Anda di halaman 1dari 38

i

KATA PENGANTAR

‫بســـــــــــــم هللا ّالرمحن ّالرحيـــــــــــم‬


Alhamdulillâh, berkat qudrat, iradat Allah Swt., buku ini
dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu
sekitar tiga minggu. Şalawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Baginda Rasulullah Swt., demikian pula keluarga
dan sahabatnya. Ammâ ba’du.
Sebenarnya Penulis bukan sosiolog, tapi pernah belajar
Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan. Ada dua orang guru
yang membimbing Penulis dalam mempelajari Sosiologi dan
Sosiologi Pendidikan, yaitu Prof. Dr. H. Dadang Kahmad,
M.Si., Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, dan
Prof. Dr. H. Sudardja Adiwikarta, Guru Besar UPI, Bandung.
Mereka berdua yang telah membimbing Penulis
mempelajari Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan. Semoga
keduanya mendapat rahmat dan berkah dari Allah Swt.
Amin.
Buku ini berupa buku pengantar sosiologi pendidikan
bagi mahasiswa pemula dalam bidang pendidikan. Buku ini
hanya menguraikan Teori Utama Sosiologi dan desain
pendidikan berdasarkan teori-teori utama itu. Aspek-aspek
lain yang mestinya dibahas dalam Sosiologi Pendidikan
tidak dibahas, karena buku ini hanya sekedar pengantar
bagi para mahasiswa pemula.
Banyak pihak yang telah membantu selama menyusun
buku ini. Kepada mereka Penulis sampaikan terima kasih,
Jazâkumullâh ahsana al-Jazâ.
Buku ini pasti masih banyak kekurangannya. Kepada
para cerdik pandai, kiranya dapat memberikan kritik dan
saran yang konstruktif demi perbaikan karya ini.
Terima kasih pula kepada Anda yang bersedia membaca
buku ini, semoga Anda mendapatkan berkah dan ilmu yang
bermanfaat. Amin.
Cikalongwetan, 1 Januari 2016

Penulis
ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. ii
I. PENDAHULUAN……………………………………………………… 1
A. Pengertian Sosiologi Pendidikan………………………… 1
B. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan…………………... 3
C. Tujuan Sosiologi Pendidikan………………………………. 4
II. TEORI UTAMA SOSIOLOGI………………………………………. 4
A. Teori Struktural Fungsional……………………………….. 6
B. Teori Struktural Konflik…………………………………….. 11
C. Teori Interaksionisme Simbolik…………………………. 15
D. Teori Pertukaran Sosial……………………………………... 18
III. PENDIDIKAN MENURUT
TEORI UTAMA SOSIOLOGI………………………………………. 20
A. Pendidikan menurut Teori Struktural Fungsional.... 20
B. Pendidikan menurut Teori Struktural Konflik………. 24
C. Pendidikan menurut Teori Interaksionisme
Simbolik……………………………………………………………... 30
D. Pendidikan menurut Teori Pertukaran Sosial………. 32
IV. PENUTUP………………………………………………………………... 33
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 35
1

I. PENDAHULUAN

A. Pengertian Sosiologi Pendidikan


Term “Sosiologi Pendidikan” terdiri dari dua kata,
yaitu “Sosiologi” dan “Pendidikan”. Jika dipisahkan, makna
yang terkandung dalam kedua term ini berbeda satu sama
lainnya, tapi setelah digabungkan, yakni menjadi “Sosiologi
Pendidik”, makna terkandung di dalamnya sekalipun masih
terkait, tapi ada nuansa yang membedakan antara term
“Sosiologi Pendidikan” dengan term “Sosiologi” pada satu
sisi, dan term “Pendidikan” pada sisi lainnya.
Makna leksikal term (istilah) “Sosiologi” berasal dari
bahasa Latin, yaitu Socius artinya kawan, teman dan sahabat
; dan Logos artinya ilmu atau ilmu pengetahuan. Jadi makna
leksikal dari istilah “Sosiologi” adalah “ilmu yang membahas
tentang teman”.
Secara sederhana, “Sosiologi” dapat dimaknai sebagai
“Ilmu Pengetahuan tentang masyarakat”, muncul
pertanyaan, masyarakat itu apa ? . Menurut Emile
Durkheim, masyarakat adalah kelompok-kelompok
manusia yang hidup secara kolektif. Istilah masyarakat
berasal dari bahasa Arab, yaitu Mušârakah (‫ )مشاركة‬artinya
“bersama-sama”. Kalau kita rajin membaca Alquran, ada
tiga istilah tentang manusia yang sering digunakan, yaitu
Bašar, Insân dan Nâs (‫ الناس‬, ‫ اإلنسان‬, ‫ ;)البشر‬Bašar (kulit yang
terlihat), maknanya manusia dalam artinya “makhluk
biologis”, makhluk yang terdiri dari kulit, bulu, daging,
tulang, darah dan benda cair lainnya ; Insân, maksudnya
adalah manusia sebagai individu atau organisme yang
terdiri dari Jasmani, Akal, dan Ruhani. Bisa juga dikatakan
manusia sebagai individu yang terdiri dari dimensi
“lahiriah” (kulit, bulu, daging, tulang, darah dan benda cair
lainnya) dan dimensi batiniah, yaitu fitrah, aql, ruh, qabl,
fuad, nafs, emosi, bakat, sikap dan lain-lain. Ilmu Biologi dan
kedokteran hanya mempelajari manusia dari prespektif
Bašar, ketika dihadapkan pada manusia dalam arti Insân,
Biologi dan Kedokteran tumpul, ilmu yang dapat dijadikan
sebagai pisau untuk menganalisis manusia dalam arti Insân
2

adalah Psikologi, atau ilmu gabungan antara Psikologi dan


Kedokteran, yaitu Psikiatri ; Istilah Nâs merujuk pada
manusia dalam arti manusia sebagai komunitas, sebagai
kelompok yang membedakan antara satu kelompok dengan
kelompok yang lainnya. Misalnya, ada kelompok atau
komunitas (suku bangsa atau bangsa) Sunda, Jawa, Batak,
Minang, Bugis, Madura, Papua, Eropa, Negro, Cina, Jepang,
Indian, Eskimo dan lain-lain. Kelompok atau komunitas
inilah yang kita maksud dengan istilah “masyarakat”,
namun di dalamnya kadang-kadang terjadi pencampuran, di
Bandung mayoritas Sunda, tapi ada pula orang Jawa, Batak,
Minang dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini semuanya
manusia, namun satu sama lainya berbeda. Apakah Papua
dengan Negro itu sama ?. Memang lahiriahnya sama, yaitu
sama-sama berkulit hitam dan berambut kriting, tapi kita
tahu, terdapat perbedaan yang jauh antara orang Papua
dengan orang Negro. Untuk menganalisis kelompok-
kelompok manusia ini, Biologi, Kedokteran, Psikologi dan
Psikiatri tidak akan mampu (tumpul), kita dapat
menganalisisnya dengan “Sosiologi”. Lalu apa sosiologi itu ?
Menurut Bertrand, key word (kata kunci) dari “Sosiologi”
adalah human relationship, yaitu hubungan antarmanusia
dalam segala aspek kehidupannya. Mayor Polak
mendefinisikan sosiologi sebagai “Ilmu Pengetahuan yang
mempelajari masyarakat secara keseluruhan, yaitu
hubungan antarmanusia dengan manusia, manusia dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal
maupun material, baik statis maupun dinamis”. Jadi secara
sederhana kita dapat mendefinisikan sosiologi sebagai
“ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan manusia
dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat”.
Definisi pendidikan yang diajukan para ahli bermacam-
macam, akibatnya kita sulit untuk memahaminya, namun
ketika berbicara tentang core (inti) pendidikan, mereka
3

sepakat, yaitu humanizing of human being. “Pemanusiaan,


manusia”1.
Setelah mengetahui apa itu Sosiologi dan apa itu
Pendidikan, muncul pertanyaan Sosiologi Pendidikan itu
apa ?
Definisi Sosiologi Pendidikan yang diajukan para ahli
pun ternyata banyak, satu sama lainnya berbeda, akibatnya
kita sulit untuk mencari benang merah yang dapat
mempersatukan keragaman definisi-definisi itu. Namun,
ada satu hal yang disepakati, bahwa Sosiolgi Pendidikan
besar manfaatnya untuk para pendidik. Sosiologi dapat
memberikan kontribusi yang berharga dalam menganalisis
pendidikan, untuk memahami hubungan antarmanusia di
sekolah dan struktur masyarakat tempat sekolah itu berada.
Perlu digaris bawahi, bahwa Sosiologi Pendidikan bukan
berarti Sosiologi yang menjadikan Pendidikan sebagai
obyeknya. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari
problematika sosial dalam pendidikan, tapi dianalisis pula
tentang tujuan pendidikan, kurikulumnya, metologinya,
pokok-pokok praktis, etis dan sebagainya. Menurut S.
Nasution, Sosiologi Pendidikan adalah “ilmu yang berusaha
untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses
pendidikan untuk memperoleh perkembangan kepribadian
individu yang lebih baik”. Ini artinya bahwa Sosiologi
Pendidikan pada dasarnya adalah analisis ilmiah terhadap
proses sosial dan pola-pola sosial yang terdapat dalam
sistem pendidikan.

B. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan


Ruang lingkup Sosiologi Pendidikan tidak terlepas
dari masyarakat, sebab inti Sosiologi adalah ilmu yang
membahas tentang kehidupan masyarakat. Berikut ini
adalah ruang lingkup bahasan Sosiologi Pendidikan :

1
Elaborasi dari upaya pemanusia, manusia yang diajukan para
ahli ternyata banyak dan berbeda. Sebab, elaborai tersebut sangat
tergantung pada pamahaman Filsafat Antropologinya, yakni
cabang filsafat yang berbicara tentang apa itu manusia ?.
4

1. Hubungan sistem pendidikan dengan pelbagai aspek


kehidupan masyarakat
2. Hubungan antarmanusia di lembaga pendidikan, seperti
di sekolah dan madrasah
3. Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian
para pihak sekolah, terutama guru dan murid
4. Pengaruh masyarakat dan kebijakan pemerintah
terhadap pendidikan
Dalam buku kecil ini yang dibahas hanya desain atau
rancangan pendidikan dilihat dari perspektif teori utama
(grand theory) sosiologi. Aspek-aspek lain yang menjadi
obyek kajian Sosiologi Pendidikan tidak diuraikan, sebab
buku ini hanya sekedar buku pengantar memasuki Sosiologi
Pendidikan.

C. Tujuan Sosiologi Pendidikan


1. Menganalisis pendidikan sebagai proses sosialisasi
2. Menganalisis kedudukan pendidikan dalam kehidupan
masyarakat
3. Menganalisis interaksi sosial di sekolah, dan antara
sekolah dengan masyarakat
4. Alat untuk mengukur kemajuan dan perkembangan
sosial
5. Salah asas untuk menentukan tujuan pendidikan
6. Sebagai latihan bagi petugas dan praktisi pendidikan
7. Sebagai ilmu sosiologi terapan

II. TEORI UTAMA SOSIOLOGI


Dalam Wikipedia, uraikan bahwa perintis Ilmu Sejarah
dan Politik (Historiografi), Sosiologi dan Ekonomi adalah
Ibn Ĥaldun. Nama lengkapnya Abdurrahman bin
Muhammad ibn Ĥaldun al-Ĥadrami (27 Mei 1332 – 19
Maret 1406 H), sebenarnya tiga abad sebelum Ibn Ĥaldun,
adalah Al-Mawardi (Abu Hasan Al-Mawardi), hidup sekitar
tahun 972 H/ 1058 M, seorang ahli Hukum Islam kelahiran
Iraq yang bermazhab Šafi’i, dalam buku Adab al-Dunya wa
al-Din (‫ )ادب الدنيا والدين‬Beliau telah menguraikan bahasan
yang mengagumkan tentang Sosiologi dan Politik dalam Bab
5

yang menyatakan ‫اإلنسان مدني بطعه‬. “Karakter manusia itu


bermasyarakat”. Al-Mawardi2 menegaskan :

‫ لإن احليوان مايس تق ّل بنفسه من‬,‫ ثــم جعل الإنسان أكرث حاجة من مجيع احليوان‬...
‫ واس تعانته صفة لزمة لطبعه وخلقة‬,‫ والإنسان مطبوع عىل الإفتقار إاىل جنسه‬,‫جنسه‬
... ‫قامئة يف جوهره‬
Kemudian Allah menjadikan manusia sebagai makhluk
yang memiliki banyak kebutuhan jika dibandingkan dengan
binatang, sebab karakter binatang itu mampu hidup mandiri,
sedangkan manusia ditakdirkan memiliki karakter saling
membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia membutuhkan bantuan pihak lain itu sudah
merupakan fitrah dan esensi manusia...
Uraian Al-Mawardi jelas terkait dengan kehidupan
manusia yang saling membutuhkan antara yang satu
dengan yang lainya, yaitu human relationship, ini artinya Al-
Mawardi sudah sejak tahun 1058 M sudah memusatkan
perhatian pada hubungan antarmanusia yang merupakan
obyek utama kajian sosiologi, kemudian dikembangkan
lebih lengkap oleh Ibn Ĥaldun (1332-1406 M) dalam
karyanya yang berjudul Muqaddimah. Namun, masalahnya
Sosiologi yang dikembangkan zaman sekarang bukanlah
Sosiologi rintisan Al-Mawardi dan Ibn Ĥaldun, tapi Sosiologi
yang dikembangkan oleh August Comte (1798-1857 M),
bahkan August Comte dipandang sebagai “Bapak Sosiologi”3
(The Founding Father of Sociology). Ketika membicarakan
Teori Sosiologi Klasik, yang diuraikan adalah teori sosiologi
yang dikembangkan oleh August Comte itu, padahal kalau
dilihat dari perspektif Sejarah Dunia (Barat), August Comte
itu tidak hidup di zaman klasik, sebab masa hidup Comte itu
tahun 1798-1857 M, Abad XVIII-XIX M, dan abad XVIII-XIX

2
Abu Hasan Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, hlm. 132.
3
Kita boleh bertanya, tepatkah pemberian gelar “Bapak Sosiologi”
kepada August Comte ?. Apakah kita mesti mengabaikan temuan
Al-Mawardi dan Ibn Ĥaldun tentang masyarakat manusia yang
mendahului Comte ?.
6

M itu sudah termasuk zaman modern, bukan Zaman Klasik.


Namun, dalam buku-buku sosiologi, teori sosiologi yang
diajukan Comte itu disebut Teori Klasik. Kenapa ?. Wa
Allâhu ‘alam bi al-şawâb. Karena itu, teori sosiologi yang
diuraikan dalam buku ini adalah teori sosiologi yang
dimulai sejak zaman August Comte itu.
Teori-teori sosiologi modern pada dasarnya adalah
pengembangan dari teori sosiologi klasik atau teori
sosiologi tradisional. Teori Utama4 Sosiologi (Grand Theory)
ada empat, yaitu Teori Struktural Fungsional, Teori
Struktural Konflik, dan Teori Interaksionisme Simbolik dan
Teori Pertukaran Sosial5. Mazhab atau teori yang diuraikan
dalam buku ini pun empat teori pula.

A. Teori Struktural Fungfsional


Kelahiran teori struktural fungsional dilatarbelakangi
oleh perkembangan masyarakat Eropa, tepatnya
masyarakat Eropa Barat Daya yang dipengaruhi semangat
Renaissance. Mulanya masyarakat Eropa berasumsi bahwa
manusia tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi disekitarnya, karena semuanya telah
ditentukan oleh Tuhan6. Kemudian pandangan ini menjadi

4
Dilihat dari perspektif Filsafat Ilmu, teori-teori pengetahuan itu
ada tiga tingkatan, yaitu Grand Theory (Teori Utama), Middle
Theory, (Teori Tengah), dan Application Theory (Teori Terapan).
5
Banyak ahli yang menetapkan bahwa Teori Utama Sosiologi ada
tiga, yaitu Teori Struktural Fungsional, Teori Struktural Konflik,
Teori Interaksionisme Simbolik. Namun ada pula yang
menetapkan empat teori utama. Uraian dalam buku ini adalah
empat mazhab utama sosiologi .
6
Dalam dunia Islam, sejak zaman Rasul Saw sampai hancurnya
Dinasti Bani Abbasiah di Bagdad (1258 M) asumsi masyarakat
seperti di Eropa sebelum zaman Renaissance itu hanya terjadi
dalam lingkungan penganut Paham Jabbâriah yang populasinya
sangat sedikit, sedangkan dalam lingkungan komunitas
masyarakat Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah dan terutama dalam
lingkungan Muktazilah yang rasionalis banyak yang mampu
menjelaskan pelbagai fenomena yang terjadi disekitarnya. Ini
7

perdebatan. Sebagian meyakini bahwa segala hal yang


sudah ditentukan itu berlaku untuk selamanya, dan
manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengubahnya.
Sebagian lagi berpandangan bahwa ketetapan Tuhan itu
bukan untuk selamanya, ini artinya bahwa manusia
memiliki celah untuk mengubah dan mengolahnya.
Kemudian Renaissance memunculkan temuan baru dalam
bidang ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi, dan
ternyata penemuan sains dan teknologi ini dapat membantu
manusia dalam memahami dan menjelaskan fenomena di
sekitarnya itu. Akibatnya, pandangan masyarakat pun
mengalami perubahan pula.
Perubahan ini melahirkan perubahan pada pola pikir
masyarakat Eropa pada saat itu. Pertama, perubahan pada
formasi sosial yang berupa “Revolusi Politik”7. Sebelumnya
para bangsawan dan Bapak-Bapak di Gereja mendominasi
sistem politik selama berabad-abad, hanya dalam tempo
tiga tahun (1792) mereka digulingkan, dan posisi mereka

artinya kita harus berhati-hati dalam mempelajari sosiologi.


Ketika para sosiolog menyebutkan istilah masyarakat, maksudnya
adalah masyarakat Eropa dan atau Amerika Serikat, belum tentu
mengacu pada semua masyarakat yang ada di dunia, baik di
Afrika, Jazirah Arab, Anak Benua India, Jepang atau Cina.
7
Setelah bangsa Barat mentransformasikan Peradaban Muslim
dari Bagdad (Bani Abbasiah) dan Cordova-Spanyol (Bani Umayah)
ke Eropa Barat Daya, khususnya Perancis dan Inggris, maka
lahirlah Zaman Renaissance, maka sains dan teknologi pun
berkembang. buah dari buah perkembangan sains dan teknologi
ini lahirlah “Revolusi Industri”, di Inggris, dan ternyata “Revolusi
Industri” ini mengakibatkan munculnya pelbagai masalah sosial
di Eropa. Sebab itu, lahirlah “Revolusi Sosial”, kemudian muncul
“Revolusi Politik” atau disebut pula “Revolusi Perancis” di
Perancis (1789-1799 M) yang mampu mengubah tatanan politik
di Eropa. Hanya dalam tempo tiga tahun kekuasaan Monarki
Absolut dan Gereja Katolik yang telah berkuasa selama berabad-
abad diguling secara tiba-tiba, digantikankan dengan prinsip baru,
yaitu Liberté, Égalite, Fraternité (Kebebasan, Persamaan,
Persaudaraan).
8

diganti oleh para kapitalis, para pemilik modal dan alat-alat


produksi ; Kedua, perubahan tata nilai dalam memahami
realitas kehidupan. Banyak nilai-nilai yang mulanya
dijadikan patokan hidup, kini sudah ditinggalkan. Akibatnya
muncul pelbagai peristiwa yang menyebabkan situasi chaos
(kacau balau). Menghadapi dan menghidupi situasi chaos
yang demikian, muncul pelbagai tanggapan masyarakat.
Sebagian menyarankan agar kembali pada tatanan nilai
yang sebelumnya, yang sudah berabad-abad digunakan, tapi
menurut sebagian lagi, kita tidak mungkin kembali ke
tatanan yang sudah lama yang sudah usang lagi tumpul,
yang diperlukan saat ini adalah membangun landasan baru
yang dapat memecahkan pelbagai masalah yang dihadapi.
Pikiran yang melihat ke depan ini dikembangkan oleh Saint
Simon (1760-1825 M).
Dalam situasi seperti inilah lahir Teori Struktural
Fungsional. Teori ini dikembangkan dari teori organik
sistematik yang berasal dari beberapa aliran filsafat yang
mendasarinya, yaitu aliran Naturalisme, Rasionalisme,
Positivisme, Evolusi sosial, Social Reform (Reformasi Sosial),
dan Konformisme.
Asumsi-asumsi yang mendorong lahirnya Teori
Struktural Fungsional yang lebih menekankan pada
keharmonisan (equiblirium) ada enam (6) yaitu :
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang
kompleks terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan
2. Setiap bagian masyarakat memiliki peran dan fungsi
masing-masing untuk memelihara esksistensi
masyarakat
3. Semua masyarakat memiliki mekanisme tersendiri
untuk mengintegrasikan diri, dan sistem sosial akan
berproses ke arah tersebut
4. Perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual
5. Faktor penentu keberhasilan integrasi dalam masyarakat
adalah kesepakatan pada anggota-anggota masyarakat
terhadap nilai-nilai berlaku
9

6. Masyarakat cenderung mengarah pada keadaan


equilibrium atau homeostatic.
Tokoh-tokoh Mazhab Struktural Fungsional adalah
August Comte (1798-1857 M), Herbert Spencer (lahir 1820
M), Charles Darwin (1809-1882 M), Emile Durkheim (15
April 1858-15 November 1917 M), Talcott Parson (13
Desember 1902-8 Mei 1979 M) dan Robert K. Merton (4 Juli
1910-23 Februari 2003).
Teori Struktural Fungsional adalah sebuah teori yang
paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad
sekarang ini. Pencetusnya adalah August Comte, Emile
Durkeim dan Herbet Spencer. Mazhab ini dipengaruhi oleh
pemikiran biologis, yakni pandangan yang menganggap
bahwa mayarakat adalah suatu organisme biologis yang
terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan.
Ketergantungan tersebut merupakan suatu konsekuensi
agar organisme tersebut dapat bertahan hidup.
Comte yang dikenal sebagai “Bapak Sosiologi” yang
memelopori aliran “Filsafat Positivistik” berpendapat
bahwa “pengetahuan dan masyarakat berada dalam proses
transisi evolusi. Evolusi tertib sosial melalui tiga tahap, (1)
Tahap Teologis, (2) Tahap Metafisik, dan (3) Tahap Ilmiah.
Comte yakin bahwa masyarakat selalu tumbuh melalui tiga
tahap evolusi ini, sesuai dengan tingkat kompleksitas
masyarakatnya.
Tugas sosiologi adalah memahami faktor-faktor yang
diperlukan dalam evolusi masyarakat. Semua itu bertujuan
untuk menciptakan tertib sosial (social order), mengarah
pada keadaan equilibrium dan homeostatic.
Paradigma teori ini adalah ‘Fakta Sosial’8. Secara garis
besar, fakta sosial yang menjadi pusat perhatian teori ini

8
Fakta sosial adalah “tindakan individu dengan oranglain yang
dipedomani oleh norma dan adat istiadat sehingga melahirkan
hubungan terpola dengan sesama anggota masyarakat”. Menurut
Durkheim, fakta sosial adalah “cara bertindak yang tetap (baku)
atau temporer yang memiliki kendala dari luar, atau cara
bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yang terwujud
10

ada dua tipe, yaitu ‘Struktur Sosial’ dan ‘Pranata Sosial’.


Struktur sosial dan pranata sosial ini berada dalam suatu
sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagain atau elemen-
elemen yang saling berkaitan, dan menyatu dalam
equilibrium (keseimbangan).
Dengan demikian, mazhab Struktural Fungsional ini
menekankan pada keteraturan sosial (social order) dan
mengabaikan konflik dan pelbagai perubahan dalam
masyarakat, sebab asumsinya adalah bahwa setiap struktur
(strata) dalam sistem sosial fungsional (berfungsi) bagi
strata yang lainnya. Bila suatu strata tidak berfungsi, strata
itu akan hilang dengan sendirinya atau bahkan tidak ada
sama sekali.
Dalam perkembangan selanjutnya mazhab ini
mengalami kemerosotan, sehingga Colomny (1990)
menyimpulknan bahwa teori ini telah berubah menjadi
tradisi. Namun pandangan Colomny ini kurang tepat, sebab
di zaman berikutnya muncul aliran Struktural Fungsional
Modern dengan tokoh utamanya Talcott Parson yang lahir
di Colorado, Amerika Serikat.
Parson memandang bahwa teori fungsional “organisasi
masyarakat berdasarkan pada manusianya, sebagai faktor
pembuat keputusan yang oleh faktor-faktor normatif dan
situasional”.
Parson menegaskan kembali pandangan Social
Cybernetic yang pernah diperkenalkan Durkheim. Bagi
Parson, masyarakat bukanlah semata-mata sekumpulan
manusia yang memiliki persamaan, tapi sekumpulan
manusia dapat dikategorikan sebagai masyarakat jika
mereka dapat mengintegrasikan perbedaan-perbedaan
yang ada dalam kehidupan masyarakat itu. Masyarakat ada
jika sudah terbentuk suatu sistem. Masyarakat itu saling
terkait dalam menjalankan suatu hubungan atau interaksi
sehingga kondisi yang satu dapat menjadi prasyarat dalam
kehidupan masyarakat tersebut. Esensi masyarakat berawal

dengan sendirinya sehingga bebas dari manifestasi individu.


Fakta sosial itu adalah “Gejala Sosial”, bukan “Gejala Individual”.
11

dari yang kecil menuju yang lebih besar yang kemudian


menjadi prasyarat bagi masyarakat berikutnya.
Pandangan teori Struktural Fungsional Modern Parson
ini diikuti dan dikembang oleh murid dan para pengikutnya
seperti Robert K. Merton, Walter Buckley, Amitai Etzioni
dan Edward Tiryakian. Pandangan mereka tidak sama
persis sebagaimana pandangan Parson, namun landasan
grand theory-nya masih dapat diketagorikan pada mazhab
Struktural Fungsional Modern yang dikembangkan Talcott
Parson.

B. Teori Struktural Konflik


Mazhab Struktural Konflik muncul sebagai pengeritik
utama mazhab Struktural Fungsional. Ketika mazhab
Struktural Fungsional semakin berkembang, banyak para
pemikir yang tidak puas, mereka mencoba ber-oposisi
dengan cara membangun mazhab baru dan berbeda dengan
mazhab sebelumnya.
Dalam pandangan kaum Struktural Konflik, mazhab
Struktural Fungsional terlalu berorientasi pada statusquo
(hemeostatic), padahal sesungguhnya sejarah peradaban
masyarakat itu penuh dengan ketegangan yang berpotensi
menimbulkan konflik antarstrata yang ditandai dengan
munculnya pelbagai perubahan sosial. Bagi pendukung
Struktural Konflik, mazhab Struktural Fungsional telah
mengabaikan praktik dominasi satu kelompok (yang kuat)
terhadap kelompok lain (yang lebih lemah). Mazhab
Struktural Fungsional dituduh telah berkolusi dengan
kelompok dominan.
‘Konflik’ itu sendiri artinya, benturan, tabrakan,
persaingan, perebutan, perlombaan, kompetisi dan lain-lain.
Menurut mereka, ‘konflik’ ada dua jenis, yaitu ‘Konflik
Negatif’ dan ‘Konflik Positif’. ‘Konflik Negatif’ seperti
benturan, bentrokan, tabrakan, ketidakserasian,
pertentangan, perkelahian, interaksi antagonis dan lain-lain
; ‘Konflik Postif’ seperti kompetisi, perlombaan, fastabiqul-
ĥayrât dan lain-lain.
12

Mazhab konflik berasumsi bahwa “setiap manusia


memiliki potensi untuk berkompetisi, bersaing, berlomba
dan berbeda dengan yang lain”. Sebab itu, kita tidak dapat
menutup mata dan mengabaikan konflik yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat.
Dilihat dari perspektif manfaatnya, konflik ada dua
macam, yaitu ‘Konflik Fungsional’ dan ‘Konflik
Disfungsional’. Konflik fungsional adalah persaingan atau
konfrontasi antarkelompok yang dapat membantu
pencapaian tujuan organisasi dan sekaligus mendatangkan
keuntungan bagi organisasi. Konflik seperti ini dapat
menumbuhkan kreatifitas dalam upaya menemukan cara
yang lebih efektif dan efisien ; Adapun konflik disfungsional
adalah konfrontasi, pertentangan antarkelompok yang
dapat merusak, merugikan dan menghalangi pencapaian
tujuan organisasi. Sebab itu, setiap organisasi dituntut
untuk mampuh mengubah konflik disfungsional menjadi
konflik fungsional, bukan memberantas dan menghilangkan
konflik, karena memang manusia itu memiliki karakter
untuk bersaing, berkompetsi dan berlomba.
Teori Struktural Konflik lahir dalam sosiologi Amerika
Serikat sekitar dasawarsa 1960-an yang merupakan
kebangkitan kembali gagasan yang pernah diungkapkan
oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua teoritiskus ini
dipandang sebagai perintis teori Struktural Konflik,
sekalipun pandangan keduanya berbeda, tapi kedua
pemikir ini memiliki pandangan yang sama, yaitu bahwa
“konflik, pertentangan kepentingan dari pelbagai individu
dan kelompok adalah determinan utama dalam
pengorganisasian kehidupan sosial”.
Kedua sosiolog tersebut (Marx dan Weber) sama-sama
menjadikan ‘konflik’ sebagai paradigma masyarakat, namun
mereka berbeda dalam beberapa hal, diantaranya :
13

1. Paham Karl Marx melahirkan ‘Sosialisme’, sedang Max


Weber melahirkan ‘Kapitalisme’9.
2. Materialisme sejarah. Marx yakin tentang ‘Materialisme
Sejarah’10, sedangkan Weber jelas-jelas menolak
‘Materialisme Sejarah’.
3. Konflik dalam pandangan Marx lebih bersifat material.
Menurut Marx, konflik muncul karena hubungan
individu/kelompok dalam produksi (sumber daya
ekonomi), jadi masyakarat pecah menjadi dua kelompok,
yaitu kaum borjuis yang kuat dan proletar yang lemah.
Perpecahan ini disebabkan oleh penguasaan terhadap
sumber dan alat-alat produksi. Sedangkan pandangan
Weber lebih bersifat non-material. Menurut Weber,
konflik tidak hanya terjadi dalam cara berproduksi
(materi), tapi tipe konflik itu beragam. Garis besarnya
ada dua, (1) konflik politik, (2) konflik gagasan, cita-cita,
ideologi, doktrin, filsafat, agama dan lain-lain. Bagi
Weber, konflik bukan hanya perbedaan dalam
penguasaan alat-alat produksi, konflik adalah suatu
keniscayaan, suatu kemestian yang tidak dapat dihindari.
4. Masalah agama. Perlu diketahui makna istilah Agama
menurut sosiolog berbeda dengan makna ulama Islam.
Agama menurut para sosiolog adalah “pandangan hidup
yang harus diterapkan dalam kehidupan individu
ataupun kelompok”. Keduanya memiliki hubungan saling

9
Saat ini (2015) Sosialisme sudah mengalami kekalahan yang
ditandai dengan hancurnya Negara Uni Soviet (1991) sebagai
negara asasnya jelas-jelas sosialis Marx.
10
Materialisme sejarah-Marx bahwa “keadaan manusia tidak
ditentukan oleh kesadaran sosialnya, tapi keadaan sosial-lah yang
menentukan kesadaran manusia. Kesadaran dan cita-cita
ditentukan oleh kedudukan dalam kelas sosial. Sejarah tidak
ditentukan oleh pikiran manusia, tapi ditentukan oleh cara
manusia menjalankan produksinya. Sebab itu, perubahan
masyarakat tidak terjadi karena perubahan pikiran, tapi
perubahan itu terjadi karena perubahan dalam cara produksi. Jadi
masalah utamanya adalah ‘cara produksi’ yang lebih terkait
dengan sumber daya ekonomi.
14

memengaruhi dan saling bergantung (interdependens)


dengan semua faktor yang ikut membantuk struktur
sosial di masyarakat mana pun11.
Tentang Agama ini, Marx memandang Agama hanya
merupakan salah satu faktor bangunan atas yang
pembentukannya dipengaruhi oleh bangunan pokok
yang mendasarinya, yaitu struktur ekonomi (sistem
perhubungan dan kekuatan–kekuatan produksi), jadi
Marx memandang bahwa Agama tidak lebih sebagai
bangunan atas yang muncul kepermukaan, sedangkan
pondasi utamanya adalah masalah sumber daya
ekonomi. Singkatnya munculnya Agama didasari oleh
masalah ekonomi. Sedangkan Weber yang dipengaruhi
ajaran Protestan-Calvinis memandang bahwa Agama
tetap penting, sebab dalam pelbagai tipe kehidupan
masyarakat dari dulu sampai sekarang, membutuhkan
kerjasama antarpelbagai lembaga masyarakat, dan
ternyata Agama mempengaruhi lembaga-lembaga sosial
lainnya, baik lembaga keluarga, lembaga politik, lembaga
ekonomi, lembaga hukum, lembaga pendidikan dan lain-
lain.
Tokoh mazhab Struktural Konflik diantara adalah Karl
Marx (lahir 5 Mei 1818 di Prusia, wafat 14 Maret 1883 di
London), Maximilian (Max) Weber (lahir 21 April 1864,
meninggal 14 Juni 1920 di Jerman), C. Wright Mills, Lewis
Coser, Rafl Dahrendrof dan Randall Collin. Pemikiran para
sosiolog ini sekalipun paradigmanya sama, yaitu ‘konflik’,
tapi banyak nuansa yang dapat membedakan antara
pandangan yang satu dengan yang lainnya, sehingga
belakangan muncul aliran Neo-Marxian dan Neo-Weberian.
Diantara aliran Neo-Marxian adalah aliran Hegelian-Marxis
yang menolak dialektika materialis dalam kehidupan
masyarakat, lalu mereka menganjurkan untuk menaruh
perhatian pada faktor kesadaran atau ide. Lain dari itu,
muncul pula aliran Mazhab Frankfurt yang kecewa
terhadap Revolusi Bolshevik yang berhasil, namun dengan

11
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hlm. 15.
15

ongkos sosial yang sangat mahal karena dilakukan melalui


pertumpahan darah, perpecahan kaum buruh antara buruh
pendukung Revolusi Bolshevik dan buruh pendukung Partai
Sosialis. Mazhab Frankfurt ini tetap memilih sosialisme
sebagai solusi, namun mereka menolak solusi yang bersifat
radikal seperti yang dilakukan pada Revolusi Bolshevik itu.

C. Teori Interaksionisme Simbolik


Teori Interaski Simbolik dikembangkan oleh kelompok
The Chicago dengan tokohnya George Herbert Mead (lahir
di Massachusets 27 Februari 1863 dan meninggal tahun
1931) dan Herbert Blumer.
Teori ini didasari aliran Filsafat Pragmatisme12 John
Dewey, aliran Psikologi Behaviorisme, Evolusi Darwin dan
pandangan Max Weber.
Nuansa pragmatis tersirat dalam tiga hal penting yang
diakui dalam mazhab Interaksi Simbolik, yaitu :
 Memusatkan perhatian pada interaksi antaraktor
(individu) dan realitas (dunia nyata)
 Memandang aktor dan realitas sebagai proses dinamis,
bukan struktur yang statis
 Arti penting yang mempengaruhi kemampuan aktor
untuk menafsirkan kehidupan sosial.
Nuansa Behaviorisme tampak pada kajian teori yang
lebih diorientasikan pada perilaku aktor yang dapat
diamati.
Nuasa Evolusi Darwin13 tampak pada prinsip bahwa
manusia selalui berinteraksi dengan realitasnya.
Sekalipun tidak sepenuhnya mengadopsi pandangan
Weber, namun terdapat pandangan Weber yang relevan
dengan pemikiran Mead, yaitu bahwa “tindakan sosial
bermakna jauh berdasarkan makna subyekifnya. Tindakan

12
Aliran filsafat di Amerika yang menyatakan bahwa yang benar
itu adalah yang berguna, yang bermanfaat.
13
Tesis Evolusi Darwin menyatakan bahwa “organisme terus
menerus menyesuaikan diri dengan lingkungannya”.
16

itu mempertimbangkan perilaku oranglain, dan karenanya


tindakan sosial itu diorientasikan dalam penampilan”.
Mazhab Interaksi Simbolik adalah suatu pergerakan
sosiologi yang memusatkan kajian pada cara-cara manusia
dalam membentuk makna dan susunan dalam masyarakat
melalui percakapan.
Substansi Mazhab Interaksi Simbolik adalah bahwa
“kehidupan masyarakat terbentuk melalui proses interaksi
dan komunikasi antarindividu dan antarkelompok dengan
menggunakan simbol-simbol yang maknanya dipahami
melalui proses dan memberi tanggapan terhadap stimulus
yang datang dari lingkungan di luar dirinya”.
Dalam pandangan Mazhab Interaksi simbolik, kehidupan
sosial hanya bermakna pada tingkat individual. Misalnya,
buku. Bagi orang yang terpelajar buku dipandang penting,
tapi bagi orang yang tidak terpelajar, buku dipandang tidak
penting sama sekali.
Substansi mazhab ini didasarkan pada lima asumsi atau
proposisi umum, yaitu :
a. Manusia berada dalam lingkungan simbol-simbol,
memberi tanggapan terhadap simbol-simbol yang
berupa fisik manusia yang memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan simbol-simbol tersebut secara
verbal melalui bahasa dan memahami makna-makna
dibalik simbol-simbol itu
b. Melalui simbol manusia mampu menstimulir oranglain
c. Melalui komunikasi simbol dapat dipelajari makna dan
nilai-nilai serta tindakan-tindakatan oranglain
d. Simbol, makna dan nilai tidak hanya dipikirkan dalam
bagian-bagian yang terpisah, tapi selalu dalam bentuk
kelompok
e. Berpikir adalah proses pencarian kemungkinan yang
bersifat simbolis.
Tampaknya perbedaan antara Mazhab Interaksi
Simbolik dengan Mazhab Struktural Fungsional dan Mazhab
Struktural Konflik adalah bahwa menurut “Mazhab
Interaksi Simbolik, perilaku individu (aktor) yang
mempengaruhi dan membentuk masyarakat. Sedangkan
17

menurut Mazhab Struktural Fungsional dan Mazhab


Struktural Konflik, struktur masyarakatlah yang
mempengaruhi dan membentuk perilaku individu”.
Interaksi simbolik memusatkan perhatian pada dimensi
interaksi dan pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan
hubungan sosial. Sedangkan Fungsional dan Konflik
memusatkan perhatian pada strata masyarakat yang statis.
Dalam Mazhab Interaksi Simbolik ini ada dua aliran,
yaitu Aliran Chicago (Chicago School) dan Aliran Iowa (Iowa
School).
Aliran Chicago memusatkan perhatian pada interaksi
dan proses-proses penafsiran simbol, melihat cara-cara
berkembang dan berubahnya makna. Sedangkan aliran
Iowa dengan tokohnya Manfred Kuhn mencoba mengubah
pandangan-pandangan ini ke dalam variabel-variabel yang
dapat diukur. Dengan demikian, yang berbeda adalah
pendekatannya. Aliran Chicago menggunakan pendekatan
kualitatif, sedangkan aliran Iowa cenderung memilih
pendekatan kuantitatif. Pemaknaan (meaning) yang dipilih
aliran Chicago adalah pemaknaan emik (emic). Sedangkan
pemaknaan yang dipilih aliran Iowa adalah pemaknaan etik
(etic)14.
Yang banyak diuraikan dalam buku-buku sosiologi
adalah aliran Chicago. Sebab itu, yang akan diuraikan dalam
buku kecil ini pun adalah aliran Chicago pula.
Pelopor aliran Chicago adalah Herbert Blumer (7 Maret
1900-13 April 1987) yang berupaya melanjutkan penelitian
yang telah dilakukan oleh George Herbert Mead. Blumer
yakin bahwa studi tentang manusia tidak dapat
diselenggarakan dengan cara yang sama ketika mempelajari
benda mati. Peneliti perlu mencoba berempati dengan
aktor, memasuki pengalamannya, dan berusaha untuk
memahami nilai dari setiap aktor.

14
Pemaknaan etik adalah pemaknaan menurut pengamat atau
peneliti. Dan pemaknaan emik adalah pemaknaan menurut aktor
atau menurut pelaku.
18

Menurut Blumer teori Interaksi Simbolik berpijak pada


premis :
 Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-
makna yang dimiliki oleh sesuatu itu (benda-benda) bagi
mereka
 Makna-makna itu merupakan hasil interaksi sosial dalam
masyarakat manusia
 Makna-makna berkembang dan disempurnakan saat
interaksi tersebut berlangsung.
Makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu dibina
berdasarkan pada interaksi sosial melalui tahapan sebagai
berkut :
 Tahapan status ekonomi dan sosial
 Tahapan konsep diri
 Tahapan nilai, sikap dan pencapaian
Dalam pandangan Blumer, teori Interaksi Simbolik
memiliki beberapa gagasan. Diantaranya adalah gagasan
tentang “Konsep Diri”, “Konsep Perilaku”, “Konsep Obyek”,
“Konsep Interaksi Sosial”, dan “Konsep Joint Action”.
“Konsep Diri” (Self Concept atau ‫ )مفهوم النفس‬secara
sederhana dapat diterjemahkan sebagai “pandangan
individu terhadap diri sendiri”. Maksudnya adalah bahwa
perilaku manusia (individu) dipengaruhi oleh pandangan
diri individu tersebut terhadap dirinya ; “Konsep Perilaku”
maksudnya adalah bahwa perilaku manusia dibentuk
melalui proses interaksi dengan diri sendiri ; “Konsep
Obyek” maksudnya adalah bahwa manusia diniscayakan
hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-
manusia lainnya ; “Konsep Interaksi Sosial” menyatakan
bahwa proses pengambilan peran sangatlah penting ; dan
“Konsep Joint Action” maksudnya adalah bahwa aksi
kolektif yang lahir atas pelbagai perilaku individu
disesuaikan satu sama lainnya.

D. Teori Pertukaran Sosial


Teori ini muncul pasca kelahiran Teori Struktural
Fungsional kedua yang dimotori oleh Talcott Parson. Saat
itu muncul para ahli yang tidak puas dengan teori
19

fungsional, baik dari kalangan psikolog maupun dari


kalangan sosiolog. Kalangan Psikolog diwakili oleh John
Thibaut dan Harlod Kelley (1959), kalangan Sosiolog
dimotori oleh George Homans (1961), Richard Emerson
(1962), dan Peter Blau (1918-2002). Pengembang pertama
teori ini adalah George Homans dan Peter Blau.
Teori ini bernama “Pertukaran Sosial” (Social Exchange
Theory). Dalam pandangan mazhab ini bahwa dalam
hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan dan
keuntungan yang saling mempengaruhi.
Ganjaran adalah segala hal yang diperoleh melalui
pengorbanan ; Pengorbanan adalah segala hal yang perlu
dihindari ; dan Keuntungan adalah ganjaran dikurangi
pengorbanan.
Menurut mazhab Pertukaran Sosial, manusia
memandang hubungan kita dengan oranglain sesuai dengan
anggapan diri manusia tersebut terhadap :
 Keseimbangan antara apa yang diberikan pada hubungan
tersebut dan apa yang diperoleh dari hubungan tersebut
 Jenis hubungan apa yang dilakukan ?
 Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dari
oranglain
Asumsi dasar teori ini adalah :
1) Manusia adalah makhluk rasional yang selalu
memperhitungkan untung dan rugi (cost and reward)
2) Pertukaran sosial berlangsung bila :
a. Perilaku berorientasi pada tujuan yang hanya dapat
dicapai melalui interaksi dengan oranglain
b. Perilaku bertujuan untuk memperoleh sarana bagi
pencapaian tujuan tersebut.
3) Transaksi-transaksi pertukaran sosial berlangsung
hanya bila pihak yang terlibat memperoleh keuntungan
dari pertukaran itu.
Analisis mengenai hubungan sosial berdasarkan cost and
reward ini merupakan salah satu ciri khas Mazhab
Pertukaran Sosial.
Mazhab ini memusatkan perhatian pada analisis tingkat
‘mikro’, yakni tingkat kenyataan sosial antarpribadi
20

(interpersonal). Untuk menjelaskan perilaku sosial, Homans


berpegang teguh pada keharusan menggunakan prinsip-
prinsip psikologi individual, tapi Blau berusaha beranjak
dari pertukaran antarpribadi (mikro) pada tingkat ‘makro’,
yaitu struktur sosial. Blau yakin bahwa struktur sosial yang
lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran sosial
dasar.
Teori Pembelajaran Sosial dan Pertukaran Sosial hanya
dapat dijelaskan oleh sesuatu yang dapat diamati, bukan
oleh proses mentalistik-subyektif. Dan justru di sinilah
perbedaan antara Mazhab Pertukaran Sosial dengan
Mazhab Interaksi Simbolik. Mazhab Pertukaran Sosial
berorientasi pada perilaku nyata yang dapat diamati
(positivistik), bukan proses interaksi mentalistik subyektif
sebagaimana diyakini oleh para penganut Mazhab Interaksi
Simbolik. Homans menegaskan bahwa “penjelasan ilmiah
sejatinya dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat
diamati dan dapat diukur secara empirik”.
Dalam pandangan mazhab Pertukaran Sosial, struktur
pertukaran ada tiga, yaitu (1) Pertukaran Langsung, dimana
pengahargaan (keuntungan) diperoleh langsung oleh salah
satu pihak yang berhubungan, sedangkan pihak lain tidak
memperoleh keuntungan ; (2) pertukaran Tergeneralisasi,
dimana penghargaan tidak diperoleh langsung oleh kedua
pihak yang berhubungan, tapi diperoleh pihak lain ; (3)
Pertukaran Produktif, dimana penghargaan diperoleh oleh
dua pihak yang berhubungan.
Sebenarnya proses pertukaran sosial ini telah
diungkapkan oleh para ekonom klasik abad XVIII dan XIX.
Adam Smith telah mengasumsikan bahwa transaksi-
transaksi pertukaran akan berlangsung hanya bila kedua
pihak memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut.

III. PENDIDIKAN MENURUT TEORI UTAMA SOSIOLOGI

A. Pendidikan menurut Teori Struktural Fungsional


Penganut mazhab Struktural Fungsional percaya
bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai jembatan untuk
21

menciptakan tertib sosial. Mereka memandang pendidikan


sebagai media sosialisasi kepada generasi muda untuk
mendapat pengetahuan, perubahan perilaku, keterampilan
dan penguasaan tata nilai yang diperlukan sebagai anggota
masyarakat. Di bawah ini akan diuraikan pandangan dua
tokoh mazhab Struktural Fungsional tentang pendidikan,
yaitu Emile Durkheim dan Talcott Parson, masih banyak
tokoh fungsionalisme lain yang mengajukan pandangannya
tentang pendidikan, tapi karena buku ini hanya merupakan
buku pengantar, maka yang akan diuraikan adalah
pandangan dua tokoh tersebut.

1. Pandangan Emile Durkheim

a. Fungsi Pendidikan
Pendidikan adalah bagian yang penting untuk
memelihara keberlangsungan masyarakat. Durkheim
adalah orang pertama yang mengajukan pandangan agar
sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam bidang
pendidikan. Durkheim menggambarkan generasi muda
sebagai manusia yang memerlukan bantuan pendidikan
untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan di tengah
masyarakat yang memiliki tata nilai tertentu. Hal ini
menjadi penting, sebab pada dasarnya generasi muda itu
belum siap memasuki kehidupan masyarakat.
Pendidikan dipersepsikan sebagai satu kesatuan yang
utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Karena
pendidikan menentukan proses alokasi dan distribusi
sumber-sumber perubahan, maka untuk menentukan
prioritasnya diperlukan kebijakan. Bagi Durkheim,
perencanaan pendidikan harus diorientasikan pada
pengupayaan modal dasar sumber daya manusia.
Pendidikan yang demikian dipandang sebagai sebuah
investasi.

b. Pendidikan dan Pembagian Kerja


Durkheim memandang bahwa pendidikan harus
mampu menjalankan fungsi baby sitting, yakni pendidikan
22

harus mampu memelihara dan mencegah generasi dari


patologi sosial.
Tugas pendidikan harus mampu menghantarkan siswa
untuk menentukan pekerjaannya (profesinya), karena
pekerjaan merupakan soal pilihan. Pendidikan harus
memberikan skill dan spesialisasi, sebab status yang ada di
masyarakat tergantung pada skill dan spesialisasi yang
dimilikinya. Pendidikan juga harus mampu memberikan
standar keterampilan minimum yang dibutuhkan untuk
bisa hadir di tengah kehidupan masyarakat. Pendidikan
juga harus mengajarkan “solidaritas organik”, karena
mekanisme yang cocok untuk mengatur tertib sosial adalah
solidaritas organik.

c. Pendidikan dan Kesadaran Kolektif


Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah adalah
konsekuensi dari nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat. Mereka yang lebih tua menanamkan nilai-nilai
teladan kepada generasi muda agar mereka secara fisik dan
mental siap memasuki dunia masyarakat yang lebih luas.
Untuk itu, pendidikan harus mampu menanamkan nilai-
nilai kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif adalah nilai-nilai kemasyarakatan
yang merupakan konsensus masyarakat untuk mengatur
hubungan sosial antaranggota masyarakat yang
bersangkutan. Kesadaran kolektif itu dapat berupa aturan
moral, aturan agama dan lain-lain. Dengan demikian, guru
harus menyadari otoritasnya, karena guru merupakan
pengemban nilai-nilai kolektif dan pemegang tanggung
jawab untuk mentransformasikan nilai-nilai kesadaran
kolektif tersebut kepada murid-muridnya.

2. Pandangan Talcott Parson

a. Sekolah sebagai Sarana Sosialisasi Utama, dan


Fungsi Sekolah adalah :
1. Mengarahkan siswa dari orientasi askripsi ke
orientasi prestasi
23

2. Alokasi-seleksi atau diferensial diarahkan pada


peran-peran dewasa yang diberi penghargaan yang tidak
sama.

b. Partikularisme-Universalisme dan Askripsi-


Prestasi
Sekolah berfungsi sebagai sarana sosialisasi
siswa dari orientasi partikular-askripsi yang dialami di
rumah menuju pada orientasi universalisme-prestasi yang
diperlukan kelak kemudian hari.

c. Seleksi dan Alokasi


Seleksi dan alokasi di sekolah berfungsi untuk
mempersiapkan siswa memasuki dunia kerja. Sebab itu,
fungsi primer sekolah adalah menghantarkan siswa agar
mereka memiliki kompetensi dan motivasi yang lebih, agar
berhasil dalam kehidupan masyarakat.

d. Kesamaan Kesempatan
Parson menyadari bahwa tidak semua siswa
yang diberi kesempatan yang sama akan memperoleh
kesuksesan yang sama pula dalam kehidupan
masyarakatnya.

3. Desain Pembelajaran dalam Perspektif Struktural


Fungsional
Ada tiga unsur utama dalam desain pembelajaran
menurut Mazhab Struktural Fungsional. Pertama, adalah
kurikulum, terutama tujuan dan materinya didasarkan pada
gagasan, konsep dan jenis pengetahuan yang ada dalam
masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya. Nilai-nilai
budaya tersebut kemudian dikembangkan menjadi
karakteristik. Kurikulum ini merupakan unsur pertama dan
utama. Kedua, adalah peranan guru yang tugas utamanya
adalah mengembangkan rasa tanggung jawab siswa ketika
hidup dalam lingkungan masyakatnya, mendorong
kesetiaan terhadap cita-cita dan nilai-nilai masyarakat di
sekelilingnya, dan mendidik mereka agar mampu
24

mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan


pribadinya. Guru harus mampu mengembangkan skill siswa
dengan keahlian yang diperlukan masyarakatnya. Ketiga,
siswa. Kaum fungsionalis memandang murid sebagai kotak
kosong yang harus diisi oleh guru. Dalam hal ini proses
pembelajaran berpusat pada guru sebagai sumber
informasi.
Bila digambarkan Model Pembelajaran menurut Teori
Struktural Fungsional dapat dilihat pada Gambar III.1

Gambar III.1
Model Pembelajaran
Menurut Teori Struktural Fungsional

Kurikulum :
Tujuan dan
Materi Sis-
Guru
wa

B. Pendidikan menurut Teori Struktural Konflik


Landasan pemikiran mazhab Struktural Konflik
adalah bahwa sejarah peradaban manusia penuh dengan
konflik antarkelas, yakni pertentangan antara kaum borjuis
dan kaum proletar, pertentangan antara golongan atas
dengan golongan bawah.
 Mereka memandang bahwa kesempatan pendidikan
golongan menengah ke bawah tidak sama dengan
kesempatan pendidikan golongan menengah ke atas.
 Karena berbeda pengalaman, pengalaman
pembelajaran yang dialami golongan menengah ke atas,
sulit dipahami oleh golongan menengah ke bawah.
 Biaya pendidikan diambil dari pendapatan pajak. Ini
artinya, semakin kaya suatu wilayah atau suatu
25

pemerintahan semakin besar anggaran pendidikannya,


semakin lengkap fasilitas pendidikannya dan semakin
mampu membayar para pendidikan yang ahli. Sebaliknya,
semakin miskin suatu wilayah, semaki kecil pandapatan
pajaknya, sehingga anggaran pendidikannya pun semakin
kecil. Akibatnya fasilitas pendidikan di wilayah-wilayah
miskin serba kekurangan dan mereka tidak mampu
membayar para pendidik yang ahli. Ini artinya, dengan
dasar pemikiran bahwa anggaran pendidikan diambil dari
pendapatan pajak akan mengakibatkan semakin miskin
atau semakin rendah pendapatan pajak suatu wilayah,
semakin rendah kualitas pendidikan yang
diselengarakannya.
 Kurikulum ditentukan oleh penguasa, padahal
penguasa itu didominasi oleh golongan atas yang berada di
kota-kota besar. Akibatnya kurikulum dan materi
pendidikan yang disuguhkan di sekolah hanya pengetahuan
yang dibutuhkan oleh golongan atas (hidden curriculum).
Suguhan kurikulum pendidikan seringkali tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat kelas bawah yang berada
jauh di pedalaman. Murid-murid dari golongan bawah yang
miskin dan tinggal di pedalaman dipaksa menerima
suguhan kurikulum yang hanya cocok untuk murid-murid
dari golongan atas, yang kaya dan berada di kota besar.
Dengan demikian, realitas pendidikan yang
sesungguhnya hanya merupakan sarana ampuh untuk
mempertahankan struktur kekuatan golongan atas. Sebab
itu, para pendukung mazhab Struktural Konflik memandang
bahwa dalam upaya pendidikan ini harus ada perubahan
yang lebih bersifat paradigmatik.
Paradigma pendidikan dalam perspektif mazhab
Struktural Konflik adalah “penghapusan pertentangan
antarkelas” dan “pembebasan”. Inti pendidikan dalam
perspektif mazhab struktural konflik adalah :
 Pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun
tanpa ada tekanan dari kaum dominan
 Pendidikan adalah arena perjuangan kelas, pembebasan
dan perlawaban terhadap kaum dominan.
26

Banyak muncul tokoh para pemikir pendidikan radikal


yang lahir dari lingkungan mazhab Struktural Konflik,
namun yang akan diuraikan dalam buku kecil ini hanya dua
orang, yaitu Paulo Freire dan Ivan Illich.

1. Paulo Freire
Dalam pandangan Paulo Freire (19 September 1921-2
Mei 1997) di Brazil, pendidikan yang terjadi di masyarakat
adalah “Pendidikan Gaya Bank”, di mana anak didik
dipandangan sebagai wadah atau celengan yang dapat
menampung sejumlah rumus, dalil pengetahuan dan
pelbagai informasi. Semakin banyak yang dapat ditampung
oleh para peserta didik, semakin dipandang baik para
murid, para guru dan pemerintahan yang menaunginya.
Diantara ciri-ciri Pendidikan Gaya Bank adalah :
 Guru mengajar, murid belajar
 Guru serba tahu, murid serba tidak tahu. Sebab itu, harus
diberitahu
 Guru berpikir, murid dipikirkan
 Guru bicara (ceramah/menerangkan), murid
mendengarkan atau menyimak paling untung mencatat
 Guru mengatur, murid diatur
 Guru memilih, murid menerima hasil pilihan guru
 Guru bertindak, murid mengikuti tindakan guru
 Guru adalah subyek, murid adalah obyek, dan lain-lain.
Dalam gaya pendidikan gaya bank seperti ini tidak
ada nilai pembebasan sama sekali, yang terjadi adalah
dominasi guru terhadap murid. Guru sendiri didominasi
oleh kepala. Kepala didominasi oleh pengawas. Pengawas
didominasi oleh Pemerintah. Kebijakan pemerintah
dipengaruhi oleh Pasar, terutama pasaran kerja. Pasar
didominasi oleh para pengusaha pemilik modal. Jadi dalam
pendidikan gaya bank ini yang berkuasa sesungguhnya
adalah para pemilik modal (kaum kapital). Sebab itu,
pendidikan gaya bank ini akan menyeret kita ke arah
“Kapitalisme Pendidikan”.
Untuk mengubah pendidikan gaya bank ini, Paulo Freire
menawarakan solusi :
27

a. Pendidikan hendaknya berporos pada keberpihakan


pada kaum tertindas (the oppressed)
b. Pendidikan dirancang agar para peserta didik memiliki
keasadaran diri, dan sadar akan lingkungannya.
Menurut Freire, kesadaran ada empat (4) tingkat, yaitu :
1) Kesadaran intransitif : Manusia yang hanya terikat
kebutuhan jasmani
2) Kesadaran semi intransitif atau magis yakni gambaran
masyarakat bisu, tertutup, fatalis dan hidup serba
tergantung pada pihak lain15
3) Kesadaran naif, yakni masyarakat yang sudah mampu
bertanya tentang realitas, tapi masih primitif dan naif,
mereka baru mampu berpolemik dan belum mampu
berdialog atau belum mampu bermusyawarah
4) Kesadaran kritis transitif, yaitu masyarakat yang
memiliki kesadaran diri, kesdaran pada lingkungannya
dan mampu bermusyawarah dengan para pihak
sehingga mereka mampu mengubah hidup dan
kehidupannya.
Pendidikan sejatinya dirancang untuk menumbuhkan
kesadaran kritis transitif.
Pendidikan yang ditawarkan Freire adalah pendidikan
“hadap masalah” (Problem Posing).
Pada dasarnya konsep pendidikan hadap masalah adalah
sebuah metode pendidikan yang dirorientasikan pada
pembebasan manusia. Pendidikan hadap masalah adalah
alat pembebas agar murid (manusia) mampu menegaskan
dirinya sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi
(becoming), sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai dan
terus menerus mencari.
Dalam pendidikan hadap masalah guru tidak lagi
menjadi individu yang mengajar muridnya, tapi menjadi
inividu yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para
muridnya, yang pada gilirannya, disamping belajar, mereka
juga mengajar. Dengan demikian, dalam hal ini tidak ada

15
Tingginya angka pengangguran merupakan salah satu indikator
tingginya gaya hidup serba tergantung pada pihak lain.
28

lagi subyek maupun obyek, yang ada hanyalah subyek dan


sekaligus obyek ; manusia saling mengajar satu sama lain,
ditengahi oleh dunianya, ditengahi oleh lingkungannya atau
tepatnya ditengahi oleh realitas yang mereka amati.
Dalam pendidikan hadap masalah, proses pendidikan
bukan lagi tanggung jawab guru, tapi merupakan tanggung
jawab bersama, guru dan murid. Dalam pendidikan hadap
masalah guru tidak memiliki kewenangan, kecuali
kewenangan untuk terus menerus melakukan dialog
bersama murid dan berefleksi bersama mereka tentang
masalah yang dihadapi dan dihidupi.
Jika digambarkan, model pembelajaran hadap masalah
ini seperti tampak pada Gambar III.2

Gambar III.2
Model Pembelajaran Hadap Masalah

Guru
Murid

Kuri-
kulum

2. Ivan Illich
Sekalipun mazhab mereka sama, yakni Mazhab
Struktural Konflik, gagasan pendidikan Ivan Illich lebih
radikal dibanding gagasan pendidikan Paulo Freire, sebab
Ivan Illich jelas-jelas menolak sistem pendidikan sekolah
yang terjadi di masyarakat pada saat ini.
Ivan Illich adalah seorang Profesor Teologi di Universitas
Gregorina. Ia lahir 4 September 1926 di Austria, dan
meninggal 2 Desember 2002 di Jerman. Pada tahun 1982
Beliau menulis buku yang sangat terkenal, yaitu Deschooling
Society. Beliau melihat sistem pendidikan sekolah itu terlalu
banyak kelemahannya, alih-alih upaya pemanusiaan
29

manusia, yang terjadi adalah penekanan terhadap manusia


(murid). Bagi Illich,
 Sekolah adalah tempat anak ditekan, dipaksa untuk
mempelajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki
padahal belajar yang baik mestinya berlangsung dalam
suasana yang bebas yang memungkinkan pelajar
memilih pelajaran secara mandiri sesuai dengan
kebutuhan dan kehendaknya di mana mereka berada
 Sekolah telah mengaburkan makna belajar dan
mengajar, karena proses belajar di sekolah didominasi
oleh guru yang merampas harga diri para murid
 Sekolah memonopoli pendidikan. Orientasinya hanya
pada produk, yaitu jumlah lulusan yang banyak yang
didasarkan pada nilai-nilai angka dan ijazah
Banyaknya tekanan dalam pendidikan sistem sekolah
merupakan indikator kuatnya pengaruh struktur politik.
Konsep pendidikan yang penuh tekanan ini lahir dari dan
dilanggengkan oleh kaum penindas demi kepentingan
penindasannya.
Dalam sistem pendidikan yang penuh tekanan di
dalamnya sering terjadi pemasungan kreativitas, alienasi
dari realitas obyektif, hegemoni budaya, dominasi politik
dan ideologi serta eksploitasi ekonomi. Ini artinya bahwa
penekanan dan penindasan tidak akan pernah melahirkan
proses humanisasi ; sebaliknya, malah mendorong dan
menghidupkan praktik dehumanisasi, suatu hal yang sangat
ditentang oleh Islam bahkan oleh semua agama.
Sejatinya pendidikan itu adalah :
 Salah satu pranata sosial yang berfungsi untuk
mengembangkan hubungan yang mantap dan bermakna
dalam kehidupan masyarakat
 Inti pendidikan adalah pemanusiaan manusia. Humanizing
of human being
 Pendidikan diorientasikan pada kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, bukan monopoli lembaga dan
memandang masyarakat sebagai bawahan
30

 Yang perlu dikembangkan adalah nilai pengembangan


kreatifitas
 Pendidikan harus mampu melonggarkan pelembagaan
(deinstitutionalize) dan mendorong siswa agar mampu
mentransformasikan kultur yang ada.
Semua ini tidak ada dalam sistem pendidikan sekolah.
Karena itu, mestinya, sekolah itu dibubarkan saja, karena
tidak efektif dan inefisien.

C. Pendidikan menurut Teori Interaksionisme Simbolik


Mazhab Interaksi simbolik memandang bahwa
paradigma masyarakat bukanlah masyarakat atau
kumpulan individu, tapi interaksi antarindividu dengan
individu lain, atau interaksi antarkelompok dengan
kelompok lain dengan menggunakan simbol-simbol
tertentu yang maknanya disepakati bersama, baik simbol
yang berbentuk verbal (bahasa) maupun simbol non verbal.
Dikarenakan adanya interaksi yang menggunakan simbol-
simbol itulah masyarakat terbentuk dan terbangun.
Dalam perspektif Interaksi simbolik, interkasi manusia
(perilaku) yang membentuk masyarakat, bukan masyarakat
yang membentuk perilaku.
Manusia akan menjadi benar-benar manusiawi bila ia
berinteraksi dan berkomunikasi, sebab hakikat manusia itu
adalah makhluk komunikatif yang membutuhkan interaksi.
Mengabaikan interaksi dan komunikasi manusia sama
dengan mereduksi manusia menjadi “benda mati”. Sebab
itu, yang paling penting dalam mempelajari masyarakat
manusia adalah pola interaksi komunikasinya. Kumpulan
manusia yang tidak melakukan interaksi dan komunikasi
tidak bisa disebut ‘masyarakat’, tapi kerumunan.
Sesuai dengan paradigma yang menjadi pusat kajiannya,
yaitu “interaksi”, baik interaksi antarindividu atau interaksi
antarkelompok, dalam bidang pendidikan pun mazhab
Interaksi Simbolik memusatkan perhatian pada pola-pola
interaksi. Kurikulum, tujuan, materi, metode dan model
pembelajarannya pun sangat tergantung pada pola
interaksinya.
31

Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa organisasi


sekolah membentuk realitas sosial, dan tidak melihat
bagaiman masyarakat mempengaruhi sekolah. Misalnya,
bila ada murid yang berperangai buruk, mereka tidak
melihat dari kelas sosial mana murid tersebut berasal ?,
yang mereka lihat adalah bagaimana interaksi yang terjadi
di sekolah ? ; Bagaimana interaksi antara murid dengan
guru ?, interaksi antara murid dengan murid ?, interaksi
antara guru dengan guru ?, interaksi antara murid dengan
kepala sekolah ?, interaksi antara murid dengan karyawan
sekolah ?, interaksi antara guru dengan karyawan sekolah ?,
interaksi antara kepala dengan karyawan sekolah ? dan
bagaimana pula interaksi antara pihak sekolah dengan
orangtua ? dan lain-lain.
Mazhab ini lebih memusatkan perhatian pada sikap guru
terhadap para muridnya. Berbicara tentang sikap guru,
yang dikaji bukan hanya sikap guru, tapi meliputi strategi
dan model dan metode pembelajaran yang dipilih guru
dalam proses pembelajaran.
David Hargeaves menguraikan tiga tipologi sikap guru
terhadap para muridnya.
1. Pelajar diasumsikan belum mengenal kebudayaan sama
sekali. Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai
“proses pembudayaan” (civilizing). Menghadapi pelajar
yang demikian, guru dipandang sebagai penjinak atau
penggembala singa (Liontamer).
2. Pelajar diasumsikan memiliki motif belajar yang baik
dan memiliki kemampuan untuk menerima materi
pembelajaran baru yang dipandang sulit dan kurang
menarik. Dalam situasi yangs seperti ini, tugas guru
adalah mendesain, merancang proses pembelajaran yang
dapat memberikan kesan materi pembelajaran menjadi
sesuatu yang mudah, menarik dan menyenangkan.
Dalam menghadapi pelajar yang seperti ini peran guru
dipandang sebagai penghibur, sebagai entertainer.
3. Pelajar diasumsikan memiliki motif belajar yang tinggi,
mampu menyeimbangkan diri dan berperan dalam
kehidupan masyarakat bahkan mampu meningkatkan
32

kecakapan. Menghadapi pelajar yang seperti ini guru


berperan sebagai Romantic Teacher, sebagai Guru
Romantis.

D. Pendidikan menurut Teori Pertukaran Sosial


Asas teori ini adalah bahwa manusia makhluk
rasional. Manusia mengharapkan penghargaan dan
menghindari hukuman. Ketika manusia menjalin hubungan
dengan pihak lain, ia akan melalukan pertukaran sosial, dan
dengan kekuatan rasionya manusia akan
mempertimbangkan apakah hubungan sosial yang
dijalinnya itu mendatangkan penghargaan (keuntungan)
atau mendatangkan kerugian (pengorbanan atau
hukuman). Bila mendatangkan keuntungan, ia akan
melangsungkannya dan terjalinlah hubungan sosial dan
pertukaran sosial. Ketika terjalin hubungan sosial itulah
masyarakat terbentuk, tapi jika kesimpulannya hubungan
akan mendatang kerugian, maka ia tidak akan melanjutkan
hubungan sosial itu, pertukaran sosial tidak terjadi,
akibatnya masyarakat tidak terbentuk, sebab masyarakat
akan terbentuk bila terjalin hubungan sosial dan pertukaran
sosial.
Jadi hubungan sosial itu ada dua jenis, yaitu (1)
Hubungan positif, di mana penghargaan (keuntungan) lebih
besar daripada pengorbanan ; (2) Hubungan negatif, bila
pengorbanan lebih besar daripada penghargaan.
Ketika mendesain dan menganalisis pendidikan pun
prinsip ini dipegang teguh.
Asumsi dasar pendidikan dalam perspektif Pertukaran
Sosial adalah :
 Dalam dunia pendidikan terjalin hubungan sosial dan
pertukaran sosial
 Dunia pendidikan adalah tempat pertukaran ilmu, jasa
dan keahlian, sehingga dalam proses pendidikan
diharapkan terjadi perubahan perilaku
 Dalam proses pendidikan terjadi pertukaran ilmu,
ideologi, nilai-nilai, dan keterampilan antara pendidik
dan peserta didik
33

Dalam mendesain dan menganalisis pendidikan, yang


mereka kaji bukan masalah kurikulum, tujuan
pembelajaran, materi pembelajaran, model pembelajaran,
metode pembelajaran dan sistem pendidikannya, yang
perlu dipertimbangkan adalah, apakah keungtungan dari
semua itu lebih besar dari pengorbanannya (modal biaya) ?
atau lebih kecil ?. Bila keuntungannya dari semua itu lebih
besar, maka pendidikan perlu dilanjutkan, tapi jika
keuntungannya lebih kecil, pendidikan tidak perlu.
Maksud penghargaan atau keuntungan di sini tidak
terbatas pada keuntungan materi atau jumlah uang yang
diperoleh, keuntungan di sini mencakup pelbagai aspek.
Misalnya ada seorang anak mendaptarkan diri pada SMA
ABC, hapannya agar ia mendapat ilmu dan kecakapan hidup
yang bermanfaat, tapi setelah diterima di SMA ABC
tersebut, ternyata budaya pergaulan antarsiswa di sana
buruk. Anak itu sering diajak temannya untuk bolos, bahkan
ia sering diancam oleh teman-teman yang berbeda
kelompok. Di sekolah itu sering terjadi konflik
antarkelompok atau antarkelas, dan konflik yang terjadi
adalah konflik yang negatif. Anak dan orangtuanya
menyimpulkan bahwa belajar di SMA ABC sana lebih
banyak ruginya daripada untungnya. Ini artinya hubungan
sosial antara anak tersebut dengan pihak sekolah
merupakan hubungan yang negatif. Sebab itu, ia dan
orangtuanya memutuskan untuk pindah ke sekolah lain
yang dapat mendukung tujuannya, yaitu mendapat ilmu dan
kecakapan hidup yang bermanfaat.

IV. PENUTUP
Demikianlah ringkasan pengantar Sosiologi Pendidikan.
Jika disimpulkan, isi buku ini. Pertama, menguraikan
definisi Sosiologi Pendidikan, ruang lingkupnya dan
tujuannya ; Kedua, uraian tentang teori utama Sosiologi,
yaitu Struktural Fungsional, Struktural Konflik,
Interaksionisme Simbolik, dan Pertukaran Sosial ; Ketiga,
menguraikan garis besar desain pendidikan menurut empat
teori utama Sosiologi tersebut.
34

Aspek lain yang dijadikan sebagai obyek kajian Sosiologi


Pendidikan tidak diuraikan, mengingat buku hanya berupa
buku pengantar bagi para mahasiswa pemula.

Wa Allâhu a’lam bi al-şawâb.


35

Daftar Pustaka

Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, t.th. Bayrut-Libnan :


Dar al-Fikr
Anthony Gidden, Jalan Ketiga : Pembaharuan Demokrasi
Sosial (The Third Way : The Renewal of Social
Democracy), Terj. Ketut Arya Mahardika, Cet. Ke-2,
2000, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
______________, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern : Suatu
Analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber
(Capitalsm and Modern Social Theory an Analysis of
Writing of Marx, Durkheim and Max Weber), Terj.
Suheba Kramadibrata, Cet. Ke-1, 1985, Jakarta : UI-
Press.
Graham C. Kinloch, Sociological Theory : Its Development and
Major Paradigms (Perkembangan dan Paradigma
Utama Teori Sosiologi), Terj. H. Dadang Kahmad, Cet.
Ke-1, 2005, Bandung : CV. Pustaka Setia.
H. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Cet. Ke-2, 2002,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Ian Craib, Teori-Teori Sosial Modern : Dari Parsons sampai
Habermas (Modern Social Theory : from Parsons to
Habermas), Terj. Paul S. Baut, T. Effendi, Cet. Ke-3,
1994, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Ivan Illich, Deschooling Society, Terj. C. Woekisari, 1984,
Jakarta : Sinar Harapan dan Yayasan Obor.
Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan,
2000, Jakarta : Djambatan.
Paulo Ferire, Pendidikan Kaum Tertindas (Paedagogy of the
Oppressed), 1985, Jakarta : LP3ES.
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Cet. Ke-3, 2004, Jakarta :
Bumi Aksara.
Dan lain-lain, baik dari internet, hasil dialog maupun dari
media massa, khususnya media cetak.
36

Pengantar
SOSIOLOGI
PENDIDIKAN

Disusun oleh :

Dr. H. A. Rifqi Fuad, M.Ag.

Yayasan Al-Huda Cikalongwetan


Bandung Barat
2016

Anda mungkin juga menyukai