Anda di halaman 1dari 5

1

Intoleransi, Radikalisme dan Demokrasi Pancasila

KH. Muhammad Ridwan


Ketua Umum MUI Kab. Bandung Barat

Muqaddiman

Dalam Kitab Adab al-Dunya wa al-Dina, al-Mawardi1 menyimpulkan bahwa


“Karakter Manusia itu bermasyakat” (‫)اإلنسان مدني بطبعه‬. Ini artinya bahwa manusia tidak bisa
hidup mandiri dalam arti yang sebenarnya, manusia dalam memenuhi kebutuhannya
senantiasa membutukan bantuan oranglain. Sebab itu, Islam mengajarkan perlunya
kepemimpinan. Hadis riwayat Abu Daud menyatakan.

‫َذا خ ََر َج ثَ َالثَ ٌة يِف ْ َسـ َف ٍر فَلْ ُي َؤ ِ ّم ُر ْوا َأ َحدَ ه َْـم‬


Bila ada tiga orang yang mengadakan perjalan, hendaklah mereka mengangkat
‫ِإ‬
salahseorang diantara mereka sebagai pimpinannya.
Mafhum muwafaqah dari hadis ini, bila dalam suatu perjalanan saja diperintahkan
untuk mengangkat pimpinan, apalagi dalam kehidupan masyarakat seperti WNI yang
jumlahnya mencapai 2.70.000.000 lebih.
Namun dalam praktiknya, ketika sepakat mendirikan satu negara, muncul pelbagai
macam faksi, muncul pelbagai macam aliran, dalam masalah bentuk negara, apakah
kerajaan, negara demokrasi, atau negara Islam. Dari pelbagai faksi yang ada ternyata ada
faksi yang merasa paling benar dan memanndang faksi yang berbeda pasti sesat, sehingga
dalam masyarakat kita muncul “sikap Intoleran, Radikalisme dan Penolakan terhadap
Demokrasi Pancasila”. Semua ini berawal dari “ajaran pemahaman Islam yang berbeda”.
Sebab itu, sebelum membahas masalah “Intoleran, Radikalisme, dan Demokrasi Pancasila”,
ada baiknya kita bahas terlebih dahulu bahasan tentang “Paradigma Ajaran Islam”.

Paradigma Ajaran Islam

Ditinjau dari paradigmanya (pola atau jendela pandang) ajaran Islam terbagi tiga,
yaitu Doktrin, Pemahaman dan Pemikiran, dan Aplikasinya (Terapan).
“Ajaran Doktrin” adalah ajaran Islam yang disepakati bersama, wajib diterima begitu
saja, tidak bertambah dan tidak berkurang, yaitu Alquran dan Hadis yang asli, belum
diterjemahkan dan belum ditafsirkan. Sebab terjemahan dan tafsir pada hakikatnya adalah
pemahaman.
“Ajaran Pemahaman dan Pemikiran” adalah pemahaman para ulama (manusia)
terhadap kandung makna Alquran dan Hadis. Dalam upaya memahami ini para ulama
berbeda kompentensi, metode (manhaj) dan budaya di sekelilingnya. Sebab itu, hasil
kesimpulan pemahamannya berbeda-beda. Karena itu, dalam Islam dikenal aliran atau
madzhab.
Perbedaan pemahaman dan aplikasi ajaran Islam bukanlah hal yang baru (bid’ah),
sebab sejak zaman Rasul Saw., perbedaan pemahaman dan aplikasi sudah terjadi.
Hadis riwayat Buĥ â ri dari Ibn Umar R.a.

1
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hlm. 132.
2

ُّ ‫يِب‬$ ‫ا َل النَّـ‬$$َ‫ ق‬,‫ا َل‬$$َ‫ـن عُـ َم َـر ق‬ ِ ْ‫ ُة َع ْن اَن ِفع ٍ َع ْن ِاب‬$ ‫ا ُج َـويْـ ِريَـ‬$$‫ا َل َح َّدثَـنَـ‬$$َ‫ َم َاء ق‬$ ‫ـن َأ ْسـ‬ ِ ْ‫ َّم ٍد ب‬$ ‫ـن ُمـ َحـ‬ ِ ُ‫ا َع ْبد‬$$‫َح َّدثَـنَـ‬
ُ ْ‫هللا ب‬
َ‫َأد َْرك‬$ َ‫ ف‬," ‫ َة‬$ ‫يِن ْ قَ َـريْ َـظـ‬$ ‫ َعرْص َ الَّ يَف ْ بَـ‬$ ‫ ٌد الـ‬$ ‫ " " َالي ُ َـص ِل ّــنَي َّ َأ َحـ‬: ‫ َع ِم َن اَأل ْح َـز ِاب‬$ ‫ َّما َر َجـ‬$ ‫ﷺ لَـ‬
‫ِإ‬
‫نَّا‬$ ‫ َوقَا َل بَـ ْعـضُ ـه ُْـم ب َ ْـل ن ُ َـصـيِّل ْ ل َ ْـم يُـ ِر ْد ِمـ‬, ‫ فَـ َقا َل بَـ ْعـضُ ـه ُْـم َالن ُ َـصـيِّل ْ َحـىَت نَـأ ِتــ َيــهَـا‬, ‫الطـ ِريْ ِـق‬
َ ْ ‫بَـ ْعـضُ ـه ُْـم ال َعـرْص َ يِف‬
‫ فَ َـذ َك َر ِللنَّـيِب ِ ّ ﷺ فَـلَ ْـم يُـ َعـ ِن ّ ْـــف َوا ِحدً ا ِمنْـه ُْـم‬, َ ‫َذكِل‬
Abdullah bin Muhammad bin Asma menceritakan, dia berkata. “Telah menceritakan
kepada kami Juwairiyah dari Nâfi dari Ibn Umar, ia berkata”. Nabi Saw., pernah bersabda
ketika Beliau kembali dari Perang Ahzâb : “Jangan sekali-sekali salah seorang diantara
kalian Şalat Aşar, kecuali di perkampungan Bani Quraizah”. Di tengah perjalanan tibalah
waktu şalat aşar, sebagian berpendapat bahwa “kami tidak akan şalat, kecuali jika kami
sudah sampai di kampung Bani Quraizah” ; Sebagian lagi berpendapat bahwa “kami akan
şalat di perjalanan ini, sebab beliau tidak bermaksud demikian”. Ketika kejadian itu
diceritakan kepada Nabi Saw., beliau tidak menyalahkan salah satu diantara mereka.

Dalam menyikapi perbedaan paham ini hanya ada satu cara, yaitu Tasamuh atau
Toleransi.
Dalam “Ajaran Pemahaman dan Pemikiran” yang mengenal banyak aliran ini, bagi
bagi Bangsa Indonesia dikenal ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Matlaul
Anwar, PUI dan lain-lain, semua ormas Islam ini muncul karena berbeda pemahaman dan
pemikiran, bukan berbeda agama, sebab semua dipandang muslim.
“Ajaran Aplikasi” atau Terapan (‫)التطبيق‬, dalam Ajaran Aplikasi ini perbedaan lebih
banyak lagi, misalnya ada dua orang yang sama pemahaman tentang Rukun Wudu ada
Enam, tapi dalam praktik (prak-prakan) wudunya berbeda, cara dan gaya wudu orang
kakinya bengkak berbeda dengan cara dan gaya wudu manusia sehat.

Rumusan Masalah
Nah, masalah Intoleran, Radikalisme dan Demokrasi Pancasila pun termasuk “Ajaran
Pemahaman dan Pemikiran”, bukan termasuk “Ajaran Doktrin”.

Rumusan Masalah

Masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini ada dua, yaitu (1) Apa dan
bagaimana Intoleransi dan Radikalisme, (2) Bagaimana Demokrasi Pancasila itu ?.

Intoleran dan Radikalisme

I. Intoleran dan Radikalisme

A. Intoleran

Islam adalah Agama yang Toleran, buktinya ada firman Allah Swt. Lakum Dînukum w
aliya al-Dîn, bagimu agamamu. Bagiku agamaku (QS. Al Kafirun [109] : 6), dan firman Allah
Swt., Lâ ikrâha fi al-Din, tidak ada paksaan dalam beragama (Al Baqarah [2] : 256).
Dalam Bergama saja tidak ada paksaan, apalagi dalam mengamalkan “Ajaran
Pemahaman dan Pemikiran” yang banyak perbedaan, Islam melarang perbuatan
3

mengkafirkan (Takfir) pada kelompok yang berbeda paham, Islam mengajar wajib saling
menghargai dan menghormati.
Sebab ada sabda Rasul Saw.

َ ‫َال ي َ ْـر ِم ْـي َر ُجـ ٌل َر ُجـ ًال بِـالْـ ُف ُس ْو ِق َو َال ي َ ْـر ِمـ ْيـ ِه بـِال ُكـ ْف ِر الَّ ِا ْرتَــ َّد َعـلَ ْيـ ِه ْن ل َ ْم يَـ ُك ْن َصا ِح ُبـ ُه َك َـذاكِل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Tidaklah seseorang menuduh fasik atau menuduh kafir pada pihak lain, melainkan hal
itu akan kembali kepadanya, jika yang dituduh itu tidak kafir atau tidak fasik (H.R. Buĥ ari).
Berdasarkan hadis ini kita dapat memahami bahwa intoleran adalah bukan kafir, tapi
merupakan sikap yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan nafas keseluruhan (syumuliyah)
ajaran Islam.

B. Radikalisme

Radikalisme Islam adalah “gerakan berbasis Islam untuk melakukan pembaruan


dalam masalah sosial dan politik dengan cara paksaan, drastis, keras dan tanpa kompromi
kepada pihak yang berbeda, terutama penguasa sekalipun sama-sama muslim”.
Radikalisme Islam bukan masalah baru, gerakan ini dapat ditarik pada Zaman Rasul
Saw.
Hadis riwayat Bukhari, dari Abi Sa’id al-Khudriyi R.a., menerangkan bahwa ketika
“Perang Hunain” usai, Rasul Saw., membagikan ganimah (rampasan perang), dan Rasul
Saw., mengutamakan kaum muallaf daripada tantara. Kebijakan Rasul Saw., ini dipandang
tidak adil oleh Dzu Khawaishira., ia protes kepada Rasul Saw.

‫ذ ْن يِل ْ فََأْل رْض ِ ُب‬$َ $ْ‫ " ِائ‬: ‫ر‬$ُ $َ ‫ا َل مُع‬$$‫ فَ َق‬, "‫ ِدل ؟‬$‫م َا ْع‬$ْ $‫ ْع ِد ُل َذا لَـ‬$‫ َ"ويْكَل َ ِم ْن يَـ‬: ‫ قَا َل‬,! ‫ َا ْع ِد ْل‬,‫هللا‬ ِ ‫اَي َر ُس ْو َل‬
‫ِإ‬
, ‫م‬$ْ $‫ َع َص َيا ِمـهِـ‬$‫م َو ِص َيا َم ُه َم‬$ْ $‫ َع َص َال ِتـهِـ‬$‫ ُه َم‬$‫م َص َالتَـ‬$ْ $‫ َّن لَـ ُه َأحْص َ ااًب يَـ ْحـ ِق ُـر َأ َحدُ ُكـ‬,! ‫ " َال‬: ‫ قَا َل‬, "! ‫ُعنُـ َقـ ُه‬
ِ ‫ِإ‬
ِ ِ
... ‫السـهْـ ِم م َن َّالرمـيَّـة‬ َّ ‫ يَـ ْم ُـر ُق م َن ّادل ْي ِن كـ ُم ُـر ْو ِق‬, ‫يَـ ْق َـر ُؤ َن ال ُق ْـر َآ َن َال جُي َا ِو ُزت ََـراقـ َيـه ُْـم‬
َ ِ ِ ِ
Ya Rasululah ! berbuat adillah !. Rasul Saw., berkata, “Celaka kamu !. Siapa yang
mampi berbuat adil, jika Aku tidak dapat berbuat adil ?!. Sungguh kamu telah mengalami
keburukan dan kerugian, jika aku tidak berbuat adil !”. Lalu Umar berkata, “Ya Rasul !,
izinkah aku untuk memenggal lehernya !”. Rasul Saw., berkata, “Biarlah !, karena nanti dia
akan memiliki banyak teman yang salahseorang dari kalian memandang remeh shalatnya
dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka suka membaca
Alquran, tapi (Alquran) tidak sampai pada tenggorokan mereka (hanya di mulut). Mereka
keluar dari Agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya …
Rasul Saw., memberikan sinyalemen bahwa gerakan radikal seperti Dzu
Khauwaishirah akan muncul belakang dan jumlahnya semakin banyak, mareka suka shalat
seperti kita, tapi mereka memandang bahwa hanya shalat mereka yang benar, shalat yang
tidak sama dengan shalat mereka dipandang akan masuk neraka, mereka juga puasa
seperti kita, tapi mereka memandang hanya puasa mereka yang benar, mereka pun rajin
membaca Alquran bahkan hafiz Alquran, tapi Alquran yang mereka baca sebatas pada
mulut mereka, tidak sampai pada tenggorokannya, apalagi masuk ke dalam hatinya.
Dalam sejarah Islam, gerakan radikal ini dimulai oleh kelompom Khawarij yang
sangat mudah mengafirkan kelompok yang berbeda paham dengan mereka, di zaman
sekarang pun telah muncul gerakan Neo Khawarij yang suka mengafirkan orang yang
4

berbeda paham, mereka merasa paling benar, merasa paling Islam, padahal sabda Rasul
Saw., menyatakan, “mereka keluar dari Agama, sebagaimana melesatnya anak panah dari
busurnya”. Sebab itu, kita harus bijak dan berhati-hati dalam menyikapi kelompok radikal
ini.

II. Demokrasi Pancasila

Begitu Rasul Saw., wafat ia tidak mewasiatkan tentang bentuk pemerintahan, namun
ada contoh Rasul Saw., dan dipercaya membentuk Negara Madinah yang diikat bukan
dengan Alquran atau Hadis, tapi diikat dengan Shahifah Madinah (Piagam Madinah), namun
tentang Piagam Madinah ini, tidak ada satu pun kitab hadis yang menerangkannya,
keterangan Piagam Madinah hanya diterang dalam Kitab Sirah Rasul, Sejarah Rasul dan
Sejarah Islam seperti Kitab Sirah Ibnu Hasyim atau Al Bidayah wa al-Nihayah-nya Ibnu
Katsir. Tidak diterangkannya Piagam Madinah dalam kitab-kitab hadis (Kutub Sittah) ini
(mungkin) karena riwayatnya lemah. Pada sisi lain ada satu contoh, Raja Negus dari Etopia
yang beragama Nasrani lalu berkonfersi, berpindah agama menjadi seorang Muslim, setelah
Negus memeluk Islam, Rasul Saw., tidak memerintah Negus agar merobah bentuk
kerajaannya menjadi “Negara Islam” yang berdasarkan musyawarah, Negus dibiarkan
memegang kerajaan seperti semula, dan tidak ada yang dirobah.
Karena data sejarah inilah, maka para ulama berbeda paham dalam memandang
dengan “Negara Islam”, mendirikan negara Islam wajib, dan harus keturunan Ali bi Talib,
yaitu Syiah ; Ada yang menyatakan mendirikan negara Islam wajib, dan pimpinan
cenderung memilih Quraisy, sebab Rasul Saw., Khalifah Rasyidah, Bani Umayah, dan Bani
Abbasiyah merupakan keturunan Quraisy ; Ada pula yang memandang tidak perlu Quraisy,
sebab Turki Usmani di Istanbul bukan keturunan Quraisy ; Ada yang berpendapat negara
wajib, bentuknya kerajaan, seluruh hukum berlaku, seperti Kerajaan Saudi Arabia ; Ada
yang berpendapat bahwa mendirikan negara bukan kewajiban, jika dibutuhkan bentuklah
negara, jika tidak dibutuhkan, tidak perlu membentuk negara. Ini adalah paham Khawarij
Nejed (salah satua liran kecil dalam Khawarij) 2 ; Ada menyatakan membentuk negara wajib,
berbentuknya boleh Demokrasi Islam, seperti Pakistan ; Dan ada pula yang memilih
demokrasi tanpa embel-embel Islam seperti Mesir, Iraq, Syria, Hukum Islam sebagian
berlaku seperti Hukum Perkawinan, Warisan, Ekonomi, sebagian lagi tidak berlaku, yaitu
Hudud dan Jinayah.
Demokrasi Pancasila yang berlaku Indonesia sebenarnya merupakan salahsatu
pemahaman dari pelbagi pemahaman yang ada seperti di Mesir, Iraq dan Syria, namun di
Indonesia yang ada perbedaan, khususnya untuk Daerah Istimewa Aceh, sebab di Aceh ada
lembaga Syariat Islam yang disebut “Wilayah Hisbah” (semacam Mahkamah Syar’iyah), jadi
dalam Pemerintahan di wilayah Aceh ada lembaga “Polisi Pamong Praja” dan “Wilayah
Hisbah”, yang berfungsi mengawasi, menilai dan menyelidikan permasalahan pelanggaran
Syariat Islam, sedang pada provinsi di laur Aceh hanya ada Polisi Pamong Praja.

2
Muhammad Abu Zahrah, Tariĥ al-Mażâhib al-Islâmiyah, hlm. 71.
5

Jika dianalogikan pada Zaman Rasul, NKRI, Mesir, Iraq dan Syria sama seperti
Kerajaan Negus di Etopia, bahkan NKRI lebih baik, sebab ada Wilayah Hisbah sekalipun
hanya di Aceh.

Wallâh a’lam bi al-şawâb.

Anda mungkin juga menyukai