Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN STUDI KASUS EARLY EXPOSURE HIV/AIDS

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

Dosen Pembimbing:

Dr. Yuliana Syam, S.Kep., Ns., Msi

Disusun Oleh :

Dea Nur Shabrina H R011191024

Fajar Husodo R011191020

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
ASUHAN KEPERAWATAN HIV
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi dan Etiologi
a. Definisi

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV adalah infeksi
yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan kemampuan tubuh untuk
memerangi infeksi.

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai bentuk


paling parah dari rangkaian penyakit yang terkait dengan infeksi human
immunodeficiency virus (HIV)

AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang
tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi,
tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah
dikenal dan sebagainya.(Purwanto, 2016)

b. Etiologi
Penyebab terjadinya HIV/AIDS :
a. Hubungan seks. Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seks baik melalui
vagina maupun dubur (anal). Meskipun sangat jarang, HIV juga dapat menular
melalui seks oral. Akan tetapi, penularan lewat seks oral hanya akan terjadi bila
terdapat luka terbuka di mulut penderita, misalnya seperti gusi berdarah atau
sariawan.
b. Berbagi jarum suntik. Berbagi penggunaan jarum suntik dengan penderita
HIV, adalah salah satu cara yang dapat membuat seseorang tertular HIV.
Misalnya menggunakan jarum suntik bersama saat membuat tato, atau saat
menggunakan NAPZA suntik.
c. Transfusi darah. Penularan HIV dapat terjadi saat seseorang menerima donor
darah dari penderita HIV.
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIv-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi
nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan
HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. (Purwanto, 2016)

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:

 Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
 Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
 Infeksi asimto matik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun de ngan gejala tidak ada.
 Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
 AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai
system tubuh, dan manifestasi neurologist. (Purwanto,2016)

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
 Lelaki homoseksual atau biseks.
 Orang yang ketagian obat intravena
 Partner seks dari penderita AIDS
 Penerima darah atau produk darah (transfusi).
 Bayi dari ibu/bapak terinfeksi. (Purwanto, 2016)
2. Prognosis dan Manifestasi Klinis
a. Prognosis

Menurut Black & Hawks (2009), cara penularan tetap konstan melalui perjalanan
pandemik HIV. Virus menyebar melalui praktik hubungan seksual tertentu, melalui
paparan terhadap cairan tubuh dan darah, dan melalui penularan perinatal (vertikal).
 Praktik hubungan seksual tertentu
Praktik seksual yang benar-benar aman antara lain: (1) aktivitas autoseksual
(seperti masturbasi),(2) hubungan monogami mutualisme antara pasangan
tidak terinfeks dan (3) pantang/tidak berhubungan seks. Praktik seksual yang
sangat aman termasuk aktivitas noninsertif. Praktik kondom digunakan secara
benar, tidak robek dan tidak insertif dengan kondom dipertimbangkan aman
tidak selain terjadi kontak dengan cairan tubuh. Segala sesuatu selain itu
diangeap berisiko. Kofaktor lain, seperti melakukan aktivitas seksual dalam
pengaruh alkohol atau obat-obatan, memiliki banyak pasangan seks, dan
adanya luka pada daerah genital, meningkatkan risiko terinfeksi HIV.
Meskipun sedikit jumlah kasus yang dilaporkan, praktik ilegal seksual, baik
dilakukan pria atau wanita, berdampak pada penularan.
 Paparan terhadapcairan tubuh dan darah
Penularan oleh paparan darah adalah kategori luas hanya mencakup sejumlan
kemungkinan rute, paling nyata melalui transfusi diri produk darah terinteksi
dan melalui transplantasi jaringan atau organ dari donatur terinfeksi. Infeksi
HIV paling banyak ditularkan melalui penggunaan obat suntik yang terpapar,
darah yang terkontaminasi. Kaktor lain yang meningkatkan peluang tertular
HIV dengan penyuntikan obat-obatan meliputi seroprevalensi HIV pada
daerah geografis pemakai obat-obatan, latar belakang sosial memakai obat-
obatan (misalnya "galeri suntik", dimana peralatan suntik dipakai bersama-
sama), dan frekuensi suntikan.
Penularan HIV ke pekerja kesehatan oleh klien menjadi perhatian terus-
menerus bagi pekerja kesehatan, pemilik layanan kesehatan, dan petugas
kesehatan masyarakat. Meskipun banyak infeksi HIV terkait perkerjaan
karena paparan perkutaneus, cara penularan lain termasuk paparan
mukokutaneus dan paparan langsung terhadap HIV di laboratorium. Risiko
rata-rata sesungguhnya tenaga kesehatan terhadap paparan HIV tergolong
sangat rendah (0,4% setelah cedera alat tajam atau jarum suntik dan 0,09%
setelah paparan membran mukosa). Risiko meningkat pada situasi ketika
terjadi cedera dalam saat terlihat darah pada alat yang menyebabkan cedera,
saat alat sebelumnya terpapar vena dan arteri klien, dan saat AIDS
terdiagnosis pada sumber klien yang meninggal dalam 60 hari setelah terpapar
tenaga kesehatan.
 Penularan perinatal (vertikal)
Paparan HIV perinatal dapat terjadi selama kehamilan, selama melahirkan
pervaginam, postpartum sampai menyusui. Tahun 2001 ada < 200 kasus HIV
neonatal di AS; namun, ada > 700.000 kasus baru di Sub-Sahara Afrika
sendiri. Hal ini kebanyakan karena wanita pada daerah miskin sumber daya ini
tidak memiliki akses untuk pemeriksaan dan pengobatan.
b. Manifestasi klinis

Periode ketika seseorang menjadi terinfeksi disebut sebagai infeksi primer. Jika
HIV terdeteksi pada waktu infeksi awal, klien dianggap di dalam kategori A. Infeksi
primer adalah periode awal setelah seseorang mengidap HIV. Lama waktu infeksi
primer adalah bervariasi dari beberpa minggu sampai berbulan-bulan. Selama infeksi
primer, 50%-70% orang menjadi sakit. Banyak klinisi tidak menyadari fakta ini dan
kecenderungan untuk berpikir bahwa infeksi primer adalah inaktif. Di samping gejala
sistemik (demam, letih, limfadenopati, mual dan muntah), orang terinfeksi mungkin
mengalami sakit kepala; kemerahan pada batang tubuh (torso dan lengan); ulkus pada
mulut, genital, atau keduanya; seriawan; faringitis; diare; hepatomegali; mialgia;
artralgia; anemia; trombositopenia; dan leukopenia. Pada beberapa orang, gejalanya
ringan dan menyerupai mononukleosis. Orang lain yang memiliki gejala berat perlu
dirawat inap. Kondisi Ini juga periode ketika kebanyakan orang yang baru terinfeksi
membentuk anti bodi terhadap HIV. Rata-rata anti bodi dapat dideteksi dalam 4-12
minggu (Black & Hawks, 2009)

Orang-orang biasanya tetap asimtomatik untuk bertahun-tahun selama periode


setelah infeksi primer; oleh karena itu klien dengan penyakit HlV umumnya
dikategorikan di dalam kelompok A untuk periode yang lama. Meskipun klien tanpa
gejala utama yang jelas, klien dapat mulai menyadari infeksi berulang akibat sinusitis
atau saluran pernapasan atau merasa letih meningkat. Meskipun tanpa penyakit
signifikan muncul, destruksi virus mengambil alih seluruh tubuh. Mayoritas destruksi
terjadi pada jaringan limpa, mengakibatkan penurunan pertahan jumlah sel CD4+.
Kerusakan pada struktur limfatik juga memiliki pengaruh negatif pada kualitas yang
yang terus diproduksi. Setelah sesaat, meskipun hanya adekuat, sel CD4 + kehilangan
kemampuannya untuk menahan sifat destruktif HIV (Black & Hawks, 2009).

Seiring perkembangan penyakit, gejala seperti seriawan atau kandidiasis


vulvovaginal biasanya muncul; yang merupakan gejala khas dari defisiensi imun yang
mendasari. Perkembangan ini umumnya menyebabkan orang mencari pemeriksaan
HIV. Klien yang memiliki penyakit simtomatik kemudian diklasifikasikan ke dalam
kelompok B. Pada akhirnya klien dengan infeksi HIV mengalami satu atau lebih
penyakit yang didefinisikan sebagai AlDS dan akhirnya diklasifikasikan ke dalam
kelompok C. Sekali lagi, hal ini mungkin pertama kali bahwa infeksi HIV
teridentifikasi (Black & Hawks, 2009).

3. Klasifikasi dan Komplikasi

Orang dengan infeksi HIV sering kali mengembangkan komplikasi yang berpengaruh
langsung pada infeksi HIV dan juga perawatan yang diberikan. Penuaan, faktor gaya
hidup, kormodibitas dapat meningkatkan tingkat risiko mengembangkan kondisi kronis
seperti DM, dan gagal ginjal kronis.

Komplikasi Neurologi

a. Myelopathy, merupakan penyebab umum terjadinya disfungsi medulla spinalis,


terutama pada infeksi HIV lanjut, gejalanya seperti kesulitan berjalan
b. Myopathy
c. Primary headache disorder, umum terjadi pada penderita infeksi HIV

Komplikasi Kardiovaskular dan Pulmonary

a. Cardiomyopathy, pericarditis, myocarditis, endocarditis yang dapat dikaitkan dengan


pathogen oportunistik pada infeksi HIV lanjut
b. Pneumocystis pneumonia, terjadi pada orang dengan kadar CD4 < 200 per mm3
c. Tuberkulosis
Komplikasi Gastrointestinal dan Hepatic

a. Kolangiopati AIDS, disebabkan karena pathogen oportunistik


b. Infeksi colitis, esophagitis, dan gastroenteritis, lebih umum pada pasien dengan
immunosuppressive selain itu agen infeksi juga menyebabkan lesi yang terletak
bervariasi di seluruh saluran pencernaan
c. Insufiensi eksokrin pancreas, menyebabkan malabropsi lemak, dan perubahan pola
buang air besar, kembung, dan penurunan berat badan

Ginjal

a. Cedera Ginjal Akut, paling sering dikaitkan dengan kondisi prerenal dan nekrosisi
tubular akut
b. Penyakit ginjal kronis. Faktor risikonya termasuk koinfeksi virus hepatitis C, viral
load HIV yang tinggi, jumlah CD4 yang rendah.(Chu et al., 2017)

Klafisikasi Infeksi HIV

A. Kelompok I : Infeksi Akut


B. Kelompok II : Infeksi Asimptomatis
C. Kelompok III : Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)
D. Kelompok IV : Penyakit-penyakit lain
a. Kelompok IVa : Penyakit konstitusi (panas, diare, kehilangan berat badan)
b. Kelompok IVb : Penyakit neurologis (ensefalitis, demensia)
c. Kelompok IVc : Penyakit infeksi sekunder (pneumocystis carinii, cytomegala
virus)
d. Kelompok IVd : Kanker sekunder (sarcoma Kaposi, dll)
e. Kelompok IVe : keadaan-keadaan lain

Klasifikasi imunologis infeksi HIV

HIV-associated Age-related CD4 Values


Immunodeficiency <11 bulan 12-35 bulan 36-59 bulan >5 tahun
Tidak signifikan >35 >30 >25 >500
Ringan 30-35 25-30 20-25 350-499
Tingkat lanjut 25-29 20-24 15-19 200-349
Berat <25 <20 <15 <200 or <15%
(WHO, 2007)

4. Patofisiologi

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai AIDS, sejalan dengan
penurunan derajat imunitas pasien, Penurunan imunitas biasanya ditandai dengan adanya
peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.

Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien
akan memperlihatkan gejala yang tidak khas seperti demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk pada 3-6 minggu setelah
infeksi (infeksi primer) (Nursalam & Kurniawati, 2007)

Infeksi primer dimulai pada periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam
tubuh. Dimana pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun
berupa peningkatana aktivitas imun yaitu tingkat seluler, serum atau humoral dan
antibody upregulation. Induksi t-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk
mempertahankan fungsi-fungsi sel faktor sistem imun agar tetap berfungsi dengan baik.
Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T sehingga T-helper tidak dapat memberikan
induksi ke sel-sel efektor sistem imun (T8 sitotoksik, sel NK, monosit, sel B) sehingga
tidak dapat berfungsi dengan baik. (Nursalam & Kurniawati, 2007)

Daya tahan tubuh akan semakin menurun dan pasien masuk ke stadium lebih lanjut.
Pada tahap ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat banyak, yang berarti
banyak virus lain berada di dalam darah. Pada orang dewasa sering kali memunculkan
gejala sindrom retroviral akut yang meliputi, panas, nyeri otot, sakit kepala, mual,
muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, dan adanya ruam yang
terjadi selama 2-4 minggu setelah terinfeksi.

Selama infeksi primer, jumlah limfosit CD4+ dalam darah akan menurun dengan
cepat. Sebab, yang menjadi target dari virus HIV adalah limfosit ini yang terdapat pada
nodus limfa dan thymus yang membuat individu terinfeksi HIV akan terkena infeksi
oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T.

Setelah melewati infeksi akut, infeksi HIV asimptomatik akan dimulai, yang dapat
berlangsung selama 8-10 tahun. Setelah itu seiring dengan makin memburuknya daya
tahan tubuh, ODHA akan menampakkan gejala akiabt infeksi oportunistik. Pada fase ini
disebut dengan imunodefisiensi, dimana dalam serum pasien yang terinfeksi ditemukan
adanya faktor supresif berupa antibody terhadap proliferasi sel T, yang dapat
mengakibatkan sintesis dan sekresi limfokin tertekan.

5. Pemeriksaan Lab dan Penatalaksanaan


a. Pemeriksaan lab
Terdapat dua uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.
 Enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), hal ini berinteraksi terhadap
adanya antibodi dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas
apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena biasanya hasil
positif palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uj
ELISA yang positif di ulang untuk lebih memastikan, dan apabila keduanya
positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu Western blot.
 Uji western blot, pengujian ini juga dikomfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil
kemungkinannya memberikan hasil positif-palsu atau negative-palsu, juga
dapat terjadi hasil uji yang tidak konklusif, misalnya saat ELISA atau Western
blot bereaksi lemah. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV atau pada
infeksi yang sedang berkembang.
 HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain yang memeriksa ada tidaknya virus
atau komponen virus sebelum ELISA atau Western blot. Prosedur-prosedur
ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24 dan pengukuran DNA
dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polymerase (PCR) dan
RNA HIV-1 plasma (Purwanto, 2016).
b. Penatalaksanaan
 Nonfarmakologis
1) Aspek Psikologis, yang terdiri atas :
- Perawatan personal dan dihargai
- Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah masalahnya
- Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
- Tindak lanjut medis
- Mengurangi penghalang untuk pengobatan
- Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
2) Aspek Sosial. Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan
bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial
meliputi 3 hal:
- Emotional support, meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan
- Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
- Materials support, meliputi bantuan/ pelayanan berupa sesuatu barang
dalam mengatasi suatu masalah.
 Farmakologis
1) pasien harus diperiksa jumlah CD4 terlebih dahulu, untuk memberikan
dosis yang tepat pada pengobatan ARV. Pengobatan ARV pada pasien
HIV diberikan ketika perhitungan CD4 telah mencapai nilai kurang dari
350. Menghitung sel CD4, kadar RNA HIV serum juga digunakan untuk
memantau resiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang
tepat untuk memulai modifikasi regimen obat.
2) Terapi ARV, Tujuan terapi ARV ini adalah penekanan secara maksimum
dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihan, atau pemeliharaan(atau
keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup,
3) Terapi AZT (Azidotimidin),untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untukpasien AIDS yang jumlah sel T4 nya<3
.Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
4) pemberian terapi simtomatik, terapi ini diberikan untuk mengatasi gejala-
gejala yang terjadi pada pasien bersamaan dengan dilakukannya
pemeriksaan penunjang yang disarankan.
5) Pemberian cairan isotonik dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
elektrolik pasien dan mencegah terjadinya kekurangan cairan pada pasien.
6) paracetamol sebagai antipiretik saat pasien demam. Injeksi ciprofloksasin
digunakan untuk mencegah adanya infeksi lebih lanjut, termasuk infeksi
nosokomial.
7) Injeksi ranitidin digunakan untuk mencegah stres ulser pada pasien akibat
obat-obatan yang diberikan (Gita Dewita, 2016)

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
 Riwayat kesehatan : tes HIV positif
 Riwayat perilaku berisiko tinggi :
a. Riwayat transfuse darah,
b. Riwayat Penggunaan peralatan penggunaan obat dengan orang lain
(sharing equipment),
c. Riwayat seksual,
d. Kaji apakah pernah mengalami penyakit menular seksual
 Riwayat menggunakan obat-obat
 Kaji efek samping penggunaan obat
 Gejala subyektif : demam kronik dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoteksia, BB menurun, nyeri dan
sulit tidur (Purwanto, 2016)
b. Pemeriksaan fisik

 Keadaan umum: pucat, kelaparan


 Psikososial: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup,
ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
 Status mental: marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apatis, withdrawl,
hilang ketertarikan pada lingkungan sekitar, gangguan proses berpikir, hilang
memori, gangguan perhatian dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
 Wajah: edema muka, nyeri periorbital (daerah sekitar mata), fotofobia,
(sensitif terhadap sinar matahari dan cahaya terang lainnya), epistaksis, ulser
pada bibr atau mulut, mulut kering, suara berubah, 
 Telinga: berdenging/tinnitus 
 Leher/tenggorokan: disfagia
 Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmu, vertigo ketidakseimbangan,
kaku pada belakang leher, kejang, dan paraplegi
 Muskuloskeletal: kurangnya fokus motorik, lemah, tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari
 Kardiovaskuler: takikardi, sianosis, hipotensi, edema perifer, dizziness
 Pernapasan:  dyspnea, takipnea, sianosis, nafas pendek, menggunakan otot
bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif
 Indeks glikemik: intake makanan dan minuman menurun, mual muntah, BB
menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegal
 Genital: ada lesi atau eksuda
 Integument: kering, gatal, lesi, turgor jelek, petekie+) (Purwanto, 2016).
C. PATHWAY KONSEP MEDIS DAN KEPERAWATAN

Tertusuk Jarum Bekas Ibu Hamil


Hubungan Seksual Transfusi Darah
Penderita HIV Penderita HIV

Reaksi Virus masuk ke dalam peredaran darah dan Mengaktifkan WBC (Limfosit&Sel T
Antibodi Helper)

Pelepasan T-helper / CD4+ Makrofag Sel B


Mediator Kimia &
merangsang
hipotalamus Terjadi perubahan struktural sel akibat trankripsi RNA virus dan DNA sel

Hipertermi Terbentuk provirus

Daya tahan tubuh Sel yang terinfeksi


Sel Pejamu tidak berfungsi secara baik
menurun akanmati

INFEKSI OPORTUNISTIK

GIT Integumen Reproduksi Respirasi Neurologi

Virus HIV + Herpes Candidiasis Microbacterium Criptococus


Kuman Zoster + TB
Salmonella, Herpes
Clostridium Simpleks Ulkus Meningitis
PCP
Kriptococus
Menginvasi
Mukosa Dermatitis Demam, Kejang,
Saluran Batuk, nafas Mual,
Cerna pendek Pusing, dll.
Ruam, kulit
kering, dll.
Peristaltik Stimulasi Ketidakefektifan Ketidakseim
meningkat saraf nyeri Bersihan Jalan bangan
Kerusakan Napas nutrisi
Integritas kurang dari
Diare Transmisi
Kulit kebutuahn
impuls saraf
tubuh
Ketidakseimbangan Saraf pusat
nutrisi kurang dari
kebutuahn tubuh
Respon Nyeri Nyeri Akut
Defisien Vol. Cairan

Perubahan Cemas Ansietas


status
kesehatan

Disfungsi interaksi Hambatan


Gangguan
dengan orang lain Interaksi
konsepdiri
Sosial
D. PENGKAJIAN
Data Subjektif : Ny.F berusia 32 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan sesak dan lemas.
Klien mengatakan nafsu makan menurun karena selalu merasa mual.

Data Objektif : Lidah klien tampak berwarna putih. Pasien saat ini terpasang oksigen 3lpm nasal
kanul. Berdasarkan hasil laboratorium Hb 11,9 g/dl ; albumin 2,3 gr/dl dan bilirubin 5.4 mg/dl.
Tanda-tanda vital pasien yaitu TD: 90/60 mmHg; S : 36,2 ºC; P : 26 x/mnt; N : 71 x/mnt; SaO2 :
98%. Pasien di diagnosa ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)

E. ANALISA DATA

Pengelompokn Data Penyebab /Etiologi Masalah Keperawatan


DS:
- Klien mengeluh sesak Adanya penyakit kronis (HIV/ Pola Napas Tidak Efektif
- Klien merasa lemas AIDS
DO:
- Pasien terpasang
oksigen 3lpm nasal
kanul
- TD: 90/60 mmHg

DS:
- Klien mengatakan Adanya rasa mual yang terus Defisit Nutrisi
nafsu makan menurun menerus dirasakan klien
DO:
- Lidah klien tampak
berwarna putih
- Albumin 2,3 gr/dlt

DS:
- Klien merasa lemas Nafsu makan yang menurun Risiko Intoleransi Aktiitas

DO:
- TD: 90/60 mmHg
- Hb 11,9 g/dl
- Albumin 2,3 gr/dl

DS:
- Klien mengatakan Adanya penyakit kronis (HIV/ Keletihan
nafsu makan menurun AIDS
- Klien merasa lemas

DO:
- Klien didiagnosa
ODHA

F. Asuhan Keperawatan

Diagnosis Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi


SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0005 Pola Napas Tidak L.0004 Pola Napas I.01011 Manajemen jalan
Efektif napas
Definisi :
Definisi : Inspirasi dan/atau ekspirasi Definisi :
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang memberikan ventilasi Mengidentifikasi dan
yang tidak memberikan adekuat mengelola kepatenan jalan
ventilasi adekuat napas.
Diharapkan setelah melakukan
Gejala dan Tanda intervensi selama 1x24 jam Tindakan:
Subjektif: klien dapat menunjukkan Observasi
- Dispnea kondisi baik dengan - Monitor pola napas
Objektif: (frekuensi, kedalaman,
- Pola napas abnormal Kriteria Hasil: fan usaha napas)
Kondisi klinis terkait: - Dispnea menurun
- - - Frekuensi napas Terapeutik
membaik - Posisikan semi-fowler
- Kapasitas Vital atau fowler
meningkat - Berikan minum air
hangat
- Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
- Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi
- Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0019 Defisit Nutrisi L.03030 Status Nutrisi I.03119 Manajemen Nutrisi

Definisi : Definisi : Definisi :


Asupan nutrisi tidak cukup Keadekuatan asupan nutrisi Mengidentifikasi dan
untuk memenuhi kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan mengelola asupan nutrisi
metabolisme metabolisme
Tindakan:
Gejala dan Tanda Diharapkan setelah melakukan Observasi
Subjektif: intervensi selama 1x24 jam - Identifikasi status
- Nafsu makan menurun klien dapat menunjukkan nutrisi
- Serum albumin kondisi baik dengan - Identifikasi alergi dan
menurun intoleransi makanan
Objektif: Kriteria Hasil: - Identifikasi makanan
- Membran mukosa - Serum albumin yang disukai
pucat meningkat - Monitor asupan
Kondisi klinis terkait: - Nafsu makan membaik makanan
- AIDS - Membran mukosa - Monitor berat badan
membaik
- Verbalisasi keinginan Terapeutik
untuk meningkatkan - Lakukan oral hygiene
nutrisi meningkat sebelum makan, jika
perlu
- Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
- Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
- Berikan makanan
tinggi protein dan
tinggi kalori
- Berikan suplemen
makanan, jika perlu

Edukasi
- Anjurkan posisi duduk,
jika mampu

Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untik menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
diperlukan, jika perlu.
SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0060 Risiko Intoleran Manajemen Energi
Aktivitas
Diharapkan setelah melakukan
intervensi selama 1x24 jam Tindakan:
Gejala dan Tanda klien dapat menunjukkan Observasi
Subjektif: kondisi baik dengan - Monitor respon
- Merasa lemah oksigen pasien
Kriteria Hasil: ( misalnya nadi,
Objektif: - Frekuensi pernapasan tekanan darah dan
- Tekanan darah saat beraktivitas tidak respirasi )saat
menurun terganggu perawatan maupun saat
melakukan perawatan
Kondisi klinis terkait: secara mandiri
- Monitor intake nutrisi
untuk mengetahui
sumber energy yang
adekuat
Terapeutik
- Anjurkan pasien untuk
memilih aktivitas-
aktivitas yang akan
dilakukan
Edukasi
- Instruksikan pasien
mengenai stress dan
koping intervensi
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
- Pilih intervensi untuk
mengurangi kelelahan
baik secara
farmakologis maupun
non farmakologis
dengan tepat.
- Konsulkan dengan ahli
gizi mengenai cara
meningkatkan intake
energy dari makanan
SDKI Edisi 1 SLKI Edisi 1 SIKI Edisi 1
D.0057 Keletihan L.05046 Tingkat keletihan I.2362 Edukasi
Aktivitas/Istirahat

Definisi : Definisi : Definisi :


Penurunan kapasitas kerja Kapasitas kerja fisik dan Mengajarkan pengaturan
fisik dan mental yang tidak mental yang tidak pulih aktivitas dan istirahat
pulih dengan istirahat dengan istirahat membaik
Tindakan:
Gejala dan Tanda Diharapkan setelah melakukan Observasi
Subjektif: intervensi selama 1x24 jam - Identifikasi kesiapan
- Merasa lemah klien dapat menunjukkan dan kemampuan
kondisi baik dengan menerima informasi
Kondisi klinis terkait:
- AIDS Kriteria Hasil: Edukasi
- Tenaga meningkat - Jelaskan pentingnya
- Verbalisasi lelah melakukan aktivitas
menurun fisik dan olahraga
- Lesu menurun - Ajarkan cara
mengidentifikasi
kebutuhan istirahat
- Anjurkan menyusun
jadwal aktivitas dan
istirahat
DAFTAR PUSTAKA

Black, M. J. & Hawks, H. J., (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Continuity Of Care, 8th ed. Philadephia: W.B. Saunders Company. Alih Bahasa dan
copyright oleh Singapore: Elsevier.
Chu, C., Pollock, L. C., Francisco, S., Francisco, S., Selwyn, C. P. A., Einstein, A., & York, N.
(2017). HIV-Associated Complications: A Systems-Based Approach. 96(3).

Hidayah, A., N., dkk. (2019). Manajemen HIV/AIDS. Surabaya: Airlangga University Prees

Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Keperawatan Medikal Bedah II.
Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Pusat Pendidikan Sumber
Daya Manusia Kesehatan .

Umum, H. S., Dalam, B. P., Sakit, R., & Moeloek, A. (2016). Pendekatan Diagnostik dan
Penatalaksanaan Pada Pasien Diagnostic and Treatment Approaches in Patients with HIV.

WHO. (2007). Who Case Definitions Of Hiv For Surveillance And Revised Clinical Staging And
Immunological Classification Of Hiv-Related Disease In Adults And Children. France:
WHO.
Purwanto, H. (2016). MODUL BAHAN AJAR CETAK KEPERAWATAN; KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH II. Jakarta Selatan: Kemenkes RI.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan
(1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi danKriteria Hasil
Keperawatan (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN SOP INTERVENSI KASUS

“Nasal kanul/binasal kanula”

A. Definisi
Kanula nasal (prongs) merupakan alat sederhana untuk pemberian oksigen dengan
memasukkan dua cabang kecil kedalam hidung.

B. Tujuan
C. Indikasi & Kontraindikasi
Indikasi
1. Nasal kanul diberikan pada pasien PPOK (Paru-Paru Obstruksi Kronoik).
Kontraindikasi
1. Pada klien yang terdapat obstruksi nasal
2. Pada klien yang membutuhkan kecepatan aliran >6 L/menit dan konsentrasi
>44%
D. Persiapan Alat Dan Bahan
1. Kanula nasal
2. Selang oksigen
3. Humidifier
4. Water steril
5. Tabung oksigen dengan flowmeter
6. plester

E. Persiapan Pasien
1. Menjelaskan kepada pasien terkait tindakan dan tujuan dari tindakan
2. Mempersiapkan alat dan bahan

F. Tindakan (Intervensi Keperawatan)

Tahap Tindakan Rasional Gambar


Orientasi 1. Periksa catatan 1) memastikan
terapik medic ketepatan
2. Ucapkan salam pemberian terapi
terapeutik oksigen pada
3. Lakukan klien
evaluasi/validas 2) etik dengan
i pasien
4. Jelaskan 3) memastikan
prosedur yang ketepatan progam
akan dilakukan medic dengan
5. Alat – alat gejala klinis klien
didekatkan pada 4) menghindari
klien ansietas pada
pasien
5) Agar perawat
mampu
menjangkau alat
dengan mudah
selama tindakan

Interaksi/kerj 1. Cuci tangan 1) menghindari


a infeksi
nosocomial

2. Kaji adanya 2) mempercepat


tanda dan gejala penanganan agar
klinis dan secret efektif
pada jalan 3) mengetahui
napas kondisi fisik
3. Sambungkan pasien
kanula nasal
keselang
oksigen dan ke
sumber oksigen
4. Berikan aliran 4) Mengalirkan
oksigen sesuai oksigen ke kanula
dengan nasal.
kecepatan aliran
pada progam
medis dan
pastikan
berfungsi
dengan baik

5. -Selang tidak 5) Memberi oksigen


tertekuk dan sesuai dengan
sambungan kebutuhan pasien.
paten. 6) Memastikan
-Ada bahwa aliran
gelembung oksigen dari
udara pada humidifier dapat
humidifier. berfungsi dengan
-Terasa oksigen baik
keluar dari 7) Meningkatkan
kanula kenyamanan
6. Letakkan ujung pasien dan
kanula pada mengurangi
lubang hidung terjadinya iritasi
pasien. pada membrane
7. Atur pita elastic mukosa hidung
atau selang
plastic ke
kepala atau ke
bawah dagu
sampai kanula
pas dan
nyaman.
8) Mempertahankan
8. Beri plester letak nasal kanul
pada kanula agar tidak
dikedua sisi berpindah posisi.
wajah 9) Mempertahankan
9. Periksa kanula letak nasal kanul
setiap 8 jam. agar tidak
berpindah posisi.

10) Mengkaji
10. Pertahankan perkembangan
batas air pada pasien selama
botol humidifier pemberian
setiap waktu. oksigenasi.

11) Menjaga
11. Periksa jumlah kelembapan pada
kecepatan aliran membrane
oksigen dan mukosa hidung
program terapi pasien.
secara periodic 12) Mengetahui
sesuai respon kesesuaian dan
klien, biasanya ketepatan
tiap 1 jam pemberian
sekali. oksigen.
12. Kaji membran 13) menghindari
mukosa hidung adanya iritasi
dari adanya yang diakibatkan
iritasi dan beri pemasangan nasal
jelly untuk kanul dan
melembapkan kekeringan
membrane karena dorongan
mukosa jika oksigen
diperlukan
Terminasi 1) Bereskan alat 1) Agar alat dapat
digunakan dengan
baik pada
tindakan
selanjutnya

2) Mencuci 2) menjaga
tangan. kebersihan dan
menghindari
infeksi
nosocomial
3) Mencatat hasil 3) sebagai
tindakan yang pendokumentasia
telah dilakukan n dan alat
dan hasilnya pemantau
perkembangan
kondisi fisik klien

G. Hal- Hal yang perlu diperhatikan

1) Kanula nasal untuk mengalirkan oksigen dengan kecepatan aliran 1-6 L/menit,
untuk aliran ringan/rendah biasanya hanya 2-3 liter/ menit yang digunakan.
2) Membutuhkan pernapasan hidung.
3) Tidak dapat mengalirkan oksigen dengan konsentrasi > 44%.

H. Implikasi Keperawatan
Klien mengalami sesak nafas. Implikasi dari intervensi dalam hal ini yaitu nasal kanul
adalah diharapkan agar kemampuan mengidentifikasi faktor resiko, melakukan strategi
kontrol resiko, kemampuan menghindari faktor resiko, dan keluhan sesak menurun.
Selanjutnya dari intervensi diharapkan dapat diidentifikasi gejala yang tidak
menyenangkan, Kondisi hipoksia dapat teratasi. Frekuensi pernapasan kembali normal
dalam kisaran 14 – 20 kali per menit.
I. Sumber

1) Kurniawati, N. D., & Bakar, A. (2011). Pencegahan iritasi mukosa hidung pada
pasien yang mendapatkan oksigen nasal. Jurnal Ners, 6(2), 136–140.
2) O, T. O. (2017). Terapi oksigen (o 2 ). 2–28.
LAPORAN SOP INTERVENSI KASUS (2)

“Pemasangan Infus”
A. Definisi
Pemasangan infus adalah memasukkan cairan langsung ke dalam vena dalam jumlah
yang banyak dan dalam waktu yang lama.
B. Tujuan
1. Agar sejumlah cairan atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam
jangka waktu tertentu.
2. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.
3. Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit
4. Memperbaiki keseimbangan asam basa
5. Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena
6. Membantu pemberian nutrisi parenteral.

C. Indikasi & Kontraindikasi


Indikasi
1. Pasien yang kehilangan cairan akibat pendarahan
2. Pasien dehidrasi karena panas atau akibat suatu penyakit
3. Pasien yang kehilangan plasma akibat luka bakar yang luas.
4. Pasien pra & pasca bedah sesuai denga program pengobatan
Kontraindikasi
1. Terdapat inflamasi (bengkak, nyeri, demam), flebitis, skelerosis vena, luka bakar
dan infeksi di area yang hendak di pasang infus.
2. Pemasangan infus di daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal , terutama
pada pasien-pasien yang mempunyai penyakit ginjal karena lokasi ini dapat
digunakan untuk pemasangan fistula arteri – vena (A-V shunt) pada tindakan
hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan pada pembuluh vena (di lengan dan kaki)
D. Persiapan Alat Dan Bahan
1. Cairan infus, sesuai dengan kebutuhan pasien
2. Infus set
3. IV Khateter → Jarum infus, Abocath, Wing needle/Butterfly
4. Kapas Alkohol
5. Standar infus
6. Turniquit, plaster, gunting
7. Larutan antiseptic (Bethadine)
8. Sarung tangan
9. Perlak kecil, nierbekken

E. Persiapan Pasien
a. Monitoring keadaan umum pasien
1) Tingkat kesadaran
2) Tanda-tanda vital
3) Keadaan kulit atau turgor
b. Memberikan informasi kepada pasien
1) Kapan dan untuk apa diberikan infus
2) Berapa lama pemberian infus
3) Hal yang harus dilakukan selama pemasangan infus
4) Menjaga/mempertahankan tempat insersi agar tidak kotor/dikotori
5) Tidak boleh mengatur tetesan sendiri
6) Tidak boleh menarik selang sendiri
7) Bila ada yang dikeluhkan berhubungan dengan tempat insersi, harus
diberitahukan kepada perawat
F. Tindakan (Intervensi Keperawatan)

Tahap Tindakan Rasional Gambar


Orientasi 1. Periksa arahan 1. Mengurangi
dokter/ pastikan resiko terjadinya
tentang adanya kesalahan
order pengobatan 2. Bentuk
 Jenis larutan penghormatan dan
yang sopan santun
diperlukan kepada klien
 Jumlah cairan 3. Mengurangi resiko
yang terjadinya
diperlukan kesalahan dan
 Sediakan regim penjelasan yang
menurut waktu tepat dapat
yang mengurangi
ditentukan kecemasan klien
2. Memberi Salam serta dapat
3. Pastikan pasien memberikan
dengan betul dan kerjasama
beritahu tentang 4. Agar klien
tindakan yang akan mengetahui
dilakukan tindakan segera
4. Memberitahu pasien dilakukan
jika akan memulai 5. Agar perawat
tindakan mampu
5. Alat – alat menjangkau alat
didekatkan pada dengan mudah
klien selama tindakan
Interaksi/ Kerja 1. Cuci tangan 1. Mengurangi
transmisi
Mikroorganisme

2. Atur peralatan 2. Agar prosedur


dalam bak dapat dilakukan
instrumen dan secara sistematis
letakkan di samping
tempat tidur pasien

3. Periksa cairan yang 3. Mencegah


akan digunakan terjadinya infeksi
 Tanggal atau timbulnya
kadaluarsa reaksi tubuh
 Kandungan terhadap cairan
cairan : 4. Mecegah
kejernihan, ada terjadinya infeksi
endapan, benda atau timbulnya
asing reaksi tubuh
 Kebocoran terhadap cairan
plastik/
keretakan kaca
pada botol infus
4. Periksa infus set
 Tanggal
kadaluarsa
 Apakah
pembungkus set
infus robek
(tidak steril)

5. Buka botol infus dan


infus set dari 5. Mencegah bakteri
kantongnya, memasuki
pertahankan peralatan infus dan
sterilisasi keduanya aliran darah

6. Pasang klem sekitar 6. Memudahkan


2-4 cm di bawah pengaturan
drip dan pindahkan kecepatan aliran
klem roll pada posisi dan posisi off
off cegah penetasan

7. Lepaskan penutup 7. Mempertahankan


botol infus tanpa kestrerilan larutan
menyentuh
lubangnya lalu
tusukkan set infus
kedalam botol cairan

8. Pasang/ gantungkan 8. Memudahkan


botol infus pada pengaliran cairan
standar infus
9. Pencet drip/ 9. Efek penghisapan
penampung pada cairan berpindah
selang infus masuk ke ruang
sehingga cairan drip untuk
masuk ke drip mencegah udara
sampai tanda batas, masuk ke selang.
lalu buka klem dan
alirkan sampai
memenuhi selang.
Klem roll ke posisi
off

10. Hilangkan udara 10. Udara dapat


pada selang masuk ke
dengan cara pembuluh darah
meluruskan selang dan menyebabkan
tegak lurus dan emboli
menjentik-jentik
dengan ujung jari.
Pastikan bahwa
dalam selang
bersih dari
gelembung udara

11. Atur posisi pasien 11. Memberikan rasa


rileks dengan nyaman dan
tangan lurus, memudahkan
letakkan perlak perawat bekerja.
kecil di bawah Menghindari kain/
tangan sprei terkena darah

12. Kaji tempat 12. Bila terjadi


penusukan vena. sclerosis atau
Pilih tempat distal kerusakan pada
vena yang vena, tempat
digunakan proksimal dari
vena yang sama
masih dapat
digunakan

13. Bila daerah 13. Rambut


penusukan banyak merupakan
rambut, cukur atau sumber
gunting daerah penyebaran
tersebut Mikroorganisme

14. Pasang turniket di 14. Membendung


atas vena yang aliran darah
akan ditusuk 10-12 sehingga vena
cm (5-6 inchi) dan distensi dan
anjurkan pasien memudahkan
untuk vena terlihat
menggenggam erat dengan jelas,
sampai vena dapat dipalpasi
distensi dan dan mudah
tampak dengan ditusuk
jelas. Bila vena
belum tampak,
perawat dapat
menepuk-nepuk
area vena sambil
menganjurkan
pasien membuka
dan menutup
genggaman sampai
vena tampak jelas

15. Pasang sarung 15. Menurunkan


tangan resiko penularan
terhadap HIV,
hepatitis,
organisme
melalui darah
16. Disinfeksi/ 16. Membawa
bersihkan area mikroorganisme
yang akan ditusuk menjauhi pusat
dengan kapas penusukan
alkohol dengan
gerakan sirkular
(satu kali sapuan)

17. Gunakan tangan 17. Mencegah


yang tidak bergesernya vena
dominan untuk ketika jarum
menekan vena di dimasukkan
bawah daerah
penusukan kurang
lebih 1-2 inchi

18. Tusukkan abocath 18. Memudahkan


pada vena dengan jarum masuk ke
sudut 30⁰ sejajar vena dan
dengan vena. meminimalkan
Setelah ujung trauma
jarum masuk vena,
rendahkan sudut
jarum hampir
sejajar dengan
vena

19. Abocath kemudian 19. Jika darah telah


diteruskan masuk berada di lumen
ke vena dan tangan jarum berarti
yang tidak jarum telah masuk
memegang ke vena, karena
digunakan untuk pembendungan
mengontrol letak dengan turniket
jarum dengan
palpasi vena dari
luar. Jika darah
telah memasuki
lumen jarum
dorong perlahan-
lahan sampai
posisi tepat. (satu
tangan mendorong
abocath sampai
menempel dengan
tempat penusukan
sementara tangan
yang lain menarik
mandarin/ stylet ke
luar

20. Tahan abocath 20. menyebabkan


dengan satu tekanan naik
tangan, lepaskan sehingga
turniket dengan mengakibatkan
cepat hubungkan darah mengisi
dengan selang lumen jarum
infus/ three way/
stopper

21. Lepaskan klem 21. Mengurangi


roller dan kepalan perdarahan dan
tangan sehingga mempertahankan
cairan segera posisi jarum
mengalir

22. Setelah yakin aliran 22. Memungkinkan


lancar, tutup area aliran vena dan
penusukan dengan mencegah
kasa dan betadin pembekuan pada
lalu pasang plaster aliran infus
23. Atur kecepatan 23. Mempertahankan
tetesan infus sesuai posisi jarum dan
order mencegah infeksi

24. Lepaskan sarung 24. Intake cairan dan


tangan, elektrolit adekuat

Terminasi 1. Bereskan alat 1. Agar alat dapat


digunakan dengan
baik pada tindakan
selanjutnya

2. Mengurangi
2. Cuci tangan transmisi
mikroorganisme

3. Mendokumentasik
3. Catat tindakan an semua tindakan
perawat secara sebagai tanggung
singkat dan jelas jawab dan
seperti tanggal tanggung gugat
pemasangan, jenis
dan jumlah cairan perawat
yang digunakan

G. Hal- Hal yang perlu diperhatikan


1. Senantiasa memeriksa lokasi infus untuk mengesan tanda-tanda infeksi
2. Pastikan infus berjalan lancar
a. Selang : tidak ada udara/darah beku di dalamnya yang menghalang pengaliran
cairan serta selang tidak terbelit
b. Pastikan pasien tidak menindih selang infus, kedudukan tangan/anggota badan
yang dipasangi infus dalam posisi yang betul, pada anak2/bayi perlu dipasangi
spalk
3. Pastikan drip chamber tidak kosong senantiasa terisi cairan ½ chamber untuk
menghindari udara masuk kedalam aliran darah
4. Senantiasa memperhatikan tetesan cairan
a. Kadar tetesan sesuai regim/order
b. Hindari tetesan terlalu cepat karena dapat menyebabkan masalah pada paru-paru
dan jantung
c. Hindari tetesan terlalu lambat karena intake cairan dan elektrolit tidak adekuat
5. Pastikan botol infus tidak kosong
a. Sediakan botol infus yang baru sesuai dgn regim/order
b. Tukar botol drip sebelum kosong untuk menghindari udara masuk kedalam
selang. Tukar cairan apabila berada pada leher botol

H. Implikasi Keperawatan
Klien yang mengalami kanker lemas, Klien mengalami nafsu makan menurun
karena selalu merasa mual. Lidah klien tampak berwarna putih.Implikasi dari intervensi
dalam hal ini yaitu pemasangan infus adalah diharapkan agar kemampuan
mengidentifikasi faktor resiko, melakukan strategi kontrol resiko, kemampuan
menghindari faktor resiko, dan keluhan nyeri menurun. Selanjutnya dari intervensi
diharapkan dapat diidentifikasi gejala yang tidak menyenangkan, identifikasi masalah
emosional dan spiritual, monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik,
Keseimbangan intake dan output pasien terpenuhi, Turgor kulit pasien kembali normal,
Kelembaban membrane mukosa pasien kembali normal.

I. Daftar Pustaka
a. Ariningrum, D., & Subandono, J. (2018, Juli). skillslab.fk.uns.ac.id. Retrieved
Oktober 5, 2020, from https://skillslab.fk.uns.ac.id/wp-
content/uploads/2018/08/Pemasangan-infus-2018-smt-7.pdf
b. Mulhaeriah (2018). PANDUAN CLINICAL SKILL LEARNING KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH I.

Anda mungkin juga menyukai