Anda di halaman 1dari 8

Resume Buku Politik Islam Hindia Belanda

karya H. Aqib Suminto

Pengantar Sejarah Indonesia

Dosen: Imas Emalia, M. Hum

Syaidina Sapta Wilandra


(11160220000002)

Sejarah Peradaban Islam


Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A. Politik Islam Hindia Belanda

Pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20 dikenal
sebagai puncak abad imperialism. Pada masa itu Inggris, Perancis, dan negara lain merajalela di
Afrika dan Asia. Sedangkan Belanda di Indonesia sudah memulai politik ekspansinya jauh
sebelum itu.

Belanda di Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk


Indonesia adalah beragama islam. Banyak perlawanan terhadap Belanda mulai dari perang
Paderi, perang Diponegoro, dan perang lainnya yang tidak terlepas dari agama ini. Namun saat
itu Belanda belum berani campur tangan pada agama Islam karena kurangnya pengetahuan
mereka terhadap agama islam. Namun kebijaksanaan untuk tidak mencampuri agama islam ini
Nampak tidak konsisten. Dalam masalah Haji misalnya justru Belanda mencurigai dan sering
mengawasi umat islam yang pergi Haji karena ditakutkan akan menjadi islam fanatik dan
pemeberontak. Kebijakan untuk tidak ikut campur tangan ini nyatanya tidak sepenuhnya seperti
itu. Gubernur Jendral membenarkan mencampuri urusan agama bila dianggap perlu demi
kepentingan keamanan.

Setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, baru lah pemerintah Hindia
Belanda mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah islam. Sebagai kolonialis,
pemerintah Belanda memerlukan inlandsch politiek, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi
untuk memahami dan menguasai pribumi. Dan Snouck Hurgronje inilah arsitek keberhasilan
politik islam yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang islam.

Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang islam di Indonesia itu
penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme islam. Baginya
musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.
Menghadapi medan seperti ini, Snouck Hurgronje membedakan islam atas tiga kategori, yakni:
1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan; 3. Bidang politik; dimana
masing-masing bidang menuntut altrenatif pemecahan masalah yang berbeda

Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan
kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Pemerintah juga seharusnya tidak menyinggung
dogma atau ibaah murni agama islam. Dalam bidang kemasyarakatan pemerintah memanfaatkan
adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda. Tetapi
dalam bidang ketatanegaraan pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa
rakyat pada fanatisme dan Pan Islam.

Hubungan antara pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari
hubungan antar sesama umat beragama, yakni antara umat Islam dan umat Kristen. Dalam hal ini
pemerintah kolonial tidak akan mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya
sendiri. Juga tidak akan mampu memperlakukan pribumi yang beragama lain sama dengan
pribumi yang seagama dengannya. Menurut ketetapan Umum Perundang-undangan tahun1849,
golongan Kristen masuk kategori Eropa, penduduk pribumi yang beragama Kristen menikmati
hak hukum yang sama dengan saudara-saudara mereka seagama dari kalangan bangsa Eropa.
Walaupun aturan ini sudah diubah pada tahun 1854 tapi dalam kenyataan perlakuan diskriminatif
tidak bisa dihindari. Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa sering terjadi diskriminasi
dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama.

Netral Terhadap Agama

Penyebaran agama Islam di kepulauan Nusantara diritis oleh para pedagang Arab dan
India dengan penuh damai. Sebaliknya, agama Kristen mulai diperkenalkan oleh Portugis dengan
kekerasan berlandaskan permusuhan tradisional terhadap islam. VOC sebagai perkumpulan
perdagangan memang tidak memiliki politik Islam, tetapi hanya berusaha mencapai keuntungan.
Hal ini terlihat ketika tahun 1602 diwajibkan menyebarkan agama Kristen, VOC tidak
memikirkan cara lain selain cara paksa.

Penyebaran agama Kristen di kawasan ini berjalan seiring dengan perluasan penjajahan,
karena zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan. Dalam
pada itu, pemerintah Hindia Belanda yang tidak begitu aktif memperhatikan kepentingan zending
sering mendapat tekanan kuat dari partai Kristen di parlemen. Diharapkan agar pemerintah
menyadari tanggung jawab lebih luas terhadap tanah jajahan. Sementara itu undang-undang
Belanda memungkinkan zending Protestan dan missi Katolik untuk beroperasi di Indonesia.

Dengan kemenangan partai agama pada pemilihan tahun 1901 membuat wajah politik
negeri Belanda berubah. Golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan ke prinsip
Kristen. Pidato tahunan raja pada bulan September 1901 menyatakan mempunyai kewajiban etis
dan tanggung jawab moral kepada rakyat Hindia Belanda, yakni memberi bantuan lebih banyak
kepada penyebaran agama Kristen.

Masalah Kristenisasi Hindia Belanda erat kaitannya dengan masalah menghadapi Islam
di Nusantara. Di parlemen Belanda, agama Islam sering mendapat perlawanan sengit dari
anggota-anggota Kristen partai agama. Van Bylandt misalnya, hampir setiap tahun selalu
memperingatkan berbahayanya pengaruh Islam dan menghendaki digalakkannya propaganda
Kristen (1905), sementara Visser juga setuju untuk membendung pengaruh Islam (1904). Namun
yang paling tajam adalah serangan oleh Bogardt, seorang Katolik, yang menyatakan bahwa
seandainya kemakmuran di Jawa tidak bisa diperbaiki, maka kesalahan berada dipihak Islam
(1908).

Pada 1909 Idenburg diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda sampai
dengan 1916. Ia pernah menyatakan bahwa Belanda akan tetap menguasai Indonesia sampai
agama Kristen menjadi agama bangsa Indonesia. Bahkan setelah pengangkatannya ia
membagikan kartu namanya yang berupa edaran tentang perintah menghormati hari Minggu
dengan melarang aneka pesta dan kegiatan pasar pada hari itu. Akibat kebijakan ini, timbullah
kritik tajam dari kalangan umat islam, bahwa pemerintah kolinial melancarkan
kersteningspolitik, yaitu kebijaksanaan yang menunjang kristenisasi. Sementara itu di negeri
Belanda sendiri hal ini dianggap sebagai pengabaian atas kebijakan netral terhadap agama yang
seharusnya dipatuhi.

Sampai awal abad ke-20, dukungan pada kristenisasi baik yang dilakukan oleh K. F.
Holle maupun Snouck Hurgronje masih sebatas daerah pelbegu du Tapanuli. Sedangkan daerah
yang Islamnya kuat seperti Aceh, Snouck lebih memilih cara halus yakni dengan menyalurkan
semangat mereka kea rah menjauhi agama islam melalui asosiasi kebudayaan.

Undang-undang Dasar Belanda ayat 119 tahun 1855 menyatakan bahwa pemerintah
bersikap netral terhadap agama. Pengertian netral disini seharusnya tidak memihak dan tidak
campur tangan sama sekali atau bisa juga membantu semaunya secara berimbang tanpa
mencampuri urusannya. Tetapi pernyataan netral terhadap agama ternyata berbeda antara teori
dan praktek. Sampai tahun-tahun terakhir berkuasanya, kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda terhadap agama lebih tepat dikatakan campur tangan daripada netral.

Asosiasi dan Pemanfaatan Adat

Politik asosiasi ini bertujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan
negara penjajahnya. Usaha memperkuat ikatan antara daerah jajahan dengan negara penjajahnya
tidak terlepas dari kaitan usaha memperkukuh eksistensi penjajahan itu sendiri. Yang dimaksud
asosiasi disini adalah menyamakan semua peraturan kolonial di daerah jajahan dengan peraturan
yang berlaku di negara penjajah.

Politik asosiasi yang dicanangkan oleh Snouck Hurgroje relatif masih memberi teampat
bagi kebudayaan pribumi. Meski demikian bukan berarti Belanda ingin melepas jajahannya, juga
tidak berarti Belanda tidak ingin mewariskan bahasa dan agamanya kepada pribumi Indonesia.
Snouck berkali-kali mengingatkan bahwa fondasi kerajaan Belanda diperkukuh oleh asosiasi
orang Indonesia dengan kebudayaan Belanda.

Asosiasi Pendidikan

Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan


Islam di Indonesia. Snouck Hurgronje sangat optimis bahwa Islam tidak akan bisa bersaing
dengan Pendidikan Barat. Agaknya ramalan ini belum memperhitungkan faktor kemampuan
Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini, juga kekuatan Islam menyerap kekuatan dari luar
untuk meningkatkan diri. Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan pemerintahan kafir
yang menjajah agama dan bangsa mereka semakin tertanam di benak para santri. Sekolah-
sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu ajaran gereja. Hal
ini membuat jurang pemisah antara pemerintah dengan masyarakat santri.

Suatu kebijakan yang dirasakan sangat menekan umat islam juga ialah Ordonasi guru.
Ordonasi pertama pada tahun 1905 mewajibkan para guru agama Islam untuk meminta izin lebih
dahulu sebelum menjadi guru agama. Ordonasi kedua pada tahun 1925 hanya mewajibkan untuk
guru agama melaporkan diri. Kedua Ordonasi ini dimaksudkan untuk mengontrol sepak terjang
pengajar agama di negeri ini. Ordonasi pertama pada tahun 1905 yang mewajibkan guru agama
untuk meminta izin itu dinilai kurang efisien karena laporannya ternyata kurang meyakinkan.
Oleh sebab itu pada tahun 1925 Ordonasi hanya menghendaki guru agama untuk memberitahu
saja.

Banyak reaksi yang dilancarkan oleh pihak pribumi terhadap Ordonasi ini. Kongres Al
Islam tahun 1926 di Bogor menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Organisasi
Muhammadiyah dalam kongres XVII tahun 1928 juga menuntut agar Ordonasi guru ini ditarik
kembali. Reaksi bukan hanya dari pribumi saja. Dari pihak Belanda, dalam hal ini Van Der Plas
pada tahun 1934 berpendapat bahwa untuk mengawasi pendidikan agama Islam diperlukan
adanya daftar guru, dan hal itu jika dipaksakan tidak aka nada gunanya.

Bukan hanya guru, pada tahun 1923 diberlakukan Ordonasi Sekolah. Sejak itu, setiap
orang yang hendak mendirikan suatu lembaga pendidikan harus memberitahukan maksudnya
secara tertulis kepada kepala daerah setempat dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat
pengajarannya.

Tarekat dan Pan Islam

Pemerintah Kolonial tidak bisa mentolelir timbulnya gerakan fanatisme Islam yang
dinilainya bisa menggoyahkan kekuasaannya. Pan Islam maupun tarekat dipandang sebagai
gerakan potensial yang berbahaya dan patut diwaspadai. Sejak lama di kalangan masyarakat
Belanda di Indonesia memiliki rasa ketakutan terhadap tarekat karena mereka meyakini bahwa
gerakan tarekat ini bisa dipergunakan oleh pemimpin fanatic sebagai basis kekuatan untuk
memberontak.

Pemerintah Kolonial selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang bisa


membahayakan kekuasaannya. Jika tarekat merupakan bahaya dari dalam, maka gerakan Pan
Islam merupakan bahaya dari luar. Dalam hal ini para Haji memiliki peranan penting sebagai
pembawa pengaruh Pan Islam dari luar ke Indonesia.

Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu
kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh Khalifah. Dalam perkembangan selanjutnya,
Pan Islam diartikan sebagai usaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia
kawan, dan menumbuhkan rasa Ukhwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Gerakan ini
dianggap membahayakan karena dapat memicu umat islam untuk melawan penjajahan Barat.
Umat Islam di suatu tempat bisa merasakan penderitaan saudaranya ditempat lain berkat adanya
semangat Pan Islam ini.

B. Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken

Organisasi Kantoor Voor Inlandsche Zaken

Jika Snocuk Hurgronje dinilai sebagai peletak dasar politik Islam pemerintah kolonial
Hindia Belanda, maka Kantoor Voor Inlandsche Zaken adalah alat untuk melaksanakan ide
Snouck. Sepanjang sejarah, peranan kantor ini mengalami pasang surut, bukan hanya karena
kualitas penasehat yang memimpin kantor tersebut, tapi juga karena perbedaan kepribadian
Gubernur Jenderal yang memerintah Hindia Belanda.

Kantor ini berdiri sejak tahun 1899, meskipun saat itu hanya ada adviseur dan dibantu
beberapa orang saja, belum memiliki kantor tersendiri. Tahun 1899 ini adalah awal
diterapkannya Etische Politiek, suatu kebijaksanaan politik Belanda yang memeperhatikan
kepentingan Indonesia. Dalam pidatonya pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina menegaskan bahwa
Belanda memiliki kewajiban moral terhadap rakyat Indonesia. Dan kantor ini merupakan
barometer bagi politik Belanda.

Adviseur Voor Inlandsche Zaken

1. Dr. Snouck Hurgronje (1899-1906)

Lahir tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout. Di usia 18 tahun masuk Universitas Leiden.
Awalnya sebagai mahasiswa fakultas Theologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra jurusan
Arab. Tahun 1899 dia pergi ke Indonesia dengan tugas meneliti suku Aceh. Tanggal 15 Maret
1891 diangkat menjadi penasehat Bahasa Timur dan Hukum Islam. Dan mulai 11 Januari 1899
dia diangkat sebagai penasehat urusan pribumi dan Arab.

2. Dr. C. A. J. Hazeu (1907-1913 dan 1917-1920)

Lahir di Arnhem tanggal 22 Agustus 1870. Meraih gelar Doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra
Indonesia di Universitas Leiden pada 30 Januari 1897. Tanggal 21 Januari 1907 dia memimpin
Kantoor voor Indlandsche Zaken sampai tahun 1913. Lalu dari 1914-1916 dia berlibur ke
Belanda. Setahun setelahnya ia kembali ke Indonesia dan memimpin kembali kantor ini hingga
1920.
3. Dr. D. A. Rinkes (1913-1916)

Lahir pada 8 November 1878. Memperoleh pendidikan di Sekolah Tinggi Pertanian di


Wegeningen mulai dari 1896. Pada Februari 1899 dia pergi ke Jawa dengan ongkos sendiri untuk
mencari pekerjaan dan berhasil menjadi pegawai di Kebun Raya Bogor. Rinkes menjadi
pembantu Adviseur Dr. Hazeu pada 16 Januari 1912. Setahun kemudia dia diangkat menjadi
Adviseur hingga tahun 1916.

4. R. A. Kern (1921-1926, kecuali 1923)

Lahir di Leiden pada 26 September 1875. Memperoleh pendidikan di Lembaga Indologie Delft.
Tahun 1896 dia dikirim ke Jawa, dan bekerja sebagai Aspirant-Controleur di Bogor. Antara 19
Mei 1920 sampai 1922 dia menjadi Adviseur, kemudia berlibur ke Belanda selama sepuluh
bulan, dan kembalinya ke Indonesia menjabat Adviseur kembali.

5. E. Gobee (1923 dan 1927-1937)

Lahir di Den Helder pada 3 Desember 1881. Lulus Institut Angkatan Laut pada 1901 dan
menjadi opsir laut kelas satu, pada tahun 1903 menjadi opsir laut du Indonesia.Tahun 1906 dia
keluar dari Angkatan Laut dan belajar di Indologie Leiden. Sampai tahun 1908 dia datang ke
Indonesia dan menjadi calon Controleur di Poso. Mulai 1 April 1922 dia bertugas di Kantoor
Voor Inlandsche Zaken, bahkan tahun 1923 diangkat jadi Adviseur.

6. Dr. G. F. Pijper (1937-1942, Adj. Adv 1932-1937)

Lahir tanggal 6 April 1 a=93 di Berkhout. Dia belajar di Universitas Leiden tahun 1911.Setelah
mendapat gelar doktor, pada tanggal 28 Mei 1925 Pijper ditempatkan di Kantor voor Inlandsche
Zaken sebagai ahli bahasa.Sejak 1937 dia menjabat sebagai Adviseur.

7. Dr. B. j. O. Schirieke (1920-1924)

Lahir 18 September 1890 di Zandvoort. Mula-mula belajar di Gymnasium kota Kampen.


Kemudian menjadi mahasiswa di Universitas Leiden. Mulai tanggl 22 September 1917
ditugaskan di Indonesia sebagai peneliti bahasa.

8. Dr. Hoesein Djajadiningrat (1920-1925)

Lahir pada 8 Desember 1886 di Banteb. Sejak remaja disekolahkan di HBS Batavia. Tahun 1904
dia berangkat ke Belanda untuk sekolah Gymnasium di Leiden, kemudian masuk Universitas
Leiden.
9. Ch. O. Van Der Plas (1929-1931)

Kahir tahun 1891. Mula-mula dia adalah pegawai pamong praja di Jawa pada 1911-1918. Tahun
1929 dia ditugaskan jadi Adviseur, namun tahun 1931 dia dipindahkan untuk menjadi Wakil
Residen Cirebon.

Peranan Kantoor voor Inlandsche Zaken

Kantoor ini memiliki beberapa peranan terhadap pengelolaan kas masjid. Kas masjid adalah
sejumlah uang yang dikumpulkan dan menjadi milik suatu masjid. Pada tanggal 4 Maret 1893
Snouck Hurgronje menyarankan agar administrasi kas masjid diawasi dengan keras. Pengawasan
semacam ini perlu agar uang masjid terhindar dari penyalahgunaan.

Dalam hal pembangunan masjid pun sering terjadi perselisihan. Menurut Mazhab Syafi’I, yang
juga terbesar di Indonesia, dalam satu tempat hanya boleh ada satu shalat jum’at. Karena itu
pembangunan masjid hanya bisa dibenarkan jika memenuhi syarat tertentu. Nampaknya
pemerintah Hindia Belanda berusaha menggunakan ketentuan mazhab Syafi’i tersebut untuk
menghalangi pembangunan masjid baru. Syarat yang paling sulit dipenuhi ialah tentang jarak
dimana dalam hal ini syaratnya ialah dengan jarak tujuh jam perjalanan hingga azan pun sudah
tidak terdengar. Padahal dalam mazhab syafi’I ada pengecualian, seandainya dalam satu daerah
terdiri dari beberapa kampong yang berderet maka diperbolehkan untuk melaksanakan shalat
jum’at ditiap kampungnya.

Anda mungkin juga menyukai