Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN FRAKTUR CERVICAL

Disusun guna memenuhi tugas stase Keperawatan Bedah

Oleh:
Sindi Aieska Putri, S.Kep.
NIM. 202311101182

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Sindi Arieska Putri


NIM : 202311101182
Judul : LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN FRAKTUR
CERVICAL

telah diperiksa dan disahkan pada :

Hari :
Tanggal : April 2021

Jember, April 2021

Pembimbing Akademik Mahasiswa

Ns.Kushariyadi, M.Kep Sindi Arieska Putri, S. Kep


NIM 202311101182
NIP
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori
1. Anatomi dan Fisiologi
Cervical adalah bagian dari tulang belakang, tepat di bawah kepala sampai
leher. Cervical terdiri dari 8 corpus vertebra. Vertebra cervical I juga disebut atlas,
pada dasarnya berbeda dengan lainnya karena tidak mempunyai corpus vertebra
oleh karena pada atlas dilukiskan adanya arcus anterior terdapat permukaan sendi,
fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus posterior untuk lewatan arcus posterior
untuk lewatnya arteri vertebralis. Vertebra cervical II juga disebut aksis, berbeda
dengan vertebra cervical ke 3 sampai ke 6 karena adanya dens atau processus
odontoid. Pada permukaan cranial corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi,
dens yang ujungnya bulat, aspek dentis. Vertebra cervical III-V processus
spinosus bercabang dua. Foramen transversarium membagi processus transversus
menjadi tuberculum anterior dan posterior. Lateral foramen transversarium
terdapat sulcus nervi spinalis, didahului oleh nervi spinalis. Vertebra cervical VI
perbedaan dengan vertebra cervical I sampai dengan cervical V adalah tuberculum
caroticum, karena dekat dengan arteri carotico. Vertebra cervical VII merupakan
processus spinosus yang besar, yang biasanya dapat diraba sebagai processus
spinosus columna vertebralis yang tertinggi, oleh karena itu dinamakan vertebra
prominens (Sjamsuhidayat, 2005).

2. Definisi
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang umumnya diakibatkan oleh
adanya trauma (Tambayong, 2000). Cedera tulang belakang adalah cedera
mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 2007).
Menurut Muttaqin (2013), trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada
tulang belakang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi,
subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada
medula spinalis daerah servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu
struktur dari tulang servikal. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang
belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk
menjaga leher. Fraktur ini dapat terjadi karena adanya trauma dan sangat
berbahaya karena bisa mengganggu sistem saraf yang terdapat pada vertebra. Hal
ini dapat mengakibatkan gangguan-gangguan neurologis, bahkan fraktur pada
tulang leher bisa menyebabkan seorang anak mengalami lumpuh (Rahmatisa,
2019).

3. Epidemiologi
Menurut Widhiyanto dkk (2019) berdasarkan data tahun 2014 – 2017
didapatkan sebanyak 442 pasien mengalami fraktur vertebra di RS Dr. Soetomo
Surabaya, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 3,3:1. Rata-rata
usia pasien adalah 43,6 tahun. Penyebab fraktur vertebra adalah akibat jatuh dari
ketinggian (38%), kecelakaan lalu lintas (34%) dan benturan langsung/tertimpa
beban (10%). Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan
kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja.
Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan
C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.

4. Klasifikasi Fraktur Servikal


Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area servikal, serta
cidera spinal dibawah leher menurut Oshlag (2018) :
1. Fraktur Jefferson
Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi, yaitu
anterior dan yang lain lateral. Kebanyakan hal ini terjadi karena pukulan pada
kepala di daerah verteks. Apabila patahan tulang (bagian lateral) tampak bergeser
lebih dari 7 mm pada foto proyeksi frontal, kemungkinan ligamen transversumnya
robek. Konfirmasi mengenai cidera ligamentum ini dipastikan berdasarkan adanya
gerakan abnormal antara odontoid, dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Gejala
klinis fraktur atlas biasanya hanya berupa nyeri local dan jarang defisit neurologis.
Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah
pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk kasus dengan
ligamen ikut cidera. Tindakan operasinya adalah fraksi diantara oksiput dengan
lamina dan pada saat pasca bedah dipasang jaket halo.
2. Fraktur Prosesus Odontoid
Fraktur prosesus odontoid biasanya merupakan akibat trauma hebat pada
kepala di daerah oksiput. Pada awalnya fraktur ini jarang menimbulkan defisit
neurologis. Fraktur prosesus odontoid C2 diklasifikasikan berdasarkan lokasi
anatomis garis frakturnya :
a. Fraktur tipe I mempunyai garis fraktur pada bagian atas odontoid dekat
perletakan ligamentum alaris, dengan demikian sering kali tampak sebagai
suatu fraktur avulsi.
b. Fraktur tipe II terjadi pada leher odontoid diaman dens menempel pada
korpus C2. Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II dilakukan dengan
mengikat lamina C1 dan prosesus spinosus C2, atau memasang klem halifax.
Prosedur alternatif lain yang dapat diterapkandengan memasang sekrup
melalui sumbu tulang ke dalam prosesus odontoid melalui pendekatan
anterolateral dan pemantauan fluroskopi.
c. Fraktur tipe III adalah yang paling sering dijumpai, paling tidak stabil dan
kerap mengalami non – union. Fraktur ini akan pulih hanya dengan stabilisasi
melalui pemasangan traksi servikal.
3. Dislokasi Odontoid
Dens dapat mengalami dislokasi sebagai akibat abnormalitas kongenital,
trauma ligamentum krusiatum, proses inflamasi (reumatoid artritis, infeksi
retrofaring) atau pada kasus sindroma down. Jarak normal antara dens dan cincin
anterior atlas pada anak-anak maksimal 5,4 mm dan tidak boleh lebih dari 2,5 mm
pada dewasa. Pergeseran yang lebih dari 5mm perlu dicurigai akan adanya
robekan ligamentum alaris, dan bila didiamkan dapat menimbulkan kompresi
pada medulla atau di atas foramen magnum. Penanganan yang ideal adalah upaya
mengurangi pergeseran tadi dan melakukan fusi posterior.
5. Fraktur Hagman
Fraktur Hagman merupakan fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai
translokasi anterior corpus C2 (di atas C3). Biasanya fraktur ini terjadi akibat
hiperekstensi leher. Disebut faktur hangnam karena sesuai dengan kelainan yang
terjadi pada seseorang yang dihukum gantung dengan tali menggunakan simpul di
depn dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit neurologis mengingat fraktur
menimbulkan pemisahan antara corpus C2 dengan elemen posterior.
Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe :
a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau angulasi disini
hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan pemasangan collar neck.
b. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan
penanganannya adalah pemasangan jaket halo.
c. Tipe III adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2 bilateral dan
sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu dioperasi untuk stabilisasi.
5. Fraktur Teardrop Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan
vertebra anterior bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).

6. Etiologi
Menurut Harrison (2009) dalam Wibowo (2015) fraktur servikal dapat
disebabkan oleh beberapa hal berikut :
1. Faktor Presipitasi dan Presdiposisi
A) Faktor Presipitasi
1. Kekerasan langsung menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan atau kekuatan yang tiba-tiba dan yang dapat berupa pukulan,
penghancuran, penekukan, penarikan berlebihan. Bila terkena kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak
juga rusak.
2. Kekerasan Tidak Langsung menyebabakan tulang patah di tempat yang
jauh dari tempat terjdinya kecelakaan atau kekerasan, dan biasanya yang
patah adalah bagian yang lemah jalur hantaman vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot patah tulang oleh karena yang jarang terjadi.
B) Faktor presdiposisi
1. Faktor entrinstik merupakan adanya gaya dari luar yang bereaksi pada
tulang serta tergantung dari besarnya, waktu atau lamanya dan arah gaya
tersebut dapat menyebabkan patah tulang.
2. Faktor Intrinsik merupakan beberapa sifat penting dari tulang yang
menentukan daya tahan timbulnya fraktur, yakni kapasitas absorbsi dari
sendi, daya elastisitas, daya terhadap kelelahan dan aktivitas atau
kepadatan, usia lanjut (Ivones, 2011).

7. Manifestasi Klinis
Menurut Sujana dan Mahardika (2016) manifestasi fraktur secara umum
tampak dengan dilakukan pemeriksaan look, feel dan move :
1. Look dengan cara melihat edema atau pembengkakan, deformitas atau
perubahan bentuk, echimosis karena ekstravasasi darah dalam jaringan
subkutan.
2. Feel dengan cara meraba atau merasakan. pada daerah fraktur karena terjadi
peningkatan metabolism yang membuat kulit terasa hangat, nyeri karena
spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung pada
jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada daerah
fraktur.
3. Move: kehilangan fungsi dan krepitasi.
Adapun manifestasi klinis fraktur vertebrae pada cervical yaitu:
1. C1 – C3 : gangguan fungsi diafragma dalam bernapas.
2. C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas.
3. C5: gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan.
4. C6: gangguan fungsi tangan secara komplit.
5. C7: gangguan fungsi jari serta otot trisep.
8. Patofisiologi
Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup
menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya terjadi
disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut.
Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah di tempat tersebut.Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin
(hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru.
Aktifitas osteoblas segera terangsang dan membentuk tulang baru imatur yang
disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan
lahan mengalami remodeling untuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan
kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan
beberapa minggu sampai beberapa bulan (Apley, 2009 dalam Wibowo, 2015).
Clinical Pathway

Cedera Fleksi Cedera Cedera


Cedera Fleksi
Rotasi Ekstensi Kompresi

Fraktur
Servikal

C1-C2 C3-C5 C4-C7 C5-C7

Kerusakan Kerusakan
Pengarus pada otot
nervus tulang servikal
Kerusakan atlanto- Kerusakan nafas (intercosta,
oksipitalis batang otak frenikus parasternal,scalenus)
Penjepitan dan otot abdominal
medulla spinalis (diafragma, trazius
Hilangnya inervasi oleh legamentum
Ketidakmampuan Gangguan proctalis mayor)
otot pernapasan flavum posterior
menggerakkan regulasi pusat
aksesori dan
kepala pernafasan
interkosta
Kompresi Pola Nafas
material diskus Tidak Efektif
Penurunan anterior
Kerusakan Gagguan compliance
Mobilitas Fisik Ventilasi paru
Spontan Stimulasi
pelepasan
mediator kimia
Gangguan refluks Pola Nafas
gastrointestinal Tidak Efektif Kerusakan
myelin dan
akson
Resiko
Kebutuhan
Aspirasi Gangguan saraf
penggunaan
ventilator sensorik dan
motorik
Resiko Pemasangan
Infeksi intubasi atau Kerusakan
trakeostomi mobilitas fisik

Imobilitas Defisit
Kerusakan Ketidakefektifan lama Perawatan Diri
Komunikasi bersihan jalan
Verbal nafas
Resiko
Infeksi
9. Komplikasi
Menurut Emma (2011), komplikasi pada trauma servikal adalah :

1) Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang


desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangantonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantungsehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2) Syok spinal merupakan keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akantampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3) Hipoventilasi disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan
hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal
bawah atau torakal atas.
4) Hiperfleksia autonomic dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut,
keringat banyak kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi

10. Pemeriksaan Penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menentukan
diagnosis trauma cervikal antara lain (American Associtaion Neurological
Surgeon, 2018) :
1. Sinar X – Rays. Secara historis, diagnosis radiologis trauma cervikal dimulai
dengan sinarX. Namun, dengan kemajuan teknologi di rumah sakit, seluruh
tulang belakang dapat dicitrakan dengan tomografi terkomputerisasi (CT atau
CAT scan) sebagai skrining awal untuk mengidentifikasi patah tulang dan
kelainan tulang lainnya.
2. CT Scanning. CT scan lebih sensitif daripada radiografi sehingga menjadi
pilihan menggunakan CT scan akan memberikan gambaran yang lebih baik
dengan deskripsi cedera yang lebih jelas.
3. MRI. MRI berguna untuk melihat sumsum tulang belakang itu sendiri serta
untuk mendeteksi adanya gumpalan darah, cakram hernia atau massa lain
yang mungkin menekan sumsum tulang belakang.
4. GDA. Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

11. Penatalaksanaan Fraktur Servikal


Menurut Muttaqin (2013) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan) Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas
untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat
fraktur leher akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi/Reposisi). Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk
memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali
lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat
dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi
fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).Dalam penatalaksanaan
fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yakni :
a. Reduksi Tertutup / ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Reduksi
fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Sebelum dilakukan reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut dan hati-hati untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b. Reduksi Terbuka / OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) Pada
Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa
dikenal dengan OREF, tindakan ini biasanya dilakukan pada fraktur yang
terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan
fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan
dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan
penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada
tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Namun dapat
juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang
paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial
batang.
3. Retensi (Immobilisasi)
Retensi dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimnal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fikasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen
tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang
pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan
satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Prinsip penggunaan teknik
adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada proksimal dan distal
terhadap daerah atau zona trauma. Pin-pin tersbut kemudian dihubungkan satu
sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi
untuk mentsabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskletalatau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak.
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk
meluruskan bentuk tulang. Terdiri dari dua macam, yakni :
a. Skin Traksi menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester
langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan
spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka
pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi. Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
Pada status emergensi klien dengan riwayat trauma servikal yang jelas dan
diindikasikan cedera spinal tidak stabil, apabila pengkajian dapat dilakukan maka
status jalan napas klien optimal dan pengkajian diusahakan terfokus pada
pengkajian primer. Hal ini dilakukan karena pada fase ini klien beresiko tinggi
untuk mengalami kompresi korda yang berdampak pada henti jantung paru.
Implikasi dari situasi ini adalah pengkajian primer dilakukan disertai intervensi
dengan suatu hal prinsip untuk selalu menjaga posisi leher atau servikal dalam
posisi netral dan kalau perlu klien dipasang ban servikal. Apabila pada kondisi
ditempat kejadian dimana klien masih memakai helm, maka diperlukan teknik
melepas helm dengan tetap menjaga posisi leher dalam posisi netral. Dalam
melakukan transportasi dari tempat kejadian ke tempat intervensi lanjutan trauma
servikal di rumah sakit, perawat harus melakukan secara hati-hati. Selain itu, perlu
dilakukan monitoring dan kolaborasi untuk secepatnya dilakukan stabilisasi.
4. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan dengan tujuan aktivasi fungsional semaksimal
mungkin dalam menghindari atropi dan kontraktur. Bila keadaan pasien
memungkinkan maka harus segera dilakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
12. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku
bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang membuat pasien datang ke rumah sakit. Pada kasus-kasus
fraktur biasanya keluhan utama yang dirasakan yaitu sakit yang sangat pada
daerah terjadinya fraktur.
1. Mulai timbulnya keluhan atau waktu terjadinya fraktur.
2. Sifat keluhan, biasanya pasien mengeluh sakit yang sangat parah di daerah
lokasi fraktur dan bahkan pasien tidak dapat berjalan sendiri.
3. Lokasi fraktur atau nyeri yang dirasakan pasien.
4. Keluhan lain yang menyertai, apabila terjadi perdarahan hebat biasanya
pasien merasa pusing atau bahkan pingsan.
5. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan seperti dibawa
ke tukang pijit atau diberikan obat-obatan analgesic untuk mengatasi nyeri
sementara.
c. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat penyakit sekarang
Klien biasanya nyeri pada bagian yang mengalami fraktur di area humerus.
Nyeri dimulai ketika fraktur terjadi, fraktur biasanya terjadi karena trauma
langsung seperti kecelakaan ataupun karena trauma tidak langsung seperti
osteoporosis. Fraktur akibat trauma langsung dan tidak langsung (kecelakaan,
jatuh dari ketinggian, cidera olahraga dan lain-lain) dan fraktur patologis.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Menentukan penyebab fraktur dan memberi petunjuk tentang lamanya tulang
untuk menyambung. Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s menyebabkan fraktur patologis sulit untuk menyambung. Diabetes
dapat menghambat proses penyembuhan tulang. Riwayar fraktur sebelumnya,
riwayat trauma.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Bukan merupakan penyakit yang degenerative. Penyakit keluarga yang
berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur seperti diabetes, osteoporosis dan kanker
tulang.
d. Alergi
Lakukan pengkajian adanya riwayat alergi terutama terhadap obat-obatan
atau makanan. Kemudian tanyakan pula reaksi yang ditimbulkan apabila
terjad alergi, dan tindakan apa yang dilakukan pasien saat terjadi alergi.
e. Kebiasaan
Tanyakan kebiasaan pasien sehari-hari, serta tanyakan berapa lama kebiasaan
tersebut dilakukan.
1. Merokok (berapa batang /bungkus sehari)
2. Minum alkohol
3. Minum kopi
4. Minum obat-obatan
f. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi kesehatan & pemeliharaan kesehatan, meliputi kebiasaan hidup klien
seperti penggunaan obat steroid yang mengganggu metabolism kalsium,
mengkonsumsi alcohol yang bisa mengganggu keseimbangan dan kebiasaan
klien melakukan olahraga.
2. Pola nutrisi/metabolik terdiri dari antropometri, biomedical sign, clinical sign,
diet pattern. Klien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebih
kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan.
3. Pola eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, bau,
karakter).
4. Pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living, status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen. Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak
menyebabkan semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan klien
membutuhkan bantuan orang lain.
5. Pola tidur & istirahat: durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur. Klien
fraktur akan mengalami nyeri, keterbatasan gerak sehingga menggangu waktu
tidur dan istirahat klien.
6. Pola kognitif & perceptual: fungsi kognitif dan memori, fungsi dan keadaan
indera. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada indra peraba terutama
pada bagian distal fraktur.
7. Pola persepsi diri: gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri. Dampak yang timbul pada klien yang mengalami fraktur yaitu
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan akan dirinya yang
salah.
8. Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi. Klien
tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan keterbatasan gerak serta nyeri yang dialami.
9. Pola peran & hubungan, klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
10. Pola manajemen & koping stress. Mekanisme koping yang dialami klien
dapat menjadi tidak efektif akibat ketakutan klien akan kecacatan yang dapat
timbul pada dirinya.
11. Sistem nilai dan keyakinan. Klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama terhadap frekuensi dan
konsentrasi dalam beribadah akibat nyeri dan keterbatasan gerak.
g. Pemerikasaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui keadaan fraktur yang dialami
pasien secara lebih jelas. Pemeriksaan fisik meliputi primary survey dan
secondary survey.
1. Keadaan umum, tanda vital.
2. Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata, telinga,
hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit dan kuku,
dan keadaan lokal.
3. Pemeriksaan fraktur
a. Look/inspeksi
1. Bandingkan dengan bagian yang sehat.
2. Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan.
3. Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
4. Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka.
5. Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan.
6. Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organorgan lain.
7. Keadaan vaskularisasi
b. Feel/palpasi Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita
biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Nyeri tekan.
2. Krepitasi.
3. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma.
4. Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Move/gerakan
1. Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma.
2. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan
nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
3. Move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan,
tetapi ini bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul
oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung tulangkortikal. Pada
tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.
4. Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang
tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan serta kita
melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada gerakan tidak
normal atau tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang
tidak terjadi pada sendi, misalnya pertengahan femur dapat
digerakkan. Ini adalah bukti paling penting adanya fraktur yang
membuktikan adanya putusnya kontinuitas tulang sesuaidefinisi
fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya bila tidak
ada fasilitas pemeriksaan rontgen
h. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur.
2. X ray digunakan untuk menentukan jenis fraktur dan mekanisme
terjadinya trauma. Umumnya menggunakan proyeksi anteroposterior dan
lateral.
3. CT scan dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi tulang
khusunya pada cedera plafon.
4. MRI digunakan untuk mengkaji adanya cedera pada tulang rawan,
ligament dan tendon.

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan SDKI diagnosa keperawatan pada pasien dengan fraktur vertebra
antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera fisik ditandai dengan perubahan
selera makan, perubahan pada parameter fisiologis, diaphoresis, perilaku
distraksi, perilaku ekspresif, ekspresi wajah nyeri, sikap melindungi area
nyeri, laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas, keluhan tentang
intensitas menggunakan standar skala nyeri dan keluhan tentang karakteristik
nyeri dengan menggunakan standar instrumen nyeri.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Kerusakan nervus frenikus.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri akibat kerusakan
integritas struktur tulang ditandai dengan penurunan keterampilan motoric
halus dan motoric kasar, penurunan rentang gerak, kesulitan membolakbalik
posisi, instabilitas postur.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan akibat gangguan
muskuloskeletal ditandai dengan ketidakmampuan mengakses kamar mandi,
ketidakmampuan menjangkau sumber air, ketidakmampuan membasuh tubuh.
5. Gangguan intergritas kulit/ jaringan berhubungan dengan Laserasi kulit akibat
trauma.
6. Risiko Dekubitus berhubungan dengan imobilitas yang lama.
7. Risiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Edukasi Manajemen Nyeri (I.12391)
Pengalaman sensoris atau emosional 12 jam jam, nyeri akut pada pasien dapat - Identifikasi kesiapan dan kemampuan
yang berkaitan dengan kerusakan teratasi, dengan kriteria hasil: menerima informasi
jaringan aktualatau fungsional dengan - Sediakan materi dan media pendidikan
onset mendadak atau lambat dan No Indikator 1 2 3 4 5 kesehatan
berintensitas ringan hingga berat 1 Nyeri waktu √ - Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
berlangsung kurang dari 3 bulan. berkurang kesepakatan
Penyebab - Berikan kesempatan untuk bertanya
Agen cedara fisiologi 2 Pasien √ - Jelaskan penyebab, peride, dan strategi
( inflamsi,iskemia, neoplasma Agen menunjukkan meredakan nyeri
pencedera kimiawi (terbakar, bahan tanda-tanda - Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
kimia iritan) Agen Pencedera fisik kenyamanan / - Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk
(abses, amputasi, terbakar, terpotong, tidak ada nyeri mengurang nyeri
mengankata berat, prosedur operasi, 3 Tanda-tanda √ Manajemen nyeri (I.08238)
trauma, latihan fisik) vital normal - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Gejala dan Tanda Mayor frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
Subjektif Keterangan - Identifikasi skala nyeri
- Mengeluh nyeri 1. Menurun - Identifikasi respon nyeri non verbal
Objektif 2. Cukup menurun - Identifikasi factor yang memperberat
- Tampak meringis 3. Sedang atau memperingan nyeri
- Bersikap proteksi 4. Cukup meningkat - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
- Gelisah 5. Meningkat hidup
- Nadi meningkat - Monitor efek samping pemberian
- Sulit tidur analgesic
Gejala dan Tanda Minor Objektif - Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
- Tekanan darah meningkat dalam pemilihan strategi meredakan
- Pola nafas berubah nyeri  Kolaborasi pemberian analgetik,
- Nafsu makan berubah jika perlu
- Proses berpikir tergangg
- Menarik diri
- Berfokus pada diri sendiri
2. Pola Nafas Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen jalan nafas
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak ... x 24 jam, pola nafas tidak efektif pada pasien - Monitor pola nafas
memberikan ventilasi adekuat dapat teratasi, dengan kriteria hasil: - Monitor bunyi nafas tambahan
Penyebab - Monitor sputum
- Depresi pusat pernapasan No Indikator 1 2 3 4 5 - Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Hambatan upaya nafas 1 Tekanan √ - Posisikan semi-fowler atau fowler
- Deformitas dinding dada ekspirasi dan - Berikan minum hangat
- Deformitas tulang dada Inspirasi - Lakukan fisioterapi dada bila perlu
- Gangguan neuromuscular - Lakukan penghisapan lender
- Gangguan neurologis 2 Ventialsi √ - Ajarkan teknik batuk efektif
- Penurunan energy semenit - Kolaborasi bronkodilator, ekspetoran,
- Obesitas 3 Kapasitas vital √ mukolitik, jika perlu Pemantauan
- Posisi yang menghambat ekspansi Respirasi
paru - Monitor pola nafas
- Sindrom hipoventilasi - Monitor kemampuan batuk efektif
- Kerusakan inervasi diagfragma Keterangan - Monitor adanya sputum
(kerusakan saraf C5 keatas) 1. Menurun - Monitr adanya sumbatan jalan nafas
- Cedera pada medula spinalis 2. Cukup menurun - Monitor nilai AGD Monitor hasil x-ray
- Efek agen farmakologi 3. Sedang thoraks
- Kecemasan 4. Cukup meningkat
Gejala dan Tanda Mayor 5. Meningkat
Subjektif
- Dispnea Objektif
- Penggunaan otot bantu pernafasan No Indikator 1 2 3 4 5
- Fase ekspirasi memanjang 1 Dispnea √
- Pola nafas abnormal
Gejalan dan Tanda Minor 2 Pemanjangan √
Subjektif fase ekspirasi
- Ortopnea Objektif 3 Pernafasan √
- Pernapasan pursed-lip cuping hidung
- Pernapasan cuping hidung
- Ventilasi semenit menurun
- Kapasitas vital menurun Keterangan
- Tekanan ekspirasi dan inspirasi 1. Meningkat
menurun 2. Cukup meningkat
- Ekskursi dada berubah 3. Sedang
4. Cukup menurun
5. Menurun

3. Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Dukungan Ambulasi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari 3x24 jam, gangguan mobilitas fisik pada pasien - Sediakan tempat tidur yang rendah
satu atau lebih ekstremitas secara dapat teratasi, dengan kriteria hasil: dan sesuai
mandiri - Bantu pasien untuk duduk di sisi
Penyebab No Indikator 1 2 3 4 5 tempat tidur untuk memfasilitasi
- Kerusakan integritas strukter tulang 1 Penggerakan √ penyesuaian sikap tubuh
- Perubahan metabolisme Ekstremitas - Bantu pasien untuk perpindahan,
- Ketidakbugaran fisik sesuai kebutuhan
- Penurunan kendali otot 2 Kekuatan otot √ - Instruksikan pasien mengenai
- Penurunann massa otot 3 Rentang gerak √ pemindahan dan teknik ambulasi yang
- Penurunan kekuatan otott (ROM) aman
- Keterlambatan perkembangan - Monitor penggunaan kruk atau alat
- Kekakuan sendi – Kontraktur Keterangan bantu berjalan lainnya Dukungan
- Malnutrisi 1. Menurun Mobilitasi
- Gangguan musculoskeletal 2. Cukup menurun - Tentukan batasan pergerakan sendi
- Gangguan naeuromuskular 3. Sedang dan efeknya terhadap sendi
- Efek agen farmakologis 4. Cukup meningkat - elaskan pada klien dan keluarga
- Nyeri 5. Meningkat mengenai manfaat dan tujuan
- Kecemasan melakukan latiha n sendi
- Kurang terpapapr informasi tentang - Instruksikan klien/keluarga cara
aktivitas fisik melakukan latihan ROM aktif atau
- Gangguan kognitif pasif.
- Gangguan sensoripersepsi - Monitor lokasi dan kecenderungan
adanya nyeri.
Gejala dan Tanda Mayor - Pakaikan baju yang tidak menghambat
Subjektif
- Mengeluh sulit menggerakkan pergerakan pasien
ektremitas Objektifitas
- Kekuatan otot menurun
- Rentan gerak (ROM) menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
- Nyeri saat bergerak
- nggan melakukan pergerakan
- Meras cemas saat bergerak
Objektif
- Sendi kaku
- Gerakan tidak terkoordinasi
- Gerakan terbatas
- Fisik lemah

4. Gangguan Integritas kulit Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan .. x 24 Perawatan Luka:
kulit atau jaringan jam, Kerusakan integritas kulit dapat teratasi, - Monitor karakteristik luka, termasuk
Penyebab dengan kriteria hasil: drainase, warna, ukuran, dan bau.
- Perubahan sirkulasi Integritas kulit dan jaringan - Ukur luas luka yang sesuai
- Perubahan status mental - Singkirkan benda-benda yang
- Kekuranagn atau kelebihan volume No Indikator 1 2 3 4 5 tertanam pada luka
cairan 1 Elastisitas √ - Berikan perawatan luka yang sesuai
- Penurunan mobilitas - Berikan perawatan ulkus pada kulit
- Efek samping radiasi 2 Perfusi Jaringan √ yang diperlukan
- Neoropati perifer Keterangan - Oleskan salep yang sesuai dengan luka
- Perubahan pigemsitas 1. Menurun atau lesi
- Perubahan hormonal 2. Cukup menurun - Berikan balutan yang sesuai dengan
- Kurang terpapar informasi tentang 3. Sedang luka jika diperlukan
upaya mempertahankan / 4. Cukup meningkat - Pertahankan teknik balutan steril
melindungi integritas jaringan 5. Meningkat ketika melakukan perawatan luka
Gejala dan tanda Mayor dengan tepat
Objektif No Indikator 1 2 3 4 5 - Ganti balutan sesuai dengan jumlah
- Kerusakan jaringan atau lapisan 1 Kerusakan √ eksudat dan drainase
kulit jaringan - Periksa luka setiap kali perubahan
Gejala dan Tanda Minor luka
Objektif 2 Kerusakan √ - Anjurkan pasien dan keluarga pada
- Nyeri Pendarahan lapisan kulit prosedur perawatan luka
- Kemerahan 3 Nyeri √ - Anjurkan pasien dan keluarga
- Hematoma mengenali tanda dan gejala infeksi
4 Nekrosis √ - Dokumentasi lokasi luka, ukuran,
Keterangan tampilan
1. Meningkat
2. Cukup meningkat
3. Sedang
4. Cukup menurun
5. Menurun

5. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatam Pencegahan Infeksi (I.14539)


Berisiko mengalami peningkatan selama ...x24 jam tidak terjadi infeksi dengan - Monitor tanda dan gejala infeksi local
terserang organisme patogenik . kriteria hasil: Tingkat Infeksi :
Faktor Risiko dan sistemik
- Penyakit kronis (Diabetulmilitus) No Indikator 1 2 3 4 5 - Batasi jumlah pengunjung
- Efek prosedur invasive - Berikan perawatan kulit pada daerah
1, Demam √
- Malnutrisi edema
- Peningkatan paparan organisme 2. Kemerahan √ - Cuci tangan sebelum dan sesudah dari
pathogen lingkungan pasien
- Ketidakadekuatan pertahanan 3. Nyeri √ - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
tubuh primer 4. Bengkak √ - Ajarkan cara mencuci tangan
- Ketidakadekuatan pertahanan - Anjarkan cara memeriksa kondisi luka
tubuh sekunder. Keterangan atau luka post operasi
- 1. Meningkat - Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Kondisi Klinis Terkait 2. Cukup meningkat - Anjurkan meningkatkan asupan cairan
- AIDS 3. Sedang - Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
- Luka bakar 4. Cukup menurun perlu
- Penyakit paru obstruktif kronis 5. Menurun Manajemen Nutrisi (I.03119)
- Diabetes Melitus No Indikator 1 2 3 4 5 - Identifikasi status nutrisi
- Tindakan invasifkondisi pengguan - Identifikasi alergi dan intoleransi
terapi steroid 1 Kadar sel darah √ makan
- Penyalahgunaan obat putih - Identifikasi makanan yang disukai
- Ketuban pecah dini - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
- Kanker Gagal ginjal nutrisi
Keterangan
- Monitor asupan makan Monitor berat
1. Memburuk
badan
2. Cukup memburuk
- Berikan makanan tinggi serat untuk
3. Sedang
4. Cukup membaik mencegah konstipasi
5. Membaik - Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menuntukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan, jika perlu

6. Defisit Perawatan diri Setelah dilakukan tindakan keperawatam Dukungan perawatan diri
Ketidakmampuan melakukan atau selama ...x24 jam dewatan diri teratasi dengan - Identifikasi kebiasaan perawatn diri
menyelesaikan aktivitas perawatan diri kriteria hasil: - Monitor tingkat kemandirian
Penyebab Perawatan Diri - Sediakan lingkungan terapeutik
- Gangguan musculoskeletal - Siapkan keperluan pribadi
- Gangguan neoromuskuler No Indikator 1 2 3 4 5 - Identifikasi kebutuhan alat kebersihan
- Kelemahan 1, Kemampuan √ diri
- Gangguan psikologi atau psikotik mengenakan - Damping dalam melakukan
- Penurunan motivasi atau minat pakaian peraawatan diri
Gejala dan Tanda Mayor - Fasilitasi kemandirian
Subjektif 2. Kemampuan √ - Anjurkan melakukan melaakukan
- Menolak melakukan perawatan diri toilet perawatan diri secara konsisten dan
Objektif 3. Kemampan √ sesuai kemampuan

- Tidak mampu mandi/mengenakan mandi


pakaian/ makan/ ke toilet/ berhias 4. Kemampuan √
secara mandiri Minat melakukan makan
perawatn diri kurang
Keterangan
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. Meningkat

7. Resiko Sindrom Disuse Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen energi
Keadaan individu yang beresiko .. x24 jam, Resiko Sindrom disuse pada pasien - Pantau asupan nutrisi - Pantau respon
terhadap memburuknya sistem tubuh dapat teratasi, dengan kriteria hasil: oksgenasi
sebagai akibat ketidakaktifan Imobilitas: - Tentukan berpa banyak aktifitas yang
muskuloskeletal baik yang seharusnya dibutuhkan
dilakukan maupun yang tidak dapat No Indikator 1 2 3 4 5 - Ajarkan pengaturan aktifitas
dihindar. 1, Kekuatan otot √ - Hindari aktivitas yang berlebihan
Faktor resiko - Dukung aktifitas fisik (ambulasi dan
Subjektif 2. Status nutrisi √ aktifitas shari -hari)
- Nyeri hebat 3. Pergerakan √
Objektif sendi
- Perubahan tingkatkesadaran
Imobilisasi mekanis Paralisis
Kearusan untuk imobilisasi. Keterangan
1. Sangat berat
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan
5. Evaluasi Keperawatan

Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari


intervensi yang direncanakan, yaitu:
1) Tidak tampak tanda dan gejala infeksi.
2) Menunjukkan nyeri akut berkurang.
3) Menunjukkan hambatan mobilitas fisik berkurang
4) Menunjukkan eliminasi urin membaik.
5) Menunjukkan konstipasi membaik.
6) Menunjukkan perawatan diri membaik.
DAFTAR PUSTAKA

Emma. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Persyarafan.


Jakarta : Salemba Medika.
Ivones, J Hidayat. 2011. Buku Ajar Orthopedi dan fraktur. Jakarta: Widya
Medika.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Jakarta: Medika
Aesculapius FK UI. Muttaqin, Arif. 2013. Buku Saku Gangguan Musk
Oshlag, Benjamin. 2018. Cervical Spine Injury Guidelines. NewYork-
Presbyterian. [serial online] https://www.thermh.org.au. [diakses pada 28
November 2020].
Rahmatisa, Dimas. 2019. Tatalaksana Jalan Napas pada Pasien dengan Fraktur
Listesis Servikal Tidak Stabil. Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8(1) :
33 – 43. [serial online] https://inasnacc.org. [diakses pada 28 November
2020].
Sjamsuhidayat, Win De Jang. 2005. Buku Ajar ilmu Bedah Edisi II. Jakarta :
EGC.
Sujana, IBG. dan Mahardika, IG. 2016. Trauma Vertebra. Bali: FK UNUD.
Suratun, Heryati, Manurung, S. dan Raenah, E. 2008. Seri Asuhan
Keperawatan: Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Wibowo, DW. 2015. Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Kondisi Burst
Fracture Vertebra Lumbal 1 dengan Claudia Equina Syndrome di RSO
Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Widhiyanto, L., Martiana, IK., Airlangga, PA. dan Permana, D. 2019. Laporan
Hasil Penelitian Studi Epidemiologi Fraktur Vertebra di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada Tahun 2013 - 2017. Qanun Medika Vol. 3 No. 1
Januari 2019.

Anda mungkin juga menyukai