Anda di halaman 1dari 4

Ujian Akhir Semester Keamanan Global

Dosen Pengampu:
Hesti Rosdiana, M.Si

Pendanaan Terorisme dalam Anarki Dunia Maya

Agnes Florince Destemyca


1910412147

Dunia maya merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
dewasa ini. Pasalnya, dunia maya menjadi ajang untuk melakukan banyak hal seperti
berbelanja, mengeksplorasi diri, bahkan untuk sekedar melihat trend terkini. Namun
hal-hal yang bersifat kesenangan nyatanya tidak selamanya menyenangkan. Hal ini
dikarenakan dunia maya yang digunakan mayoritas meminta data pengguna guna
memberi informasi yang lebih akurat terkait iklan dan konten yang akan disodorkan.
Sehingga keamanan dalam berselancar dalam dunia maya sering kali tergolong kepada
cyber security yang dimana cyber security sendiri merupakan keamanan informasi
melalui penggunaan internet (Cavelty, 2010). Adapun dikarenakan bangkitnya era
disrupsi yang disebabkan oleh penggunaan teknologi, maka ancaman yang berasal dari
teknologi modern bukan lagi hal asing bagi pengguna teknologi terlebih pada pengguna
internet. Sehingga seharusnya, negara yang memegang peranan penting dalam
mengelola akses internet memberikan perlindungan bagi data-data pengguna media
sosial yang mengakses internet terutama bagi warga negaranya.
Di tengah dunia maya, kini dunia telah memiliki teknologi Blockchain yang
menciptakan adanya Cryptocurrency menciptakan sebuah skenario dimana didapatkan
Decentralized Finance, sistem keuangan yang tidak membutuhkan bank yang terjadi
peer-to-peer dan simultan, menciptakan ancaman seperti pencucian uang yang tidak
dapat dikekang negara manapun. Hal ini kemudian mampu menjadi ancaman bagi
keamanan internasional karena bisa saja hal tersebut disalahgunakan orang pihak yang
tidak pro kemanusiaan, dimana mata uang kripto itu sendiri tidak punya nilai
fundamental dan sangat riskan. Banyak hukum negara yang masih menyesuaikan
dengan fenomena ini. Pada 13 Agustus 2020 misalnya, Departemen Kehakiman,
Departemen Keamanan Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan mengumumkan
pembongkaran tiga kampanye yang mendukung pendanaan teroris di dunia maya.
Kampanye tersebut melibatkan Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, al-Qaeda, dan
Negara Islam Irak, serta ISIS. Menurut surat perintah pengadilan, pemerintah AS
menyita jutaan dolar, lebih dari 300 akun mata uang kripto, tiga situs webm empat
halaman Facebook yang seluruhnya terkait dengan perusahaan kriminal.
Dilakukan penyitaan mata uang kripto terbesar yang dilakukan pemerintah
dalam konteks terorisme serta diketahui kampanye menggunakan alat siber yang
canggih dengan meminta sumbangan kripto dari seluruh dunia. Dengan begitu terbukti
bahwa pendanaan terorisme telah menyesuaikan diri dengan cara-cara era siber, dimana
setiap kelompok menggunakan mata uang kripto serta media sosial untuk membendung
perhatian dan mencari dana kampanye teror mereka. Kasus pencucian uang melalui
mata uang kripto dilakukan oleh Brigade al-Qassam yang membual bahwa donasi
bitcoin tidak dapat dilacak dan akan digunakan untuk tujuan kekerasan. Situs web
mereka menawarkan instruksi video tentang cara memberikan donasi secara anonim,
sebagian dengan menggunakan alamat bitcoin unik yang dihasilkan untuk setiap donor
individu.
Dapat dilihat pada kasus kampanye penggalangan dana untuk terorisme tersebut,
cyber crime yang dihasilkan memang harus dilawan dengan adanya cyber security yang
memadai. Pasalnya kejahatan siber dapat terjadi dimanapun dan kapanpun sehingga
negara sebagai entitas tertinggi harus melakukan sesuatu. Hal tersebut dikarenakan
keamanan dan pertahanan negara dapat dilihat dari bagaimana negara melakukan
keamanan siber. Adanya global cyber security yang dibangun harus memenuhi aspek-
aspek seperti kepastian hukum, tindakan prosedural, struktur organisasi, capacity
building, dan kerja sama internasional (Ardiyanti, 2014). Berdasarkan paparan tersebut,
dapat diketahui bahwa kepastian hukum hanya dapat diberikan oleh entitas negara.
Sehingga dari sanalah negara memegang peranan penting bukan hanya sekadar
memonopoli kasus-kasus yang berkaitan dengan siber, melainkan memang negara yang
menjadi juru kunci dalam kasus tersebut.
Dari kasus tersebut tampak bahwa regulasi dan tangan negara memang
diperlukan, bahkan untuk melindungi masyarakat di dalam dunia maya yang anarki.
Para pemimpin negara perlu melihat banyak kelemahan yang diberikan oleh anarki
dunia kripto dan era disrupsi saat ini. Hal tersebut sudah disadari oleh Amerika Serikat
yang di masa jabatan Barack Obama mengatakan bahwa keamanan siber adalah
prioritas dalam masa jabatannya. Karena strategi keamanan siber ini merupakan hal
penting untuk melindungi negaranya karena jika kebocoran data terjadi, hal ini bisa
merusak infrastruktur kritis seperti CIA, eksploitasi keuangan publik, dan hilangnya
nilai ekonomi Amerika Serikat. (Saputera, 2015) pada September tahun 2018, Donald
Trump menandatangani National Cyber Security of United States of America yang
memiliki strategi untuk modernisasi pengawasan elektronik dan hukum kejahatan
komputer, mengurangi ancaman dari organisasi transnasional di cyberspace, dan
meningkatkan upaya membangun kapasitas siber.Negara menjadi aktor yang
memonopoli fungsi keamanan dalam menghadapi ancaman-ancaman dari keamanan
siber karena keamanan negara dibentuk melalui keamanan masyarakatnya. Kedaulatan
sebuah negara tidak lagi hanya seputar masalah keamanan kontemporer namun juga
interaksi-interaksi lain yang dihasilkan dari fenomena globalisasi. Terlebih, semua yang
berkaitan dengan globalisasi kini begitu dekat dengan masyarakat. Dengan begitu,
keamanan siber menjadi tantangan yang mendatangkan ancaman-ancaman serangan
virtual yang mampu mengancam kedaulatan negara dengan sifat dari dunia siber yang
tidak kenal batas aliat borderless.
Salah satu contoh kontemporer lain dari monopoli pemerintah dalam keamanan
siber terlihat melalui kasus Cambridge Analytica yang beberapa waktu lalu sempat
menyita perhatian dunia Internasional. Kasus ini menghadapkan AS dengan unit
individu yang dapat mengambil data-data warga negaranya. Hal tersebut mendorong
pemerintah untuk bertindak keras dalam menjawab permasalah ini, yakni melalui jalur
legal formal. Contoh kasus tersebut tentunya dapat dilaksanakan karena aktor pelaku
sendiri merupakan warga AS, akan tetapi menjadi pertanyaan lain jika aktor pelaku
merupakan individu dari negara musuh, atau bahkan musuh itu sendiri. Pada akhirnya,
jawaban akan kontrol negara terhadap keamanan siber berlandas kepada fakta bahwa,
sampai saat ini, penyelesaian keamanan siber pada akhirnya perlu diselesaikan oleh
negara, karena kekuatan dan sumber daya yang dimiliki negara dalam menyelesaikan
isu itu sendiri, hal ini menyebabkan kita pada akhirnya tidak dapat begitu membedakan
keamanan siber sebagaimana sektor-sektor keamanan lainnya (Chotimah, 2019).
Keamanan dan privasi dari masyarakat suatu negara merupakan tanggung jawab
dari negara dan pemerintah. Hal ini menurut Paul Rosenzweig (2010) merupakan
tanggung jawab pemerintah dalam menyiapkan sebuah “Common Defense” dalam
melawan ancaman cybersecurity (Tsakanyan, 2017, hal. 341). Rosenzweig juga
berpendapat bahwa keamanan cyber tidak bisa sepenuhnya dipegang oleh pihak swasta.
Meskipun begitu, kolaborasi antara pihak swasta dengan pemerintah juga diperlukan.
Hal ini disebabkan oleh kakunya alokasi dana pemerintah, dan fakta lapangan yang
menunjukkan bahwa siklus perusahaan swasta lebih sering secara frekuensi.
Meski Pemerintah secara global khawatir tentang pendanaan teror melalui
cryptocurrency, kepemilikan big data, dan sistem siber yang memadai., perlu diingat
bahwa sistem-sistem yang tidak diatur akan selalu berpotensi mendanai kegiatan ilegal.
Saat ini, pertukaran crypto membutuhkan investasi besar dalam teknologi untuk
mendeteksi transaksi yang mencurigakan. Dengan begitu, sesuai dengan konsep
keamanan non tradisional, maka setiap negara wajib regulasi dan memimpin untuk
melindungi kepentingan dan kedaulatan negara. Peran fungsi keamanan masih
dijalankan oleh negara, hal ini sekiranya terjadi karena negara memiliki mandat dalam
pembuatan hukum dan penerapan hukum yang menyangkut isu keamanan siber.
Keamanan Siber sekiranya tidak hanya dilakukan oleh suatu negara untuk kepentingan-
kepentingan pemerintahan saja, melainkan juga dilakukan untuk menjaga keamanan
warganya. Dunia maya bersifat anarkis dan menjadi ruang dimana kontrol pemerintah
bersifat terbatas. Meski begitu, jika mengambil perspektif negara, kita dapat melihat isu
keamanan siber ini selayaknya suatu medan keamanan ‘baru’ bagi pemerintah.
Daftar Pustaka

Ardiyanti, H. (2014, Juni). CYBER-SECURITY DAN TANTANGAN


PENGEMBANGANNYA DI INDONESIA. Politica, 5(1), 95-110.

Cavelty, M. D. (2010). Cyber-Security. In J. P. Burgess (Ed.), The Routledge


Handbook of New Security Studies (p. 155). Oxon: Routledge

Chotimah, H. C. (2019). Tata Kelola Keamanan Siber dan Diplomasi Siber Indonesia
di Bawah Kelembagaan Badan Siber dan Sandi Negara [Cyber Security
Governance and Indonesian Cyber Diplomacy by National Cyber and
Encryption Agency]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri
dan Hubungan Internasional, 10(2), 113–128.
https://doi.org/10.22212/jp.v10i2.1447

Saputera, M. Y. (2015). Pengaruh Cyber Security Strategy Amerika Serikat


Menghadapi Ancaman Cyber Warfare. Jom FISIP, 2.

Tsakanyan, V. (2017). The Role of Cybersecurity in World Politics. Vestnik


RUDN. International Relations, 339 - 348.

Anda mungkin juga menyukai