Anda di halaman 1dari 4

Nama : Catur Prihantono

Kelas : B

NIM : F0219033

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 yang membatalkan Undang-


Undang No.17 Tahun 2012 tentang perkoperasian secara keseluruhan.
Setelah membaca putusan MK tersebut, ada beberapa poin yang dapat saya tafsirkan
sesuai pemahaman saya, yaitu dapat kita simpulkan bahwa yang muncul dalam
pengertian koperasi adalah siapa koperasi itu, yaitu rumusan prioritas koperasi dalam
sudut pandang subyek atau “pelaku ekonomi”. Berkebalikan dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012, yang menginterprestasikan Koperasi sebagai “badan hukum“.
Akibat dari status hukumnya yang menjadi tidak stabil, sulit bagi koperasi untuk
mempromosikan peran ekonomi nasional yang sebenarnya, dan terutama dengan
perkembangan sistem ekonomi saat ini, koperasi diharuskan memiliki status hukum.
Koperasi akan kesulitan untuk meng-setarakan kedudukannya dengan badan lain yang
berbadan hukum, seperti perseroan terbatas. UU Koperasi adalah klausul yang
memberikan status hukum kepada satu kesatuan ekonomi sesuai dengan Filosofi
Gotong Royong yang tinggi, termasuk klausul yang bertentangan dengan semangat
konstitusional koperasi sebagai koperasi dalam UU No. 2012. Perkembangan koperasi
ke depan adalah jelasnya kekuatan dan kepastian hukum atas kekuasaannya,
kedudukannya sebagai badan hukum, dan kemampuannya menduduki kedudukan yang
sejajar dengan badan hukum lainnya seperti perusahaan terbatas, serta koperasi
mampu menghindari akses modal yang terbatas.
Meskipun begitu, berkaitan mengenai beberapa paparan diatas sebenarnya Mahkamah
Konstitusi sudah memberitahukan adanya pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar maka Mahkamah Agung tidak dapat melakukan pengujian
berkaitan perkara yang diberitahukan oleh Mahkamah Konsitusi, apabila pengujian
dibawah undang-undang tersebut sedang dalam tahap pemeriksaan maka Mahkamah
Agung harus menghentikan pemeriksaan perkara tersebut.
2. Apabila menggunakan perspektif Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia, menurut
saya tindak korupsi bantuan social termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Mengacu
pada beberapa dasar hukum seperti Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal
11 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
dengan jelas mengisyaratkan sebagai tindak pidana korupsi yang selain melawan
hukum demi kepentingan pribadi, juga merugikan keuangan Negara. Lebih parahnya
lagi, rakyat terdampak pandemi yang secara jelas benar benar membutuhkan bantuan
social dari pemerintah, malah haknya direnggut dan dirampas oleh oknum tidak
bertanggung jawab tanpa memikirkan nasib orang orang yang harusnya menjadi
sasaran bantuan social. Dimana ketika banyak orang diluar sana mati matian bekerja
mencari nafkah sedang diintai bahaya maut dari virus corona, para pekerja yang tidak
mampu menafkahi keluarganya karena di PHK massal, serta bagian masyarakat lain
yang mengalami nasib miris lainnya. Hal ini jelas-jelas melanggar HAM dan secara tidak
langsung membunuh masyarakat miskin secara perlahan-lahan.
Terkait mengenai Menteri Sosial Tri Rismaharini atau yang akrab disebut Bu
Risma yang ditekan dalam kaitannya terhadap 21 juta data ganda tentang penerima
bantuan social, hal ini jelas jelas merupakan pelanggaran HAM, karena penekanan ini
sudah termasuk dalam tindak intervensi, apalagi bila ditinjau dari kapasitas Bu Risma
sendiri sebagai Menteri Sosial yang seakan akan dihalang-halangi dalam melakukan
kewajiban serta haknya dalam melaksanakan tugasnya. Untungnya, Bu Risma tetap
bersikukuh untuk tetap mengungkap mengenai data ganda tersebut walaupun dibayang
bayangi tekanan dari oknum terkait.
3. Pandangan dan evaluasi saya berdasarkan perspektif “Perilaku dengan Kultur
Demokrasi di Indonesia” adalah
Kesimpulan yang saya dapat setelah membaca beberapa berita yang menyinggung
mengenai Pemberian Doktor HC Transaksional adalah pemberian gelar apapun dari
lembaga pendidikan manapun secara transaksional adalah bersimpangan ataupun
berlawanan dengan kultur demokrasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak kaum
intelektual dan akademisi diluar sana yang bersusah payah untuk mendapatkan
beberapa gelar tertentu yang menggambarkan sosok intelektual yang tentunya juga
menjaga “marwah” dari universitas itu sendiri. Adanya bentuk transaksional yang
dilakukan beberapa “kaum” berkedudukan diluar sana tentunya seakan mencoreng
usaha maupun kerja keras kaum yang benar benar berusaha dengan jerih payah untuk
memperolehnya dengan jalan yang semestinya. Apalagi ada syarat-syarat yang saya
yakini mungkin agak meragukan untuk dapat dipenuhi beberapa pelaku penerima gelar
transaksional ini. Seperti contohnya adalah harus memiliki jasa yang luar biasa dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Bukan
berarti meremehkan ataupun menyepelekan, namun pada kenyataannya beberapa
kaum yang diduga memperoleh gelar transaksional tersebut dinilai belum mampu
sepenuhnya untuk memenuhi ataupun melewati syarat tersebut.
Pada akhirnya, seakan akan para kaum intelektual yang secara bersih memperoleh
gelar tersebut disandingkan dengan beberapa oknum yang mendapatkan gelar yang
sama dengan cara transaksional. Hal ini tentunya berseberangan dengan kultur
demokrasi dimana kultur tersebut mengedepankan keadilan bagi semua pihak, dalam
konteks ini keadilan bagi para penerima gelar HC tersebut.

4. Menurut analisis saya sebagai mahasiswa yang nantinya akan menjadi Sarjana
Ekonomi.

Setelah membaca beberapa artikel, beberapa hal yang dapat saya simpulkan
adalah kebanyakan membahas mengenai draf revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan
Umum Perpajakan (KUP) yang dinilai memberatkan Wajib Pajak, dapat dilihat dari
beberapa pasal-pasal yang menuai respon negatif meskipun memang berorientasi pada
agenda reformasi pajak. Sementara para pengusaha menyoroti fokus pemerintah yang
harusnya berfokus pada reformasi pajak diluar UU, yang meliputi pembenahan SDM,
organisasi, serta Sistem Informasi dan Teknologi, serta tak lupa proses bisnis yang ada.

Namun, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak berjanji akan
melakukan pembahasan lebih dalam jika nantinya ada penilaian beleid mengenai pasal
pasal dalam RUU KUP. Contoh dari timbulnya keberatan terhadap draf RUU KUP
adalah adanya ketentuan yang memungkinkan fiskus untuk mengadakan pemeriksaan
berulang di tahun pajak yang sama yang dinilai tidak kompatibel dengan self
assestment di Indonesia, sehingga dinilai kepastian hukum tidak ada. Hukuman
terhadap pembayar pajak juga dinilai terlalu berat baik denda ataupun pidana, juga
diiringi dengan kewajiban bayar pajak yang tidak bisa ditunda. Selain itu, RUU KUP
dinilai berorientasi pada government-centered karena terkesan keras dibanding UU KUP
yang ada saat ini.
Dilain sisi, reformasi pajak juga telah memberikan hasil yang telah dicapai yang
dinilai bermanfaat bagi wajib pajak yaitu pelayanan oleh petugas account representative
yang terkandung dalam konsep one stop servis, selain itu pemanfaatan teknologi seperti
e-filing, e-SPT, e-registration, dan pembentukan call center juga tidak kalah bermanfaat.
Adanya Sunset Policy juga mampu mewujudkan implementasi ekstensifikasi dari
perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai