oleh
Nisrina Na’ilah Rahmatika, S.Kep
NIM 202311101078
Pasien kritis yaitu suatu kondisi ketika pasien berada dalam kondisi
kesehatan yang berpotensial memutuhkan perawatan yang komprehensif,
monitoring ketat dan berada di ruang intensif yang mengancam jiwa, Sedangkan
perawatan kritis merupakan perawatan khusus pada pasien yang berada dalam
kondisi yang mengancam nyawa (PERDATIN, 2020).
Strategi Pencegahan
Pada masa pandemi, kebutuhan bed di ruang ICU meningkat. Dalam penanganan
COVID-19 ini pencegahan HAIs sangatah penting. Hal ini dikarenakan untuk
mencegah dan mengendalikan infeksi yang bertujuan untuk meningkatkan
keselamatan pasien dan tenaga kesehatan. Strategi pencegahan dan pengendalian
infeksi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif
Indonesia (PERDATIN), (2020), menjelaskan beberapa strategi manajemen
pencegahan penularan di ICU antara lain; dengan cara pengendalian penularan
infeksi :
1. Airborne
Kondisi pandemi saat ini membuat pasien dengan COVID-19 yang
membutuhkan perawatan di ICU melonjak, sehingga diperlukan penanganan
yang tepat guna untuk mencegah proses penyebaran. Dalam kondisi pandemi
ini, ICU memiliki keterbatasan ruangan dengan tekanan negatif yang dapat
mempertahankan aliran udara ke dalam untuk mencegah penyebaran melalui
airborne. Untuk memberikan keamanan tenaga kesehatan, pasien dengan
COVID-19 akan ditempatkan pada ruangan dengan jendela yang dipasang
sebuah perangkat filter sehingga menjaga aliran udara negatif. Hal ini
dilakukan agar tenaga kesehatan bebas bekerja dan meninggunakan APD
hanya ketika memasuki ruangan pasien (Uppal dkk., 2020).
2. Aerosol
Aerosol dapat dihasilkan ketika melakukan tindakan (intubasi trakea,
NIV, trakeostomi, resusitasi kardiopulmoner, dan bronkoskopi), maka ketika
melakukan tindakan tersebut tenaga kesehatan harus menggunakan masker
N95 dan gown atau apron yang tahan terhadap cairan (Chang dkk., 2020).
Untuk mengurangi risiko akibat terbentuknya aerosol, maka alat ventilasi dan
tindakan yang dipilih yang sebaiknya paling sedikit menimbulkan aerosol.
NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ventilasi mekanik invasif, sehingga jika hendak
diaplikasikan, sebaiknya di ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan
dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari pasien yang lain)
dengan standar APD yang lengkap. Untuk mengurangi aeorosol pada
penggunaan HFNC, pada pasien sebaiknya dipasang masker surgical dan
titrasi flow rate HFNC <30 liter/menit (Arif dkk., 2020).
3. Droplet
COVID-19 menyebar melalui penularan droplet dari kontak langsung
dekat dengan orang yang terinfeksi dan dengan menyentuh permukaan benda
yang terpapar. Virus ini memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi
daripada sindrom pernafasan lainnya. Untuk mengurangi penyebaran virus,
dapat dicegah dengan menghindari menyentuh permukaan yang diduga
terpapar COVID-19 (Thampi dkk., 2020).
a. Pengertian Alat pelindung diri (APD) merupakan alat yang dibuat sebagai
penghalang terhadap transmisi zat, partikel padat, cair, atau
udara untuk melindungi dari penyebaran infeksi atau penyakit.
c. Indikasi Alat pelindung diri level 3 digunakan oleh orang yang berisiko
terpapr pasien atau material infeksius seperti tenaga kesehatan,
petugas kebersihan, petugas instalasi sterilisasi, petugas laundri
dan petugas transporter di instalasi gawat darurat.
d. Kontraindikasi/ Pelindung Pernapasain
Risiko dan Penggunaan masker N95 dapat menyebabkan penambahan
Efek beban pada saat inspirasi sehingga tidak dapat dipakai oleh
Penggunaan petugas yang mempunyai gangguan fungsi paru berat serta harus
APD digunakan secara hati-hati pada petugas dengan gangguan fungsi
paru ringan hingga sedang
Pelindung Mata
Petugas kesehatan menggunakan kacamata baca/kacamata resep
maka kacamata resep harus digunakan bersama dengan goggles;
atau digunakan dengan pelindung wajah ketika goggles tidak
memungkinkan digabungkan dengan kacamata baca/resep
tersebut.
Ekg Letal
Beberapa kondisi yang disebut sebagai Henti jantung tidak terbatas pada
gambaran EKG berupa asistol tetapi juga meliputi ventricular fibrillation
(VF), ventricular tachycardia(VT), atau pulseless electrical activity (PEA)
yang kesemuanya memberikan gambatan klinis berupa tidak terabanya
denyut/pulsasi arteri perifer besar (carotis, radial atau femoral) yang menyertai
hilangnya kesadaran. Istilah aritmia mengacu pada perubahan dari mekanisme
penjalaran impuls listrik jantung yang menyebabkan gangguan irama denyut
jantung. Aritmia adalah gangguan atau abnormalitas penjalaran impuls listrik
ke miokardium. Sistem konduksi jantung yang berawal dari otomatisitas sel-
sel P di nodus SA, depolarisasi atrium, depolarisasi nodus atrioventrikular
(AV), propagasi impuls sepanjang berkas His dan sistem Purkinje hingga
depolarisasi ventrikel merupakan rangkaian konduksi impuls yang teratur dan
presisi. Aritmia terbagi menjadi dua yaitu bradiaritmia (laju jantung terlalu
lambat, <60 kali per menit) dan takiaritmia (laju jantung terlalu cepat, >100
kali per menit) (Yuniadi, 2017).
Lebih lanjut penatalaksanaan aritmia adalah pemberian obat antikoagulan
oral baru (OKB) yang berguna untuk menghentikan risiko perdarahan, reaksi
silang antar obat, hubungan dosis-efek yang tidak dapat diprediksi serta
pengaruh makanan dengan absorbsi obat antikoagulan lain. Obat ini juga
dapat mencegah terjadinya stroke pada fibrilasi atrium. Terdapat
penatalaksanaan takiaritmia lain yaitu teknik ablasi kateter (Yuniadi, 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Anandani, A. 2015. Pencegahan ventilator-associated pneumonia dengan
pemberian profilaksis stress ulcers prevention of ventilator-associated
pneumonia. The Indonesian Journal of Infectious Disease. 1(1):16–19.