa nasionalis disebut Departemen Agama (Banawiratma, 2011,
Islam, antara lain Tengku Hasan dan Ki Bagus 66).
Hadikusumo menjelang dilaksanakannya rapat Oleh banyak pengamat, pembentukan
18 Agustus 1945 (Latif, 2011, 62). Kementerian Agama tersebut tidak hanya dilihat
Adapun yang menjadi pemikiran adalah sebagai bentuk kompromi, tetapi juga merupakan
adanya pertimbangan mengenai kemungkinan imbalan atau hadiah pemerintah RI terhadap umat
buruk pada awal kemerdekaan jika “tujuh kata” Islam atas kesediaan mereka menghapuskan
itu tetap dipaksakan tertuang di Pancasila (Latif, “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta 31. Setelah
2011, 83). Kompromi setengah hati terjadi bukan terbentuknya Kementerian Agama, peta bumi
tanpa alasan. Meskipun sila Ketuhanan Yang politik agama di Indonesia pada era Orde Lama
Maha Esa sudah ditetapkan sebagai bagian dasar dan setelahnya sangat tidak bisa dilepaskan dari
negara, bentuk negara Indonesia tetap menyisakan keberadaan Kementerian Agama (Departemen
banyak persoalan. Negara bernama Indonesia Agama) tersebut. Kebijakan keagamaan yang
yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dianggap intervensi negara terhadap agama paling
menjadi negara “yang bukan-bukan”, dalam tidak menyangkut tiga ranah pokok.
pengertian bukan negara agama dan bukan negara Pertama, intervensi negara terhadap
sekuler. Dasar negara Indonesia dimaknai sesuai kehidupan beragama dalam bentuk campur
dengan kepentingan masing-masing kelompok. tangan negara terhadap keyakinan agama
Sebagian kelompok Islam tetap menginginkan masyarakat, yang sesungguhnya bersifat sangat
Islam sebagai dasar negara, sementara kelompok privat. Negara tidak lagi menjadi pengelola yang
nasionalis sekuler tetap konsisten menolak agama berkewajiban memfasilitasi serta mengatur atau
apa pun sebagai dasar negara. menjaga eksistensi masing-masing agama dalam
Perdebatan tentang seputar dasar negara kerangka masyarakat yang majemuk, tetapi justru
“yang bukan negara agama dan juga bukan memasuki ranah yang sesungguhnya menjadi
negara sekuler” antara kelompok nasionalis Islam hak masing-masing agama atau yang disebut
yang secara ekplisit disuarakan oleh Ki Bagoes forum internum agama. Akibatnya, telah terjadi
Hadikoesoemo pada 31 Mei 1945 dan kelompok semacam masifikasi agama dalam kepentingan
nasionalis sekuler seperti disampaikan oleh negara yang menyangkut upaya penyeragamaan,
Soepomo dan lain-lain, kemudian direspons oleh sehingga kedaulatan agama terpecah ke dalam dua
M. Hatta. Dalam pidatonya Hatta menjelaskan: model pengaturan atas agama, yakni agama dan
“Kita tidak akan mendirikan negara dengan kepercayaan yang diakui di satu pihak, dan agama
dasar perpisahan antara “agama” dan dan kepercayaan yang tidak “diakui” di lain pihak.
“negara”, melainkan kita akan mendirikan Mirip seperti pemerintahan kolonial,
negara modern di atas dasar perpisahan antara pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru
urusan agama dengan urusan negara. Kalau dengan mudah menetapkan suatu aliran dalam
urusan agama juga dipegang oleh negara, agama sebagai aliran sesat atau menyimpang,
maka agama menjadi perkakas negara, dan
jika kelompok keagamaan itu melakukan

Meneguhkan Kembali Keberagaman Indonesia.(Sudarto) │ 225


aktivitas politik yang berbeda dengan pandangan kepercayaan atau agama lokal kepada agama
keagamaan mainstream. Agama-agama dominan induknya”, meskipun agama dominan bukanlah
juga memanfaatkan situasi intervensi negara ini induk dari aliran kepercayaan. Wacana pembinaan
untuk mengambil keuntungan berupa perolehan tersebut pada dasarnya merupakan “pemaksaan”
penganut secara kuantitas, dengan menuduh terhadap keyakinan lain daripada pembinaan
kelompok keyakinan yang berbeda dengan itu sendiri. Implikasi dari bentuk intervensi ini,
pandangan mainstream sebagai pihak yang akan kelompok agama resmi menjadi sewenang-
melakukan perlawanan atau makar terhadap wenang memidanakan siapa saja dari kelompok
negara. Dengan demikian, isu purifikasi di dalam agama lokal. Dalam hal ini, agama besar juga
agama dominan memperoleh keuntungan. telah terlibat dalam penghancuran kelompok-
Kedua, pendefinisian agama resmi (official kelompok lain yang memiliki tafsir dan/atau
religion) oleh negara yang mengacu pada pemahaman berbeda.
kepentingan agama “resmi”, di mana penetapan Adapun senjata paling ampuh yang digunakan
sesuatu agama sebagai resmi hanya dengan adalah isu penodaan agama, atau menyimpang
mengacu pada tradisi ”Abrahamic Religions” dari pokok-pokok agama. Dengan tuduhan
(Atkinson, 1987, 77). Termasuk di dalam hal tersebut, agama dan kepercayaan lokal dengan
ini negara telah menetapkan pendefinisian mudah dianggap sebagai sesat, dan sering
agama yang benar atau sehat dan agama yang ditempeli dengan stigma seperti “pengacau
tidak benar atau yang tidak sehat. Intervensi ini keamanan”. Tuduhan terhadap agama lokal
dikukuhkan melalui UU Nomor 1/PNPS/1965, sebagai kepercayaan menyimpang dan pengacau
yang seakan memberikan mandat penuh kepada keamanan menjadi sangat masif pada akhir
Kementerian Agama untuk mengindetifikasi atau periode Orde Lama di bawah rezim Soekarno.
mendefinisikan suatu agama yang danggap benar Di pihak lain, melalui klaim kebenaran dan
atau salah (Bagir, dkk., 2011, 117). Pendefinisian kewajiban untuk mendakwahkan kebenaran
tunggal terhadap kepercayaan masyarakat yang agama, timbul benturan antar-agama yang
kemudian disebut sebagai ”Agama”, menurut Niel dianggap resmi oleh negara itu sendiri, karena
Mulder baru berhasil dirumuskan tahun 1961, rebutan lahan dakwah. Islam sebagai agama
yang mendasari pijakan UU PNPS tersebut di atas. mayoritas di Indonesia berebut lahan dakwah
Ketiga, konsekuensi dari penetapan agama dengan Kristen, karena sama-sama meyakini
resmi negara, termasuk mendefinisikan agama kewajiban untuk menyebarkan agama.
yang benar dan yang salah oleh negara, kelompok Fenomena berebut umat atau lahan dakwah
agama resmi, terutama yang memiliki klaim tersebut memakan tumbal. Kelompok agama
paling benar, memperoleh manfaat besar dari lokal Nusantara menjadi sasaran paling empuk.
situasi tersebut. Kelompok agama resmi, yang Penyingkiran, bahkan pemusnahan terhadap
dalam praktiknya tiada lain adalah “agama yang pengikut agama lokal Nusantara menjadi
diakui”, kemudian merasa berkewajiban untuk semakin sempurna. Secara kronologis, dinamika
mendakwahkan agamanya itu. Dalam konteks penindasan terhadap agama lokal dapat dirunut
inilah, kebijakan intervensi terhadap pendefinisian sebagai berikut:
benar atau salahnya suatu agama oleh negara Pertama, setelah kemerdekaan tahun 1945,
pada dasarnya merupakan desakan sekaligus selain berseberangan dengan kelompok nasionalis
bentuk intervensi dari kelompok agama dominan sekuler, kelompok Islam juga berhadapan dengan
terhadap negara. Akibatnya, negara tidak lagi kelompok penganut agama lokal Nusantara,
memiliki kepekaan dalam semangat menghargai yang saat itu disebut kelompok kebatinan.
perbedaan pandangan atau kemajemukan Dalam pembangunan konstitusi, misalnya, K.H.
pemikiran dalam agama. Oleh sebab itu, agama Wahid Hasyim mengusulkan Pasal 29 Ayat 2
dominan seakan memiliki amunisi baru untuk yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan
melakukan penindasan terhadap agama-agama tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
lokal. masing-masing dan beribadah menurut agamanya
Keempat, setelah kelompok keyakinan itu”. Usulan ayahanda Gus Dur tersebut segera
non-mainstream dianggap menyimpang, negara direspons oleh Mr. Wongsonegoro, dengan
melalui Kementerian Agama mewacanakan menambahkan kalimat, “Dan beribadah menurut
isu “pembinaan” atau “mengembalikan aliran agama dan kepercayaannya itu”. Lebih tegas

226 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


Wongsonegoro menyebutkan bahwa yang ketika untuk pertama kalinya terjadi ketegangan
dimaksud dengan “kepercayaannya itu” secara dalam bentuk konflik fisik antara kelompok PKI
implisit merujuk kepada eksistensi agama lokal dan kelompok kiai di Jawa, yang memuncak
dengan tradisi kebatinannya (Sutanto, 2011, 125). di Madiun. PKI mendapat dukungan dari
Dalam pandangan K.R.M.T Wongsonegoro, kelompok “penghayat” karena konsep agrarianya.
usulan K.H. Wahid Hasyim mengisyararkan Karena itu, kelompok yang oleh Geertz disebut
bahwa negara boleh memaksa orang-orang Islam “Abangan” itu menjadi semakin terpojok atas
untuk menjalankan syariat agamanya. peristiwa tersebut (Geertz, 1960, 1).
Kedua, setelah Presiden Soekarno REGULASI DISKRIMINATIF
meresmikan Kementerian Agama melalui
Keppres tertanggal 2 Januari 1946, fokus umat Diskriminasi terhadap kelompok agama non-
Islam adalah melakukan pembenahan internal, mainstream, khususnya terhadap agama lokal
termasuk secara tidak langsung melakukan nusantara ditengarai terjadi secara struktural,
Islamisasi kepada masyarakat Indonesia, terutama sistematis, dan masif karena melibatkan negara
terhadap kelompok-kelompok yang dianggap dengan produk-produk regulasinya. Bentuk
belum beragama, yaitu penganut agama lokal diskriminasi berbasis kebijakan dapat dilihat
Nusantara. Apalagi, setelah September 1948, pada tabel 1.
Tabel 1. Bentuk Kebijakan Diskriminatif
No Poin Diskriminasi Regulasi Yang Digunakan Dampak
1 Penolakan pengakuan • Dua instruksi di atas berangkat merupakan Eksistensi agama lokal sejak
identitas sebagai kelanjutan dari paradigma UU No. 1/ keluarnya surat edaran dua menteri
penghayat atau PNPS/ 1965 tersebut yang menggunakan logika
penganut agama lokal • TAP MPR No. IV/MPR/1978 melandasi UU PNPS selalu dipermasalahkan
seluruh kebijakan yang diambil negara bahkan didiskriminasi sejak lahir
terhadap penghayat. sampai mati
• Surat Edaran Mendagri No: 477/ 74054
tanggal 18 November 1978
• Instruksi Menteri Agama RI No: 14 tahun
1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi
Menteri Agama No: 4 tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran
Kepercayaan
2 Kasus hilangnya hak UU-28/1997 tentang Kepolisian Negara Meskipun UU ini sudah diganti, hak
mendapatkan status RI. Undang-undang ini sudah tidak berlaku dan kewajiban ikut berpartisipasi
sebagai TNI atau dengan lahirnya UU Kepolisian yang baru. untuk bela negara dengan menjadi
Polri Pasal rawannya adalah: “Pasal 15 ayat (1) TNI atau Polisi dihalangi
butir h, yang tendensius dengan kecurigaan
seolah-olah aliran kepercayaan dapat
menimbulkan perpecahan dan mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa”.
3 Pencatatan perka- UU No. 1 tahun 1974 tentang Per-kawinan. • Perkawinan pasangan kelompok
winan bagi peng- Dikuatkan dengan: penghayat tidak bisa dicatatkan
hayat di Kantor • Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. karena menurut ketentuan surat ini,
Catatan Sipil dan 477/74054 tanggal 18 November 1978 “dalam Negara Republik Indonesia
“tatacara sumpah perihal petunjuk pengisian kolom “agama” yang berdasarkan Pancasila tidak
perkawinan dan pada lampiran SK Mendagri No: 221a/ dikenal adanya tatacara sumpah
sebagainya hanya ada 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan perkawinan aliran kepercayaan.
menurut agama Perceraian pada Kantor Catatan Sipil • Surat kawin yang dikeluarkan
sesuai dengan • Surat Edaran dari Menteri Agama kepada Yayasan Pusat Srati Dharma,
peraturan perundang- Gubernur/KDH Tingkat I Jatim No: Yogyakarta menjadi masalah besar
undangan yang B/5943/78 tanggal 3 Juli 1978 tentang bagi para penghayat.
berlaku.” Masalah Aliran Kepercayaan
• Surat Dirjed PUOD Nomor : 474.2/3069/
PUOD tanggal 19 Oktober 1995

Meneguhkan Kembali Keberagaman Indonesia.(Sudarto) │ 227


4 Penolakan pencatatan Surat edaran Menko Kesra No: B.336/ • Anak-anak keluarga penghayat
akte kelahiran anak MENKO/ KESRA/VII/198 tanggal 16 selain tidak bisa mendapatkan
bagi pasangan Juli 1980 perihal Penyempurnaan formulir hak pendidikan sesuai dengan
penghayat Sensus penduduk. Diperkuat dengan agama dan keyakinannya juga
Radiogram Depag No: MA/610 /1980 dipaksa mengikuti pelajaran agama
kepada seluruh Kepala Kanwil Depag di dominan. Pada bagian lain mereka
seluruh Indonesia tanggal 22 September juga mendapat stigma sebagai
1980. orang tidak beragama, anak PKI,
atheis, dan lain-lain.
• Di beberapa daerah, pasangan
keluarga yang menikah dalam
agama lokal harus membuat surat
pernyataan anak di luar nikah.
5 Penolakan dan Surat Menteri Agama kepada para Banyak kasus jenazah warga
hambatan dalam Gubernur/KDH Tingkat I seluruh Indonesia penghayat tidak bisa dikuburkan
urusan pemakaman No: B.VI/11215/1978 tanggal 18 Oktober di pemakaman umum karena
bagi warga penghayat 1978 perihal Masalah Penyebutan menurut ketentuan surat ini, “Dalam
Agama, Perkawinan, Sumpah jabatan Negara Republik Indonesia yang
dan Penguburan Jenazah bagi Umat berdasarkan Pancasila tidak dikenal
Beragama yang dihubungkan dengan Aliran adanya penguburan menurut Aliran
Kepercayaan Kepercayaan, dan tidak dikenal pula
penyebutan Aliran Kepercayaan’
sebagai ‘Agama’ baik dalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain.
6 Penolakan pendirian SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Selain kelompok agama-agama
tempat peribadatan Negeri membuat Keputusan Bersama No. “minoritas” yang kesulitan
atau persujudan bagi01/ber-Mdn/1969, 13 September 1969, yang mendirikan rumah ibadah, kelompok
warga penghayat mengatur pendirian tempat ibadah. SKB ini agama lokal juga sulit mendirikan
kemudian diperbaharui pada era Reformasi tempat persujudan.
dengan munculnya PBM No.8 dan 9 tahun
2006 tentang pendirian rumah ibadah dan
FKUB
7 Pengisian kolom • Pada 1975 pada sidang Kesra terkait Kelompok Agama Lokal tidak bisa
agama sesuai dengan pengisian kolom agama di KTP mengisi kolom agama sesuai dengan
dengan agama dan ada administrasi kependudukan lainnya, agama dan kepercayaannya. Perihal
kepercayaannya pada dibolehkan mengisi agama/Kepercayaan pengisian kolom agama beberapa
KTP • Surat Keputusan Menko Kesra No: kali mengalami perubahan. Semula
B.310/MENKO/KESRA/ VI/1980 dilarang sama sekali, kemudian
tanggal 30 Juni 1980 dan Surat Menteri boleh dikosongkan atau ditulis tanda
Agama kepada Menteri Dalam Negeri strip (-)
No: B.VI/5996/1980 tanggal 7 Juli 1980
perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan
Kematian para Penghayat Kepercayaan
Tuhan Yang Maha Esa
8 Kebebasan Keputusan Jaksa Agung Komunitas Agama Lokal sengaja
berekspresi dan RI No. KEP, 108/ J.A./5/1984 tentang dikerdilkan atau bahkan dibasmi.
pengembangan diri pembentukan Tim Dalam hal ini Tim PAKEM bertugas
bagi komunitas Koordinasi Pengawasan meneliti dan menilai secara cermat
penghayat Aliran Kepercayaan Masyarakat. perkembangan suatu Aliran
Diperbaharui dengan Surat Keputusan Jaksa Kepercayaan untuk mengetahui
Agung RI No: Kep. 004/ J.A./ 01/1994 dampaknya bagi Ketertiban dan
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Ketentraman Umum”, serta “dapat
Pengawasan Aliran Kepercayaan mengambil langkah, langkah
Masyarakat (PAKEM) aktif dan preventif sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang
berlaku” (pasal 3, butir b dan d)

228 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


9 Pemaksaan PP 81 No 37/2007 tentang Peraturan Komunitas yang tidak berorganisasi
berorganisasi untuk pelaksanaan UU No. 23/2006 tentang dan tidak memiliki pemuka
bisa melangsungkan Administrasi Kependudukan penghayat, tidak dapat memperoleh
atau mendapatkan akte-perkawinan atau akan dipersulit.
akte perkawinan bagi
kelompok penghayat
Lihat Trisno Sutanto, dkk, 2013, 26, Lihat juga Sudarto 2016, 137

TAWA R A N P E N G E L O L A A N terakomodasi kepentingannya, kelompok dominan


KEBERAGAMAN tidak dapat memaksakan kehendaknya menuntut
Sebagai layaknya negara yang sedang berada perlakuan istimewa dari negara, atau yang oleh
dalam transisi demokrasi, Indonesia dihadapkan Stepan disebut “privileged prerogatives” (Stepan,
dengan dua momen kritis (critical juncture). 2001:116; Hashemi, 2002,201).
Pada satu sisi, demokrasi menyediakan ruang Oleh karena itu di dalam demokrasi,
pertarungan bebas bagi setiap kekuatan politik pemerintah yang terpilih secara demokratis
mengekpresikan pandangan dan sikap politiknya. harus memerintah secara konstitusional sehingga
Pada sisi lain, ada ancaman anarki demokrasi, tidak ada kelompok-kelompok yang terdominasi
yang disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya atau tersingkir atas desakan kelompok dominan
jalan demokrasi, antara lain munculnya kelompok manapun (An-Na’im, 2007, 22). Tegasnya, dalam
anti demokrasi yang ingin mengambil alih demokrasi setiap warga negara dengan berbagai
kekuasaan di luar prosedur demokrasi (Stepan, latar belakangnya, memiliki hak yang setara
2001, 297; Fauzi, 2014, 65). (equal) untuk berpendapat termasuk terlibat
Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, merencanakan kebijakan publik yang akan
meskipun bukan faktor utama, agama-agama mempengaruhi kehidupan mereka. Termasuk
terutama Islam selalu memainkan peran besar dalam konteks ini, kelompok-kelompok yang
dalam setiap tahapan transisi tersebut. Robert W. berbeda dapat diperlakukan secara berbeda
Hefner menyebutkan, Indonesia sejak berdirinya karena perbedaan identitasnya (Bagir, dkk, 2011,
tahun 1945, telah mengalami pertarungan 61). Institusi-institusi, baik pemerintah maupun
sengit antara kelompok nasionalis non-agamis non-pemerintah, seperti agama seharusnya tidak
yang berkeinginan mengakomodasi banyak memiliki keistimewaan dalam konstitusi untuk
agama (“multiconfessional”), dengan kelompok- mendikte dan/atau memveto keputusan yang telah
kelompok Muslim yang menginginkan agamanya dibuat oleh pemerintah yang dipemilih secara
menjadi “perkakas” negara untuk mewujudkan demokratis (Stepan, 2001, 116).
impian, guna menperteguh kesalehan Islami, bagi Dalam konteks inilah untuk merawat
sebagian masyarakat yang mengidentifikasi diri kemurnian demokrasi, negara harus membangun
sebagai Muslim (Hefner, 2014, 25). jarak bermartabat terhadap agama-agama. Jarak
Sementara itu, dalam perspektif demokrasi, bermartabat ini oleh Abdullah Ahmed An-Na’im
keberagaman ekspresi, termasuk dari kelompok disebut sebagai “the neutrality religion of the
Islam, merupakan sesuatu yang dijamin state” (An-Na’im, 2000, 1). Pentingnya menjaga
keabsahannya. Persoalannya: bagaimana jarak antara agama—negara, bukan dimaksudkan
keberagaman ekspresi tersebut dijalankan dengan untuk meminggirkan agama-agama dalam ruang
cara yang lebih rasional dan beradab?. Prinsip privat atau melakukan pemisahan antara agama
pokok yang harus dikembangkan dalam negara dan negara secara ketat seperti dalam pengertian
majamuk adalah melindungi dan mengakomodasi “sekulerisme klasik”. Netralitas negara terhadap
hak-hak kelompok minoritas dalam konstitusi agama dimaksudkan agar antara negara dan agama
yang demokratis (Shachar, 1998, 12). Minoritas dapat membangun jarak yang berprinsip atau
dalam pengertian di sini bisa disebabkan karena “principled distance” (Bhargava, 2011,1). Dengan
faktor agama, kelompok keyakinan, etnis, jenis membangun jarak berprinsip, antara negara
kelamin, termasuk perbedaan orientasi seksual, dan agama tidak akan saling mengintervensi
dan sebagainya. Oleh sebab itu, agar kelompok- sekaligus tidak akan mendiskriminasi disebabkan
kelompok minoritas dapat terlindungi dan keberpihan terhadap satu agama atau golongan.
Jarak berprinsip atau principle distanced oleh

Meneguhkan Kembali Keberagaman Indonesia.(Sudarto) │ 229


Rajeev Bhargava dimaknai sebagai jarak yang agama lokal lainnya, di antaranya Kaharingan,
bermartabat, dimana antara agama dan negara Sunda Wiwitan, Sapto Darmo, dan lainnya itu
saling memiliki posisi tawar dalam mekanisme adalah bagian dari Kepercayaan kepada Tuhan
check and balance (Bhargava, 2011. 1; Stepan, YME.
2012, 126; An-Na’im, 2011,1). Kedua, konsekuensi dari dari penambahan
Pertanyaanya adalah, mengapa antara satu agama “Kepercayaan kepada Tuhan YME”
agama dan negara harus membangun jarak yang menjadi payung agama-agama lokal
berprinsip? Setidaknya ada dua alasan penting. nusantara, seperti halnya Islam menjadi agama
Pertama, mendiskusikan demokrasi tidak harus payung dari sekte-sekte dan ormas-ormasnya.
sekularisme dalam pengertian memisahkan antara Agama dan “Kepercayaan” menjadi satu atap
agama dengan negara. Sekularisme bukanlah hal di bawah Kementerian Agama dengan asumsi
yang intrinsik dalam demokrasi. Yang intrinsik Kementerian Agama masih dibutuhkan.
justru negara--agama harus membangun “twin Ketiga, dengan dua tawaran di atas, secara
toleration” atau toleransi kembar (Stepan, 2000). otomatis urusan agama dan kepercayaan
Gagasan dasar dari twin toleration menurut Stepan sebagaimana nomenklatur konstitusi hanya akan
didefinisikan sebagai batas-batas minimal dan menjadi urusan Kementerian Agama. Maka,
kebebasan bertindak bagi organisasi-organisasi restrukturisasi Kementerian Agama menjadi
keagamaan (Stepan, 2000, 37). Kedua, bahwa kemutlakan. Jika selama ini Kementerian
penyapihan agama—negara secara ketat selain Agama terbagi-bagi pada subkedirjenan, sesuai
tidak diperlukan juga pada dasarnya akan ditolak agama-agama yang diakui, ke depan kedirjenan
oleh agama apa pun, terutama bagi negara-negara akan berkerja berdasarkan fungsi, antara lain
mayoritas Islam (An-Na’im, 2007, 24). Dirijen Kerukunan Antar Umat Beragama dan
Kegagalan negara—agama membangun Kepercayaan, Dirjen sarana dan prasarana
jarak, menyebabkan hubungan antara keduanya peribadahan, Dirjen pencatatan perkawinan
menjadi rancu dan menjadi negara yang bukan- dan perceraian, Dirjen pendidikan Agama dan
bukan. Fenomena itulah yang saat ini dihidupi Kepercayaan (sebaiknya pendidikan menjadi
dalam konteks keberagamaan di Indoesia. domain Kemendikbud), Dirjen Kunjungan
Dengan kata lain, hanya ada di Indonesia Tanah Suci. Dengan demikian Kota Suci Makah,
pengelolaan keberagaman, utamanya agama Yarussalem akan setara “sucinya” dengan Sungai
yang dilakukan secara ambigu yang terkesan Gangga, Candi Borobudur, Candi Perambanan,
“DIBISNISKAN”. Misalnya, Pendidikan diurus yang bisa dikelola sebagai “objek bisnis yang
oleh dua kementerian: Kemendibud dan Kemenag. suci (the Sacred)”, karena dilihat dari segi apa
Pernikahan dicatat oleh dua kementerian, yakni pun urusan kunjungan tanah suci lebih sebagai
Kemendagri (CQ. Disdukcapil) dan Kemenag “Religion and Tourism”
(CQ, KUA). Dan yang lebih tidak sehat, urusan Gagasan restrukturisasi Kementerian Agama
keyakinan yang dianggap paling asasi itu juga didorong oleh pemahaman dan kesadaran
harus diurus oleh banyak kementerian, yakni: bahwa tugas negara dalam masyarakat yang
Kemenag, Kemendagri, Kemendibud, Kepolisian, menghidupi pluralisme kewargaan lebih
Kejaksaan yang sekaligus diintai oleh lembaga sebagai penanggungjawab penjaga ruang publik
“watchdog” BAKORPAKEM. sebagai sarana partisipasi masyarakat. Penjaga
Di tengah kebuntuan itu, saya mengusulkan ruang publik berarti menjaga ruang tersebut
penyederhanaan administrasi negara bidang bebas dari dominasi kelompok tertentu dan
agama dan untuk tujuan penghematan anggaran sekaligus memfasilitasi akses partisipasi semua
kementerian. Pertama, jika memang pada kelompok masyarakat dengan segala komponen
akhirnya negara akan mengakui agama-agama kemajemukannya dalam menjaga kualitas ruang
selain enam agama import resmi karena tuntutan publik tersebut. Dengan penjagaan ini, negara
zaman dan konstitusi dengan tambahan Baha’i, dapat berperan memfasilitasi nalar kewargaan.
Yahudi, dan Sikh, seharusnya agama-agama Sebagaimana diketahui bersama, dalam
leluhur nusantara menjadi salah satu agama setara negara yang demokratis yang dibutuhkan
dengan agama “diakui”. Adapun penyebutannya bukan hanya adanya keberagaman, melainkan
dikembalikan kepada “Kepercayaan kepada bagaimana itu mampu menggumuli (engagement)
Tuhan yang Maha Esa” sedangkan kelompok keragaman itu dengan cara pluralis dan sivik.

230 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017


Dalam kaitan ini ide “Civic pluralism” bertemu lembaga yang selama ini ikut terlibat mengurusi
dengan “civil society” yang oleh Robert Hefner agama-agama. Hal ini dirasa mendesak antara
ditegaskan bahwa masyarakat disebut civic lain untuk tujuan penyederhanaan birokrasi dan
pluralist, ketika anggota-anggotanya membuang prosedur keagamaan serta penghematan atas
niat atau upaya menekan atau mengurangi anggaran kehidupan beragama. Hal lainnya adalah
keragaman dan menjawab segala tantangan- berangkat dari pemahaman bahwa prinsip dasar
tantangan dengan cara yang lebih damai dan dari kewarganegaraan majemuk harus berangkat
partisipatoris. Pluralisme kewargaan akan tercapai dari pemikiran setiap komponen kemajemukan
manakala ketika pengelompokan pluralitas diperlakukan setara, termasuk dapat diperlakukan
tumbuh menjadi pengakuan (recognisi), yang berbeda karena perbedaan identitas dalam nuansa
memungkinkan setiap warga negara dapat affirmative action. Targetnya tidak lain agar setiap
berpartisipasi membangun institusi publik untuk komponen kemajemukan tersebut dapat terlibat
pengaturan masyarakat secara damai atas dasar dan berpartisipasi dalam pemajuan negara bangsa
pengakuan keragaman dan dialog engagement untuk kebaikan masa depan bersama.
antarkelompok masyarakat.
PUSTAKA ACUAN
PENUTUP
An Na’im, AA (2010). Islam dan Negara Sekular
Diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan Negosiasi Masa Depan Syari’ah. Bandung:
di Indonesia melibatkan empat aktor utama, Mizan.
yakni 1) negara melalui regulasi pengelolaan
------------, (1990). Dekonstruksi Syari’ah,
keberagaman agama, definisi agama, pengawasan
Wacana kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia
dalam perspektif mencurigai (watchdog). 2)
kelompok agama dominan dengan monopoli dan Hubungan internasioan dalam Islam,
terhadap seuatu agama yang dianggap paling Jogjakarta: LKiS.
benar dan agama tidak benar, agama yang sehat Atkinson, J.M (1978). Religion and Dialogue,
dan tidak sehar. 3) kalangan akademik dengan The Construction of an Indonesian Minority
mindset atropologis dengan kategori-kategoris Religion, Dalam Rita Smith Kipp dan
stigmatif dan media dengan tayangan yang selain Susan Rogers (eds), Indonesia Religion
menyudutkan kelompok agama lokal nusantara in Transition, Tucson: The University of
juga tidak berimbang dalam pemberitaannya. 4) Arizona Press.
diskriminasi oleh media-media mainstream. Akibat
Bagir, Zainal Abidin. dkk (2011). Pluralisme
pengelolaan negara yang tidak cukup berpihak
terhadap agama lokal nusantara khususnya, Kewargaan, Arah Baru Politik Keragaman
menyebabkan mereka “hopeless” sekaligus di Indonesia. Bandung: Mizan – CRCS.
bersikap pragmatis demi mempertahankan esensi ------------, (2014). Mengelola Keberagaman dan
keyakinan walau tanpa hak untuk mengaktualkan Kebebasan Beragama, sejarah Tradisi dan
identitas keagamaannya. Lebih jauh, konflik Advokasi. Bandung: Mizan – CRCS.
kepentingan pada internal agama lokal, menjadi Banawiratma,J.B. Dkk (2010). Dialog Antarumat
jalan mulus bagi negara cq pemerintah untuk Beragama, Gagasan dan Praktek di
menunda-nunda pemenuhan hak penganut agama
Indonesia, Bandung: Mizan.
lokal dengan dalih komunitas agama-agama lokal
sendiri tidak solid. Bhargava, Rajeev (2011). “Should Europe learn
from Indian secularism?”: India Minority
Oleh karena itu, diperlukan terobosan
lebih progresif dan melakukan defnisi ulang and Pluralism Symposium on living with
terhadap keyakinan yang dikategorikan sebagai differences between religion and culture.
agama. Definisi terhadap agama tidak lagi Dhakidae, Daniel. (2003). Cendekiawan dan
masuk pada forum internum, melainkan semata- Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
mata untuk tujuan pengelolaan keberagaman, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
khususnya agama dalam prinsip-prinsip Geertz, Clifford (1960). The Religion of Java.
kewarganegaraan yang setara dan berkeadilan.
Chicago and London: The University of
Tawaran itu antara lain dapat dilakukan melalui
Chicago Press.
restrukturisasi Kementerian Agama dan lembaga-

Meneguhkan Kembali Keberagaman Indonesia.(Sudarto) │ 231


Hafner, Robert W. Dkk. (2005). Remaking Sudarto (2016). ”Religionisasi Indonesia; Sejarah
Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Perjumpaan Agama Lokal dan Agama
Democratization. Princeton: Princeton Pendatang”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
University Press. Utama
Hashemi, Nadar (2003). ”Islam, Secularism and Sutanto, T.S (2013), Merayakan Kebebasan;Bunga
Liberal Democracy: Toward a Democratic Rampai Menyamput 70 Johan Effendi”,
Theory for Muslim Societies”. Jakarta: ICRP dan Kompas.
Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna, Stepan, Alfred (2000). ”Religion, Democracy, and
Historisitas, Rasionalitas dan Aktulitas the ”Twin Toleration”’. Project Muse: John
Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Hopkins University Press.
Utama. ------------- (1996). ”Problem of Democratic
Mulder, Niels (1983). Kebatinan dan Hidup Transition and Consolidation, Sothern
Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan Europe, South America, and Post Comunist
dan Perubahan Kultural. Jakarta: Gramedia. Europe.” London. John Hopkin University
Rawls John. (1997). The Idea of Public Reason Press.
Revisited. Chicago: The University of ------------- (2012). ”The Multiple Secularism of
Chicago Law Review, Vol 64. No.3 Modern Democratic and Non-Democratic
Saidi, Anas, dkk (2004). Menekuk Agama Regimes”, New York. NY: Oxford University
Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Press.
Baru, Jakarta: Desantara.
Shachar, Ayelet (2000). “Multicultural
Jurisdiction” Law Review 35, No. 2
Summer.

232 │ Masyarakat Indonesia, Vol. 43 No.2, Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai