a. Uraian
Dengan berakhirnya Perang Dunia II, maka terdapat kecenderungan baru
terkait dengan pembahasan tentang ilmu pengetahuan. Diantara problem
epistemologis yang muncul itu adalah tentang bagaimana ilmu pengetahuan lahir
dan terbentuk serta bagaimana ilmu pengetahuan memasuki fase keruntuhan,
bagaimana sebuah paradigma ilmu pengetahuan digantikan oleh paradigma baru,
dan lain sebagainya, problem-problem ini semakin menguat dalam pemikiran
filsafat pasca-Perang Dunia II. Dalam konteks ini Positivisme sebagai aliran yang
dominan pada waktu mulai disoroti secara tajam. Positivisme tidak lagi dipandang
sebagai satu-satunya dasar pembentuk ilmu pengetahuan. Bahkan, kebenaran yang
digali dari kancah positivisme mulai dipertanyakan secara serius.
Tesis utama dari positivisme mulai dipertanyakan, terutama
pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang menolak keberadaan metafisika
dan hanya berpijak pada realitas empirik. Demikian juga asumsi-asumsi
Positivisme yang hanya mengakui hanya segala sesuatu yang dapat dipahami oleh
panca indera-lah yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang
berada di luar panca indera tidak masuk ke dalam cakupan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan pun hanya bersangkut paut dengan segenap fenomena dalam
pengalaman manusia. Hanya segala sesuatu yang dapat diobservasi dan dapat
diukur masuk dalam kategori ilmu pengetahuan. Di luar itu semua tidak masuk
dalam kategori ilmu pengetahuan. Akibatnya, dunia dan alam semesta hanya
dimengerti secara deterministik berada dalam jalinan sebab-akibat. Ilmu
pengetahuan lantas bersifat mekanistik melalui penggunaan rasio deduktif ketika
menguji kebenaran postulat-postulat teoritik. Ketika sebuah teori tidak lagi
mampu menjelaskan fakta empirik, maka teori itu harus direvisi dan bahkan
digantikan oleh teori-teori baru. Hal-hal inilah yang mulai dikritik dan
dipertanyakan. Dalam konteks inilah pandangan filosofi Maurice Merleau-Ponty
mulai muncul sebagai bagian dari kritik terhadap pandangan positivistik tersebut.
1. Fenomenologi Persepsi
Pemikiran Merleau-Ponty, terutama terkait dengan fenomenologi persepsi
banyak terpengaruh oleh fenemologi Edmund Husserl (1859-1938). Hal ini
tampak dalam karyanya Phenomenology of Perception yang merupakan karya
besar dan karya penting dari Merleau-Ponty. Pandangan filosofi Merleau-Ponty
yang termaktub ke dalam Phenomenology of Perception itu berhubungan erat
dengan apa yang disebut epoché atau reduksi fenomenologis tanpa sikap.
Sebagaimana diketahui, fenomenologi merupakan cara bagaimana seseorang
menggali pemahaman dari semesta kehidupan. Melalui fenomennologi, seseorang
terbuka untuk mengeksplorasi apa saja dalam kehidupan ini untuk kemudian
mendapatkan pengetahuan. Dengan fenomenologi, seseorang memiliki “alat
penggali” untuk mendapatkan pengetahuan. Bayangkan sebuah alat penggali
tanah diberfungsikan demi mendapatkan mineral-mineral yang berharga.
Dalam pandangan filosofi Merleau-Ponty, fenomenologi penting agar
manusia mampu mencapai esensi-esensi suatu persoalan. Merleau-Ponty lalu
berbicara tentang keniscayaan untuk melakukan reduksi fenomenologis, di mana
suatu fakta atau dimensi dibiarkan untuk tidak berhubungan dengan fakta atau
dimensi lain. Pandangan ini dapat dilukiskan dengan ilustrasi tentang seorang
peneliti yang meneliti kemiskinan. Jika sekiranya seorang peneliti tiba-tiba
berhadapan dengan orang miskin dan sang peneliti harus memahami kehidupan
orang miskin tersebut, maka sang peneliti tidak harus memperbandingkan
kemiskinan yang sedang ia temui dengan kemiskinan yang terjadi di tempat-
tempat lain. Kemiskinan yang ditemukan oleh seorang peneliti direduksi
sedemikian rupa untuk tidak dikait-hubungkan dengan kemiskinan dalam
pengertiannya yang umum (common characteristic) di ruang waktu yang lain.
Dengan epoché, Merleau-Ponty sesungguhnya berbicara tentang
“pelepasan hubungan” antara satu pengalaman dengan pengalaman lain yang
mungkin mirip atau sama. Setiap manusia, menurut Merleau-Ponty, memiliki
kesadaran imanen atau kesadaran berlandasakan pengalaman-pengalaman yang
unik. Tatkala seseorang melihat sebuah benda bernama “kursi”, misalnya, maka
pemahaman yang terbentuk dalam dirinya adalah pemahaman tentang kursi
berdasarkan pengalaman. Sejak kecil manusia sudah diajarkan mengenal kursi.
Sehingga, tatkala berada dalam ruang waktu berlainan, keberadaan sebuah kursi
dengan mudah dimengerti manusia. Tetapi dengan epoché, seorang manusia
didorong memahami kursi yang ia temukan tidak dalam perbandingan dengan
kursi-kursi lain di tempat lain dan di waktu yang lain. Seseorang harus fokus
memahami kursi yang ia temukan: dari mana, siapa pembuatnya, mengapa begitu
bentuk dan desainnya, berapa harganya, apa maknanya dan seterusnya.
Dalam penjelasan yang sederhana dapatlah disebutkan, bahwa epoché
fenomenologis memberikan akses terhadap esensi imanen dari kesadaran tentang
pengalaman yang ditemui. Epoché adalah keterlepasan dari dunia tertentu dengan
segala objektivitasnya. Tapi keterlepasan hubungan ini bukan penolakan terhadap
dunia. Pengetahuan yang telah ada tetap diterima, tetapi ada kesadaran yang kuat
untuk memberikan tempat secara layak bagi “pengalaman yang dihayati” oleh
setiap individu manusia. Dalam konteks ini, dunia tidak dimengerti secara apa
adanya, tetapi dunia sungguh-sungguh dihayati esensi-esensinya.
Dengan pandangan filosofi semacam ini, maka ada keniscayaan untuk
melakukan upaya sungguh-sungguh memaknai setiap pengalaman, tak peduli
apakah pengalaman itu spektakuler atau pengalaman itu justru merupakan sesuatu
yang ecek-ecek. Setiap pengalaman yang ditemui dari hari ke hari digali
maknanya melalui penghayatan secara mendalam. Inilah yang kemudian disebut
“bergerak menuju inti pengalaman” hidup umat manusia. Pengalaman tak hanya
dimengerti sebagai “guru” bagi seorang manusia. Lebih dari itu, pengalaman juga
dimengerti sebagai sumber lahirnya ilmu pengetahuan, kearifan dan
kebermaknaan. Mengingat setiap manusia bergumul dengan pengalaman maka
dengan sendirinya setiap manusia memiliki potensi besar untuk melahirkan ilmu
pengetahuan.
Pandangan filosofi ini mencetuskan makna baru tentang hubungan antara
“ruang” dan “tubuh manusia”. Jika dalam pengertiannya yang umum tubuh
berada dalam ruang, namun dengan mengacu pada epoché berarti ruang berada
dalam tubuh manusia. Bahkan apa pun jenis ruang itu (halaman, lapangan, jalan,
ruang kelas, auditorium, gunung, planet dan bahkan alam semesta) secara filosofi
dimengerti berada dalam tubuh. Pandangan filosofi semacam inilah yang
memungkinkan manusia mampu untuk dengan sungguh-sungguh menghayati
ruang. Sementara ruang itu sendiri, sangat bercorak multidimensi.
Dengan narasi kalimat yang prosaik, Merleau-Ponty berkata:
“Sesungguhnya tubuh manusia tidak berada dalam ruang, tetapi tubuh manusia
itulah ruang untuk semua ruang”.
b. Latihan Soal :
Setelah membaca tentang Fenomenologi Persepsi Merleau-Ponty di atas,
maka jawablah pertanyaan berikut :
1) Apa yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran fenomenologi
persepsi dari Merleau-Ponty?
2) Mengapa pengaruh positivisme menjadi menurun pasca perang
dunia ke 2, setelah menunjukkan prestasi yang sangat gemilang
dalam melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan?
3) Apa pengaruh yang paling kuat dari pemikiran fenomenologi
Edmund Husserl dalam pemikiran fenomenologi Persepsi Merleau-
Ponty?
4) Mengapa Merleau-Ponty meletakkan persepsi sedemikian penting
dalam kaitannya dengan bangunan ilmu pengetahuan?
5) Apa perbedaannya antara fenomenologi persepsi Merleau-Ponty
dengan fenomenologi ontologis dari Martin Heidegger?