Hambatan Fisiologik
Hambatan Fisiologik
Fisiologik berasal dari kata fisio yaitu fungsi atau faal organ tubuh dan logik yaitu ilmu,
sehingga fisiologik merupakan ilmu yang mempelajari fungsi faal organ - organ tubuh.
Pada orang dewasa secara fisiologik terjadi penurunan fungsi organ dimana menjadi
salah satu kendala penghambat pendidikan. Penurunan fungsi tersebut antara lain:
1. Titik penglihatan Kendala ini berkaitan dengan gangguan pada titik penglihatan orang
3. Penurunan Merespon Warna, yaitu merasa pusing atau tidak nyaman jika melihat
warna kontras, seperti
proses tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan
penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai pengetahuan dan kecakapan
dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi. Konsentrasi belajar yang menjadi
salah satu aspek penting bagi penerima dalam memahami dan mengerti suatu
pembelajaran, tercermin melalui setiap tingkah laku (behavior) yang dilakukan. Lebih
lanjut lagi dijelaskan bahwa konsentrasi seseorang di dalam belajar merupakan bagian
dari kognitif manusia yang juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia
secara psikologis hal tersebut karena setiap peserta didik mempunyai tiga kualitas
psikologis yang penting bagi manusia antara lain, (1) manusia adalah suatu entitas
yang dapat memberikan penalaran mengenai dunia menggunakan bahasa (2) manusia
dapat membuat penalaran bukan hanya tentang keadaan saat ini, tetapi juga kejadian –
kejadian di masa lalu dan hipotesis kejadian – kejadian di masa depan, (3) kemampuan
penalaran ini umumnya melibatkan refleksi terhadap diri – entitas yang menggunakan
bahasa untuk penalaran – dalam bentuk masa lampau, masa kini dan masa depan
mengenai diri mereka dan dunia sehingga ketiga aspek tersebut akan berpengaruh
terhadap proses kognitif sosial pada peserta didik (Cervone dan Pervin (2012).
Feldman (2012) menambahkan, bahwa penurunan konsentrasi dalam belajar
menyebabkan penurunan pengopresasian konsep, yaitu proses pengelompokan mental
untuk benda – benda, kejadian, atau orang yang sama. Konsep membuat kita dapat
mengorganisasi fenomena yang kompleks menjadi kategori kognitif yang lebih
sederhana, sehingga lebih mudah untuk digunakan. Fiest dan Fiest (2010)
menambahkan penurunan kemampuan proses penilaian menyebabkan penurunan
kemampuan untuk meregulasi perilaku individu melalui proses mediasi kognitif
akibatnya peserta didik tidak / kurang mampu menyadari diri secara reflektif dan juga
seberapa berharga tindakannya berdasarkan tujuan yang telah dibuat untuk dirinya.
Lebih spesifiknya lagi, proses penilaian bergantung pada standar pribadi, performa
rujukan, pemberian nilai pada kegiatan dan atribusi terhadap performa.
Psikiologik secara harfiah berasal dari kata psiko yaitu mental / jiwa dan logik yaitu ilmu,
sehingga psikologi merupakan ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia atau hal – hal
yang berhubungan dengan sifat kejiwaan seseorang. Pada orang dewasa hambatan
psikologik yang sering terjadi antara lain,
1. Tidak suka digurui Program pendidikan orang dewasa, pesertanya adalah orang
dewasa yang
Menurut Feldman (2012), emosi tersebut dilakukan oleh seseorang karena beberapa
hal antara lain
c. membantu seseorang berinteraksi secara lebih efektif dengan orang lain. Seseorang
mengomunikasikan emosi yang dirasakan melalui perilaku verbal dan non verbal
sehingga emosi kita dapat dilihat oleh pengamat disekeliling kita.
Giblin (2004) menyarankan pendidik / penyuluh untuk membuat peserta didik merasa
penting, karena setiap orang yang mempunyai (merasa mempunyai keahlian) seringkali
merasa ingin dipentingkan. Hal tersebut karena sifat yang paling umum pada setiap
orang dimana sifat ini begitu kuat pada dirinya adalah hasrat ingin dipentingkan / hasrat
ingin diakui.
2. Lebih suka di motivasi Orang dewasa dalam proses pembelajaran cenderung lebih
suka motivasi
ketimbang di gurui, karena dengan motivasi akan menumbuhkan minat belajar atau
mempunyai keinginan untuk melaksanakan kegiatan belajar (Eryanto dan Rika, 2013).
Menurut Lepper et al., (2005) melalui pendekatan kognisi menyatakan bahwa motivasi
adalah produk pikiran, harapan dan tujuan manusia – kognisi mereka. Teori kognitif dari
motivasi tersebut menggambarkan kunci perbedaan antara motivasi intrinsik
menyebabkan kita untuk berpartisipasi dalam aktivitas bagi kesenangan kita bukan
untuk imbalan konkrit dan nyata apa pun yang dapat kita terima. dan ekstrinsik motivasi
ekstrinsik menyebabkan kita melakukan sesuatu demi uang, nilai dan imbalan lainnya
yang konkret dan nyata.
Feldman (2012) menyatakan bahwa motivasi merupakan faktor yang mengarahkan dan
memberikan energi pada tingkah laku manusia dan organisme lainnya karena memiliki
aspek biologis, kognitif dan sosial, serta kompleksitas. Melalui model Maslow
kebutuhan terkait motivasi dalam hierarki bahwa kebutuhan primer harus dipuaskan
atau dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih baik atau lebih tinggi
tingkatannya. Urutan kebutuhan tersebut dari level dasar sampai level tertinggi antara
lain, pertama kebutuhan dasar (fisiologis) yang merupakan kebutuhan primer seperti
kebutuhan akan air, makanan, tidur, seks dan sebagainya; kedua adalah kebutuhan
terhadap rasa aman dan mendapatkan perlindungan dengan kata lain, bahwa orang
membutuhkan lingkungan yang aman dan telindungi agar dapat berfungsi secara
efektif; ketiga adalah rasa cinta dan rasa memilki meliputi kebutuhan untuk
mendapatkan dan memberikan afeksi serta untuk memberikan kontribusi pada anggota
dari beberapa kelompok atau lingkungan sosial setelah memenuhi kebutuhan tahap ini
maka orang akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan penghargaan; keempat
kebutuhan penghargaan yaitu kebutuhan untuk mengembangkan rasa harga diri
dengan mengetahui jika orang tersebut mengetahui dan menghargai kompetensinya;
dan kelima aktualisasi diri yaitu keadaan pemenuhan diri ketika orang menyadari
potensi tertinggi mereka dalam cara unik mereka sendiri.
3. Lebih Suka Memakai Kebiasaan dan Cara Berpikir Lama King (2010) menyatakan
bahwa berpikir (thinking) melibatkan proses
Solusi untuk mengatasi kendala ini adalah pada proses belajar perlu dilakukan
remediasi (pengulangan pesan) yang dilakukan secara bertahap. Hal tersebut karena
belajar merupakan suatu proses yang memerlukan intelektual / pikiran (akal) dan emosi
/ perasaan (budi). Feldman (2012) menyatakan bahwa pengulangan dalam pendidikan
tersebut dapat dilakukan melalui latihan, dimana proses ini cara ini dilakukan untuk
mentransfer memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Transfer yang dibuat
dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang ini sepertinya sangat tergantung
pada jenis latihan yang di lakukan. Ia menyarankan agar informasi tersebut dapat
masuk ke memori jangka panjang perlu di lakukan latihan elaboratif. Latihan ini terjadi
ketika informasi diperhatikan dan diorganisasi dalam beberapa cara. Organisasi ini
mungkin melibatkan perluasan informasi untuk membuatnya sesuai dengan kerangka
berpikir logis tertentu, mangaitkan informasi tersebut dengan memori lain,
mengubahnya menjadi gambar sebuah gambar, atau mengubahnya dalam beberapa
cara lain. Salah satu strategi yang digunakan untuk latihan ini adalah dengan
menggunakan mnemonics, yaitu teknik formal untuk mengorganisasi informasi dalam
sebuah cara untuk membuat informasi tersebut lebih dapat diingat.
4. Lebih Suka pada Hal yang Bersifat Pengalaman King (2010) menyatakan bahwa
orang dewasa cenderung menyukai pada
hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang membaik
seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan ( wisdom).
Kebijaksanaan ini meliputi pengetahuan peserta didik mengenaik aspek praktis dalam
hidup. Kebijaksanaan ini mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena
bertambahnya pengalaman hidup. Dengan kata lain orang dewasa cenderung dapat
mengembangkan dirinya melalui pengalaman dan kesulitan hidup yang dilaluinya
akibatnya pengalaman dari peserta didik akan bertentangan dengan struktur pemikiran
dari pendidik. Ia juga menyarankan bahwa untuk mendidik pada situasi semacam ini
pendidik / penyuluh perlu melakukan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dilakukan
dengan menjelaskan keadaan lingkungan yang bersangkutan melalui struktur pemikiran
dari si pendidik dan akomodasi dilakukan dengan memodifikasi struktur pemikiran
pendidik (dengan kata lain mengubah cara berpikir dari peserta didik).
Cervone dan Pervin (2012) menyatakan orang dewasa lebih suka pada hal yang
bersifat pengalaman karena mereka memliki ketahanan psikologis. Ketahanan
psikologis tersebut disebabkan karena meningkatnya kebijaksanaan pribadi walaupun
mungkin terjadi penurunan kognitif. Hal tersebut terjadi karena orang dewasa memilih
domain tertentu dalam kehidupan di mana mereka memfokuskan energi dan
pengetahuan mereka, sehingga dapat dimungkkinan mereka sangat mampu
mempertahankan tingkat dari fungsi dan kesejahteraan dalam domain kehidupan yang
dipilih dimana hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan mereka. Berdasarkan hal
tersebut apabila dikaitkan dengan teori Carl Gustav Jung dapat di analisis bahwa
kemungkinan besar orang dewasa mampu memfokuskan energi dan pengetahuan
mereka disebabkan oleh dominansi tipe kecerdasan pada salah satu bagian otak yang
ada di dalam diri sejak mereka lahir dimana ini akan menjadi naluri berpikir seumur
hidup mereka dan dominansi ini bersifat genetik (merupakan karpet merah (anugrah)
yang di berikan oleh Yang Maha Kuasa) (Poniman, 2011).
5. Perlu bukti konkrit Pendidik / penyuluh dalam mendidik perlu memberikan bukti
konkrit ke
peserta didik. Pemberian bukti konkrit tersebut dapat berupa demonstrasi ataupun
memberi contoh fakta kepada peserta didik dalam bentuk media visual, audio maupun
kinestetik kepada peserta didik. King (2010) melalui penelitian longitudinal K.Warner
Schaie tentang kemampuan intelektual orang dewasa, menyatakan bahwa orang
dewasa perlu di berikan bukti konkrit karena pada masa dewasa mengalami penurunan
dua dari keenam kemampuan intelektual yaitu kemampuan numerik (kemampuan untuk
mengenali dan mengingat unit bahasa, seperti daftar kata – kata) dan kecepatan
penginderaan (kemampuan untuk secara cepat dan tepat membuat pembedaan dari
rangsang visual) terutama pada masa dewasa tengah. Kecepatan pengideraan
menunjukan penurunan terlebih dahulu, yaitu dimulai pada masa dewasa awal.
Cervone dan Pervin (2012) menambahkan melalui teori Bandura bahwa orang dewasa
cenderung melakukan pembelajaran secara observasional (pemodelan / demosntrasi)
kemampuan untuk mempelajari bentuk kompleks pada perilaku hanya dengan
mengamati sebuah model tampilan perilaku. Proses pemodelan dapat lebih kompleks
dibandingkan imitasi sederhana atau mimikri. Proses tersebut melibatkan pada
bagaimana orang akan mempelajari aturan secara umum mengenai perilaku dengan
mengamati orang lain, sehingga orang dewasa dengan cara yang demikian dapat
mempelajari respon kognitif dan respon emosional tertentu dengan merasakan menjadi
model, seolah – olah mengalaminya dengan mengamati model. Feldman (2012) lebih
jauh lagi menambahkan bahwa dalam informasi yang didapatkan melalui proses
pembelajaran yang dilakukan dengan cara demonstrasi secara obervasional, akan
masuk ke dalam memori jangka panjang, terutama memori prosedural dan memori
episodik. Memori prosedural merupakan memori tentang kecakapan dan kebiasaan
atau menyimpan informasi tentang bagaimana cara melakukan sesuatu sedangkan
memori episodik adalah memori tentang kejadian – kejadian yang terjadi pada waktu,
tempat atau konteks tertentu (kapan dan bagaimana).
Kebutuhan berprestasi adalah karakteristik yang stabil dan dipelajari ketika seseorang
mendapatkan kepuasan dengan berjuang untuk dan mencapai tingkat kesempurnaan.
Kebutuhan berkuasa adalah tendensi untuk mencari pengaruh, kontrol atau pengaruh
terhadap orang lain dan untuk dilihat sebagai seorang individu yang berkuasa
(berusaha memberikan pengaruh pada orang lain). Individu tipe ini biasanya lebih
cenderung terlibat dalam organisasi. Mereka juga cenderung bekerja dalam profesi
yang kebutuhan berkuasa mereka akan mendapat pemenuhan seperti manajemen
bisnis
2. Harapan Peserta Jarang sekali orang dewasa menghadiri suatu program pendidikan
dengan
harapan tertentu. Makin tinggi harapan peserta didik, akan menjadi semakin sulit
pendidik untuk dapat memenuhi harapan tersebut. Menurut Fiest dan Fiest (2010)
harapan memiliki keterkaitan erat dengan efikasi diri. Efikasi diri pada setiap orang
bervariasi dari satu situasi ke situasi lain, tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan
untuk kegiatan yang berbeda; ada atau tidaknya orang lain; kompetensi yang
dipersepsikan dari orang lain tersebut, terutama apabila mereka adalah kompetitor;
predisposisi dari orang tersebut yang lebih condong terhadap kegagalan atas performa
daripada keberhasilan; kondisi psikologis yang mendampinginya, terutama adanya rasa
kelelahan, kecemasan, apatis dan ketidakberdayaan.
Cervone dan Pervin (2012) menambahkan bahwa efikasi diri yang tinggi dan rendah
berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk
menghasilkan empat variabel prediktif. Ketika efikasi diri tinggi dan lingkungan
responsif, hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat efikasi rendah berkombinasi
dengan lingkungan yang responsif, peserta didik mungkin akan merasa depresi karena
mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil melakukan suatu tugas yang terlalu
sulit untuknya. Saat seseorang dengan efikasi diri yang tinggi menemui situasi
lingkungan yang tidak responsif, biasanya akan meningkatkan usahanya untuk
mengubah lingkungan. Orang tersebut dapat melakukan protes – protes, kegiatan
aktivis sosial, atau bahkan kekuatan untuk memulai perubahan; namun saat semua
usaha tersebut gagal maka orang tersebut akan menyerah dan mencari lingkungan
baru yang lebih responsif. Berdasarkan hal tersebut dapat di analisis bahwa
penyelenggara / penyuluh harus menciptakan lingkungan yang responsif bagi peserta
didik. King (2010) menguatkan bahwa hal – hal lain yang mampu memberikan harapan
pada peserta didik adalah keyakinan religius. Partisipasi religius juga dapat
memberikan dampak positif terhadap kesehatan melalui hubungannya dengan
dukungan sosial. Pikiran yang religius dapat berperan menjaga harapan dan
menstimulasi perubahan hidup yang positif.
4. Sulit Menerima Perubahan Pendidik tidak jarang menghadapi peserta didik yang sulit
menerima
perubahan. Berdasarkan hal tersebut maka pendidik perlu mengubah jenis sasaran
peserta didik ke pengetrap awal. Menurut King (2010) pengetrap awal yang di jadikan
sasaran pendidikan adalah mereka yang mengalami perubahan fisik pada masa
dewasa awal dan mereka yang mengalami perubahan fisik pada dewasa tengah.
Peserta didik dewasa awal biasanya berumur sekitar 20 – 30 tahun dimana pada masa
ini kondisi fisik mereka mengalami puncak produktivitas baik fisik, mental dan
kognitifnya, ia juga menambahkan bahwa pada masa dewasa awal mereka memiliki
pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis, berpikir secara relatif dan reflektif, mampu
mengenali sudut pandang dunia yang bersifat subjektif dan memahami perbedaan –
perbedaan sudut pandang dunia yang harus diakui (dengan kata lain, kemampuan
intelektual mereka sangat kuat pada masa dewasa awal). Peserta didik dewasa tengah
biasanya berumur sekitar 30 – 50 tahun. pada masa ini peserta didik sudah mengalami
penurunan pada penampilan fisik diantaranya adalah kulit yang keriput dan kendur
karena hilangnya sejumlah lemak dan kolagen, performa reproduksi yang menurun.
Sedangkan pada aspek kognitif terjadi penurunan fluid intelligence (yang melibatkan
kecerdasan pemrosesan informasi, seperti memori, kalkulasi dan pemecahan analogi)
namun di sisi lain terjadi kestabilan dan peningkatan crystallized intelligence
(kecerdasan berdasarkan akumulasi informasi, kecakapan dan strategi yang dipelajari
melalui pengalaman) (Feldman, 2012).
Cervone dan Pervin (2012) menguatkan bahwa pada masa dewasa awal dan tengah
mereka cenderung memiliki ketahanan psikologis. Mereka umumnya mampu menahan
kesulitan yang menyertai di kemudian tahun dan mempertahankan rasa diri dan
kesejahteraan pribadi. Berdasarkan hal tersebut maka penyuluh atau pendidik
hendaknya memfokuskan sistem pengajarannya pada pengetrap awal kemudian
setelah itu baru pada pengetrap akhir dan jika dimungkinkan diterapkan kepada
laggard.