Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

CONGESTIF HEART FAILURE (CHF)

Disusun Oleh:
Hesty Meilawati
2008434529

Pembimbing :
dr. Irwan, Sp.JP (K)-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah kumpulan gejala kompleks dimana pasien harus


memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (sesak napas yang timbul saat
istirahat atau saat aktifitas disertai/tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti
paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur
atau fungsi jantung saat istirahat yang disebabkan oleh kelinan struktural dan
fungsional jantung yang mengakibatkan berkurangnya curah jantung.1 Gagal
jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan
penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien.2
Berdasarkan data dari World Health Organisation (WHO) pada tahun
2016, menyebutkan bahwa 17,5 juta orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular, yang mewakili dari 31% kematian di dunia, salah satunya
penyakit kardiovaskular adalah gagal jantung kongestif (Congestive Heart
Failure/ CHF). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukan prevalensi gagal jantung
di Indonesia sebanyak 0,3 % dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 yaitu
sebanyak 1,5%.3 Salah satu penyebab terus bertambahnya penderita gagal jantung
adalah masih sering ditemukanorang-orang dengan faktor risiko terjadinya gagal
jantung seperti perokok, penderita diabetes, obesitas, hiper-kolesterolemia, dan
hipertensi.4 Penyakit jantung koroner dan hipertensi merupakan penyebab
tersering terjadinya gagal jantung. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi tertinggi untuk penyakit kardiovaskuler di Indonesia adalah penyakit
jantung koroner yaitu sebesar 1,5%.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung adalah kumpulan gejala kompleks dimana pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (sesak napas yang timbul saat
istirahat atau saat aktifitas disertai/tidak kelelahan), tanda retensi cairan (kongesti
paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari gangguan struktur
atau fungsi jantung saat istirahat yang disebabkan oleh kelinan struktural dan
fungsional jantung yang mengakibatkan berkurangnya curah jantung. 1 Menurut
AHA (American Heart Association), gagal jantung adalah suatu sindroma klinis
yang kompleks kompleks yang merupakan hasil dari kerusakan struktural atau
fungsional pada saat pengisian ventrikel atau memompa darah.6

2.2 Etiologi
Beberapa etiologi yang menyebabkan gagal jantung, yaitu :1,7
2.2.1 Hipertensi
Pada hipertensi terjadi peningkatan beban hemodinamik jantung, sehingga
jantung akan mengalami kompensasi sistem simpatis maupun sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) serta meningkatan massa otot jantung berupa
hipertrofi ventrikel dan pada akhirnya jantung akan mengalami kegagalan.
2.2.2 Arteosklerosis koroner
Pada arterosklerosis koroner terjadi gangguan aliran darah ke jantung yang
dapat mengakibatkan disfungsi miokardium. Keadaan ini akan mengakibatkan
hipoksia pada sel jantung yang akan menurunkan kontraktilitas jantung, sehingga
berisiko terjadinya gagal jantung.
2.2.3 Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan kelainanmiokardium dengan dilatasi ventrikel
dan penurunan kontraktilitas miokardium tanpa adanya kelainan struktural jantung
seperti hipertensi atau kelainan katup. Keadaantersebut menyebabkan
kontraktilitas jantung menurun, sehingga merusak serabut otot jantung yang dapat
mengakibatkan gagal jantung.
2.2.4 Kelainan katup jantung

3
Mekanisme yang terlibat biasanya mencakup gangguan aliran darah yang
masuk ke jantung seperti pada stenosis aorta, stenosis mitral, stenosis pulmonal
dan regurgitasi aorta.
2.2.5 Penyakit jantung bawaan
Apabila ruang atau katup tidak terbentuk dengan sempurna, maka bagian
jantung yang sehat akan bekerja lebih keras untuk menjalankan fungsi
pemompaan jantung sehingga akan mengalami perubahan strukturak yang akan
menurunkan fungsi jantung.

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) dan
American Heart Association (AHA) :8
Kriteria NYHA Kriteria AHA
Kelas I : tidak ada keterbatasan aktifitas. Stage A : risiko tinggi gagal jantung
aktivitas fisik sehari-hari tidak menyebabkan tanpa disertai penyakit struktural
sesak nafas, lelah atau palpitasi jantung atau gejala gagal jantung
Kelas II : keterbatasan aktifitas fisik ringan. Stage B : penyakit jantung struktural
Lebih nyaman apabila beristirahat, apabila tanpa ada tanda dan gejala gagal jantung
beraktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
sesak nafas, lelah atau palpitasi
Kelas III : keterbatasan aktifitas fisik yang Stage C : penyakit jantung struktural
sangat jelas. Lebih nyaman apabila beristirahat, disertai beberapa tanda dan gejala gagal
aktivitas fisik ringan sudah menimbulkan sesak jantung
nafas, lelah atau palpitasi
Kelas IV : tidak dapat beraktifitas fisik. Gejala Stage D : gagal jantung refrakter dan
muncul walaupun saat istirahat. Keluhan membutuhkan tindakan intervensi lebih
meningkat saat melakukan aktifitas lanjut

2.4 Patofisiologi
Jantung yang normal berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme
dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk

4
mempertahankan cardiac output (volume darah yang dipompa oleh ventrikel per
menit). Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan yang meningkatkan preload, afterload, atau menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan yang meningkatkan preload meliputi regurgutasi aorta dan
defek septum ventrikel, sedangkan afterload dapat meningkat pada keadaan
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada keadaan infark miokardium dan kardiomiopati.9
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
volume sekuncup dan meningkatkan volume residual ventrikel. Dengan
meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, terjadi pula peningkatan atrium kiri karena atrium dan
vetrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan tekanan atrium
diteruskan ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler
dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru
melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam
interstisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik,
akan terjadi edema interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.9
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan
vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel
kanan. Serangkaian kejadian yang terjadi seperti pada jantung kiri, juga akan
terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti
sistemik.9
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat
oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis.
Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dillatasi anulus katup
atrioventrikularis atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae akibat
dilatasi ruang.9

5
2.5 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
2.5.1 Anamnesis
Pada anmnesis ditanyakan keluhan sesak saat aktivitas (dyspneu on effort),
berbaring (ortopneu), saat malam hari sampai terbangun (paroxysmal nocturnal
dyspneu), cepat lelah, tidak tahan dengan aktivitas berat, riwayat bengkak di
tungkai.10
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien gagal jantung biasanya akan mengalami peningkatan pada vena jugularis, refluks hepatojungular,

edema perifer. Edema biasanya muncul dari edema pada ankle kemudian berkembang menjadi edema anasarka, asites, dan efusi

pleura.Pulsasi bisa normal namun juga bisa takikardi disertai atrial fibrilasi. Tekanan darah bisa menurun, normal ataupun tinggi tergantung

staging dan etiologi gagal jantung. Pada pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan beberapa kelainan seperti pulsasi pada bagian apeks yang

bergeser, terdapat suara jantung tambahan seperti S3, S4, mur-mur, pansistolik mur-mur dan regurgitasi katup mitral. Selain itu pada

auskultasi paru juga dapat ditemukan pulmonary crackles (ronki atau krepitasi) yang dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga

intravascular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru akan ditemukan ronki pada lapang paru.
10

Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
 Sesak nafas  Peningkatan JVP
 Ortopneu  Refluks hepatojugular
 Paroxysmal nocturnal dyspnoe  Suara jantung S3 (gallop)
 Toleransi aktifitas yang berkurang  Apeks jantung bergeser ke lateral

6
 Cepat Lelah  Bising jantung
 Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
 Batuk di malam hari/dini hari  Edema perifer
 Mengi  Krepitasi pulmonal
 Berat badan (BB bertambah  Suara pekak di basal paru pada
>2kg/minggu) perkusi
 BB turun (stadium lanjut)  Takikardia
 Perasaan kembung/begah  Nada irregular
 Nafsu makan menurun  Nafas cepat
 Perasaan bingung  Hepatomegali
 Depresi  Asites
 Berdebar  Kaheksia
 Pingsan

2.5.3 Kriteria diagnosis


Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.7
Mayor Minor
 Paroksismal nokturnal dyspnea (PND)  Edema ekstremitas
 Ronki paru  Batuk malam hari
 Kardiomegali  Dispnea d’effort
 Edema paru akut  Hepatomegali
 Gallop S3  Efusi pleura
 Peningkatan tekanan vena jugularis  Penurunan kapasitas vital 1/3
 Refluks hepatojugular dari normal
 Takikardia (lebih dari 120 kali
per menit

2.5.4 Pemeriksaan penunjang


2.5.4.1 Laboratorium

7
Pemeriksaan laboratrium rutin pada pasien gagal jantung adalah
pemeriksaan level B-type natriuretic peptide, darah perifer lengkap (hemoglobin,
leukosit, trombosit), elektrolit, tes fungsi hati dan ginjal, urinalisis dan
pemeriksaan hormon tiroid.
2.5.4.2 Rontgen toraks
Rontgen toraks harus diperiksa sejak awal untuk membedakan penyebab
keluhan antara jantung dan paru. Adanya kongestif pulmonal dan udema
interstisial paru semakin memperkuat diagnosis gagal jantung, serta ditambah
dengan adanya kardiomegali (CTR >50%).
2.5.4.3 EKG
EKG sangat diperlukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari
terjadinya gagal jantung. Perubahan EKG seperti adanya left branch bundle block
(LBBB), left ventriculer hypertrophy (LVH), infark miokard akut atau kronis dan
atrial fibrilasi dapat diidentifikasikan dan mungkin mengarahkan untuk perlunya
dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti echocardiography, stress testing atau
dapat dikonsulkan kepada kardiolog.
2.5.4.4 Echocardiography (ECG)
Pemeriksaan ini saat ini telah menjadi metode diagnostik untuk
menentukan kelainan anatomis serta fungsi jantung yang dapat dijadikan sebagai
patokan penyebab gagal jantung.9

8
Algoritma diagnostik gagal Jantung.1

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada gagal jantung menjadi non farmakologis dan
farmakologis.1
2.6.1 Terapi Non Farmakologis
2.6.1.1 Ketaatan pasien berobat
Salah satu faktor yang dapat menurunkan morbiditas, mortalitas serta
meningkatkan kualitas hidup pasien adalah ketaatan dalam pengobatan.
Berdasarkan literatur hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi farmakologi
maupun non-farmakologi. Apabila pasien sudah memasuki stage A stage B
strategi pencegahan sudah mulai dilakukan dalam pencegahan gagal jantung
dengan tujuan tetap menjaga fungsi ventrikel tetap bagus sebelum gejala gagal
jantung muncul. Kontrol hipertensi, diabetes dan iskemik miokard harus ditangani
adekuat sebelum terjadi kerusakan miokardium.
2.6.1.2 Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m 2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup.

2.6.1.3 Asupan cairan


Pasien dengan gejala sesak nafas berat yang disertai dengan hiponatremi,
dianjurkan untuk dilakukan restriksi cairan sebanyak 1,5-2 liter/hari.
2.6.1.4 Latihan fisik
Direkomendasikan pada pasien gagal jantung kronik stabil. Program
latihan fisik memberikan dianjurkan untuk melakukan latihan fisik.
2.6.1.5 Pengaturan diet
Diet sangat diperlukan pada pasien overweight karena dengan penurunan
berat badan dapat mengurangi kerja beban jantung dan menurunkan gejala gagal
jantung. Mengurangi sodium (1,5-2 g/hari) dapat mengurangi retriksi
cairansekaligus menurunkan beban jantung.
2.6.2 Terapi Farmakologi
Pemberian terapi farmakologi pada pasien gagal jantung dengan

9
penurunan fraksi ejeksi berdasarkan guideline ESC terdiri atas :
2.6.2.1 Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitors (ACE-I)
Pada semua pasien dengan gagal jantung simptomatik dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40% yang tidak memiliki
Golongan kontraindikasi
ACE-inhibitor 11 maupun intoleransi harus
diberikan ACE-I. Efek ACE-I selain menurunkan tekanan darah adalah
memperbaiki fungsi ventrikel, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi masa
rawatan di rumah sakit akibat perburukan gagal jantung. Kontraindikasi
pemberian ACE-I adalah adanya riwayat angioedema, stenosis renal bilateral,
kadar kalium serum >5,0 mmol/L, kadar kreatinin serum >2,5 mg/dL serta adanya
stenosis aorta berat.1 ACE-I hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal
yang adekuat dan kadar kalium normal.1
Terapi ARB memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ACE-I namun
dengan efek samping yang berbeda. Pemberian ARB tidak menyebabkan efek
samping batuk. Kontraindikasi pemberian ARB sama seperti ACE-I, kecuali
angioedema.

2.6.2.2 Angiotensin Receptor Blocker


a. Indikasi pemberian ARB :1
- Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

10
- Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACE-inhibitor
- ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACE-inhibitor, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk
b. Kontraindikasi pemberian ARB :
Golongan MRB11
- Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
- Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACE-inhibitor.

Golongan ARB11

2.6.2.3 β-blocker
Penggunaan obat β-blocker sama seperti penggunaan obat ACE-I, harus
diberikan pada semua pasien gagal jantung yang tidak memiliki kontraindikasi.
Indikasi pemberian obat ini adalah terdapat gejala ringan hingga berat (kelas
fungsional II-IV NYHA), telah diberikan obat ACE-I/ARB dan pasien stabil
secara klinis. Kontraindikasi pemberian obat ini adalah adanya asma, blok AV
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit dan sinus bradikardi < 50 x/i.1

2.6.2.4 Antagonis Aldosteron (MR Antagonist)


Pada pasien gagal jantung, pemberian antagonis aldosterone
11
Golongan -blocker
direkomendasikan untuk ditambahkan pada pasien gagal jantung NYHA kelas
III-IV dengan fraksi ejeksi ≤ 35% yang sudah mendapatkan terapi ACE-I dan
diuretik kuat (terbukti pada spironolakton). Kontraindikasi pemberian antagonis

11
aldosteron pada pasien gagal jantung adalah konsentrasi serum kalium
>5,0mmol/L, hiperkalemia, hipersensitivitas, gangguan fungsi ginjal dan
pemberian bersamaan dengan diuretik hemat kalium.1

2.6.2.5 Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ≤ 40%, kombinasi H-ISDN
dapat digunakan sebagai alternatif jika pasien memiliki intoleransi terhadap obat
ACE-I dan ARB. Terapi ini diindikasikan sebagai terapi pada pasien dengan
gejala menetap walaupun sudah diterapi dengan ACE-I, β-blocker dan ARB atau
antagonis aldosteron.1

2.6.2.5 Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial (dengan irama ventricular
saat istirahat >80 x/ menit atau saat aktivitas 110-120 x/menit), digoksin dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat.1
2.6.2.6 Diuretik
Pemberian diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung yang
disertai dengan overload cairan yang memiliki tanda klinis khas (edema tungkai)
atau gejala kongesti (ronkhi paru). Diberikan dengan dosis serendah mungkin
yang diatur sesuai dengan kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
resistensi.7 Obat golongan diuretik terdiri atas 3 jenis, yaitu :
1. Diuretik kuat (loop diuretic)
Diuretik ini bertujuan untuk mengurangi retensi air dan garam sehingga
mengurangi volume cairan ekstrasel, aliran balik vena dan preload yang
menyebabkan edema perifer dan kongesti paru berkurang/hilang, sedangkan curah
jantung tidak berkurang.
2. Diuretik thiazide
Pemberian obat diuretik thiazide selalu dikombinasi dengan diuretik kuat,
terutama pada pasien yang refrakter terhadap diuretik kuat.
3. Diuretik hemat kalium

12
Pada pengobatan gagal
jantung, obat ini digunakan jika
hipokalemia menetap setelah
awal terapi dengan ACE-I dan
diuretik. Diuretik hemat kalium
terdiri dari spironolakton,
amiloride dan triamterene.

Golongan diuretik1

13
Algoritma Tatalaksana gagal jantung1

BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 64 Tahun
Alamat : Jl. Paus Gg. Sembilang Indah/Bukit Raya Pekanbaru
Nomor RM : 01066784
Tanggal Masuk : 29 Juli 2021

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Kedua kaki bengkak sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 minggu SMRS pasien mengeluhkan kedua kaki terasa semakin
membengkak. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 3 bulan terakhir. keluhan
sering dirasakan tiba-tiba dan hilang timbul. keluhan mengganggu aktivitas
pasien, dikarenakan pasien merasakan nyeri pada kaki yang bengkak tersebut.

14
keluhan memberat ketika pasien banyak bergerak, dan berkurang dengan istirahat.
Keluhan disertai dengan perut membengkak, perut membengkak secara perlahan
dan menetap beberapa minggu dan menghilang 2 minggu belakangan ini. Keluhan
berkurang jika pasien bersandar ataupun tidur dengan bantal yang tinggi. Mual (-),
muntah (-).
1 bulan SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin lama
semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Sesak yang dirasakan pasien tidak
dipengaruhi oleh cuaca, makanan, dan debu. Sesak dirasakan semakin memberat
jika berbaring tanpa bantal dan berkurang saat duduk. Keluhan sesak napas
disertai dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan seperti tertimpa beban
yang berat. Nyeri dada dirasakan tidak menjalar, batuk (-), nafsu makan pasien
baik dan tidak ada penurunan berat badan. BAK pasien normal 6-7x sehari,
berwarna kuning dan tidak disertai darah. BAB jarang, konsistensi padat, dan
tidak disertai darah maupun lendir.
3 bulan SMRS, pasien pernah mengeluhkan keluhan yang sama, dibawa
pertama kali ke RS Syafira, dikatakan pasien mengalami pembesaran jantung,
pasien dipulangkan dan dikasi obat namun pasien lupa nama obatnya. Setelah 2
bulan mengkonsumsi obat dari RS Syafira, pasien berobat kembali ke klinik
dokter spesialis penyakit dalam didekat rumah pasien, kemudian pasien diberikan
beberapa obat serta di anjurkan untuk ke RSUD AA untuk pengobatan lebih
lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat DM (+) baru diketahui 2 minggu SMRS
- Pembesaran jantung (+) sejak 3 bulan terakhir
- Riwayat penyakit kolesterol (+) baru diketahui 2 minggu SMRS
- Riwayat Hipertensi (-).
- Riwayat Asma (-).
- Riwayat TB (-).
- Riwayat Penyakit Ginjal (-).
- Riwayat penyakit hati (-).

15
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
- Riwayat Penyakit Jantung (-).
- Riwayat Hipertensi (-).
- Riwayat DM (-)
- Riwayat Asma (-).
- Riwayat TB (-).

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan


- Pasien seorang petani, saat ini tidak bekerja lagi.
- pasien memiliki 7 orang anak
- Pola makan teratur 3 x sehari, suka makan makanan yang berlemak dan
bersantan.
- Pasien tidak pernah berolahraga.
- Riwayat merokok (+) : jumlah batang rokok x tahun = 490  sedang
- Riwayat meminum alkohol (-)
- Riwayat minum kopi (+)

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik umum
 Kesadaran : Composmentis cooperatif
 KU : tampak sakit sedang
 TD : 110/86 mmHg
 HR : 88 x/menit, regular
 RR : 22 x/menit
 Suhu : 36,2 oC
 TB : 155 cm
 BB : 48 kg
 BMI : 20 (Normoweight)
 SPO2 : 98%

16
Pemeriksaan fisik
Kepala dan Leher
- Mata :Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), pupil isokor, ukuran 2 mm,
reflek cahaya (+/+).
- Telinga dan hidung : cairan (-), darah (-)
- Mulut : bibir pucat (+), sianosis (-) atrofi papil lidah (-)
- Leher: JVP 5+4 cmH2O, distensi vena jugularis, pembesaran KGB dan tiroid (-)

Toraks
Paru-paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, penggunaan otot
bantu nafas (-), retraksi iga (-) spider nevi (-).
- Palpasi : vokal fremitus sama kiri dan kanan. Melemah di basal paru kanan
- Perkusi : sonor diseluruh lapang paru, redup di basal paru kanan
- Auskultasi : vesikuler (+/+) melemah dibasal paru kanan, ronkhi basah basal
paru (+/-), wheezing (-/-).

Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi :
- Batas jantung kanan : linea parasternal dextra SIK IV
- Batas jantung kiri : linea axillaris anterior sinistra SIK VI
- Auskultasi : bunyi jantung S1 dan S2 normal, murmur (-/-) gallop (-/-)

Abdomen
- Inspeksi : tampak membesar, venektasi (-), vena kolateral (-), massa (-) striae
alba (-) caput medusae (-).
- Auskultasi : bising usus (+) normal 10 x/menit.
- Palpasi: distensi, nyeri tekan (-), murphy sign (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement (-/-). Refleks hepatojungular (-), shifting dullness (+)
- Perkusi : timpani pada seluruh region abdomen

17
Ektremitas
- Ekskremitas atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, kuku pucat, koilonikia (-)
edema (-/-), motorik (5/5), sensorik baik.
- Ekskremitas bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, kuku pucat, pitting edem (+),
sianosis (-), motorik (5/5), sensorik baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (29-07-2021)
- Hemoglobin : 13,6 gr/dL (L)
- Hematokrit : 39,8 %
- Leukosit : 8200/ulx
- Trombosit : 200.000 /ul
Pemeriksaan Kimia Darah (29-07-2021)
- Ureum : 32 mg/dL (H)
- Kreatinin : 1,00 mg/dL
- GDS : 213 mg/dL (H)
- AST : 39 U/L
- ALT : 40 U/L (L)
- Asam urat : 7,7 mg/dL (H)
- HDL : 33 mg/dL (L)
- LDL : 84,0 mg/dL
- Kolesterol total : 169 mg/dL
- Trigliserida : 264 mg/dL (H)
- CK NAC : reagen habis
- CKMB : 20,0 U/L

Elektrolit (29-07-2021)
- Na+ : 136 mmol/L (L)
- K+ : 4,2 mmol/L

18
- Kalsium : 0,96 mmol/L

Imunologi (29-07-2021)
Troponin I kuantitatif : 414,8 ng/L (HH)
Anti SARS-COV2 : non reaktif
HbsAg Kualitatif : non reaktif

EKG

Interpretasi EKG
- Irama sinus
- Frekuensi : 90 x/menit.
- Axis : Normal
- Gelombang P : durasi 0,08 s, tinggi 0,04 s

19
- PR interval : 0,16 s
- Kompleks QRS : 0,08 s, tinggi 0,16 s
- ST elevasi di lead V3
- Gelombang T: T inverted (-)
- LVH/RVH : (-/-)
- RBBB/LBBB: (-/-)
Kesan : Sinus Rhytm, 90x/menit, poor r wave progression

Foto thoraks

Interpretasi rontgen :
 Identitas sesuai
 Marker R

20
 Foto diambil secara PA
 Kekerasan foto cukup
 Trakea ditengah
 Tulang Scapula, clavicula, costae, vertebrae intak dan tidak ada tanda-tanda
fraktur.
 Jaringan lunak <2 cm
 Sudut kostofrenikus kanan tumpul & kiri lancip.
 Diafragma licin.
 Cor: CTR 58,9%
 Pulmo: Infiltrat (-/-)
 Kesan:
- Cor: kardiomegali
- Pulmo: dalam batas normal

PCI (03 Agustus 2021)

Hasil:
- LM : stenosis 90% distal
- LAD : total oklusi setelah D1
- D1 : baik
- D2 : tidak dinilai
- LCx : Stenosis 80% proksimal
- RCA : Total oklusi setelah RV branch, RV branch mengisi LAD

Resume

21
Tn. M berusia 64 tahun datang dengan keluhan kedua kaki bengkak
sejak 1 minggu SMRS. Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 3 bulan terakhir.
Keluhan disertai dengan perut membengkak, perut membengkak secara perlahan
dan menetap beberapa minggu dan menghilang 2 minggu belakangan ini. 1 bulan
SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin lama semakin memberat
sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti tertimpa beban yang berat.
Nyeri dada dirasakan tidak menjalar. BAK dan BAB dalam batas normal. 3 bulan
SMRS, pasien pernah mengeluhkan keluhan yang sama, dan dibawa ke RS
Syafira, dikatakan pasien mengalami pembesaran jantung. Setelah 2 bulan
mengkonsumsi obat dari RS Syafira namun tidak ada perbaikan, kemudian pasien
berobat ke klinik dokter spesialis penyakit dalam didekat rumah pasien, kemudian
pasien diberikan beberapa obat serta di anjurkan untuk ke RSUD AA untuk
pengobatan lebih lanjut. Riwayat DM (+) baru diketahui 2 minggu SMRS,
pembesaran jantung (+) sejak 3 bulan terakhir, riwayat penyakit kolesterol (+)
baru diketahui 2 minggu SMRS. Pola makan teratur 3 x sehari, suka makan
makanan yang berlemak dan bersantan. Pasien tidak pernah berolahraga, riwayat
merokok (+) : jumlah batang rokok x tahun = 490  sedang, riwayat minum kopi
(+).
Pemeriksaan fisik umum didapatkan: Kesadaran: Composmentis
cooperative, KU: tampak sakit sedang, TD: 110/86 mmHg, HR: 88 x/menit,
regular, RR: 22 x/menit, Suhu : 36,2 oC, TB: 155 cm, BB: 48 kg, BMI: 20
(Normoweight), SPO2: 98%. Pemeriksaan fisik Kepala dan Leher didapatkan
hasil: Konjungtiva anemis (+/+), JVP 5+4 cmH2O, distensi vena jugularis.
Pemeriksaan toraks (paru) didapatkan hasil: vokal fremitus sama kiri dan kanan,
melemah di basal hemitoraks kanan, saat perkusi sonor diseluruh lapang paru
namun redup di basal paru dextra, ronkhi basah basal paru (+/-). Batas jantung
kanan : linea parasternal dextra SIK IV, batas jantung kiri : linea axillaris anterior
sinistra SIK V, bunyi jantung S1 dan S2 normal, murmur (-/-) gallop (-/-).
Abdomen shifting dullness (+). Ekskremitas bawah : pitting edem (+). Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan hasil: penurunan kadar Hb, peningkatan GDS,
asam urat, trigliserida, troponin I, pada EKG Sinus Rhytm, 90x/menit, poor r
wave progression pada foto rontgen didapatkan kardiomegali serta efusi pleura

22
dextra minimal, pada tidakan kateterisasi (PCI) didapatkan stenosis 90% distal
pada Left Main, total oklusi di arteri Left Anterior Descending, stenosis 80%
proksimal pada Left Circumflex, dan total oklusi pada Right Coronary Artery.

Daftar masalah
1. Kedua kaki bengkak
2. CHF Fc III-IV
3. hipertrigliseridemia
4. DM tipe 2

TERAPI
Non-medikamentosa :
- Bed rest
- Posisi semifowler
- O2 nasal kanul 3-4 L/menit

Medikamentosa:
- Inj. Furosemide 1x20 mg
- Inj. Diviti 1x2,5 mg
- Spironolakton 1x100 mg
- ISDN 3x5 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Aspilet 1x80 mg

Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Dubia

PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian di atas, pasien ini telah memenuhi kriteria
Frammingham untuk diagnosis gagal jantung. Pada pasien ditemukan adanya 5
kriteria mayor, yakni orteopnea serta paroksismal nokturnal dispnea,

23
kardiomegali, ronkhi paru, peningkatan tekanan vena jugularis, udem paru serta 3
kriteria minor, yaitu dyspnea on effort, edema ekstremitas, dan efusi pleura.
Berdasarkan kriteria NYHA, pasien ini diklasifikasikan kepada NYHA kelas III-
IV karena pasien sudah mengalami keterbatasan aktivitas, dan gejala diperberat
ketika pasien berbaring. Ortopnea yang memberat segera pada saat pasien
berbaring, disebabkan oleh karena peningkatan segera venous return. Paroxysmal
nocturnal dyspnoea terjadi beberapa jam setelah pasien berbaring untuk tidur
sebagai akibat redistribusi central cairan ekstraselular dimana terjadi peningkatan
progresif venous return. Tanda efusi pleura dan edema tungkai termasuk kriteria
minor Framingham dan adanya ronki pada kedua lapangan paru termasuk kriteria
mayor Framingham yang merupakan akibat dari retensi cairan dan volume
overload.
Peyebab gagal jantung pada pasien dipikirkan dapat disebabkan oleh
riwayat diabetes mellitus dan tingginya kadar trigeliserida didalam darah yang
baru diketahui oleh pasien sehingga kurang cepat dalam mengendalikan diabetes
mellitus dan trigeliserida tersebut Kehadiran diabetes mellitus secara nyata
meningkatkan perkembangan gagal jantung pada pasien tanpa structural heart
disease dan memberikan pengaruh negatif terhadap outcome pasien gagal jantung.
Penelitian Framingham memperkirakan peningkatan risiko terjadinya heart
failure dua kali lipat pada pria dan lima kali lipat pada wanita dengan diabetes.
Terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa diabetes merupakan faktor risiko
utama heart failure, berhubungan dengan ischemic disease. Abnormalitas yang
umum terjadi yaitu disfungsi diastolik left ventricular (LV), kemungkinan akibat
pembesaran miokard LV dan kekakuan vaskular. Kekakuan vaskular yang timbul
akibat diabetes berpengaruh sebagai indikator kerusakan organ.
Dilatasi, hipertrofi, dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan
sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut
di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum
juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung. Gagal jantung kiri atau
gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah
oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan

24
akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri
meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk
mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya kenaikan
tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini
menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila
keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru- paru
dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda
akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi.
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang
menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada
ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan untuk
melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas
kemempuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal
jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-
kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan
pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa
didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel
kanan, tekanan dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini
menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu
diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan
dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya
darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga
mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut
(bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya
(tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus
berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat
timbulnya edema tungkai bawah dan asites
Penatalaksanaan pasien gagal jantung pada kasus ini dapat dilakukan
dengan pemberian oksigen 3-4 liter yang adekuat yang berfungsi untuk mencegah
disfungsi end organ dan serangan gagal organ yang multipel. Gagal jantung
ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan
manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik

25
secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari beban awal, kontraktilitas,
dan beban akhir. Penatalaksanaan spesifik dapat diberikan terapi sesuai dengan
tingkatan gagal jantung pasien.
Pemberian Spironolacton berguna untuk menghambat retensi natrium dan
air dan menghambat ekskresi kalium, pemberian spironolacton diberikan pada
pasien yang memiliki gejala berat (NYHA III-IV) tanpa adanya hiperkalemi.
Pemberian furosemid ditujukan untuk mengurangi dari retensi cairan. Pemberian
ISDN pada pasien sebagai vasodilator pada pembuluh darah jantung agar suplai
darah ke otot jantung tercukupi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Siswanto B, Hersunati N, Erwinanto, Praktikto R, et al. Pedoman
tatalaksana gagal jantung 1st Ed. PERKI. Jakarta: 2015.
2. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J20..
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2018. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
2018
4. Brown CT. Penyakit ateroslerosis. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P,
Mahanani DA, editors. Patosisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6. Jakarta: ECG. p. 576-612.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
2013.
6. Yancy CW, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the management of heart

26
failure: a report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013;62(16):e147-e239.
7. Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UI Jilid 2. 5th ed.
Jakarta, 2010.
8. Ponikowski P, Voors A, Anker S, Bueno H, Cleland J, Coats A et al. 2016
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure. European Heart Journal. 2016;37(27):2129-2200..
9. Lilly, L. Pathophysiology of Heart Disease : a collaborative project of
medical students and faculty 6th Ed. Wolters Kluwer. Massachusetts: 2016.
10. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M,
Dickstein K, et all. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure 2016. European Heart Jurnal. 2016.
11. Crawford M. Heart failure with reduced ejection fraction. Current diagnosis
& treatment cardiology. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2017.
p.572-4.

27

Anda mungkin juga menyukai