A. Pengertian Keratitis
B. Etiologi Keratitis
1
d. Pseudococcus
2. Virus
a. Virus herpes simpleks
b. Virus herpes zoster
3. Jamur
a. Candida
b. Aspergillus
4. Hipersensitif: Toksin/alergen
5. Gangguan nervus trigeminus
6. Idiopatik
C. Klasifikasi Keratitis
2
Keratitits dengan infiltrat halus pada kornea, selain disebabkan oleh
virus keratitits pungtata juga disebabakan oleh obat seperti neomicin dan
gentamisin.
6. Keratitits disformis
Merupakan keratitits dengan bentuk seperti cakram didalam stroma
permukaan kornea, keratitis ini disebabkan oleh infeksi atau sesudah
infeksi virus herpes simpleks
7. Keratitis pemajanan
Infeksi ini terjadi bila kornea tidak dilembabkan secara memadai dan
dilindungi oleh kelopak mata. Kekeringan kornea dapat terjadi dan
kemudian dapat diikuti ulserasi dan infeksi sekunder. Pemajanan kornea
dapat diebabakan oleh karena keadaan eksoptalmus, paresis saraf kranial
VII tetapi juga dapat terjadi pada pasien koma atau yang dianastesi.
a. Keratitis lagoftalmos
Terjadi akibat mata tidak menutup sempurna yang dapat
terjadi pada ektropion palpebra, protrusio bola mata atau pada
penderita koma dimana mata tidak terdapat reflek mengedip.
b. Keratitis neuroparalitik
Terjadi akibat gangguan pada saraf trigeminus yang
mengakibatkan gangguan sensibilitas dan metabolisme kornea
c. Keratokonjungtivitis sika
Terjadi akibat kekeringan pada bagian permukaan kornea.
3
7. Ekstrusi iris dan endoftalmitis
8. Fotofobia
9. Mata berair
10. Kehilangan penglihatan bila tidak terkontrol
(Brunner dan Suddarth, 2001)
1. Anatomi Kornea
4
poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05
mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata
merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya
dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari
ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas,
2005).
b. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah
membran basal dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian
depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi (Ilyas,
2005).
c. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea.
Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel
fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin
yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
lama, dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2005).
d. Membran Descemet
5
Merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat
sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan
mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup
dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada
membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses
patologik lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang
lain (Ilyas, 2005).
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk
heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran
descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous
humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak
mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi
sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan
memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi
dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan
sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan
(edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan)
akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan
endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan
ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat
kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan
kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005).
2. Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan,
yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan
lapisan endotel (Riordan-Eva, 2010).
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran
limitans anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea
(substansi propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel
6
yang membentuk lamella tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan
bercabang (Eroschenko, 2003).
Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan
epitel posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran
Descemet merupakan membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2003)
dan memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich,
1993).
4. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela”
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya
disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi.
Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada
endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel.
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan
edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel
telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal
menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea
superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan,
2009).
7
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-
lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui
stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus
larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien
terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali
kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah
terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus,
amuba, dan jamur (Vaughan, 2009).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui
cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih,
sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah.
Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea.
Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan
yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009).
F. Patofisiologi Keratitis
8
(terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan
fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada
pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea,
minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini,
yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan
fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi
mata kecuali pada ulkus bakteri purulen (Vaughan, 2009).
9
Web of cause Keratitis
Timbul infiltrat di
kornea
KERATITIS
10
G. Pemeriksaan Penunjang
2. Pemulasan fluorescein
Kerokan kornea yang kemudian dipulas dengan pulasan gram
maupun giemsa.
11
10. Tonometri digital palpasi
Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak
dapat dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea
ireguler dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman
pemeriksa karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan
dengan tahahan lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian
superior.
H. Penatalaksanaan
12
natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat yang dapat
membantu epitelisasi dapat diberikan.
13
sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat beberapa obat sikloplegia yaitu
atropin, homatropin, dan tropikamida.
14
dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap
atau handuk, sapu tangan, dan tissue.
A. Pengkajian
1. Data Demografi
Dikaji identitas klien serta penanggung jawabnya, meliputi: nama
klien, nomor MR, tanggal lahir, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan,
dsb.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya, akan tampak tanda dan gejala berikut, visus
menurun (gangguan penglihatan), mata terasa sakit, lakrimasi,
mata bengkak merah, fotofobia.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Compos Mentis
Selain itu perlu dinilai tanda-tanda vital klien.
b. Rambut dan Kepala
15
I: Dinilai keadaan kepala dan rambut klien, ada lesi atau tidak,
warna rambut, kekuatan dan warna rambut serta distribusinya,
kebersihan kepala.
P: Diraba adakah pembengkakan di kepala atau tidak
c. Telinga
I: Dilihat keadaan telinga, liang telinga adakah serumen atau tidak,
keadaan membran timpani. Selain itu, dinilai fungsi pendengaran.
d. Mata
Hiperemi pada konjungtiva.
Adanya flikten/infiltrat pada kornea
Adanya lakrimasi, blefarospasme
Mata tampak merah dan bengkak
e. Hidung
Dikaji keadaan telinga, adakah pembesaran atau tidak, keadaan
liang hidung, keadaan septum nasi dan juga fungsi penciumannya.
f. Mulut
Dinilai keadaan mukosa bibir, bau mulut, keadaan gigi, lidah,
keadaan tonsil, serta fungsi pengecapan.
g. Leher
Perlu dinilai adakah pembesaraan kelenjar tiroid, kelenjar getah
bening, juga keadaan tekanan vena jugularis.
h. Thoraks
Paru-paru
I: Dinilai keadaan umum dada, simetris atau tidak.
Pergerakannya sama atau tidak, ekspansi paru maksimum
atau tidak.
P: Dinilai focal fremitusnya, sama atau tidak kiri dan kanan
P: Dinilai bunyi lapang paru
A: Dinilai bunyi nafas di seluruh lapang paru
Kardiovaskuler
I: Dinilai keadaan ictus cordis, terlihat atau tidak
P: Diraba letak ictus cordis dan letaknya
16
P: Dinilai batas-batas jantung
A: Dinilai bunyi jantung sistole dan diastolenya.
i. Abdomen
I: Dinilai keadaan abdomen, ada ascites atau tidak, lesi.
A: Dinilai bising usus
P: Dinilai kualitas nyeri tekan dan nyeri lepas
P: Dinilai bunyi abdomen
j. Genito Urinaria
Perlu dikaji keadaan genitalia klien, terpasang kateter atau tidak,
ada pembesaran atau tidak.
k. Ekstremitas
Dilihat keadaan ekstremitas, lengkap atau tidak, ada udema atau
tidak.
l. Persarafan
Dinilai keadaan GCS klien, kekuatan ototnya dan fungsi sarafnya
m. Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Dikaji pemenuhan kebutuhan dasar klien pada saat sehat dan sakit.
n. Data Penunjang
Dikaji data-data tambahan, seperti data laboratorium, rontgen dan
data-data penunjang lainnya.
17
C. Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa
NOC Intervensi dan Aktivitas
Keperawatan
1. Gangguan persepsi a. Vision Compensation a. Eye Care
sensori: Penglihatan Behaviour Monitor adanya kemerahan
Penglihatan meningkat dan adanya eksudat
Tentukan derajat penurunan
penglihatan atau tes tajam
penglihatan
Instruksikan pasien untuk
tidak menyentuh matanya
Monitor refleks kornea
Anjurkan pasien untuk
menggunakan kacamata
katarak
Lakukan tindakan untuk
membantu pasien menangani
keterbatasan penglihatan.
Dorong pasien untuk
mengekspresikan perasaan
tentang kehilangan
penglihatan.
2. Nyeri a. Pain Level a. Pain Management
Nyeri berkurang Lakukan pengkajian nyeri
Mampu mengenali nyeri secara komprehensif termasuk
(skala, intensitas, frekuensi lokasi, karakteristik, durasi,
dan tanda nyeri) frekuensi, kualitas dan faktor
Mampu mengontrol nyeri presipitasi
Observasi reaksi nonverbal
b. Comfort level dari ketidaknyamanan
Menyatakan rasa nyaman Kontrol lingkungan yang dapat
setelah nyeri berkurang\ mempengaruhi nyeri
Tanda vital dalam rentang seperti suhuruangan,
normal pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
b. Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat.
Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Monitor vital sign sebelum dan
18
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
3. Resiko Cedera a. Risk Kontrol a. Environment Management
Klien terbebas dari cedera (Manajemen lingkungan)
Klien mampumenjelaskan Sediakan lingkungan yang
cara/metode aman untuk pasien
untukmencegah Menghindarkan lingkungan
injury/cedera yang berbahaya (misalnya
Klien mampu menjelaskan memindahkan perabotan)
factor resiko dari Memasang side rail
lingkungan/perilaku tempat tidur
personal Menyediakan tempat tidur
yang nyaman dan bersih
19
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta.
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Media Aesculapius FKUI:
Jakarta.
20