Anda di halaman 1dari 4

Fenomena Nikah Muda

Di tengah berkembangnya negara Indonesia, nikah muda atau yang sering disebut pernikahan
dini masih menjadi isu yang hangat diperbincangkan dan menjadi bahan perdebatan olah
banyak orang. Sebagian orang menganggap nikah muda merupakan upaya yang dapat
mencegah seseorang dari perbuatan zina. Meskipun sudah tertera dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, bahwa batas usia minimal perkawinan bagi pria
dan wanita adalah 19 tahun, namun masih banyak perkawinan yang terjadi sebelum
memenuhi kriteria tersebut. Berdasarkan data tahun 2018 ditemukan sebanyak 1.184.100
perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah di usia 18 tahun (databoks.katadata.co.id).

Ironisnya, di samping adanya pandemi COVID-19 kasus pernikahan dini kian meroket dan
menjadi wabah tersendiri bagi Indonesia. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan
dispensasi nikah muda (<19 tahun) diajukan ke Pengadilan Agama pada periode Januari-Juni
2020, yang mana 97% diantaranya dikabulkan. Angka tersebut meningkat dari tahun
sebelumnya yang hanya terdapat 23.700 permohonan (databoks.katadata.co.id). KOMNAS
Perempuan dan Anak juga mencatat ada 23.126 kasus pernikahan anak pada 2019, kemudian
jumlahnya naik menjadi 64.211 kasus pada 2020 (tribunnews.com)

Salah satu kasusnya seperti yang tertulis di inews.id ada seorang siswi SMP dari Lombok
Tengah, NTB memutuskan untuk menikah karena merasa bosan belajar daring saat pandemi.
Ini merupakan salah satu contoh kasus pernikahan dibawah umur yang faktor penyebabnya
adalah bosan karena hanya belajar dan beraktivitas di rumah selama pandemi.

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi menyebutkan ada beberapa faktor pendorong
perkawinan di bawah umur, terutama di masa pandemi COVID-19 (okezone.com). Faktor
pertama yaitu pandangan menikah dapat menghindari zina dan menjaga nama baik keluarga.
Kedua adalah faktor ekonomi dimana orang tua melihat anak sebagai beban ekonomi,
sehingga menikahkannya adalah jalan keluar terbaik menurut mereka.

Ketiga, adanya pembatasan sosial dan sistem pembelajaran sekolah via online mengurangi
aktivitas anak dan terbatasnya pelayanan Kesehatan reproduksi bagi remaja. Keempat,
layanan konseling tatap muka dibatasi namun konseling online belum optimal. Kelima,
pemanfaatan internet dapat meningkatkan resiko kekerasan siber dan keterpaparan anak
terhadap konten pornografi. Keenam, faktor influencer (seleb) yang menikah muda. Dan
ketujuh yaitu belum adanya kesepakatan antar sector dalam memberikan rekomendasi
perkawinan.

Namun apabila kita beralih sejenak ke dampak buruk pernikahan dini terhadap remaja (<19
tahun) maka akan ditemukan beberapa kasus, seperti; ancaman kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) baik fisik maupun verbal. Di sini wanita rentan menjadi terget kekerasan pria
yang masih berpikiran labil, dan keduanya maupun salahsatu diantaranya belum mengerti
bagaimana cara terbebas dari situasi tersebut. Selain itu, anak juga beresiko menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga.

Bukti lapangan mengungkapkan, anak-anak yang menjadi saksi kekerasan di rumahnya akan
tumbuh dengan berbagai kesulitan, seperti kesulitan belajar dan terbatasnya keterampilan
sosial. Di sisi lain anak beresiko depresi atau gangguan kecemasan berat. (halodoc.com)

Selain masalah mental dan psikologis, pernikahan dini juga berdampak mengalami
komplikasi kehamilan. Kehamilan di usia dini memiliki resiko komplikasi dan
membahayakan ibu maupun janin. Resiko yang terjadi ialah bayi terlahir prematur, stunting,
atau berat badan lahir yang rendah. Resiko juga akan dirasakan ibu melahirkan, yang bisa
menimbulkan komplikasi dan bahkan menyebabkan kematian pada ibu dan bayi.
(alodokter.com)

Di samping itu semua pernikahan yang dilakukan secara terburu-buru juga akan
menghilangkan unsur ke-sakralannya. Hampir semua agama yang ada di muka bumi
memandang bahwa pernikahan merupakan satu hal yang sakral. Karena itu di Indonesia
sendiri prosesi pernikahan disebut juga sebagai ritual. Menikah juga dianggap merupakan
fase terpenting dalam perjalanan kehidupan seseorang, bahkan sering kali disejajarkan
dengan kelahiran dan kematian. Jadi apabila menikah itu dilakukan untuk mengisi waktu
luang karena bosan belajar online maka hal tersebut membuat pernikahan terkesan menjadi
hal yang remeh dan mengesampingkan unsur sakralitas pernikahan.

Ada pula yang berdalil “nikah itu kan untuk menghindari zina”. Benar, memang itu dapat
dibenarkan. Namun jika pernikahan yang dilakukan hanya karena untuk melegalkan
hubungan seksual apa bedanya fungsi pernikahan dengan alat kontrasepsi? Keduanya sama-
sama melindungi sepasang kekasih dari ancaman aib keluarga. Yang semula pernikahan
merupakan kegiatan yang sakral menjadi sama halnya dengan barang sekali pakai lalu
dibuang. Menghindari zina memang upaya yang sangat mulia, namun ada cara lain yang bisa
dijadikan jalan keluar untuk menyalurkan libido, diantaranya adalah dengan meditasi atau
olahraga.

Selain itu, agama juga menawarkan solusi lain. Islam contohnya, Rasulullah saw.,
menganjurkan puasa untuk mengurangi hawa nafsu seseorang yang belum mampu menikah.
Karena dengan berpuasa seseorang dapat mengalihkan perhatian ke hal yang lebih positif.
Selain itu juga banyak manfaat puasa lainnya.

Ada banyak faktor yang perlu dipersiapkan seseorang yang akan menikah. Karena pernikahan
bukan cuma untuk melegalkan hubungan badan, tapi setelah menikah ada banyak tanggung
jawab yang dipikul oleh sepasang kekasih, apalagi jika sudah menjadi orang tua atau sudah
memiliki anak. Salah satu yang perlu kita perhatikan secara khusus disini adalah mengenai
Pendidikan seseorang yang akan menikah. Karena kelak pernikahan akan menghasilkan
keturunan, yang mana sering dikatakan bahwa pendidikan pertama seorang anak adalah
kedua orang tuanya, terutama ibunya.

“Tapi kan bisa lanjut sekolah setelah menikah!”. Ya, hal itu mungkin terjadi. Namun dari
kebanyakan kasus yang ditemukan, sepasang kekasih yang telah menikah maka keduanya
akan kurang memperhatikan pendidikan mereka pribadi, karena telah mengemban tugas
masing-masing sebagai suami maupun istri. Yang paling sering terjadi adalah seorang suami
sibuk mencari nafkah untuk anak istrinya, sementara istri sibuk dengan urusan rumah tangga
seperti memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain. Sehingga pendidikan mereka menjadi
terabaikan. Padahal ini adalah faktor terpenting dalam hidup berumah tangga.

Persiapan selanjutnya ialah kondisi finansial seorang suami, apakah dirinya mampu untuk
mencukupi kebutuhan nafkah sang istri? Lagipula cukup atau tidaknya nafkah yang diberikan
calon suami nantinya juga bersifat subjektif, tergantung kebiasaan konsumtif dari keduanya,
inilah alasan mengapa pernikahan juga idealnya dilakukan oleh sepasang kekasih yang
setara/sekufu/sederajat. Karena banyak kasus perceraian yang disebabkan kondisi finansial,
sang istri merasa kurang terpenuhi kebutuhannya oleh suami atau suaminya bermalas-
malasan mencari nafkah.

Dari kedua hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa menikah juga butuh modal yang cukup.
Selain modal pengetahuan dan finansial, juga butuh modal pengalaman. Pengalaman dalam
menyelesaikan persoalan masing-masing, pengalaman mengatur keuangan, pengalaman
mengurus anak, dan lain-lain. Semua itu bisa di dapatkan di sekeliling kita. Sebelum menikah
alangkah baiknya bertanya terlebih dahulu kepada orang yang sudah lama berkeluarga.
Tentang hal apa saja yang perlu di latih dan dipersiapkan ketika akan menjalin hubungan
rumah tangga agar berjalan harmonis.

Pernikahan yang dilakukan sebelum melalui tahapan tersebut maka kedepannya dapat
menjadi problem baru dalam rumah tangga. Kita ambil contoh apabila pernikahan dilakukan
sebelum memiliki ilmu yang cukup, lalu bagaimana nasib keturunannya kedepan? Mengingat
orang tua adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya. Apakah dapat menjamin kwalitas
generasi setelahnya? Teringat pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”,
“Orang tua kencing berdiri, anak kencing berlari”. Maka jangan biarkan peradaban ini
hancur hanya karena keliru dalam mengambil langkah.

Banyak orang yang menikah gara-gara malu ditanya “kapan nikah?”, gara-gara bosan sendiri,
merasa bahwa mempunyai suami/istri menjadikan beban hidup lebih ringan, yang lebih parah
lagi karena hamil diluar nikah. Namun sebelum hal itu terjadi lebih baik dipikir matang-
matang terlebih dahulu. Karena menikah adalah suatu hal yang sakral, bukan hanya sekedar
mengucap “saya terima nikahnya …”, tapi ada fase kedepannya yang jauh lebuh rumit dari
itu.

Jadi, apakah masih ada alasan lain untuk melakukan pernikahan dini?

Anda mungkin juga menyukai