Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh :
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV adalah infeksi
yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan kemampuan tubuh untuk
memerangi infeksi.
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang
tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi,
tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah
dikenal dan sebagainya.(Purwanto, 2016)
b. Etiologi
Penyebab terjadinya HIV/AIDS :
a. Hubungan seks. Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui
vagina maupun dubur (anal). Meskipun sangat jarang, HIV juga dapat menular
melalui seks oral. Akan tetapi, penularan lewat seks oral hanya akan terjadi bila
terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya seperti gusi berdarah atau
sariawan.
b. Berbagi jarum suntik. Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita
HIV, adalah salah satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV.
Misalnya menggunakan jarum suntik bersama saat membuat tato, atau saat
menggunakan NAPZA suntik.
c. Transfusi darah. Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor
darah dari penderita HIV.
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIv-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi
nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan
HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. (Purwanto, 2016)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
Infeksi asimto matik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun de ngan gejala tidak ada.
Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai
system tubuh, dan manifestasi neurologist. (Purwanto,2016)
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
Lelaki homoseksual atau biseks.
Orang yang ketagian obat intravena
Partner seks dari penderita AIDS
Penerima darah atau produk darah (transfusi).
Bayi dari ibu/bapak terinfeksi. (Purwanto, 2016)
2. Prognosis dan Manifestasi Klinis
a. Prognosis
Menurut Black & Hawks (2009), cara penularan tetap konstan melalui perjalanan
pandemik HIV. Virus menyebar melalui praktik hubungan seksual tertentu, melalui
paparan terhadap cairan tubuh dan darah, dan melalui penularan perinatal (vertikal).
Praktik hubungan seksual tertentu
Praktik seksual yang benar-benar aman antara lain: (1) aktivitas autoseksual
(seperti masturbasi),(2) hubungan monogami mutualisme antara pasangan
tidak terinfeks dan (3) pantang/tidak berhubungan seks. Praktik seksual yang
sangat aman termasuk aktivitas noninsertif. Praktik kondom digunakan secara
benar, tidak robek dan tidak insertif dengan kondom dipertimbangkan aman
tidak selain terjadi kontak dengan cairan tubuh. Segala sesuatu selain itu
diangeap berisiko. Kofaktor lain, seperti melakukan aktivitas seksual dalam
pengaruh alkohol atau obat-obatan, memiliki banyak pasangan seks, dan
adanya luka pada daerah genital, meningkatkan risiko terinfeksi HIV.
Meskipun sedikit jumlah kasus yang dilaporkan, praktik ilegal seksual, baik
dilakukan pria atau wanita, berdampak pada penularan.
Paparan terhadapcairan tubuh dan darah
Penularan oleh paparan darah adalah kategori luas hanya mencakup sejumlan
kemungkinan rute, paling nyata melalui transfusi diri produk darah terinteksi
dan melalui transplantasi jaringan atau organ dari donatur terinfeksi. Infeksi
HIV paling banyak ditularkan melalui penggunaan obat suntik yang terpapar,
darah yang terkontaminasi. Kaktor lain yang meningkatkan peluang tertular
HIV dengan penyuntikan obat-obatan meliputi seroprevalensi HIV pada
daerah geografis pemakai obat-obatan, latar belakang sosial memakai obat-
obatan (misalnya "galeri suntik", dimana peralatan suntik dipakai bersama-
sama), dan frekuensi suntikan.
Penularan HIV ke pekerja kesehatan oleh klien menjadi perhatian terus-
menerus bagi pekerja kesehatan, pemilik layanan kesehatan, dan petugas
kesehatan masyarakat. Meskipun banyak infeksi HIV terkait perkerjaan
karena paparan perkutaneus, cara penularan lain termasuk paparan
mukokutaneus dan paparan langsung terhadap HIV di laboratorium. Risiko
rata-rata sesungguhnya tenaga kesehatan terhadap paparan HIV tergolong
sangat rendah (0,4% setelah cedera alat tajam atau jarum suntik dan 0,09%
setelah paparan membran mukosa). Risiko meningkat pada situasi ketika
terjadi cedera dalam saat terlihat darah pada alat yang menyebabkan cedera,
saat alat sebelumnya terpapar vena dan arteri klien, dan saat AIDS
terdiagnosis pada sumber klien yang meninggal dalam 60 hari setelah terpapar
tenaga kesehatan.
Penularan perinatal (vertikal)
Paparan HIV perinatal dapat terjadi selama kehamilan, selama melahirkan
pervaginam, postpartum sampai menyusui. Tahun 2001 ada < 200 kasus HIV
neonatal di AS; namun, ada > 700.000 kasus baru di Sub-Sahara Afrika
sendiri. Hal ini kebanyakan karena wanita pada daerah miskin sumber daya ini
tidak memiliki akses untuk pemeriksaan dan pengobatan.
b. Manifestasi klinis
Periode ketika seseorang menjadi terinfeksi disebut sebagai infeksi primer. Jika
HIV terdeteksi pada waktu infeksi awal, klien dianggap di dalam kategori A. Infeksi
primer adalah periode awal setelah seseorang mengidap HIV. Lama waktu infeksi
primer adalah bervariasi dari beberpa minggu sampai berbulan-bulan. Selama infeksi
primer, 50%-70% orang menjadi sakit. Banyak klinisi tidak menyadari fakta ini dan
kecenderungan untuk berpikir bahwa infeksi primer adalah inaktif. Di samping gejala
sistemik (demam, letih, limfadenopati, mual dan muntah), orang terinfeksi mungkin
mengalami sakit kepala; kemerahan pada batang tubuh (torso dan lengan); ulkus pada
mulut, genital, atau keduanya; seriawan; faringitis; diare; hepatomegali; mialgia;
artralgia; anemia; trombositopenia; dan leukopenia. Pada beberapa orang, gejalanya
ringan dan menyerupai mononukleosis. Orang lain yang memiliki gejala berat perlu
dirawat inap. Kondisi Ini juga periode ketika kebanyakan orang yang baru terinfeksi
membentuk anti bodi terhadap HIV. Rata-rata anti bodi dapat dideteksi dalam 4-12
minggu (Black & Hawks, 2009)
Orang dengan infeksi HIV sering kali mengembangkan komplikasi yang berpengaruh
langsung pada infeksi HIV dan juga perawatan yang diberikan. Penuaan, faktor gaya
hidup, kormodibitas dapat meningkatkan tingkat risiko mengembangkan kondisi kronis
seperti DM, dan gagal ginjal kronis.
Komplikasi Neurologi
Ginjal
a. Cedera Ginjal Akut, paling sering dikaitkan dengan kondisi prerenal dan nekrosisi
tubular akut
b. Penyakit ginjal kronis. Faktor risikonya termasuk koinfeksi virus hepatitis C, viral
load HIV yang tinggi, jumlah CD4 yang rendah.(Chu et al., 2017)
4. Patofisiologi
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai AIDS, sejalan dengan
penurunan derajat imunitas pasien, Penurunan imunitas biasanya ditandai dengan adanya
peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien
akan memperlihatkan gejala yang tidak khas seperti demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk pada 3-6 minggu setelah
infeksi (infeksi primer) (Nursalam & Kurniawati, 2007)
Infeksi primer dimulai pada periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam
tubuh. Dimana pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun
berupa peningkatana aktivitas imun yaitu tingkat seluler, serum atau humoral dan
antibody upregulation. Induksi t-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk
mempertahankan fungsi-fungsi sel faktor sistem imun agar tetap berfungsi dengan baik.
Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T sehingga T-helper tidak dapat memberikan
induksi ke sel-sel efektor sistem imun (T8 sitotoksik, sel NK, monosit, sel B) sehingga
tidak dapat berfungsi dengan baik. (Nursalam & Kurniawati, 2007)
Daya tahan tubuh akan semakin menurun dan pasien masuk ke stadium lebih lanjut.
Pada tahap ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat banyak, yang berarti
banyak virus lain berada di dalam darah. Pada orang dewasa sering kali memunculkan
gejala sindrom retroviral akut yang meliputi, panas, nyeri otot, sakit kepala, mual,
muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan adanya ruam yang
terjadi selama 2-4 minggu setelah terinfeksi.
Selama infeksi primer, jumlah limfosit CD4+ dalam darah akan menurun dengan
cepat. Sebab, yang menjadi target dari virus HIV adalah limfosit ini yang terdapat pada
nodus limfa dan thymus yang membuat individu terinfeksi HIV akan terkena infeksi
oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T.
Setelah melewati infeksi akut, infeksi HIV asimptomatik akan dimulai, yang dapat
berlangsung selama 8-10 tahun. Setelah itu seiring dengan makin memburuknya daya
tahan tubuh, ODHA akan menampakkan gejala akiabt infeksi oportunistik. Pada fase ini
disebut dengan imunodefisiensi, dimana dalam serum pasien yang terinfeksi ditemukan
adanya faktor supresif berupa antibody terhadap proliferasi sel T, yang dapat
mengakibatkan sintesis dan sekresi limfokin tertekan.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
Riwayat kesehatan : tes HIV positif
Riwayat perilaku berisiko tinggi :
a. Riwayat transfuse darah,
b. Riwayat Penggunaan peralatan penggunaan obat dengan orang lain
(sharing equipment),
c. Riwayat seksual,
d. Kaji apakah pernah mengalami penyakit menular seksual
Riwayat menggunakan obat-obat
Kaji efek samping penggunaan obat
Gejala subyektif : demam kronik dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoteksia, BB menurun, nyeri dan
sulit tidur (Purwanto, 2016)
b. Pemeriksaan fisik
Reaksi Virus masuk ke dalam peredaran darah dan Mengaktifkan WBC (Limfosit&Sel T
Antibodi Helper)
INFEKSI OPORTUNISTIK
Data Objektif : Lidah klien tampak berwarna putih. Pasien saat ini terpasang oksigen 3lpm nasal
kanul. Berdasarkan hasil laboratorium Hb 11,9 g/dl ; albumin 2,3 gr/dl dan bilirubin 5.4 mg/dl.
Tanda-tanda vital pasien yaitu TD: 90/60 mmHg; S : 36,2 ºC; P : 26 x/mnt; N : 71 x/mnt; SaO2 :
98%. Pasien di diagnosa ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)
E. ANALISA DATA
DS:
- Klien mengatakan Adanya rasa mual yang terus Defisit Nutrisi
nafsu makan menurun menerus dirasakan klien
DO:
- Lidah klien tampak
berwarna putih
- Albumin 2,3 gr/dlt
DS:
- Klien merasa lemas Nafsu makan yang menurun Risiko Intoleransi Aktiitas
DO:
- TD: 90/60 mmHg
- Hb 11,9 g/dl
- Albumin 2,3 gr/dl
DS:
- Klien mengatakan Adanya penyakit kronis (HIV/ Keletihan
nafsu makan menurun AIDS
- Klien merasa lemas
DO:
- Klien didiagnosa
ODHA
F. Asuhan Keperawatan
Edukasi
- Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0019 Defisit Nutrisi L.03030 Status Nutrisi I.03119 Manajemen Nutrisi
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untik menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
diperlukan, jika perlu.
SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0060 Risiko Intoleran Manajemen Energi
Aktivitas
Diharapkan setelah melakukan
intervensi selama 1x24 jam Tindakan:
Gejala dan Tanda klien dapat menunjukkan Observasi
Subjektif: kondisi baik dengan - Monitor respon
- Merasa lemah oksigen pasien
Kriteria Hasil: ( misalnya nadi,
Objektif: - Frekuensi pernapasan tekanan darah dan
- Tekanan darah saat beraktivitas tidak respirasi )saat
menurun terganggu perawatan maupun saat
melakukan perawatan
Kondisi klinis terkait: secara mandiri
- Monitor intake nutrisi
untuk mengetahui
sumber energy yang
adekuat
Terapeutik
- Anjurkan pasien untuk
memilih aktivitas-
aktivitas yang akan
dilakukan
Edukasi
- Instruksikan pasien
mengenai stress dan
koping intervensi
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
- Pilih intervensi untuk
mengurangi kelelahan
baik secara
farmakologis maupun
non farmakologis
dengan tepat.
- Konsulkan dengan ahli
gizi mengenai cara
meningkatkan intake
energy dari makanan
SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0057 Keletihan L.05046 Tingkat keletihan I.2362 Edukasi
Aktivitas/Istirahat
Black, M. J. & Hawks, H. J., (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Continuity Of Care, 8th ed. Philadephia: W.B. Saunders Company. Alih Bahasa dan
copyright oleh Singapore: Elsevier.
Chu, C., Pollock, L. C., Francisco, S., Francisco, S., Selwyn, C. P. A., Einstein, A., & York, N.
(2017). HIV-Associated Complications: A Systems-Based Approach. 96(3).
Hidayah, A., N., dkk. (2019). Manajemen HIV/AIDS. Surabaya: Airlangga University Prees
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Keperawatan Medikal Bedah II.
Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Pusat Pendidikan Sumber
Daya Manusia Kesehatan .
Umum, H. S., Dalam, B. P., Sakit, R., & Moeloek, A. (2016). Pendekatan Diagnostik dan
Penatalaksanaan Pada Pasien Diagnostic and Treatment Approaches in Patients with HIV.
WHO. (2007). Who Case Definitions Of Hiv For Surveillance And Revised Clinical Staging And
Immunological Classification Of Hiv-Related Disease In Adults And Children. France:
WHO.
Purwanto, H. (2016). MODUL BAHAN AJAR CETAK KEPERAWATAN; KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH II. Jakarta Selatan: Kemenkes RI.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi danKriteria Hasil
Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN SOP INTERVENSI KASUS
A. Definisi
Kanula nasal (prongs) merupakan alat sederhana untuk pemberian oksigen dengan
memasukkan dua cabang kecil kedalam hidung.
B. Tujuan
C. Indikasi & Kontraindikasi
Indikasi
1. Nasal kanul diberikan pada pasien PPOK (Paru-Paru Obstruksi Kronoik).
Kontraindikasi
1. Pada klien yang terdapat obstruksi nasal
2. Pada klien yang membutuhkan kecepatan aliran >6 L/menit dan konsentrasi
>44%
D. Persiapan Alat Dan Bahan
1. Kanula nasal
2. Selang oksigen
3. Humidifier
4. Water steril
5. Tabung oksigen dengan flowmeter
6. plester
E. Persiapan Pasien
1. Menjelaskan kepada pasien terkait tindakan dan tujuan dari tindakan
2. Mempersiapkan alat dan bahan
10) Mengkaji
10. Pertahankan perkembangan
batas air pada pasien selama
botol humidifier pemberian
setiap waktu. oksigenasi.
11) Menjaga
11. Periksa jumlah kelembapan pada
kecepatan aliran membrane
oksigen dan mukosa hidung
program terapi pasien.
secara periodic 12) Mengetahui
sesuai respon kesesuaian dan
klien, biasanya ketepatan
tiap 1 jam pemberian
sekali. oksigen.
12. Kaji membran 13) menghindari
mukosa hidung adanya iritasi
dari adanya yang diakibatkan
iritasi dan beri pemasangan nasal
jelly untuk kanul dan
melembapkan kekeringan
membrane karena dorongan
mukosa jika oksigen
diperlukan
Terminasi 1) Bereskan alat 1) Agar alat dapat
digunakan dengan
baik pada
tindakan
selanjutnya
2) Mencuci 2) menjaga
tangan. kebersihan dan
menghindari
infeksi
nosocomial
3) Mencatat hasil 3) sebagai
tindakan yang pendokumentasia
telah dilakukan n dan alat
dan hasilnya pemantau
perkembangan
kondisi fisik klien
1) Kanula nasal untuk mengalirkan oksigen dengan kecepatan aliran 1-6 L/menit,
untuk aliran ringan/rendah biasanya hanya 2-3 liter/ menit yang digunakan.
2) Membutuhkan pernapasan hidung.
3) Tidak dapat mengalirkan oksigen dengan konsentrasi > 44%.
H. Implikasi Keperawatan
Klien mengalami sesak nafas. Implikasi dari intervensi dalam hal ini yaitu nasal kanul
adalah diharapkan agar kemampuan mengidentifikasi faktor resiko, melakukan strategi
kontrol resiko, kemampuan menghindari faktor resiko, dan keluhan sesak menurun.
Selanjutnya dari intervensi diharapkan dapat diidentifikasi gejala yang tidak
menyenangkan, Kondisi hipoksia dapat teratasi. Frekuensi pernapasan kembali normal
dalam kisaran 14 – 20 kali per menit.
I. Sumber
1) Kurniawati, N. D., & Bakar, A. (2011). Pencegahan iritasi mukosa hidung pada
pasien yang mendapatkan oksigen nasal. Jurnal Ners, 6(2), 136–140.
2) O, T. O. (2017). Terapi oksigen (o 2 ). 2–28.
LAPORAN SOP INTERVENSI KASUS (2)
“Pemasangan Infus”
A. Definisi
Pemasangan infus adalah memasukkan cairan langsung ke dalam vena dalam jumlah
yang banyak dan dalam waktu yang lama.
B. Tujuan
1. Agar sejumlah cairan atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam
jangka waktu tertentu.
2. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.
3. Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit
4. Memperbaiki keseimbangan asam basa
5. Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena
6. Membantu pemberian nutrisi parenteral.
E. Persiapan Pasien
a. Monitoring keadaan umum pasien
1) Tingkat kesadaran
2) Tanda-tanda vital
3) Keadaan kulit atau turgor
b. Memberikan informasi kepada pasien
1) Kapan dan untuk apa diberikan infus
2) Berapa lama pemberian infus
3) Hal yang harus dilakukan selama pemasangan infus
4) Menjaga/mempertahankan tempat insersi agar tidak kotor/dikotori
5) Tidak boleh mengatur tetesan sendiri
6) Tidak boleh menarik selang sendiri
7) Bila ada yang dikeluhkan berhubungan dengan tempat insersi, harus
diberitahukan kepada perawat
F. Tindakan (Intervensi Keperawatan)
2. Mengurangi
2. Cuci tangan transmisi
mikroorganisme
3. Mendokumentasik
3. Catat tindakan an semua tindakan
perawat secara sebagai tanggung
singkat dan jelas jawab dan
seperti tanggal tanggung gugat
pemasangan, jenis
dan jumlah cairan perawat
yang digunakan
H. Implikasi Keperawatan
Klien yang mengalami kanker lemas, Klien mengalami nafsu makan menurun
karena selalu merasa mual. Lidah klien tampak berwarna putih.Implikasi dari intervensi
dalam hal ini yaitu pemasangan infus adalah diharapkan agar kemampuan
mengidentifikasi faktor resiko, melakukan strategi kontrol resiko, kemampuan
menghindari faktor resiko, dan keluhan nyeri menurun. Selanjutnya dari intervensi
diharapkan dapat diidentifikasi gejala yang tidak menyenangkan, identifikasi masalah
emosional dan spiritual, monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik,
Keseimbangan intake dan output pasien terpenuhi, Turgor kulit pasien kembali normal,
Kelembaban membrane mukosa pasien kembali normal.
I. Daftar Pustaka
a. Ariningrum, D., & Subandono, J. (2018, Juli). skillslab.fk.uns.ac.id. Retrieved
Oktober 5, 2020, from https://skillslab.fk.uns.ac.id/wp-
content/uploads/2018/08/Pemasangan-infus-2018-smt-7.pdf
b. Mulhaeriah (2018). PANDUAN CLINICAL SKILL LEARNING KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH I.