PENDAHULUAN
Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir, akan tetapi kebutuhan manusia
terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu
membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu
perasaan yang mengakui adanya yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan.
Sehingga keseimbangan manusia dilandasi kepercayaan beragama. Sikap orang dewasa dalam beragama
sangat menonjol jika, kebutuhan akan beragama tertanam dalam dirinya. Kestabilan hidup seseorang dalam
beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang bukanlah kestabilan yang statis. Adanya perubahan itu
terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang
ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang
dipilihnya.
Pengertian Agama
Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Banyak para ahli yang
berpendapat tentang arti agama, diantaranya:
a. Harun Nasution, arti agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relege, religare) dan agama. dalam
bahasa sempit al-din berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, agama (ad-din) artinya
hukum, ikatan dan peraturan. Dalam bahasa latin kata religi (relege) berarti mengumpulkan dan
membaca: yang kemudian menjadi kata religare yang berarti mengikat.
b. Robert H. Thouless, fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada Tuhan atau dewa-dewa sebagai
ukuran yang menentukan yang tak boleh diabaikan (keyakinan tentang dunia lain). Ia mendefinisikan
agama adalah sikap / cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan
lingkungan lebih luas daripada dunia fisik yang terikat ruang dan waktu – the spatio temporan physical
(dunia spiritual).
1
Seri Psikologi Agama
Drs. Sinar, M.Ag.
dengan tuhan dan lingkunagn. Psikologiagama adalah ilmu yang mengkaji tentang proses pertumbuhan dan
perkembangan jiwa keberagamaan manusia dalam semua tingkat perkembangan dan segala kemungkinan
evolusinya.
Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menela’ah kehidupan beragama pada seseorang
dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaan
hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada
seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah Darajat dikutip oleh
Jalaluddin, 2004: 15).
Jadi Psikologi agama adalah ilmu yang membahas, mempelajari dan memahami kehidupan beragama
pada manusia dan hubungannya dengan sikap dan perilaku keberagamaan. Ruang lingkup atau lapangan
penelitian psikologi agama adalah gejala-gejala jiwa yang memantul dan terpancar dari motivasi, ekspresi,
sikap dan perilaku yang berkaitan dengan kesadaran, pengalaman, dan kematangan beragama manusia.
Psikologi agama dapat digunakan disemua aspek seperti dalam bidang industri yaitu meningkatnya jumlah
produksi dan penghasilan dan meminimalkan bentuk kejahatan dalam industri seperti pencurian. Begitu juga
dalam bidang pendidikan yaitu siswa menjadi rajin, aktif, tidak menyontek ketika ujian dan menambah
semangat dalam belajar.
2
Seri Psikologi Agama
Drs. Sinar, M.Ag.
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu,
agar kamu bertakwa,
QS. An Nisa’ 61
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya
dari (mendekati) kamu. [An Nisa”61]
QS. Al Isra”,74-75
74. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
75. kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini
dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun
terhadap Kami
[Al Isra”,74-75]
Mencermati Ayat
QS. Al-A’raf ayat 31:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Fokus kajian dari ayat tersebut adalah Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Standar utamanya adalah Kepantasan, yang diukur dengan kepantasan adalah perilaku jiwa manusia
pada umumnya. Mengapa berlebihan, karena yang dilarang adalah melebihi dari standar tersebut. Sedangkan
Allah tidak memberikan keterangan yang pasti terkait dengan ukuran minimal dari berlebihan itu. Sehingga
secara psikologis diambillah istilah kepantasan (pantas) bagi manusia pada umumnya. Umum artinya bukan
standar kaya atau miskin, tetapi umum merupakan standar yang dapat diterima oleh semua kalangan.
3
Seri Psikologi Agama
Drs. Sinar, M.Ag.
Mengapa Allah mengambil standar pantas dari keumuman manusia untuk mengukur perilaku itu
berlebih-lebihan atau tidak, karena ayat itu pada dasarnya ditujukan untuk manusia, agar mereka memahami
bahwa dirinya harus melakukan sesuatu untuk dirinya yang harus pula disesuaikan dengan tingkat
kepantasan tersebut, sebagai tolak ukurnya. Jika melebihinya, maka Allahpun akan mengatakan itu berlebih-
lebihan.
Contoh 1.
Seorang petani memikul barang hasil pertaniannya. Alat untuk memikul (pikulan=jawa) dibuat dari
bamboo yang panjang ukurannya disesuaikan dengan kebiasaan standar sebuah pikulan petani. Seandainya
alat (pikulan) itu dibuat lebih besar dari biasanya (artinya menjadi tidak layak), (berarti ada unsur
kesengajaan tanpa tujuan tertentu), maka alasan buruknya adalah 1) dipakai pasti tidak nyaman. 2) akan
menjadi buah gunjingan bahwa (pikulannya) tidak seperti umumnya (aneh). Keanehan yang kurang memiliki
alasan yang bermakna seperti inilah yang disebut sebagai kesombongan, 3) dirinya akan merasa bahwa
“sayalah yang bisa melakukan seperti ini”.
Apa kaitannya Allah tidak suka terhadap berlebih-lebihan, dengan kesombongan? Kaitannya sangat erat,
karena yang dinilai Allah di sini adalah bukan barang yang dilihat saat itu (benda yang menjadi sebab
musababnya), tetapi bagaimana perasaan diri seseorang yang menggunakan benda (contoh pikulan).
Contoh 2.
Seorang petani (masih sama seperti contoh di atas) sedang memikul barang pertanianya, dengan
menggunakan alat pikulan yang standar baik (layak). Tetapi di tengah jalan, pikulan tersebut hampir patah,
karena beban barang tersebut, atau usia pikulan yang sudah mulai rusak. Sehingga petani tersebut
menambal pikulan itu dan menjadi lebih besar dari biasanya, dengan tujuan agar dapat digunakan sampai
tujuan (rumah). Maka alasan buruknya adalah 1) dipakai pasti tidak nyaman. 2) tidak menjadi buah
gunjingan bahwa (pikulannya) tidak seperti umumnya (aneh), artinya jika ketemu orang di jalan pasti tahu
bahwa itu dilakukan karena darurat. Keanehan yang memiliki alasan yang bermakna seperti inilah yang
disebut bukan kesombongan, 3) dia pasti merasa malu jika hal itu dilihat orang, dan dirinya tidak akan
merasa bahwa “sayalah yang bisa melakukan seperti ini”.
Dari dua contoh itu, (contoh 1 dan 2), sama-sama melakukan aktifitas membuat pikulan yang lebih besar
dari ukuran biasanya (standar pikulan). Namun secara psikologis, contoh 1 dapat dikatakan bahwa dirinya
ada unsur kesombongan, rasa wah, dan agar dianggap bahwa dirinya mampu membuat dan memiliki seperti
itu. Inilah yang tidak disukai oleh Allah, karena dianggap berlebih-lebihan. Berbeda dengan contoh nomer 2,
yang juga melakukan hal yang sama, tetapi tujuan di dalam hatinya berbeda dan tidak memiliki unsur
kesombongan, maka akan berbeda pula dalam memberi hukum padanya. Sehingga yang dilihat Allah adalah
bagaimana dirinya menyikapi hal-hal yang ada pada dirinya terkait dengan kehidupan pergaulannya.
Focus dari kasus ayat tersebut adalah; memakai pakaian yang baik ketika memasuki masjid. Baiklah, ini
sekali lagi menggunakan standar kepantasan manusia ketika mereka memiliki dan menggunakan pakaian
setiap harinya. Yang dilihat adalah bagaimana hatinya memimpin jiwa untuk melakukan aktivitas
menggunakan pakaian tersebut.
Contoh ada perbedaan ketika akan berpesta, menggunakan pakaian ala kadarnya, pasti orang tersebut
akan merasa tidak nyaman dan akan malu jika dilihat orang. Apalagi di rumah masih ada pakaian pesta yang
lebih baik dari itu. Ketika akan memasuki masjid (contoh ketika akan jumatan) menggunakan pakaian ala
kadarnya, yang penting pantas. Walaupun di rumah masih ada pakaian untuk ibadah yang lebih baik dari itu.
Dan waktu jumatan dia merasa nyaman-nyaman saja.
Pertanyaannya, mengapa ketika ingin pergi pesta, diri kita merasa tidak nyaman (tidak pantas) jika
memakai pakaian ala kadarnya, walaupun masih pantas, alasannya malu di lihat orang, malu kalau menjadi
bahan gunjingan orang dsb. Walaupun ketika dipesta tidak ada yang menggunjingkan soal pakaian yang
dipakainya. Sedangkan pergi ke masjid mengapa tidak ada perasaan malu sedikitpun ketika memakai
pakaian yang sederhana?
Disinilah Allah mengingatkan agar semestinya lebih malu jika ke masjid memakai pakaian sederhana
ketimbang pergi ke pesta dengan pakaian yang sederhana pula. Karena ke masjid tujuan untuk Allah
(beribadah) sedangkan pesta tujuannya untuk urusan manusia. Demikian juga perilaku makan dan minum
keseharian kita. Semuanya itu harus diukur dengan ukuran kepantasan agar lebih nyaman.
Tugas anda, membuat alalisis terhadap ayat tersebut di atas, ( mulai ayat Al quran urutan ke 2-9). Untuk
nomer 1 QS. Al-A’raf ayat 31 adalah contoh saja.
Tugas di Uploud di link tugas 1 yang telah ditentukan.