Anda di halaman 1dari 28

DISKUSI KASUS

ULKUS DUODENUM

Oleh :
Kurniawan Adi Putranto
G99121025

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Ulkus duodenum masih merupakan masalah kesehatan yang penting.


Insidennya cukup tinggi di Amerika Serikat, dengan 4 juta penduduk terdiagnosis
setiap tahunnya. Sekitar 20-30 % dari prevalensi ulkus ini terjadi akibat
pemakaian Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) terutama yang nonselektif.
OAINS digunakan secara kronis pada penyakit-penyakit yang didasara inflamasi
kronis seperti osteoathritis. Pemakaian kronis ini semakin meningkatkan risiko
terjadi ulkus peptikum yang nantinya menjadi ulkus duodenum.
Kebanyakan ulkus duodenum juga diakibatkan oleh infeksi bakteri yaitu
Helicobacter pylori. Dimana infeksi ini sering diabaikan oleh para klinisi yang
hanya menganggap ringan penyakit maag hingga akhirnya menjadi ulkus. Selain
itu untuk menegakkan diagnosis juga perlu dilakukan endoskopi.
Ulkus duodenum adalah penyakit yang sering sekali terjadi di masyarakat,
sehingga perlu sekali untuk mempelajari penyakit ini sehingga dapat menjadi
bekal dalam melakukan praktek sebagai general practitioner.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Ulkus duodenum atau tukak duodenum secara anatomis didefinisikan
sebagai suatu defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat
menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi
perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel superficial atau
lapisan lebih dalam dengan diameter ≥ 5mm yang dapat diamati secara
endoskopi atau radiologis.1

B. ETIOLOGI
Etiologi ulkus duodenum yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang
merusak pertahanan mukkosa adalah Helicobacter pylori, obat anti inflamasi
non-steroid, asam lambung/ pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta
kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada
kejadian ulkus duodenum.1,2

C. PATOGENESIS
Helicobacter pylori ditularkan secara feko-oral atau oral-oral. Didalam
terutama terkonsentrasi dalam antrum, bakteri ini berada pada lapisan mukus
dan sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel/ antar epitel.
Bila terjagi infeksa H.pylori maka bakteri ini akan melekat pada
permukaan epitel dangan bantuan adhesin sehingga akan terjadi gastritis akut
yang akan berlanjut maenjadi gastritis kronik aktif atau duodenitis kronik
aktif.
Bila terjadi infeksi H.pylori, host akan memberi respon untuk
mengeliminasi/memusnahkan bakteri ini melalui mobilitas sel-sel
PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan
mengeluarkan bermacam-macam mediator inflamasi atau sitokinin, yang

2
bersama-sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan
kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah anmun tidak berhasil
mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi konik.
Penggunaan OAINS secara kronik dan reguler bukan hanya dapat
menyebabkan kerusakan struktral pada gastroduodenal, tapi juga pada usus
halus dan usus besar berupa inflamasi, ulserasi atau perforasi. OAINS bersifat
asam sehingga dapat menyebabkan kerusakan epitel dalam berbagai tingkat,
namun yang paling utama adalah efek OAINS yang menghambat kerja dari
enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat, sehingga menekan
produksi prostaglandin dan prostasiklin yang berperan dalam memelihara
keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel
epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur fungsi immunosit mukosa
serta sekresi basal asam lambung. 1,2
Faktor lingkungan yang dapat merupakan faktor resiko terjadinya ulkus
duodenum adalah:
 Merokok, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi H.pylori
dengan menurunkan faktor pertahanan dan menciptakan miliu
yang sesuai untuk H.pylori.
 Faktor stress, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi
vitamin.
 Beberapa penyakit tertentu dimana prevalensi ulkus duodenum
meningkat, seperti eindrom Zilloninger Elison, mastositosis
sistemik, penyakit chron dan hiperparatiroidisme.
 Faktor genetik.

D. DIAGNOSIS
Gambaran klinik ulkus duodenum sebagai salah satu bentuk dispepsia
organik adalah sindrom dispepsia berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada
epigastrium. Nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit/tidak
nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisasi, biasanya terjadi setelah 90

3
menit sampai 3 jam post prandial dan nyeri dapat berkurang semaentara
sesudah makan, minum susu atau minum antasida.
Nyeri yang spesifik pada 75% pasien adalah nyeri tengah malam yang
membangunkan pasien. Nyeri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke
punggung perlu diwaspadai adanya penetrasi tukak ke pankreas, sedangkan
nyeri yang muncul dan menetap mengenai seluruh perut dicurigai suatu
perforasi.
Diagnosis pasti ulkus duodenum dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas dan sekaligus dilakukan biopsi lambung untuk
deteksi H.pylori atau dengan pemeriksaan foto barium kontras ganda.3

E. DIAGNOSIS BANDING
 Ulkus peptikum / tukak peptik
 Dispepsia ulcer like type

F. TERAPI
Medikamentosa
a) Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik,
membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim
pepsin dapat bekerja pada pH lebih tinggi dari 4, maka penggunaan antacida
juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin.
b) Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi
asam lambung yang dikatakan efektif bagi menghambat sekresi asam
nocturnal. Strukturnya homolog dengan histamine. Mekanisme kerjanya
secara kompetitif memblokir perlekatan histamine pada reseptornya sehingga
sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.
Inhibisi bersifat reversible. Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin
: 2 x 400 mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg, Ranitidine : 300
mg malam hari,dosis maintenance 150 mg, Nizatidine : 1 x 300 mg malam
hari,dosis maintenance 150 mg, Famotidine : 1 x 40 mg malam hari,

4
Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg
malam hari.
c) Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja
enzim K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel
kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi
aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek
eradikasi oleh regimen triple drugs, Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg,
Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60 mg.
d) Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth
Subsalisilat/BSS) Membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar
tukak dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek
bakterisidal terhadap H.Pylori.
e) Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida
yang berikatan dengan kutub positif melekul proteinàlapisan fisikokemikal
pada dasar tukakàmelindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa
prostaglandin, kerjasama dengan EGF, menambah sekresi bikarbonat
&mukus, peningkatan daya pertahanan dan perbaikan mukosal.
f) Prostaglandin: Mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi
mukus, bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa, pertahanan dan
perbaikan mukosa. Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi
NSAIDs.
g) Penatalaksanaan infeksi H.Pylori.
Tujuan eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan
tukak dan mencegah kekambuhan. Lama pengobatan eradikasi H.Pylori
adalah 2 minggu,untuk kesembuhan tukak,bisa dilanjutkan pemberian PPI
selama 3 – 4 minggu lagi.2,3,5

Tindakan pembedahan

5
Indikasi untuk melakukan tindakan operasi apabila terapi medik gagal atau
terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi, dan obstruksi.

H. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis pada
stadium dini, sangat berhasil.

6
BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Kartasura
Agama : Islam
No CM : 01234515
Tanggal Masuk : 15 Juli 2013

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Nyeri di ulu hati

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Sejak 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengeluhkan nyeri di
daerah ulu hati, nyeri dirasakan hilang timbul dan dirasakan terutama jika
terlambat makan. Pasien biasanya mengkonsumsi obat antasid jika terasa
terasa nyeri perut dan terasa membaik. Pasien merasa nyeri perut yang
timbul sejak 3 hari ini tidak hilang dengan obat yang biasa diminum.
Keluhan yang semakin memberat ini menyebabkan pasien menjadi susah
makan karena nyeri perut tersebut. Tidak ada keluhkan mengenai BAK
maupun BAB pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

7
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat mondok : disangkal
 Riwayat asma / alergi: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis,
gizi kesan cukup
2. Tanda Vital : T : 120/70 mmHg Rr : 20 x / mnt
N : 82x / mnt S : 36,70 C
3. Mata : CA ( -/- ), SI ( -/- )
4. Telinga : pendengaran baik, NT tragus ( -/- ),
secret ( -/- )
5. Hidung : NCH ( -/- ), secret ( -/- ), epistaksis
( -/- )
6. Mulut : bibir kering ( - ), mucosa
pucat ( -)
7. Tenggorokan : tonsil hiperemi ( -/- ), faring
hiperemi ( -/- )
8. Leher : JVP tidak menigkat
9. Thorax
Cor : I : Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis tidak kuat angkat
P: Batas jantung kesan tidak melebar
A: Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor / sonor

8
A : Suara dasar vesikuler ( +/+ ), suara tambahan ( -/- )
10. Abdomen : I : Dinding perut sejajar
dinding dada
P : Supel, nyeri tekan ( + ) di epigastrium
P : Tymphani
A : Peristaltik ( + )
11.

9
Ekstremitas : Oedem Akral dingin

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Endoskopi: luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan
normal
disertai lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak.

E. DIAGNOSIS
Ulkus duodenal

F. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Untuk kontrol diet, menghindari air jeruk yang asam, minuman coca cola,
bir, maupun kopi

Medikamentosa
 Omeprazol 2x20mg
 Clarithromycin 2x500mg
 Amoksisilin 2x500mg

10
Penulisan Resep
dr. Kurniawan
Alamat : Jl. Raya III/2 Solo
Telp : 678910
SIP : 09876/12432

R / Omeprazole cap mg 20 No. XIV


∫ 2 dd cap I

R / Clarithromycin cap mg 500 No. XIV
∫ 2 dd tab I p.c.

R / Amoksisilin tab mg 500 No. XIV
∫ 2 dd tab I

Pro : Tn. T ( 41 th )

11
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Terapi Antibiotik
Antibiotika dapat diberikan sebagai terapi awal jika terdapat infeksi
dari Helicobacter pylori. Tata laksana awal yang paling sering digunakan
yaitu triple therapy yang terdiri dari PPI, amoksisilin dan clarithromycin yang
diberikan 2 kali sehari selama 7-14 hari. Metronidazol dapat digunakan untuk
menggantikan amoksisilin pada pasien yang alergi terhadap penisilin
Ketika tata laksana dengan lini pertama gagal, maka digunakan lini
kedua yang sering disebut dengan quadruple therapy. Quadruple therapy
terdiri dari kombinasi PPI, bismuth subsalisilat, metronidazol, dan tetrasiklin.

B. Terapi Lainnya
Antagonis H2
Yang termasuk antagonis reseptor H2 adalah Simetidine, Ranitidine,
Nizatidine, dan Famotidine. Senyawa-senyawa antagonis reseptor H2 secara
kompetitif dan reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal,
menyebabkan berkurangnya produksi sitosolik siklik AMP dan sekresi
histamine yang menstimulasi sekresi asam lambung. Interaksi antara siklik
AMP dan jalur kalsium menyebabkan inhibisi parsial asetilkolin dan gastrin
yang menstimulasi sekresi asam.
Yang potensinya paling lemah adalah simetidin sedangkan yang
paling kuat adalah Famotidin. Ranitidin memiliki durasi yang lebih lama dari
Simetidin. Ranitidine dan Simetidin digunakan juga untuk profilaksis.

12
Reseptor H2 terdapat di lambung, pembuluh darah (menurunkan tekanan
darah dengan menurunkan resistensi perifer, positif kronotropisme, inotropik
positif).
Antagonis reseptor H2 menghambat secara sempurna sekresi asam
lambung yang sekresinya diinduksi oleh histamin maupun gastrin, tetapi
menghambat secara parsial sekresi asam lambung yang sekresinya diinduksi
oleh asetilkolin. Hal tersebut dapat terjadi dengan melihat kembali mekanisme
sintesis asam lambung di sel parietal.
Antagonis reseptor H2 juga menghambat sekresi asam lambung yang
distimulasi oleh makanan, insulin, kafein, pentagastrin, dan nokturnal.
Antagonis reseptor H2 mengurangi volume cairan lambung dan konsentrasi
H+. Seluruh senyawa yang termasuk antagonis reseptor H2 efektif
menyembuhkan tukak lambung maupun tukak duodenum. Secara umum
kekambuhan setelah terapi umumnya berhenti (60-100%).
Kegunaan terapi antagonis reseptor H2: Tukak peptic, Zoolinger
Ellison Syndrom, Tukak akut, dan GERD (Gastro Esophageal Refluks
Disease) / heart burn.
Efek samping Antagonis reseptor H2
Sakit kepala, pusing, mual, diare, obstipasi, sakit otot dan sendi,
sistem saraf pusat (kecemasan, halusinasi terutama pada orang tua dan
konsumsi jangka panjang), penurunan transaminase serum.
 Simetidin, memiliki struktur imidazole, dapat terdistribusi luas ke
seluruh tubuh, termasuk air susu dan dapat melewati plasenta.
Diekskresi sebagian besar lewat urin, memiliki t½ pendek, meningkat
pada gangguan ginjal. 30% dosis diinaktivasi lambat dalam hati. 70%
dosis eksresi lewat urin dalam bentuk tidak berubah.
Dosis : dewasa 200 mg & 400 mg 3x / hari sebelum tidur atau 400 mg
sebelum sarapan & 400 mg sebelum tidur. Anak-anak 20-40 mg/kg
BB/ hari.
Efek Samping : lelah, pusing, diare, ruam, Jarang : ginekomastia, rasa
bingung yang reversibel, impotensi (pria), reaksi alergi, artralgia,

13
mialgia, gangguan darah, nefritis interstitial, sakit kepala,
hepatotoksik, pankreatitis.
Interaksi Obat : meningkatkan kadar lignokain, fenitoin, warfarin,
teofilin, beberapa golongan antiaritmia (benzodiazepin, β-bloker,
vasodilator) dalam darah.
 Ranitidine, memiliki cincin furan dan durasi yang lebih lama dan 5-10
kali lebih potensial dari simetidin. Ranitidine dimetabolisme dalam
hati.
Dosis : 150 mg 2x / hari atau dosis tunggal 300 mg sebelum tidur.
Efek samping : sakit kepala, pusing, gangguan gastro intestinal, ruam
kulit.
Interaksi obat : ranitidin menurunkan bersihan warfarin, prokainamid,
dan N-asetil prokainamid, meningkatkan absorpsi midazolam,
menurunkan absorpsi kobalamin.
 Famotidin, memiliki struktur thiazole, serupa dengan Ranitidin pada
aksi farmakologi. Memiliki aksi 20-60 kali lebih potensial dari
Simetidin dan 3-200 kali lebih potensial dari Ranitidin. Famotidin
dimetabolisme dalam hati.
Dosis : Ulkus duodenum terapi akut 40 mg 1 x / hari sebelum tidur
atau 20 mg 2 x / hari, pemeliharaan 20 mg 1 x / hari sebelum tidur.
Kondisi hipersekresi patologis 20 mg 4 x / hari.
Efek samping : konstipasi, diare, muntah, erupsi kulit, sakit kepala,
trombositopenia, nyeri sendi, penurunan nafsu makan.
Interaksi obat : Antasid, ketokonazol, obat yang dimetabolisme melalui
sistem mikrosom hati (warfarin, teofilin, diazepam).
 Nizatidin, memiliki struktur kombinasi cincin thiazole Famotidin dan
rantai samping Ranitidin. Serupa dengan Ranitidin pada aksi
farmakologi dan potensinya. Nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan
bioavailabilitas mendekati 100%.
Dosis : tukak duodenum aktif dewasa 300 mg / hari sebelum tidur atau
150 mg 2 x / hari selama 8 minggu. Perawatan tukak duodenum yang

14
sudah sembuh dewasa 150 mg 1 x / hari sebelum tidur. Penyakit
refluks gastroesofageal 150-300 mg 2 x / hari selama 12 minggu.
Tukak lambung aktif yang jinak 150 mg 2 x / hari atau 300 mg 1 x /
hari selama 8 minggu. Ampul infus iv kontinue : larutkan 300 mg
dalam 150 mL larutan iv dan infus ditingkatkan rata-rata 10 mg/jam.
Infus intermitten : larutkan 100 mg dalam 150 mL larutan iv dan infus
lebih dari 15 minimal 3 x / hari. Maksimal 480 mg / hr.
Antasida
Antasida (senyawa magnesium, aluminium, dan bismut, hidrotalsit,
kalsium karbonat, Na-bikarbonat)
Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga
efektifitasnya bergantung pada kapasitas penetralan dari antasida tersebut.
Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang dibutuhkan
untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10 menit
secara in vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan
sebesar 90% dan peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99% asam
lambung.
Antasida ideal adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang besar,
juga memiliki durasi kerja yang panjang dan tidak menyebabkan efek lokal
maupun sistemik yang merugikan.
Antasida dapat meningkatkan pH cairan lambung sampai pH 4, dan
menghambat aktifitas proteolitik dari pepsin. Antasida tidak melapisi dinding
mukosa namun memiliki efek adstringen. Secara kimia antasida merupakan
basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung membentuk garam dan air.
Antasida juga dapat menstimulasi sintesis prostaglandin. Secara umum
antasida dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan non
sistemik. Seluruh antasida dapat digunakan untuk terapi tukak duodenum dan
terbukti efektif untuk tukak lambung akut.
Antasida sistemik, diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat
menyebabkan urin bersifat alkali. Untuk keadaan pasien dengan gangguan

15
ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik sehingga saat ini penggunaannya
sudah jarang. Contoh antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat (NaHCO3).
Antasida non sistemik, tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak
menimbulkan alkalosis metabolik. Salah satunya adalah Magnesium
[Mg(OH)2], Aluminium [(Al(OH)3], Kalsium (CaCO3), Magnesium trisilikat
(Mg2Si3O8nH2O), Magaldrat.
Mg(OH)2 memiliki efek netralisasi yang lebih lama dibandingkan
NaHCO3 atau CaCO3, sedangakan Magnesium trisilikat, Al(OH)3 dan
Aluminium fosfat memiliki aktivitas antasid yang lemah.
Penggunaannya bermacam-macam, selain pada tukak lambung-usus,
juga pada indigesti pada refluks oesophagitis ringan, dan pada gastritis. Obat
ini dapat mengurangi rasa nyeri di lambung dengan cepat (dalam beberapa
menit). Efeknya bertahan 20-60 menit bila diminum pada perut kosong dan
sampai 3 jam bila diminum 1 jam sesudah makan. Makanan dengan daya
mengikat asam (susu) sama efektifnya terhadap nyeri.
Peninggian pH
Garam-garam magnesium dan Na-bikarbonat menaikkan pH isi
lambung sampai 6-8, CaCO3 sampai pH 5-6 dan garam-garam aluminium
hidroksida sampai maksimal pH 4-5.
Kehamilan dan Laktasi
Wanita hamil sering kali dihinggapi gangguan refluks dan rasa
”terbakar asam”. Antasida dengan aluminium hidroksida dan
magnesiumhidroksida boleh diberikan selama kehamilan dan laktasi.

Senyawa magnesium dan aluminium


Keduanya dengan sifat netralisasi baik tanpa diserap usus merupakan
pilihan pertama. Karena garam magnesium bersifat mencahar, maka biasanya
dikombinasi dengan senyawa aluminium (atau kalsium karbonat) yang bersifat
obstipasi (dalam perbandingan 1:5). Persenyawaan molekuler dari Mg dan Al
adalah hidrotalsit yang juga sangat efektif.
 Natriumbikarbonat dan kalsiumkarbonat

16
Bekerja kuat dan pesat, tetapi dapat diserap usus dengan menimbulkan
alkalosis. Adanya alkali berlebihan di dalam darah dan jaringan
menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia, nyeri kepala, dan gangguan
perilaku. Semula penggunaannya tidak dianjurkan karena terbentuknya
banyak CO2 pada reaksi dengan asam lambung, yang dikira justru
mengakibatkan hipersekresi asam lambung (rebound effect). Tetapi
penelitian pada tahun 1996 tidak membenarkan perkiraan tersebut.
 Bismutsubsitrat
Dapat membentuk lapisan pelindung yang menutupi tukak, lagipula
berkhasiat bakteriostatik terhadap Helicobacter pylori. Kini banyak
digunakan pada terapi eradikasi tukak, selalu bersama dua atau tiga obat
lain.
Waktu makan obat
Secara umum, keasamaan di lambung menurun segera setelah makan
dan mulai naik lagi satu jam kemudian hingga mencapai konsentrasi tinggi
tiga jam sesudah makan. Oleh karena itu, antasida harus digunakan lebih
kurang satu jam sesudah makan dan sebaiknya dalam bentuk suspensi. Telah
dibuktikan bahwa tablet bekerja kurang efektif dan lebih lambat, mungkin
karena proses pengeringan selama pembuatan mengurangi daya netralisasinya.
Pada oesophagitis dan tukak lambung sebaiknya obat diminum 1 jam
sesudah makan dan sebelum tidur. Pada tukak usus 1 dan 3 jam sesudah
makan dan sebelum tidur.
Penyebab kegagalan pengobatan dengan antasida dapat terjadi karena
frekuensi pengobatan tidak adekuat, dosis yang diberikan tidak cukup,
pemilihan sediaan tidak tepat, dan sekresi asam lambung sewaktu tidur tidak
terkontrol.

Proton Pump Inhibitor (PPI)


Contoh : Omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol dan
esomeprazol.
Mekanisme kerja

17
Obat-obat golongan proton pump inhibitor mengurangi sekresi asam
lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal
sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa
proton bekerja memecah KH ATP yang kemudian akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke
dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril
dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap kerja
enzim. Kemudian dilanjutkan dengan terhentinya produksi asam lambung.
Farmakologi
Dosis : 20 mg sehari, kecuali untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison
yang memerlukan 60-70 mg sehari.
Penghambatan terhadap enzim pompa proton maksimal bertahan
selama 4 jam, tetapi produksi asam lambat kembali ke jumlah normal (3-5 hari
setelah pemakaian dosis tunggal). Kerjanya panjang akibat akumulasi di sel-
sel parietal. Kadar penghambatannya tergantung dosis dan pada umumnya
lebih kuat dari AH2.
Obat-obat golongan ini memiliki digunakan untuk mengobati tukak
peptik dan sindrom Zollinger-Ellison.
Farmakokinetik
Obat-obat golongan ini mempunyai masalah bioavailabilitas karena
mengalami aktivitasi di dalam lambung lalu terikat pada berbagai gugus
sulfhidril mukus dan makanan. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan dalam
bentuk tablet salut enterik.
Obat-obat golongan ini mengalami metabolisme lengkap. Tidak
ditemukan dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan
ditemukan dalam tinja.
Efek Samping
Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin
darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada
manusia belum dapat dibuktikan.
Interaksi Obat

18
1. Omeprazol dengan Diazepam : terjadi peningkatan kadar
Diazepam.
2. Omeprazol dengan Barbiturat : memanjangkan waktu tidur yang
merupakan efek dari Barbiturat.

Analog Prostaglandin
Mekanisme kerja
Prostaglandin E2 dan I2 dihasilkan oleh mukosa lambung,
menghambat seksresi HCl dan merangsang seksresi mukus dan bikarbonat
(efek sitoprotektif). Defisiensi prostaglandin diduga terlibat dalam patogenesis
ulkus peptikum.
Farmakologi dan farmakokinetik
Misoprostol yaitu analog prostaglandin E digunakan untuk mencegah
ulkus lambung yang disebabkan antiinflamasi non steroid (NSAIDs). Obat ini
kurang efektif bila dibandingkan antagonis H2 untuk pengobatan akut ulkus
peptikum.
Efek samping yang sering timbul adalah diare dan mual. Selain itu,
menyebabkan kontraksi uterus dan menjadi kontraindikasi selama kehamilan.
Dosis 200 µg 4x sehari atau 400 µg 2x sehari
Sukralfat
Mekanisme kerja
Mekanisme Sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida
sulfat yang digunakan dalam penyakit ulkus peptik. Mekanisme kerjanya
diperkirakan melibatkan ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik,
dimana obat ini bekerja sebagai sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu.
Obat ini mempunyai efek perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi
prostaglandin mukosa. Selain itu, sukralfat dapat langsung mengabsorpsi
garam-garam empedu, aktivitas ini nampaknya terletak didalam seluruh
kompleks molekul dan bukan hasil kerja ion aluminium saja.
· Farmakologi dan farmakokinetik

19
Sukralfat dapat digunakan untuk mengobati ulkus, tetapi lebih utama
digunakan dalam pencegahan stress ulserasi. Diindikasikan untuk penggunaan
jangka pendek, dan lebih efektif pada ulkus usus. Obat ini sukar diabsorpsi
secara sistemik (meskipun telah didokumentasikan adanya peningkatan kadar
obat ini dalam darah pada penderita gagal ginjal). Berikatan dengan protein
bebas, dan konsentrasi sukralfat pada bagian ulkus lebih besar daripada pada
jaringan normal. Efek samping yang sering terjadi dari penggunaan obat ini
yaitu konstipasi yang disebabkan karena adanya aluminium. Sekitar 3-5%
aluminium dari dosis diabsorpsi dapat menyebabkan toksisitas aluminium
pada penggunaan jangka panjang. Resiko ini meningkat pada pasien dengan
gangguan ginjal. Efek yang jarang terjadi termasuk diare, mual, kesulitan
mencerna, mulut kering, dan mengantuk.
Dosis
Dosis sukralfat adalah 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur
malam) atau 1 g 4 kali sehari pada waktu lambung kosong (paling kurang 1
jam sebelum makan dan sebelum tidur malam), diberikan selama 4-6 minggu
atau pada kasus yang resisten 12 minggu, maksimal 8 g sehari. Anak-anak
tidak dianjurkan mengkonsumsi obat ini. Profilaksis tukak stress (suspensi), 1
g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Saran untuk obat ini yaitu sediaan tablet
dapat didispersikan dalam 10-15 ml air. Obat ini juga diperlukan pH asam
untuk diaktifkan dan sehingga tidak boleh diberikan bersama antasid atau
antagonis reseptor H2. Jika digunakan bersama antasida harus diberikan 30
menit sebelum atau sesudah sukralfat.
Interaksi obat
Sukralfat dapat menurunkan absorpsi siprofloksasin, norfloksasin,
ofloksasin, tetrasiklin, warfarin, fenitoin, ketokonazol, glikosida jantung, dan
tiroksin, simetidin, ranitidin dan teofilin.

Senyawa Bismut
Mekanisme kerja

20
Senyawa bismut juga bekerja secara selektif berikatan dengan ulkus,
melapisi dan melindungi ulkus dari asam dan pepsin. Postulat lain mengenai
mekanisme kerjanya termasuk penghambatan aktivitas pepsin, merangsang
produksi mukosa, dan meningkatkan sintesis prostaglandin. Obat ini mungkin
juga mempunyai beberapa aktivitas antimikroba terhadap H pylori. Bila
dikombinasi dengan antibiotik seperti metronidazol dan tetrasiklin, kecepatan
penyembuhan ulkus mencapai 98%. Biaya dan potensi toksisitas dari regimen
ini dapat membatasi penggunanya pada ulkus yang serius atau pada penderita
yang sering kambuh. Garam bismut tidak menghambat ataupun menetralisasi
asam.
Farmakologi dan farmakokinetik
Bismut subsalisilat (Pepto-Bismol®) telah digunakan dalam uji di AS.
Ketidaknormalan ginjal dapat menurunkan eliminasi bismut, sehingga perlu
perhatian penggunaannya pada pasien lanjut usia dan gagal ginjal. Bismut
subsalisilat dapat menyebabkan sensitif terhadap salisilat dan perdarahan, dan
perlu perhatian juga pada pasien yang menerima terapi dengan salisilat. Pasien
harus diberitahu bahwa garam bismut dapat menyebabkan warna hitam pada
tinja dan lidah (jika menggunakan sediaan cair). Trikalium disitratobismutat
telah diuji secara luas di Eropa dan memperlihatkan proses penyembuhan
ulkus lambung dan ulkus duodenum lebih baik dari plasebo. Trikalium
disitratobismutat memilki masa tinggal lebih panjang jika dinbanding dengan
antagonis reseptor H2, tetapi masih terjadi kambuh dan sekarang telah
dikembangkan aturan pakai regimen yang melibatkan antibiotika. Meskipun
kandungan bismutnya rendah, tetapi telah dilaporkan terjadinya absorpsi. Efek
sampingnya yaitu dapat membuat lidah berwarna gelap dan wajah kehitaman,
mual dan muntah, dan belum ada laporan tentang terjadinya ensefalopati pada
pemakaian jangka panjang senyawa bismut lain. Sediaan tablet sama
efektifnya dengan sediaan cair dan lebih enak.
Dosis
Regimen dosis bismut dengan kombinasi 3 obat lain digunakan dalam
lini pertama pengobatan ulkus karena H pylori. Regimen ini terdiri dari

21
antagonis reseptor H2 (omeprazole 40 mg 2 kali sehari), bismuth subsalisilat
525 mg 4 kali sehari, metronidazol 250-500 mg 4 kali sehari, dan tetrasiklin
400 mg 4 kali sehari (atau amoksisilin 500 mg 4 kali sehari atau klaritromisin
250-500 mg 4 kali sehari). Jangka waktu pemakaian regimen dosis ini yaitu 14
hari.
Interaksi obat
Trikalium disitratobismutat dapat menurunkan absorpsi tetrasiklin.

C. Pembahasan Obat
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah
Clarithromycin dan Amoksisilin. Seperti obat golongan makrolida lain,
clarithromycin mengikat ribosom subunit 50 S subunit pada ribosom 70 S, hal
ini akan menghambat RNA sehingga sintesa protein bakteri akan terganggu.
Clarithromycin dapat bersifat bakteriostatik ataupun bakterisidal, tergantung
pada konsentrasinya. Pada kondisi alkali, akan mempermudah masuk ke sel
bakteri, yang pada kondisi ini clarithromycin ada dalam bentuk tak terionkan.
Clarithromycin juga dapat masuk sel fagosit dan makrofag.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah diare, mual, nyeri & rasa
tidak enak pada perut, pengecapan abnormal, dispepsia, sakit kepala.
Interaksi dengan obat lain :
- Alfentanil: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme Alfentanil.
- Alosetron: Penghambat CYP3A4 (kuat) mungkin dapat
meningkatkan konsentrasi Alosetron.
- Obat Antifungal: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme obat antifungal.
- Benzodiazepin: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme benzodiazepin.
- Buspirone: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme Buspirone.

22
- Calcium Channel Blockers: Antibiotika Makrolida dapat
menurunkan metabolisme Calcium Channel Blockers.
- Carbamazepine: Antibiotika Marolida dapat menurunkan
metabolisme Carbamazepine.
- Glikosida jantung: Antibiotika Makrolida dapat meningkatkan
konsentrasi glikosida jantung.
- Clopidogrel: antibiotika Makrolida mengurangi efek terapi
Clopidogrel.
- Clozapine: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme Clozapine.
- Colchicine: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme Colchicine.
- Kortikosteroid (Sistemik): Antibiotika Makrolida dapat
menurunkan metabolisme Kortikosteroid (Sistemik).
- Cilostazol: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme Cilostazol.
- Ciprofloxacin: Dapat meningkatkan efek perpanjangan QT.
- Cisapride: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan metabolisme
Cisapride.
- Derivat akumarin: Antibiotika Makrolida dapat menurunkan
metabolisme Derivat Kumarin.
- Disopyramide: Antibiotika Makrolida dapat meningkatkan efek
perpanjangan QT Disopyramide. Antibiotika Makrolida dapat
menurunkan metabolisme Disopyramide.
- Cyclosporine : antibiotika makrolida dapat menurunkan
metabolisme cycklosporine.

Clarithromycin sedapat mungkin tidak diberikan pada wanita hamil


kecuali tidak ada alternatif terapi yang lain. Pasien harus diberitahu risiko
terhadap kehamilannya.; FDA mengelompokkan obat ini dalam kategori C.

23
Amoxicillin yang termasuk dalam golongan penisilin. Antibiotik ini
mempengaruhi sintesis dinding sel mucopeptides selama multiplikasi aktif,
menghasilkan aktivitas bakterisidal pada bakteri yang sensitif. Biasanya
diberikan per oral 3-4 kali dengan dosis harian 350-500 mg per hari.
Kontraindikasi penggunaan amoksisilin ini jika terdapat riwayat
hipersensitivitas terhadap golongan penicillin.

D. Antibiotika alternatif untuk kasus ini


1. Golongan Tetrasiklin
Nama obat Tetrasiklin -- Bersifat bakteriostatik : menghambat
sintesis protein bakteri pada ribosomnya.
Proses masuk antibiotika Tetrasiklin ke dalam ribosom
bakteri gram negatif :
1.difusi pasif melalui kanal hidrofilik,
2.sistem transportasi aktif.
Umumnya efek antimikroba golongan Tetrasiklin sama
(sebab mekanisme kerjanya sama),
Terdapat perbedaan kuantitatif dari aktivitas masing-
masing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya
mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi
antibiotika Tetrasiklin.
Dosis Dewasa Dosis 2 kali 250 mg selama 2-3 minggu
Dosis anak Dosis oral minimum 20 mg /kg/hari untuk anak-anak
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi Obat Tetrasiklin membentuk kompleks khelat dengan ion-
ion kalsium, magnesium, besi dan aluminium  tidak
diberikan bersamaan dengan tonikum yang
mengandung besi atau dengan antasida berupa senyawa
aluminium, magnesium. Susu mengandung banyak
kalsium, sehingga sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan susu
Perhatian Gangguan fungsi ginjal
Kelebihan Dapat digunakan pada pasien jika tidak merespon
terhadap terapi penisilin dan makrolid
Kekurangan Harga relatif mahal

24
2. Metronidazole
Nama obat Metronidazole adalah antibakteri dan antiprotozoa
sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai aktifitas
bakterisid, amebisid dan trikomonosid.
Dalam sel atau mikroorganisme metronidazole
mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi
ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan
menghambat sintesa asam nukleat.
Metronidazole bekerja efektif baik lokal maupun
sistemik.
Dosis Dewasa Dosis 4 kali 250 mg selama 2-3 minggu
Dosis anak 35 - 50 mg/kg BB sehari dalam dosis terbagi 3, selama
10 hari
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat hipersensitivitas
Interaksi Obat Metronidazole menghambat metabolisme warfarin
dan dosis antikoagulan kumarin lainnya harus
dikurangi.
Pemberian alkohol selama terapi dengan
metronidazole dapat menimbulkan gejala seperti pada
disulfiram yaitu mual, muntah, sakit perut dan sakit
kepala.
Dengan obat-obat yang menekan aktivitas enzim
mikrosomal hati seperti simetidina, akan
memperpanjang waktu paruh metronidazole.
Perhatian Metronidazole tidak dianjurkan untuk penderita
dengan gangguan pada susunan saraf pusat, diskrasia
darah, kerusakan hati, ibu menyusui dan dalam masa
kehamilan trimester II dan III. Pada terapi ulang atau
pemakaian lebih dari 7 hari diperlukan pemeriksaan
sel darah putih.
Kelebihan Dapat digunakan pada pasien lini kedua atau alergi
terhadap antibiotik golongan penisilin
Kekurangan Efek samping obat cukup banyak

25
BAB V
KESIMPULAN

Ulkus duodenum atau tukak duodenum secara anatomis didefinisikan


sebagai suatu defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus
muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi.
Pada kasus diatas diberikan terapi yang meliputi:
1. Antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi bila terdapat infeksi Helicobacter pylori. Tata laksana
awal yang paling sering digunakan yaitu triple therapy yang terdiri
dari PPI, amoksisilin dan clarithromycin yang diberikan selama 7-14
hari. Metronidazole dapat digunakan untuk menggantikan amoksisilin
pada pasien yang alergi terhadap penisilin.
Ketika tata laksana dengan lini pertama gagal, maka digunakan lini
kedua yang terdiri dari antibiotik metronidazole dan tetrasiklin.
2. Pemberian obat-obat penurun
asam lambung juga dapat membantu terapi ini. Dalam hal ini lini
pertama diberikan omeprazole yang merupakan obat golongan PPI.
3. Selain itu pasien juga diberi
tahu untuk kontrol diet, menghindari air jeruk yang asam, minuman
coca cola, bir, maupun kopi guna mengurangi jumlah asam lambung.

Penanganan dengan medikamentosa yang tepat maka risiko terjadinya


komplikasi dapat diminimalkan pada pasien.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Akil, H A M. Tukak Duodenum. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.


PIPFKUI, Jakarta, 2006.
2. John Del Valle. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. Harrison
Principle Internal Medicine. McGraw-Hill Professional. 2008.
3. Shames Richard S, Kishiyama Jeffrey L. Disorders of The Immune System.
in: McPhee Stephen J, Lingappa Vishwanath R, Ganong William F, editors.
Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine 4th
editions. Mc Graw Hill, Philadelphia, 2003, p 31-57.

4. Dragon Kho. Diagnosis dan tatalaksana terkini Infeksi Helicobacter pylori.


Majalah Kedokteran Indonesia volume 60, 2010 p381-384.

5. McColl KEL. Helicobacter pylori infection. N Eng J Med. 2010; 362:1597-604.

27

Anda mungkin juga menyukai