Anda di halaman 1dari 4

MINGGU V

PARTISIPASI

Pengertian Partisipasi

Kamus besar bahasa Indonesia memberikan arti kata partisipasi sebagai: perihal turut
berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta (Departemen Pendidikan
Nasional, 2005). Kata partisipasi berasal dari bahasa latin partisipare yang berarti mengambil
bagian atau turut serta (Safi’i, 2008). Sastrodipoetra (1988) yang dikutip oleh Safi’i (2008),
memberikan pengertian partisipasi sebagai keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai
kesadaran dan tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai kepentingan
bersama. Selanjutnya dikatakan juga bahwa partisipasi berarti keterlibatan komunitas setempat
secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek
pembangunan.
Charly yang dikutip oleh Ndraha (1992), mengemukakan pengertian partisipasi sebagai
keterlibatan mental dan emosi seseorang atau sekelompok masyarakat di dalam situasi
kelompok yang mendorong yang bersangkutan atas kehendak sendiri menurut kemampuan
swadaya yang ada, untuk mengambil bagian dalam usaha pencapaian tujuan bersama dalam
pertanggungjawabannya.

Tipe Partisipasi
Berdasarkan kerangka kerja Conchelos (1985), terdapat dua tipe partisipasi yaitu secara
teknis dan politis. Dari sudut pandang teknis, partisipasi merupakan suatu cara melibatkan
orang/sasaran dalam kegiatan-kegiatan praktis meliputi pendefinisian masalah, pengumpulan
data, analisis data, dan implementasi hasil. Partisipasi yang bercirikan teknis dapat dimanipulasi
oleh para pemegang kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Partisipasi yang bercirikan
politis mengandung makna perolehan kekuasaan (power) dan pengendalian (kontrol) terhadap
suatu situasi melalui penambahan pilihan-pilihan tindakan, otonomi, dan refleksi, terutama
melalui pengembangan dan penguatan institusi.
Kerangka kerja lain (Selener, 1997) mengkategorikan partisipasi berdasarkan derajad
pengendalian (control) yang dimiliki partisipan dan dikenal sebagai delapan anak tangga
meliputi: (1) manipulation, (2) therapy, (3) informing, (4) consultation, (5) placation, (6)
partnership, (7) delegated power, dan (8) citizen control. Kategori tersebut dikelompokkan
kembali menjadi empat kelas berdasarkan hubungan antara perluasan pengendalian atau
kekuasaan (extent of control or power) dan partisipasi.Keempat kelas tersebut adalah: (1)
domestication, (2) assistencialism (paternalism), (3) cooperation, dan (4) empowerment.
Domestication dan assistencialism digolongkan sebagai kategori pseudo participation,
sedangkan genuine participation mencakup cooperation dan empowerment. Dalam partisipasi,
sebagai kelas domestication, power dan control terhadap aktivitas-aktivitas yang diberikan
berada ditangan para perencana, administrator, elit local, ilmuwan, atau professional.
Domestication dicapai dengan menggunakan teknik pseudo participation dalam memanipulasi
orang/sasaran untuk melakukan segala sesuatu yang dipersepsikan, oleh pihak luar, bermanfaat
untuk kepentingan mereka lebih daripada memberdayakan partisipan.
Makna dibelakang partisipasi sebagai assestencialism (paternalism) adalah bahwa power
dan control berada di tangan seorang agen atau elit luar. Para anggota kelompok partisipan
menerima informasi dan mereka dibimbing, dibantu, atau ditenangkan. Partisipan diperlakukan
sebagai obyek pasif, tidak mampu ambil bagian secara aktif dalam proses. Mereka diberi
informasi tentang aktivitas, tetapi tidak mempunyai pengaruh terhadap pengambilan keputusan
atau control terhadap manfaat yang diperoleh.
Partisipasi sebagai cooperation melibatkan orang/sasaran yang bekerjasama dengan pihak
luar dalam mengimplementasikan aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan manfaat bagi
sasaran. Pengambilan keputusan dilakukan melalui dialog antara sasaran dan pihak luar.
Sasaran/partisipan terlibat secara aktif dalam implementasi.
Partisipasi sebagai empowerment merupakan suatu pendekatan dimana sasaran
memegang kekuasaan dan pengendalian secara penuh terhadap program atau suatu institusi,
meliputi aktivitas pengambilan keputusan dan administrative. Pemberdayaan dicapai melalui
kehati-hatian, demokratis, solidaritas, dan kepemimpinan. Partisipasi ini dicirikan oleh proses
otonomi dalam mobilisasi untuk perubahan struktur social dan politik. Secara luas, kerangka
kerja tersebut diatas dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe partisipasi yaitu: (1) teknis, (2)
politis dan genuine, dan (3) pseudo.
Koentjaraningrat (1974), memberikan tipe partisipasi masyarakat sebagai berikut:
a. Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan khusus.
Pada tipe ini rakyat pedesaan diajak, dipersuasi, diperintahkan atau dipaksa oleh wakil-
wakil dari suatu institusi / lembaga pemerintah atau pamong desa, untuk berpartisipasi
dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek-proyek pembangunan yang
khusus, yang biasanya bersifat fisik. Contoh partisipasi tipe ini yaitu partisipasi orang
desa dalam hal mengeraskan atau melebarkan jalan desa, membuat saluran irigasi dan
jembatan desa.
b. Pastisipasi sebagai individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan
Pada tipe partisipasi yang kedua ini biasanya tidak ada proyek-proyek yang khusus,
tetapi proyek pembangunan yang tidak bersifat fisik dan yang memerlukan suatu
partisipasi masyarakat tidak atas perintah atau paksaan dari atasannya tapi selalu atas
dasar kemauannya sendiri. Contohnya yaitu partisipasi dalam kegiatan Bimas, menjadi
akseptor keluarga berencana dan menabung uang di Tabanas.

Mengukur Tingkat Partisipasi


Karena sifat kualitatif dan dinamis dari partisipasi, mengukurnya menuntut kita untuk
bergerak melebihi kerangka evaluasi karena partisipasi bukan merupakan kejadian tunggal.
Partisipasi merupakan proses yang berjalan, dinamis dan interaktif yang harus mendasari
setiap kegiatan pengembangan masyarakat dan memandu perkembangannya. Dengan
demikian seseorang tidak bisa begitu saja mengambil potret sekilas.

United Nation Development Program (UNDP) mengidentifikasi empat prinsip untuk


memandu evaluasi dari partisipasi:

1. Harus kualitatif dan kuantitatif


2. Harus dinamis, bukan statis untuk membuat seluruh proses di seluruh waktu dapat
dievaluasi.
3. Memerlukan pemantauan yang berkesinambungan untuk menangkap sifat dinamis dari
proses melalui uraian kualitatif.
4. Harus melibatkan suara rakyat, yang memegang peranan aktif dalam evaluasi

Apa yang menunjukkan partisipasi efektif? Sebagai patokan umum, adalah berguna untuk
mengidentifikasi jumlah indikator minimum. Jumlah minimum indikator mewakili jumlah
yang akan memadai untuk menjelaskan proses partisipasi. Indikator-indikator kuantitatif dari
partisipasi mencakup:

1. Perubahan positif dalam layanan lokal


2. Jumlah pertemuan dan jumlah peserta
3. Proporsi berbagai bagian dari kehadiran masyarakat
4. Jumlah orang yang dipengaruhi oleh isu yang diurus
5. Jumlah pemimpin lokal yang memegang peranan
6. Jumlah warga lokal yang memgang peranan dalam proyek
7. Jumlah warga lokal dalam berbagai aspek proyek dan pada waktu yang berbeda

Indikator-indikator kualitatif dalam partisipasi meliputi:

1. Suatu kapasitas masyarakat yang tumbuh dalam masyarakat dan jaringan yang bertambah
kuat
2. Dukungan yang tumbuh dalam masyarakat dan jaringan yang bertambah kuat
3. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hal-hal seperti keuangan dan manajemen
proyek
4. Keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan keputusan
5. Pemimpin-pemimpin yang muncul dari masyarakat
6. Meningkatnya jaringan dengan proyek-proyek, masyarakat dan organisasi lainnya
7. Mulai mempengaruhi kebijakan.
(Ife dan Tesoriero, 2008)

Anda mungkin juga menyukai