Kepada Yth.
Mengetahui,
ASEP SULAEMAN
KETUA PAC PP SUMEDANG SELATAN
PEMUDA PANCASILA
LAMPIRAN
Dalam upaya melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan guna mewujudkan pembangunan
berwawasan lingkungan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian direvisi kembali menjadi UU No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tiga kali revisi UU tersebut belum
efektif dalam menurunkan kerusakan lingkungan secara signifikan. Salah satu instrumen untuk
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diatur dalam UU.32/2009 pasal 14
berupa Amdal. . Dalam UU 32/2009 pasal 22 (1) disebutkan bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan
yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal”. Sedangkan pada pasal 24
disebutkan bahwa “Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar
penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup”. Surat keputusan kelayakan lingkungan ini
selanjutnya dijadikan dasar untuk menerbitkan Izin Lingkungan sebagaimana yang tercantum pada pasal
36 (1) bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKLUPL wajib memiliki
izin lingkungan; (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-
UPL. Sangat disayangkan dalam praktiknya Amdal tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Menurut Pada PP no 27/2012 tentang Izin Lingkungan, di Pasal 4 (1) disebutkan bahwa “Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disusun oleh Pemrakarsa pada tahap perencanaan suatu
usaha dan/atau kegiatan”. Lebih jauh dalam penjelasannya pasal 4 Ayat (1) bahwa Amdal merupakan
instrumen untuk merencanakan tindakan preventif terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas pembangunan. Mengingat fungsinya sebagai salah satu
instrumen dalam perencanaan usaha dan/atau kegiatan, penyusunan Amdal tidak dilakukan setelah
usaha dan/atau kegiatan dilaksanakan. Penyusunan Amdal yang dimaksud dalam ayat ini dilakukan
pada tahap studi kelayakan atau desain detil rekayasa. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya dokumen Amdal diperlukan untuk menilai apakah suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut layak atau tidak layak lingkungan. Suatu hal yang sangat janggal bila suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan sudah ditetapkan dan bahkan sudah dilelang pembangunannya, sementara
kelayakan lingkungannya belum jelas. Akibat dari lelang yang mendahului kajian Amdal, maka sering kali
hasil kajian Amdal diarahkan harus layak lingkungan.
Dalam penegakan hukum di indonesian Sanksi hukum terhadap berbagai pelanggaran Amdal dan izin
lingkungan sebenarnya diakomodasi pada UU.32/2009. Pada pasal 37 (2) disebutkan bahwa izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan yang
diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta
ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi; dan pada butir c disebutkan
bahwa “kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan”. Sementara itu pada pasal 109 disebutkan bahwa “Setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pertanyaan yang timbul di desa margalaksana terkait dengan proyek pembangunan relokasi bencana,
dalam hal ini yang melibatkan BPBD (badan penanggulangan bencana daerah)