Anda di halaman 1dari 11

Pengertian korupsi dan faktor penyebab korupsi

1.Pengertian Korupsi

Korupsi adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah
atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Tindakan korupsi ini terjadi karena beberapa
faktor faktor yang terjadi di dalam kalangan masyarakat.

Undang-Undang No.31 Tahun 1999

Menurut Pengertian Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”

2.Faktor penyebab korupsi

Faktor penyebab korupsi itu ada 2 yaitu:

A. faktor internal

B. faktor eksternal

A. faktor internal

Faktor internal merupakan sebuah sifat yang berasal dari diri kita sendiri.

Terdapat beberapa faktor yang ada dalam faktor internal ini, antara lain ialah:

1. Sifat Tamak

Sifat tamak merupakan sifat yang dimiliki manusia, di setiap harinya pasti manusia meinginkan
kebutuhan yang lebih, dan selalu kurang akan sesuatu yang di dapatkan. Akhirnya munculah
sifat tamak ini di dalam diri seseorang untuk memiliki sesuatu yang lebih dengan cara korupsi.

2. Gaya hidup konsumtif

Gaya hidup konsumtif ini dirasakan oleh manusia manusia di dunia, dimana manusia pasti
memiliki kebutuhan masing masing dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus
mengonsumsi kebutuhan tersebut,dengan perilaku tersebut tidak bisa di imbangi dengan
pendapat yang diperoleh yang akhirnya terjadilah tindak korupsi

B. Faktor eksternal

1
Secara umum penyebab korupsi banyak juga dari faktor eksternal, faktor faktor tersebut antara
lain :

1. faktor politik

Faktor politik ini adalah salah satu faktor eksternal dalam terjadinya tindak korupsi. Di dalam
sebuah politik akan ada terjadinya suatu persaingan dalam mendapatkan kekuasaan. Setiap
manusia bersaing untuk mendapat kekuasaan lebih tinggi, dengan berbagai cara mereka lakukan
untuk menduduki posisi tersebut. Akhirnya munculah tindak korupsi atau suap menyuap dalam
mendapatkan kekuasaan.

2. faktor hukum

Faktor hukum ini adalah salah satu faktor eksternal dalam terjadinya tindak korupsi. Dapat kita
ketahui di negara kita sendiri bahwa hukum sekarang tumpul ke atas lancip kebawah. Di hukum
sendiri banyak kelemahan dalam mengatasi suatu masalah. Sudah di terbukti bahwa banyak
praktek praktek suap menyuap lembaga hukum terjadi dalam mengatasi suatu masalah. Sehingga
dalam hal tersebut dapat dilihat bahwa praktek korupsi sangatlah mungkin terjadi karena banyak
nya kelemahan dalam sebuah hukum yang mendiskriminasi sebuah masalah.

3. faktor ekonomi

Sangat jelas faktor ekonomi ini sebagai penyebab terjadinya tindak korupsi. Manusia hidup pasti
memerlukan kebutuhan apalagi dengan kebutuhan ekonomi itu sangatlah di pentingkan bagi
manusia. Bahkan pemimpin ataupun penguasa berkesempatan jika mereka memiliki kekuasaan
sangat lah ingin memenuhi kekayaan mereka. Di kasus lain banyak pegawai yang gajinya tidak
sesuai dengan apa yang di kerjakannya yang akhirnya ketika ada peluang, mereka di dorong
untuk melakukan korupsi.

4. faktor organisasi

Faktor organisasi ini adalah faktor eksternal dari penyebab terjadinya korupsi. Di suatu tempat
pasti ada sebuah organisasi yang berdiri, biasanya tindak korupsi yang terjadi dalam organisasi
ini adalah kelemahan struktur organisasi, aturan aturan yang dinyatakan kurang baik, kemudian
kurang adanya ketegasan dalam diri seorang pemimpin. Di dalam suatu struktur organisasi akan
terjadi suatu tindak korupsi jika di dalam struktur tersebut belum adanya kejujuran dan kesadaran
diri dari setiap pengurus maupun anggota.

Jenis Tindak Pidana Korupsi


Berikut ini adalah beberapa tindakan yang termasuk dalam korupsi diantaranya :

 Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),


 Penggelapan dalam jabatan,
 Pemerasan dalam jabatan,

2
 Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
 Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Data dari penyidikan kasus korupsi dalam empat tahun terakhir pada 2014 ada 56 kasus korupsi
yang disidik KPK. Kemudian naik pada 2015 menjadi 57 kasus, dan pada 2016 naik lagi menjadi
99 kasus.

Berdasarkan data, hingga 30 September ada 78 penyidikan kasus korupsi. Artinya hingga akhir
Desember nanti masih ada kemungkinan bertambah.Pejabat negara yang paling banyak menilep
uang rakyat justru adalah kalangan wakil rakyat, baik DPR maupun DPRD yakni sebanyak 23
orang.

Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga wali kota atau bupati berjumlah 10 orang.
Jabatan yang juga rawan korupsi adalah pejabat eselon I, II, dan III yakni 10 orang. Dari
kalangan swasta yang terlibat korupsi juga tak sedikit yakni 28 orang.

Modus korupsi yang paling sering dilakukan adalah penyuapan. Pada 2014 ada 20 kasus
penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus, dan 2016 naik lagi menjadi 79 kasus penyuapan,
dan tahun ini hingga 30 September sudah mencapai 55 kasus penyuapan.

Pemberantasan korupsi sejatinya tak hanya soal angka-angka, tetapi juga tentang bagaimana
perjuangan melawan korupsi harus digdaya. Tampaknya ini yang terus mendapat ujian.
Penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan misalnya, jelas merupakan upaya
mengerdilkan pemberantasan korupsi, dan hari ini memasuki 242 hari, pelaku dan dalang
penyiraman Novel Baswedan masih belum terungkap.

Juga dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik tak mudah bagi KPK dalam menyidik Ketua
DPR Setya Novanto yang menjadi tersangka dalam kasus ini.Bahkan KPK mesti dua kali
menetapkan status Novanto sebagai tersangka. Tanpa perlawanan yang kuat, tikus-tikus koruptor
akan menggerogoti harapan akan kemakmuran di negeri ini. Mencuri hak-hak rakyat untuk
sejahtera.

EMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo


menyatakan, saat ini indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perseption index (CPI)
Indonesia berada di peringkat ketiga se-Asean. Hal ini menunjukkan, Indonesia berada di arah
yang benar dalam memberantas korupsi.

"Indeks persepsi korupsi kita di arah yang betul karena kita bisa tunjukan perbaikan secara
nyata," kata Agus dalam peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia 2017 dan Konferensi Nasional
Pemberantasan Korupsi (KNPK) 2017 di ruang Birawa, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin,
11 Desember 2017.

3
Agus berujar, posisi Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 1999. IPK
Indonesia pada era Orde Baru berada di urutan paling bawah se-ASEAN. Ketika itu, Indonesia
hanya meraih skala 17 dari 100. Kini, Indonesia menyalip Filipina dan Thailand.

Posisi Indonesia saat ini masih kalah dari Singapura. Negara tetangga itu kini menempati
peringkat teratas. Mengenai hal itu, Agus menilai hal itu wajar lantaran KPK versi Singapura
sudah ada sejak 1952, sedangkan Indonesia baru membentuk KPK pada 2002. Karena itu, kata
dia, seluruh elemen yang berperan dalam pemberantasan korupsi mulai dari pemerintah hingga
masyarakat perlu bergerak bersama-sama. "Begitu kita bersama bergerak mudah-mudahan IPK
kita (Indonesia) bisa naik drastis," ujar Agus.

Dalam kesempatan itu, Agus juga menyoroti mengenai legislasi Undang-Undang Korupsi
Indonesia. Ia menilai UU Korupsi di negara ini masih banyak kekurangan. Salah satunya
adalah UU Korupsi yang masih kuno karena hanya menyentuh keuangan negara. "Kita harus
meluaskan bahwa yang namanya suap-menyuap juga di sektor swasta," katanya.

Presiden Joko Widodo percaya Indonesia adalah salah satu negara paling aktif dalam
penegakan hukum untuk korupsi. Jokowi berujar, negara tidak bisa menunda lagi untuk
memperbaiki sistem pelayanan, administrasi, dan pengetahuan serta partisipasi masyarakat.
"Keterbukaan dan aturan yang jelas harus ditingkatkan," kata Jokowi yang juga hadir di
acara Hari Antikorupsi  itu.

HUKUMAN BAGI KORUPTOR

Kasus korupsi bukan lagi hal asing bagi kita. Setiap hari ada saja pejabat yang ditangkap karena
korupsi atau suap. Apa memang benar di Indonesia, korupsi sudah jadi
bagian budaya? Kasus terbaru adalah ditangkapnya hakim agung Makamah Konstitusi, Patrialis
Akbar oleh KPK atas dugaan menerima suap. Ironisnya, penangkapan pejabat-pejabat tinggi
negara ini sudah tidak lagi mengejutkan masyarakat. Sudah dianggap sebagai kelumrahan bahwa
yang namanya politisi itu memang selalu bermain uang dan tidak bisa memegang mandat rakyat.

Meski banyak berita penangkapan, proses hukum penanganan kasus korupsi di Indonesia
sepertinya tidak bisa diharapkan. Koruptor seringkali tidak pernah menjalani masa hukumannya
secara maksimal. Entah karena jaksanya juga mudah disuap atau berbagai keringanan yang
sering ‘dihadiahkan’ pemerintah, hukuman korupsi di negeri ini tampaknya tidak bisa membuat
efek jera. Kalau di negara-negara lain, bagaimana ya metodenya menghukum koruptor? Yuk
disimak bersama…

1. Cina memang dari dulu sudah terkenal paling keras menangani korupsi. Meski zaman
sudah modern, eksekusi hukuman mati di depan umum masih dilakukan untuk koruptor

4
Sejak Xi Jinping menjadi Presiden Cina di tahun 2013, hukuman mati diberlakukan untuk semua
pelaku korupsi tanpa terkecuali. Tak peduli apakah dia petugas biasa ataukah pejabat tinggi, jika
tertangkap korupsi maka konsekuensinya nyawa. Sejak saat itu, ribuan orang sudah menjalani
eksekusi yang beragam bentuknya. Mulai dari ditembak di tempat kusus hingga ditembak di
depan umum. Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian termasuk yang dieksukusi mati karena
kasus korupsi dan suap. Sementara Zhou Yhongkang, mantan pejabat tinggi negara, kini
mendekam di penjara untuk menghabiskan sisa hidupnya. Pemerintah Cina berkeyakinan
hanyalah hukuman terberat seperti eksekusi mati dan penjara seumur hidup yang bisa membuat
koruptor jera.

2. Di Korea Utara, eksekusi hukuman mati bagi koruptor sungguh sadis. Salah satu
korbannya adalah paman Kim Jong-Un sendiri

Meski banyak yang menerapkan hukuman mati bagi terpidana korupsi, tapi eksekusi ala Korea
Utara ini mungkin yang paling bikin ngeri. Tahun 2013 lalu, Kim Jong-Un mengeksekusi
pamannya sendiri, Jang Song-Thaek yang dikenai sejumlah tuduhan yaitu mulai dari korupsi
hingga merencanakan kudeta. Setelah tewas ditembak, tubuh Jang Song-Thaek dijadikan
makanan untuk anjing kelaparan dan dipertontonkan di depan seluruh pejabat negara. Tapi di
Korea Utara, penerapan hukuman mati sangatlah ambigu. Tak hanya terbukti korupsi, tertidur
saat meeting atau membantah kata-kata Kim Jong-Un juga bisa membuat seseorang berakhir di
meja eksekusi.

3. Berbeda dengan saudaranya, Korea Selatan menerapkan hukuman pengucilan untuk


para pelaku penggelapan uang

Untuk penegakan hukum, pelaku korupsi di Korea dihukum dengan penjara dan dikucilkan dari
masyarakat serta keluarga. Hukuman sosial di Korea Selatan memang seringkali lebih berat
daripada konsekuensi legalnya. Ambilah contoh mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo Hyun,
yang tersangkut kasus korupsi. Karena tak tahan menahan rasa malu, Roh akhirnya bunuh diri
dengan menerjunkan diri dari atas bukit. Hukuman sosial inilah yang kiranya kurang tertanam di
Indonesia.

4. Hukuman penjara, denda, hingga diusir dari negara adalah hukuman yang kamu dapat
bila korupsi di Amerika Serikat

Amerika Serikat tidak punya badan khusus penanganan korupsi seperti KPK, juga tidak percaya
akan hukuman mati karena alasan hak asasi. Koruptor biasanya diganjar ancaman hukuman
penjara minimal 5 tahun dan denda 2 juta Dollar. Tapi pada kasus tertentu, ancaman untuk
dideportasi ke negara lain juga bisa diterapkan kepada para koruptor. Meski tergolong negara
maju, dugaan korupsi di dalam pemerintahan juga masih sangat tinggi.

5. Di Jerman, koruptor diharuskan mengembalikan semua hasil korupsi. Lalu


menghabiskan sisa hidupnya di tahanan

5
Korupsi memang tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga negara-negara maju di Eropa.
Transparansi di Jerman sangatlah tinggi, tapi kasus-kasus korupsi yang berbentuk penyuapan
masih juga terjadi. Sama seperti Amerika, Jerman juga tidak mempunya lembaga khusus yang
mengurusi korupsi. Seseorang yang terbukti korupsi, akan mendapat hukuman seumur hidup dan
diwajibkan mengembalikan seluruh uang yang sudah dikorupsi.

6. Selain terkenal dengan budaya harakiri, Jepang juga punya budaya malu seperti Korea
Selatan. Disamping hukuman masyarakat, koruptor merasa wajib menghukum dirinya
sendiri

Secara hukum, kasus korupsi di Jepang hanya akan diganjar dengan hukuman maksimal 7 tahun.
Jepang juga tidak punya undang-undang yang khusus korupsi. Tapi diluar hukum, budaya malu
dan harakiri lebih kuat untuk mengatasi persoalan korupsi. Saat seorang pejabat terbukti
melakukan korupsi atau terlibat suap, pengacara akan membujuknya untuk mengundurkan diri
jabatan dan mengembalikan semua yang sudah ‘diambil’ dari negara. Tapi karena ‘budaya malu’
ini, banyak koruptor di Jepang yang kemudian memilih bunuh diri. Bandingkan dengan koruptor
di Indonesia yang tak punya malu dan bebas saja melenggang bagai terhormat.

7. Meski sedikit terdengar kejam, hukuman ‘qisas’ atau pancung yang berlaku di Arab


Saudi membuat orang jera

Hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah syariat Islam. Hukuman bagi seorang pencuri adalah
potong tangan. Tapi korupsi berbeda dengan pencuri. Korupsi adalah bentuk kriminal yang lebih
berat daripada sekadar mencuri. Karena itu, hukumannya juga jauh lebih berat. Untuk koruptor,
hukuman mati sudah menanti. Berbeda dengan eksekusi hukuman mati Cina dengan cara
ditembak, di Arab Saudi hukuman mati dilakukan dengan qisas, alias pancung atau dipenggal.
Inilah yang membuat hukum ini terlihat kurang manusiawi, meskipun intinya sama-sama
hukuman mati.

8. Sementara di Indonesia? Paling lama hanya 15 tahun penjara. Itu juga masih dapat
remisi dan bebas melenggang ke layar kaca

Mungkin kamu heran mengapa setelah berdirinya KPK sejak tahun 2002, berita korupsi sama
seringnya dengan jadwal tayang sinetron stripping di TV. Bagaimana tidak? Hukuman bagi para
koruptor masih sangat longgar. Maksimal hanya 20 tahun penjara, itu juga sedikit sekali yang
diterapkan sampai akhir. Bahkan banyak pula yang hanya didakwa dua atau tiga tahun saja. Itu
belum seberapa. Atas nama kelakuan baik dan berbagai remisi demi remisi yang didapatkan,
hukuman yang tadinya 15 tahun bisa berakhir dengan 4 tahun saja. Dan di penjara belum tentu
juga hidupnya menderita. Coba tengok Gayus Tambunan, yang meski dipenjara masih bisa
pelesiran.

Meskipun dari segi badan hukum kita lebih baik karena punya lembaga tersendiri yang
mengurusi kasus korupsi, nyatanya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan. Pasalnya
hukum terkesan lemah dan tidak bisa membuat jera. Dengan segala remisi, terpidana korupsi

6
bisa keluar lebih cepat dari penjara, melenggang bebas, tampil di layar kaca, dan bahkan
mencalonkan diri jadi pejabat lagi. Kurang enak apa lagi?

Setiap negara memiliki aturannya sendiri dalam menghukum para koruptor. Mulai dari
penjara 2 tahun hingga hukuman mati.

tirto.id - Korupsi merupakan masalah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Jejak
korupsi juga merata di hampir seluruh penjuru dunia. 

Berdasarkan survei Corruption Index 2017, tidak ada negara yang mendekati nilai sempurna
dalam Indeks Persepsi Korupsi 2016. Itu artinya tak ada satu negara di dunia yang benar-benar
bebas dari tindak korupsi. Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa sekitar dua pertiga dari
176 negara di dunia berada pada tingkatan “sangat korup”. Secara keseluruhan, rata-rata skor
global untuk korupsi hanya pada angka 43 dari 100. Hal ini mengindikasi bahwa korupsi
endemik di sebagian besar negara di dunia. 

Bank Dunia menganggap korupsi menjadi tantangan utama dalam mencapai tujuan pengurangan
kemiskinan ekstrem pada 2030 mendatang. Ini sekaligus menjadi tantangan besar dalam
peningkatan kemakmuran bersama bagi 40 persen orang termiskin di negara-negara
berkembang. 

Korupsi berdampak besar pada kehidupan orang miskin. Menurut Bank Dunia, korupsi


menghambat orang miskin mengakses layanan kesehatan sehingga berdampak pada kesehatan
masyarakat. Minimnya akses memaksa mereka harus menyuap agar mendapatkan akses tersebut.
Secara konsisten orang miskin menghabiskan 12,6 persen dari pendapatannya untuk menyogok. 

Secara global, setiap tahunnya uang untuk menyogok atau menyuap dalam bisnis atau pribadi
mencapai 1,5 triliun dolar. Jumlah tersebut setara dengan 2 persen PDB global atau 10 kali lebih
besar dari dana bantuan pembangunan luar negeri. Sehingga mengurangi korupsi menjadi tujuan
dari Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals. 

Dalam melawan korupsi, masing-masing negara memiliki aturannya sendiri yang dapat dilihat
dari ragam bentuk penghukuman bagi para koruptor. Cina salah satunya yang sedang berusaha
melawan korupsi dengan menetapkan siapapun yang terbukti melakukan korupsi lebih dari 100
ribu yuan atau sekitar Rp194 juta akan dijatuhi hukuman mati. 

Pemerintah Cina tak main-main menghukum para koruptor. Salah satu vonis hukuman mati
dijatuhkan Xu Maiyong, mantan wakil walikota Hangzhou dan Jiang Renjie, wakil walikota
Suzhou pada 2011. Mereka dinyatakan bersalah karena telah melakukan penyuapan masing-
masing 100 juta yuan dan 200 juta yuan — yang jika diakumulasi mencapai 50 juta dolar AS. 

Selain itu Menteri Perkeretaapian Cina, Liu Zhijun, juga divonis hukuman mati karena menerima
suap dan menyalahgunakan jabatan atau wewenang sejak 1972 hingga 2011. Ia membantu
memenangkan tender proyek-proyek pembangunan perusahaan kereta api dan mendapat 13,5
juta dolar AS dari praktik korupsi. 

7
Korupsi menjadi salah satu penyebab utama ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah di
Cina. Itulah sebabnya pemerintah pun mengambil langkah tegas kepada koruptor. Ratusan
pejabat dihukum setiap tahunnya karena kasus korupsi. 

Vietnam juga menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Pada 2014, seorang direktur
Vietnam Development Banks dijatuhi hukuman mati setelah ia dan 12 orang lainnya menyetujui
sebuah pinjaman palsu sebesar 89 juta dolar AS. Agar ia menyetujui kontrak tersebut, ia disuap
dengan sebuah BMW, cincin berlian dan 5,5 juta dolar AS. Jika Cina dan Vietnam menerapkan
hukuman mati, maka di Jerman, siapapun yang menawarkan, membayar atau menerima sogokan
dalam transaksi domestik atau asing dapat dikenai hukuman hingga 10 tahun penjara, membayar
sejumlah denda dan menyita seluruh hasil dari korupsi, menurut KUHP Jerman
(Strafgesetzbuch). Berbeda lagi dengan yang diberlakukan di Amerika Serikat. Negara maju
tersebut juga masih terus bekerja keras melawan korupsi. Di Amerika, praktik korupsi dapat
dijatuhi hukuman 5-20 tahun penjara dan denda 100 ribu-5 juta dolar AS untuk setiap
pelanggaran. 

Singapura juga tak lepas dari praktik korupsi. Di negara tersebut, siapapun yang menerima,
memberi suap akan dijerat hukuman tak lebih dari 5 tahun penjara dan membayar denda yang tak
lebih dari 100 ribu dolar AS. Di Jepang, praktik korupsi menjadi ciri khas ledakan ekonomi
pascaperang Jepang yang membangun aliansi erat yang dikenal dengan “segitiga besi” antara
pebisnis Jepang, politisi dan Partai Demokratik yang berkuasa. Kedekatan yang erat ini
mendorong terciptanya kesepakatan rahasia yang berujung pada tindak korupsi. 

Dalam pasal 197 KUHP Jepang melarang seorang pejabat publik untuk menerima sogokan atau
pada pasal 198 yang melarang menawarkan sogokan. Hukuman untuk yang menerima sogokan
adalah dipenjara di bawah 5 tahun serta menyita hasil dari sogokan. Sedangkan pejabat yang
menawarkan sogokan diancam dipenjara selama 3 tahun dan membayar denda 2,5 juta yen atau
Rp301 juta. Pejabat yang terjerat kasus korupsi di Jepang biasanya akan langsung mengundurkan
diri dari jabatannya. Sedangkan di Indonesia, Lembaga swadaya masyarakat bidang pemantauan
dan pemberantasan korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan,  selama semester
pertama 2015, hakim rata-rata hanya menjatuhkan vonis hukuman penjara 25 bulan atau dua
tahun satu bulan kepada para terdakwa koruptor. Itu belum termasuk remisi yang tentu akan
mempersingkat waktu penahanan. Artinya meringankan hukuman koruptor. 

Pada periode yang sama di tahun 2014, vonis hakim terhadap terdakwa dengan perkara korupsi
rata-rata sekitar dua tahun sembilan bulan, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata vonis
hukuman koruptor pada kurun yang sama di tahun 2015. Korupsi di Indonesia sudah menggurita.
Terjadi di berbagai daerah dan di berbagai lapisan mulai dari pejabat negara, politikus, kepala
daerah hingga wakil rakyat. Kasus korupsi yang masih hangat adalah megakorupsi e-KTP yang
menyeret berbagai pejabat publik hingga wakil rakyat. Ada juga korupsi Alquran yang
menegaskan bahwa korupsi menjadi “penyakit kronis” di Indonesia. 

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan agar dapat menekan korupsi di
Indonesia. Namun tak jarang dalam beberapa kasus, terjadi kriminalisasi dan rekayasa kasus
terhadap pemimpin dan pagawai KPK, hinggga pelemahan KPK. Guna memerangi korupsi yang
semakin merajalela ini, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar

8
Farid Mas'udi pernah menyebutkan untuk menghukum mati para koruptor agar memberi efek
jera seperti yang dilakukan Cina dan Vietnam. 

Di sisi lain hukuman mati dianggap melanggar hak asasi manusia. Sehingga menimbulkan
dilema. Penjara dan denda pun tak membikin koruptor jera. Lalu hukuman apa yang pantas untuk
koruptor? 
KASUS-KASUS KORUPSI DI INDONESIA

 Pelaku kasus korupsi, yang ditangani KPK di 2017, paling banyak dari kalangan pejabat
birokrasi pemerintah

Kasus suap mendominasi perkara korupsi yang ditangani KPK selama 2017. 

tirto.id - Catatan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan jumlah penyelidikan dan
penyidikan kasus korupsi selama 2017 lebih banyak dibanding data 2016. 

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memaparkan, selama 2017, lembaganya melakukan 114 kegiatan
penyelidikan kasus korupsi. Di tahun yang sama, Komisi Antirasuah melaksanakan 118 penyidikan kasus
dan 94 kegiatan penuntutan perkara korupsi. 

“Itu kasus baru maupun sisa penanganan perkara tahun sebelumnya," kata Basaria saat mengumumkan
catata kinerja lembaganya dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2017). 

Jumlah kegiatan penyelidikan dan penyidikan di tahun ini tersebut meningkat dibandingkan tahun 2016.
Pada tahun lalu, penyelidikan KPK hanya menyentuh 96 kasus. Sementara penyidikan menyasar 99
kasus. Jumlah kegiatan penuntutan pada 2016 juga hanya sebanyak 76 perkara.

Basaria mengimbuhkan, angka perkara korupsi yang berhasil ditangani hingga berkekuatan hukum tetap
atau inkracht, pada tahun ini juga sedikit lebih baik dari tahun sebelumnya. Pada 2017, ada 73 kasus yang
berhasil inkracht, sementara tahun lalu terdapat 71 perkara. 

Namun, untuk jumlah perkara yang dieksekusi oleh KPK pada 2017 lebih rendah dibanding 2016. Tahun
lalu, KPK mengeksekusi 81 perkara, tapi di 2017 hanya 76. 

Catatan akhir tahun 2017 yang dirilis KPK menyimpulkan kasus suap tetap mendominasi perkara korupsi
yang ditangani lembaga ini. Tercatat, ada 93 perkara suap yang ditangani KPK di 2017. Jumlah ini
meningkat dari 79 kasus pada 2016. 

"Diikuti dengan pengadaan barang dan jasa sebanyak 15 perkara serta tindak pidana pencucian uang
sebanyak 5 perkara," kata Basaria.

KPK juga mencatat, selama 2017, pelaku korupsi terbanyak berasal dari pejabat birokrasi pemerintahan
pusat dan daerah. Tercatat ada 43 perkara korupsi yang melibatkan pejabat eselon 1 hingga 4. Selanjutnya
pelaku dari swasta terluibat di 27 perkara. Di peringkat ketiga, para anggota DPR dan DPRD tersangkut

9
di 20 perkara. Sementara 12 perkara lain menyangkut kepala daerah. 

Dari ratusan perkara, sekitar 19 perkara merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT), yang selama
2017, meringkus 72 tersangka dari beragam kalangan, mulai penegak hukum, anggota legislatif hingga
kepala daerah. 

"Jumlah tersebut belum termasuk tersangka yang ditetapkan kemudian dari hasil pengembangan berkas
perkara yang bersangkutan (tersangka hasil OTT)," kata Basaria.

Selain menangani perkara sendiri, KPK juga melakukan supervisi dan koordinasi dengan lembaga
penegak hukum lain. Saat ini, tercatat koordinasi berkaitan dengan 183 perkara. Jumlah itu lebih baik dari
target KPK yang hanya 80 perkara. KPK juga sedang melakukan supervisi pada 289 perkara, atau juga
masih lebih baik dari target yang hanya 124 perkara.

Pada 2017, KPK melaporkan menyelamatkan uang negara senilai Rp276,6 miliar. Di data itu, termasuk
hibah barang rampasan dengan total sekitar Rp88,6 miliar. Di antara contoh hibah barang rampasan itu
ialah gedung museum Batik di Surakarta (Rp49 M) serta tanah dan bangunan untuk ANRI (Rp 24,5M). 

Sebagai catatan, total anggaran untuk KPK di APBN 2017 ialah Rp849,53 miliar. Tapi, berdasar laporan
KPK, tak semua anggaran bisa terserap. 

Misalnya, KPK menerima jatah anggaran senilai Rp16,74 miliar untuk penyidikan dan Rp14,55 miliar
untuk penuntutan. Dalam realisasinya, anggaran penyidikan hanya terserap Rp13,92 miliar atau 83,2
persen. Sedangkan penuntutan menelan Rp12,48 miliar atau 85,8 persen dari total pagu. 

KASUS-KASUS KORUPSI DI SULAWESI TENGGARA

1. JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam didakwa


merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun. Nur Alam juga didakwa telah memperkaya diri
sendiri, orang lain, dan korporasi dalam jabatannya sebagai Gubernur. "Terdakwa
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Afni Carolina di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/11/2017). Menurut jaksa, Nur
Alam melakukan perbuatan melawan hukum dalam memberikan Persetujuan Pencadangan
Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Kemudian,
Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi  Produksi kepada PT
Anugerah Harisma Barakah (AHB). Menurut jaksa, perbuatan melawan hukum tersebut telah
memperkaya Nur Alam sebesar Rp 2,7 miliar. Kemudian, memperkaya korporasi, yakni PT
Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 miliar.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gubernur Sulawesi Tenggara Didakwa
Rugikan Negara Rp 4,3
Triliun", https://nasional.kompas.com/read/2017/11/20/16521491/gubernur-sulawesi-
tenggara-didakwa-rugikan-negara-rp-43-triliun. 
Penulis : Abba Gabrillin

10
2. JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Aswad
Sulaiman, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aswad
diduga telah menyebabkan kerugian negara Rp 2,7 triliun. "Indikasi kerugian negara Rp 2,7
triliun dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat izin proses perizinan
yang melawan hukum," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung
KPK Jakarta, Selasa (3/10/2017). Menurut Saut, Aswad diduga menyalahgunakan
kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi terkait pemberian
izin kuasa pertambangan eksplorasi, eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi
produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melebihi Kasus E-KTP, Eks Bupati
Konawe Utara Rugikan Negara Rp 2,7
Triliun", https://nasional.kompas.com/read/2017/10/03/18150741/melebihi-kasus-e-ktp-eks-
bupati-konawe-utara-rugikan-negara-rp-27-triliun. 
Penulis : Abba Gabrillin
3. Menurut Data Pencegahan KPK, Selama tahun 2013 - 2015 sebanyak 236 kasus
yang dilaporkan ke KPK. 83 kasus ditelaah KPK dan 1 kasus diserahkan ke Pihak
Kepolisian. 152 kasus lainnya tanpa bukti-bukti yang kuat. 

Dari data itu, Kami dari Tim Sekilas Kendari mencoba mengumpulkan kasus
korupsi yang terungkap di media massa lokal sultra selama periode September –
November 2015 sebanyak 22 kasus gratifikasi dan korupsi Di Sulawesi Tenggara

4. Berdasarkan data diatas beberapa pihak yang rentan dalam melakukan korupsi
yakni Pertama, Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) sangat rentan
dengan kasus korupsi dalam proses pembebasan lahan dan izin operasi
perusahaan tambang dan perkebunan, dana bansos dan dana perjalanan dinas.  

Kedua, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) rentan terhadap korupsi penerimaan


Pegawau Negeri Sipil. Ketiga, Dinas Perhubungan rentan terhadap korupsi
penerimaan restribusi angkutan umum dan pengadaan fasilitas angkutan
umum. Keempat, Dinas Pertanian sangat rentan terhadap korupsi pengadaan
pupuk untuk petani.  

Kelima, Dinas Kesehatan rentan terhadap korupsi manipulasi gaji pegawai dan


pengadaan peralatan alat kedokteran. Keenam, Dinas Pekerjaan Umum (PU)
sangat rentan korupsi terhadap proyek pembangunan infrastruktur jalan dan
pembangunan gedung. Ketujuh, BULOG sangat rentan korupsi dalam pengadaan
RASKIN.  

Kedelapan, Dinas Sosial sangat rentan terhadap korupsi terhadap pengadaan


rumah yang layak untuk rakyat. Kesembilan, KPU rentan korupsi dalam
pengadaan alat peraga kampanye serta manipulasi gaji PPK dan
sebagainya. Kesepuluh, Kontraktor rentan terhadap korupsi terutama pengadaan
fasilitas dan BBM untuk nelayan. Kesebelas, Anggota Legislatif yang rentan
korupsi ketika pengajuan proyek pembangunan suatu daerah yang bekerjasama
dengan pihak eksekutif dan pengusaha.
 

11

Anda mungkin juga menyukai