Anda di halaman 1dari 6

Pertemuan Perkuliahan ke 10

FENOMENOLOGI PERSEPSI MERLEAU PONTY

a. Uraian
Dengan berakhirnya Perang Dunia II, maka terdapat kecenderungan baru
terkait dengan pembahasan tentang ilmu pengetahuan. Diantara problem
epistemologis yang muncul itu adalah tentang bagaimana ilmu pengetahuan lahir
dan terbentuk serta bagaimana ilmu pengetahuan memasuki fase keruntuhan,
bagaimana sebuah paradigma ilmu pengetahuan digantikan oleh paradigma baru,
dan lain sebagainya, problem-problem ini semakin menguat dalam pemikiran
filsafat pasca-Perang Dunia II. Dalam konteks ini Positivisme sebagai aliran yang
dominan pada waktu mulai disoroti secara tajam. Positivisme tidak lagi dipandang
sebagai satu-satunya dasar pembentuk ilmu pengetahuan. Bahkan, kebenaran yang
digali dari kancah positivisme mulai dipertanyakan secara serius.
Tesis utama dari positivisme mulai dipertanyakan, terutama
pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang menolak keberadaan metafisika
dan hanya berpijak pada realitas empirik. Demikian juga asumsi-asumsi
Positivisme yang hanya mengakui hanya segala sesuatu yang dapat dipahami oleh
panca indera-lah yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang
berada di luar panca indera tidak masuk ke dalam cakupan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan pun hanya bersangkut paut dengan segenap fenomena dalam
pengalaman manusia. Hanya segala sesuatu yang dapat diobservasi dan dapat
diukur masuk dalam kategori ilmu pengetahuan. Di luar itu semua tidak masuk
dalam kategori ilmu pengetahuan. Akibatnya, dunia dan alam semesta hanya
dimengerti secara deterministik berada dalam jalinan sebab-akibat. Ilmu
pengetahuan lantas bersifat mekanistik melalui penggunaan rasio deduktif ketika
menguji kebenaran postulat-postulat teoritik. Ketika sebuah teori tidak lagi
mampu menjelaskan fakta empirik, maka teori itu harus direvisi dan bahkan
digantikan oleh teori-teori baru. Hal-hal inilah yang mulai dikritik dan
dipertanyakan. Dalam konteks inilah pandangan filosofi Maurice Merleau-Ponty
mulai muncul sebagai bagian dari kritik terhadap pandangan positivistik tersebut.

1. Fenomenologi Persepsi
Pemikiran Merleau-Ponty, terutama terkait dengan fenomenologi persepsi
banyak terpengaruh oleh fenemologi Edmund Husserl (1859-1938). Hal ini
tampak dalam karyanya Phenomenology of Perception yang merupakan karya
besar dan karya penting dari Merleau-Ponty. Pandangan filosofi Merleau-Ponty
yang termaktub ke dalam Phenomenology of Perception itu berhubungan erat
dengan apa yang disebut epoché atau reduksi fenomenologis tanpa sikap.
Sebagaimana diketahui, fenomenologi merupakan cara bagaimana seseorang
menggali pemahaman dari semesta kehidupan. Melalui fenomennologi, seseorang
terbuka untuk mengeksplorasi apa saja dalam kehidupan ini untuk kemudian
mendapatkan pengetahuan. Dengan fenomenologi, seseorang memiliki “alat
penggali” untuk mendapatkan pengetahuan. Bayangkan sebuah alat penggali
tanah diberfungsikan demi mendapatkan mineral-mineral yang berharga.
Dalam pandangan filosofi Merleau-Ponty, fenomenologi penting agar
manusia mampu mencapai esensi-esensi suatu persoalan. Merleau-Ponty lalu
berbicara tentang keniscayaan untuk melakukan reduksi fenomenologis, di mana
suatu fakta atau dimensi dibiarkan untuk tidak berhubungan dengan fakta atau
dimensi lain. Pandangan ini dapat dilukiskan dengan ilustrasi tentang seorang
peneliti yang meneliti kemiskinan. Jika sekiranya seorang peneliti tiba-tiba
berhadapan dengan orang miskin dan sang peneliti harus memahami kehidupan
orang miskin tersebut, maka sang peneliti tidak harus memperbandingkan
kemiskinan yang sedang ia temui dengan kemiskinan yang terjadi di tempat-
tempat lain. Kemiskinan yang ditemukan oleh seorang peneliti direduksi
sedemikian rupa untuk tidak dikait-hubungkan dengan kemiskinan dalam
pengertiannya yang umum (common characteristic) di ruang waktu yang lain.
Dengan epoché, Merleau-Ponty sesungguhnya berbicara tentang
“pelepasan hubungan” antara satu pengalaman dengan pengalaman lain yang
mungkin mirip atau sama. Setiap manusia, menurut Merleau-Ponty, memiliki
kesadaran imanen atau kesadaran berlandasakan pengalaman-pengalaman yang
unik. Tatkala seseorang melihat sebuah benda bernama “kursi”, misalnya, maka
pemahaman yang terbentuk dalam dirinya adalah pemahaman tentang kursi
berdasarkan pengalaman. Sejak kecil manusia sudah diajarkan mengenal kursi.
Sehingga, tatkala berada dalam ruang waktu berlainan, keberadaan sebuah kursi
dengan mudah dimengerti manusia. Tetapi dengan epoché, seorang manusia
didorong memahami kursi yang ia temukan tidak dalam perbandingan dengan
kursi-kursi lain di tempat lain dan di waktu yang lain. Seseorang harus fokus
memahami kursi yang ia temukan: dari mana, siapa pembuatnya, mengapa begitu
bentuk dan desainnya, berapa harganya, apa maknanya dan seterusnya.
Dalam penjelasan yang sederhana dapatlah disebutkan, bahwa epoché
fenomenologis memberikan akses terhadap esensi imanen dari kesadaran tentang
pengalaman yang ditemui. Epoché adalah keterlepasan dari dunia tertentu dengan
segala objektivitasnya. Tapi keterlepasan hubungan ini bukan penolakan terhadap
dunia. Pengetahuan yang telah ada tetap diterima, tetapi ada kesadaran yang kuat
untuk memberikan tempat secara layak bagi “pengalaman yang dihayati” oleh
setiap individu manusia. Dalam konteks ini, dunia tidak dimengerti secara apa
adanya, tetapi dunia sungguh-sungguh dihayati esensi-esensinya.
Dengan pandangan filosofi semacam ini, maka ada keniscayaan untuk
melakukan upaya sungguh-sungguh memaknai setiap pengalaman, tak peduli
apakah pengalaman itu spektakuler atau pengalaman itu justru merupakan sesuatu
yang ecek-ecek. Setiap pengalaman yang ditemui dari hari ke hari digali
maknanya melalui penghayatan secara mendalam. Inilah yang kemudian disebut
“bergerak menuju inti pengalaman” hidup umat manusia. Pengalaman tak hanya
dimengerti sebagai “guru” bagi seorang manusia. Lebih dari itu, pengalaman juga
dimengerti sebagai sumber lahirnya ilmu pengetahuan, kearifan dan
kebermaknaan. Mengingat setiap manusia bergumul dengan pengalaman maka
dengan sendirinya setiap manusia memiliki potensi besar untuk melahirkan ilmu
pengetahuan.
Pandangan filosofi ini mencetuskan makna baru tentang hubungan antara
“ruang” dan “tubuh manusia”. Jika dalam pengertiannya yang umum tubuh
berada dalam ruang, namun dengan mengacu pada epoché berarti ruang berada
dalam tubuh manusia. Bahkan apa pun jenis ruang itu (halaman, lapangan, jalan,
ruang kelas, auditorium, gunung, planet dan bahkan alam semesta) secara filosofi
dimengerti berada dalam tubuh. Pandangan filosofi semacam inilah yang
memungkinkan manusia mampu untuk dengan sungguh-sungguh menghayati
ruang. Sementara ruang itu sendiri, sangat bercorak multidimensi.
Dengan narasi kalimat yang prosaik, Merleau-Ponty berkata:
“Sesungguhnya tubuh manusia tidak berada dalam ruang, tetapi tubuh manusia
itulah ruang untuk semua ruang”.

2. Arti Penting Persepsi


Hubungan antara ruang dan tubuh manusia yang sedemikian rupa itu
dikemukakan Merleau-Ponty sebagai penegasan, bahwa di mana pun dan kapan
pun manusia tidak pernah sendiri. Walaupun tak ada manusia lain atau tak ada
mahluk hidup lain, seorang manusia tetap tidak pernah sendiri, tidak pernah sepi
sendiri. Manusia masih tetap bersama dunia, di mana pun dan kapan pun.
Bangunan gedung, lapangan luas, hutan boleh jadi hanya diisi oleh seorang
manusia. Namun seorang manusia itu tak mungkin memahami dirinya sebagai
tunggal yang sendiri.
Bagaimana pun, gedung, lapangan luas, dan hutan merupakan dunia yang
ada dalam pencerapan manusia. Persoalannya kemudian seberapa tinggi intensitas
manusia mencerap dunia agar manusia sepenuhnya mampu menghayati dunia
hingga mencapai esensi-esensi dunia. Pada titik ini ada semacam “aksioma”,
bahwa untuk bisa menghayati dunia manusia harus terlebih dahulu mampu
mencerap dunia, mencerap esensi dunia dan mencerap esensi makna tentang
dunia. Secara kategoris, dunia yang dimaksudkan justru partikular manakala
dikait-hubungkan dengan dunia dalam maknanya yang umum dan luas.
Apa yang dikatakan Merleau-Ponty sebagai “pikiran yang bertubuh”
adalah pikiran manusia yang sungguh-sungguh menghayati dunia. “Pikiran yang
bertubuh” itu terjadi bukan lantaran ada dorongan dari luar diri manusia untuk
menghayati dunia. Tetapi memang, antara dunia dan manusia tak ada batas dan
jarak. Manusia tak pernah bisa dipisahkan dengan dunia dan kebermaknaan dunia
disebabkan oleh adanya manusia. Keniscayaan manusia untuk mencerap dunia
lalu bukan semata perkara filosofis. Di atas segalanya, pencerapan manusia
terhadap dunia merupakan kebutuhan manusia itu sendiri agar keberadaannya
bermakna. Pencerapan, dengan sendirinya, merupakan akibat logis yang tak
terelakkan dari saling hubungan tak terelakkan antara dunia sebagai ruang dengan
manusia dalam maknanya sebagai tubuh.
Penjelasan yang baru saja dikemukakan sesungguhnya memiliki dampak
positif terhadap praksis penelitian dan terhadap masa depan ilmu pengetahuan.
Jika saja setiap hari manusia melakukan penghayatan secara saksama terhadap
dunia yang ditemukan, maka dengan sendirinya seorang manusia telah terlibat ke
dalam praksis penelitian dalam pengertiannya yang hakiki. Upaya menanggulangi
lemahnya penelitian justru dapat dilakukan melalui proses pelatihan secara
mandiri untuk memperkuat dan mempertajam pencerapan terhadap dunia yang
berpendar di sekeliling manusia. Artinya, sangatlah mudah sesungguhnya
mencetak peneliti. Sejauh memiliki kemampuan mencerap dunia, maka sejauh itu
pula seseorang telah mengasah potensinya menjadi peneliti. Dengan adanya
kemampuan melakukan pencerapan terhadap dunia, maka dengan sendirinya
tercipta tradisi penelitian. Pada derajat tertentu, pencerapan bisa juga
menghasilkan anotasi-anotasi penelitian yang sangat penting artinya bagi upaya-
upaya serius menumbuh kembangkan tradisi penelitian dalam dunia pendidikan.
Dampak positif lain dari adanya pencerapan terhadap dunia tercermin pada
makna hidup yang ditemukan manusia. Bayangkan jika seorang manusia setiap
saat intens melakukan pencerapan terhadap dunia sehingga sang manusia utuh
menghayati dunia, maka dengan sendirinya sang manusia memasuki cakrawala-
cakrawala baru. Bahkan, manusia pun merasakan dilahirkan kembali di dunia.
Manusia menemukan kearifan-kearifan baru lantaran telah melakukan pencerapan
terhadap dunia. Persis sebagaimana bisa kita catat, persoalan umat manusia
acapkali terkait erat dengan kebiasaan menertawakan penderitaan orang lain dan
menangisi penderitaan diri sendiri. Padahal, pada derajat tertentu manusia perlu
menertawakan penderitaan dirinya sendiri dan menangisi penderitaan orang lain.
Untuk bisa melakukan hal itu, manusia harus terbiasa melakukan pencerapan
terhadap dunia. Apa dunia dan bagaimana dunia, diupayakan sedemikian rupa
dihayati makna dan hakikatnya.

b. Latihan Soal :
Setelah membaca tentang Fenomenologi Persepsi Merleau-Ponty di atas,
maka jawablah pertanyaan berikut :
1) Apa yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran fenomenologi
persepsi dari Merleau-Ponty?
2) Mengapa pengaruh positivisme menjadi menurun pasca perang
dunia ke 2, setelah menunjukkan prestasi yang sangat gemilang
dalam melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan?
3) Apa pengaruh yang paling kuat dari pemikiran fenomenologi
Edmund Husserl dalam pemikiran fenomenologi Persepsi Merleau-
Ponty?
4) Mengapa Merleau-Ponty meletakkan persepsi sedemikian penting
dalam kaitannya dengan bangunan ilmu pengetahuan?
5) Apa perbedaannya antara fenomenologi persepsi Merleau-Ponty
dengan fenomenologi ontologis dari Martin Heidegger?

Anda mungkin juga menyukai