Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“Pembaharuan Dalam Islam”

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
Dr. H. Suwendi, M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 11:


Zazirah Arafah (11200120000118)
Afiyah Nur Rusydah (11200120000
Dwi Nurul Maghoni (11200120000
Zahra Nabila Surya Putri (11200120000

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah terkait Pembaharuan Dalam Islam.

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas dan ujian mata kuliah Studi Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan prodi Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan, baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga, dosen mata kuliah,
beserta teman-teman yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah yang sederhana ini.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah ini, dan
juga menjadi faktor koreksi bagi penulis guna menyusun makalah-makalah yang akan
datang. Akhir kata penulis ucapkan syukur dan terima kasih, semoga bermanfaat. Amin.
Jakarta, Mei 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejarah merupakan realitas masa lalu, keseluruhan fakta, dan merupakan
peristiwa yang unik dan berlaku hanya sekali dan tidak akan terulang kedua kalinya
persoalan peradaban jauh lebih penting dari aspek-aspek yang menjadi pendorong
munculnya kejayan Islam dalam sejarah terletak pada tingginya peradaban yang di
upayakan melalui ilmu pengetahuan. Adanya dukungan dari kebijakan politik dan
ekonomi dalam memberikan simulasi bagi kegiatan-kegiatan keilmuan, dapat
mendorong berkembangnya tradisi keilmuan bagi siapa saja yang menghendakinya.
Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan
luas itu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Tidak
hanya politik yang menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban tertentu
melainkan karena sistem politik dan pemerintah itu sendiri merupakan salah satu aspek
penting dari peradaban.

2.1. Rumusan,Tujuan, dan Manfaat


Adapun tujuan makalah ini yaitu agar dapat diketahui bagaimana pembaharuan
dalam islam, siapa saja yang berperan dalam pembaharuan tersebut. Dan di antara
manfaatnya yaitu kita dapat mengetahui pembaharuan Islam dan tokoh-tokohnya.
BAB II
KONSEP TAJDID DALAM ISLAM

2.1. Sejarah Perkembangan Peradaban Islam


Rasulullah SAW Bersabda "Sesungguhnya Allah SWT mengutus Umat ini pada
tiap penghujung seratus tahun akan muncul orang yang memperbaharui Agamanya.
(Sunan Abu Daud).
Secara bahasa, kata tajdid  berarti pembaruan. Ia merupakan proses menjadikan
sesuatu yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Ia merupakan upaya untuk
menghadirkan kembali sesuatu yang sebelumnya telah ada untuk diperbaiki dan
disempurnakan.
Pada konteks ini, sejarah telah mencatat bahwa pembaruan telah terjadi di dunia
Kristen dengan adanya Reformasi Gereja yang terjadi pada abad pertengahan. Sebagian
tokoh Kristen menganggap agama Kristen harus direformasi tatanannya karena telah
dianggap telah terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh para petinggi-petinggi
Gereja. Pembaruan juga terjadi di Barat dengan adanya revolusi Perancis yang di ikuti
dengan revolusi Industri yang diawali dengan bangkitnya Bangsa Eropa dari masa
kegelapan.
Pertanyaannya adalah, apakah dalam Islam juga terdapat pembaruan atau tajdid?
Apakah tajdid dalam Islam? Sepintas pertanyaan tersebut akan mudah terjawab. Dalam
benak kita pun akan terbayang sejumlah tokoh yang dikenal sebagai tokoh pembaharu
dalam pemikiran ke Islaman. Namun alangkah baiknya bila kita definisikan dahulu apa
yang dimaksud tajdid dalam Islam, untuk kemudian dengan mudah kita akan
mengetahui mana gerakan yang layak disebut sebagai pembaharuan.
Syed Naquib menjelaskan bahwa dalam persepektif Islam, makna kemajuan
masyarakat dan perkembangannya bukanlah perubahan yang terus menerus menuju
masa depan yang tidak pasti. Namun lebih merupakan sebuah proses pergerakan Muslim
yang telah menyimpang menuju keaslian Islam, perkembangan inilah satu-satunya yang
dapat disebut dengan kemajuan yang sebenarnya. Dalam hal ini, tajdid –aktivitas
koreksi ulang atau konseptualisasi ulang- pada hakekatnya selalu berorientasi pada
pemurnian yang sifatnya kembali kepada ajaran asal dan bukan adopsi pemikiran asing.
Kembali pada pemikiran asal bukan berarti kembali pada corak kehidupan Nabi, tapi
harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Dalam pengertian ini, Syed Naquib
mengenalkan istilah Islamisasi sebagai kerangka konseptualnya, yaitu: “pembebasan
manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan
dengan Islam) dan dari belenggu sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga
pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil
terhadap hakekat diri atau jiwanya”.
Dalam pelaksanaannya, diperlukan pemahaman yang dalam akan paradigma dan
pandangan hidup Islam yang besumber dari Quran dan Sunnah ini serta pendapat para
ulama yang terdahulu yang secara ijma dianggap shahih. Selain itu diperlukan juga
pemahaman terhadap kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun
pemahaman yang dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut.
Karena tidak setiap pendapat baru dalam agama selalu dapat dinamakan
pembaharuan, banyak pendapat-pendapat yang harus ditolak perkembanganya tidak
berati selamanya pembaharuan. Begitu juga modernisasi dan modernitas belum tentu
mujaddid.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembaruan dalam Islam
bukanlah sesuatu yang evolusioner, melainkan lebih cenderung devolusioner, dengan
artian bahwa pembaruan bukan merupakan proses perkembangan bertahap dimana yang
datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Pembaruan Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep
asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada
masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Di sini
bukan perubahan yang terjadi, tetapi pemberagaman makna dan penafsiran. Di samping
itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui ingatan orang yang telah melupakan ajaran
agama Islam yang benar, dengan memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru
sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu, dan meluruskan kekeliruan atau
kesalahpahaman mereka yang keliru dan salah paham.
Sebenarnya proses ini telah diramalkan sendiri oleh Nabi SAW dalam haditsnya.
Sesuai hadist diatas, bahwa  hal ini mengandung peringatan bagi kaum Muslim untuk
selalu bersikap optimis dalam menghadapi hidup, karena Allah tidak akan membiarkan
kerusakan terjadi pada hamba-hambaNya. Sebaliknya Allah akan menyelamatkan
hamba-hambaNya dari kesesatan dan kebingungna dengan mengirim seorang mujaddid
yang akan menghidupkan kembali ajaran-ajaranNya.
Proses tajdid ini juga diperlukan karena pemahaman umat Islam terhadap ajaran
Islam telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Namun sang mujaddid akan tetap
berpegang teguh pada kebenaran mutlak yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Pada pengertian ini, pembaruan Islam berbeda dengan pembaruan yang terjadi di dunia
lain yang bersifat reformasi dan revolusi. Dimana yang datang kemudian akan menjadi
evaluasi dan menghapuskan pendapat yang lama. Begitu juga pembaruan Islam
mempunyai rujukan yang jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Sementara pembaruan
lain akan terus berproses mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.
Sebab dampak yang mengemuka jika hal tersebut tetap dilakukan terhadap trend
agama, menurut penuturan Dr, Nurchalish Madjid bahwa pembaharuan selalu
mengundang status quo, maka salah satu mainstrem dinamikanya ialah kontroversi dan
polemik. Pembaharuan selalu melibatkan pro kontra, terkadang dalam gaya yang penuh
nafsu dan sengit dari masing masing pihak, dan tidak jarang dari sikap pro kontra
tersebut hanya bersifat psikologis tanpa substansial konkrit. Lebih ironis lagi ia
menambahkan bahwa reaksi terhadap pembaharuan itu disebut dengan "Convert
Complex" seperti yang beliau contohkan pada sosok Maryam Jameela bekas wanita
didikan Yahudi, juga ada yang menyebut sebagai gejala jiwa yang lain dari mereka
yang  biasa disebut dengan " Born Again", yaitu semula orang yang tidak berniat kepada
agama tapi kemudian menjadi fanatikus yang keras. Allahu Al-Hadi Ila Shawab.

2.2. Ke-bid’ah-an Semarak


Tidak dipungkiri lagi Islam terjaga, namun terkadang pengamalan Islam itu
melemah dan terjadi pengurangan dan pertambahan yang dimasukkan ke dalam ajaran
yang mulia ini. Karena itu, nampak bermunculan ke-bid’ah-an dan perkara yang
menyelisihi syariat, serta hilangnya beberapa Sunnah dengan sebab itu. Karena
lemahnya pengamalan atau bahkan hilangnya pengamalan ajaran Islam pada sebagian
besar kaum muslimin, maka umat Islam membutuhkan orang yang memperbarui agama
ini dengan mengembalikannya kepada keaslian dan kemurnian ajaran suci ini. Lalu
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pemurah dan Penyayang memberikan anugerah-
Nya kepada umat ini dengan dimunculkannya para mujaddid yang mengikuti jejak
langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menghidupkan kembali ajaran
Islam dan mematikan ke-bid’ah-an, serta mengembalikan umat ini untuk komitmen
terhadap ajaran agamanya yang benar.

2.3. Tajdid Satu Istilah Syar’i


Istilah At-Tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

ْ
ِ ‫ث لِهَ ِذ ِه اأْل ُ َّم ِة َعلَى َرأ‬
‫س ُك ِّل ِمائَ ِة َسنَ ٍة َم ْن يُ َج ِّد ُد لَهَا ِدينَهَا‬ ُ ‫إِ َّن هَّللا َ يَ ْب َع‬

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap


awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud no. 3740 dan
dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, no. 599).

Istilah ini berasal dari bahasa Arab dari kata ( ‫)ج َّد َد‬
َ dan (g‫ ٌد‬g‫)ج ِد ْي‬.
َ Kata Al-Jadid
banyak digunakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau dalam penggunaan para ulama.
Bila kita melihat pengertian etimologi bahasa Arab tentang kata “At-Tajdid” dan kata
turunannya ternyata kembali kepada pengertian menghidupkan (‫)ا ِإلحْ يَاء‬, membangkitkan (
ُ ‫ )البع‬dan mengembalikan (ُ‫ا َدة‬gَ‫)ا ِإلع‬. Sehingga ada tiga unsur makna yang terkandung
‫ْث‬
dalam kata tersebut yaitu keberadaan sesuatu (‫ ) ُوجُوْ د َكوْ نِيَة‬kemudian hancur atau hilang (
‫ )بَلَى أو ُدرُوْ س‬kemudian dihidupkan dan dikembalikan (‫)اإلحْ يَاء أو اإلعَادَة‬.
ِ (Mafhum Tajdid
Ad-Dien, Bisthami Muhammad Sa’id, hal. 18).
Karena istilah ini bersumber kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka hanya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sajalah yang dapat
menentukan pengertian yang benar terhadap istilah “At-Tajdid” dan ketentuan-
ketentuannya.
Kata “At-Tajdid” dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
dengan pengertian bahasa di atas yaitu menunjukkan pengertian kebangkitan,
menghidupkan dan mengembalikan. Hal ini dapat dilihat dalam hadits Abdullah bin
Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhu yang berbunyi,

‫ فَاسْأَلُوْ ا هللاَ أَ ْن ي َُج ِّد ُد ا ِإل ْي َمانَ فِ ْي قُلُوْ بِ ُك ْم‬، ‫ق الثَّوْ ب‬


ُ َ‫ف أَ َح ِد ُك ْم َك َما يَ ْخل‬ ُ َ‫إِ َّن ا ِإل ْي َمانَ لَيَ ْخل‬
ِ ْ‫ق فِ ْي َجو‬

“Sesungguhnya iman akan rusak di hati salah seorang kalian sebagaimana


rusaknya baju, maka mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
mengembalikan iman dalam kalbu kalian.”

Sebuah realita kalau pengertian istilah “At-Tajdid” banyak diperselisihkan orang


dan disimpangkan dari pengertian yang benar. Berapa banyak orang mendefinisikannya
dengan beragam definisi yang menyimpang dari Islam. Padahal semua mengerti kalau
istilah ini bersumber dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga pasti
pengertian yang benar tentang istilah ini adalah yang dimaksudkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disampaikan kepada para Sahabat. Kemudian Sahabat
telah menyampaikannya kepada generasi setelahnya secara bersambung dan estafet,
karena orang yang berhak menjelaskan pengertian istilah syar’i ini adalah para Ulama
salaf dari kalangan Sahabat, tabiin dan tabiit tabiin serta para Imam besar yang sudah
terkenal dan masyhur serta diterima kaum Muslimin generasi demi generasi.
Berikut ini pernyataan mereka tentang pengertian istilah At-Tajdid secara global
(Semua pernyataan dalam masalah ini penulis nukilkan dari kitab Tajdid ad-Din,
Mafhum wa Dhawaabith wa Atsaarahu, Prof. DR. Muhammad bin Abdulaziz al-‘Ali
secara ringkas dari hlm. 40-49) :
1) Pengajaran agama dan menghidupkan Sunnah-Sunnah serta menolak
kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini dijelaskan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam
pengertian tajdid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya
Allah membangkitkan untuk manusia dalam setiap seratus tahunnya orang yang
mengajarkan sunah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menolak dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedustaan.” (Lihat Taarikh al-Baghdadi,
2/62).
2) Memurnikan agama, membela Aqidah yang benar dan menjelaskan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta membela ahlinya dan
menghancurkan ke-bid’ah-an.
Al-Munaawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang tajdid dalam
agama menyatakan, “Maksudnya adalah menjelaskan sunnah dari bidah,
memperbanyak ilmu, membela ahli ilmu dan menghancurkan kebidahan dan
merendahkannya.” (Lihat Faidh Al-Qadir,2/281).
Oleh karena itu, imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan,
“Diriwayatkan dalam satu hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus
setiap seratus tahun orang yang memurnikan agamanya.” (Lihat Shofwat ash-
Shofwah, 2/13).

3) Menghidupkan semua yang telah melemah dan menghilang dari ma’alim


(syiar) agama, juga menghidupkan semua perkara Sunnah yang telah
hilang dan semua ilmu Aqidah dan ibadah yang telah samar.
Abu Sahli Ash-Shu’luuki (wafat tahun 369 H.) pernah berkata tentang
tajdid, “Allah telah mengembalikan agama ini setelah hilang mayoritasnya
dengan Ahmad bin Hambal.” (Lihat Tabyiin Kadzib al-Muftari, hal. 53).

4) Menghidupkan ilmu (Ihyaa Al-Ilmi) sebagaimana dalam sabda Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ‫ يَ ْنفُوْ نَ َع ْنهُ تَحْ ِر ْيفَ ْالغَالِ ْينَ َوتَأْ ِوي َْل ْال َجا ِهلِ ْينَ َو إِ ْنتِ ِحا َل ْال ُمب ِْطلِ ْين‬: ُ‫ف ُع ُدوْ لُه‬
ٍ َ‫يَحْ ِم ُل هَ َذا ْال ِع ْل َم ِم ْن ُكلِّ َخل‬

“Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya pada
setiap generasi: mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh
orang-orang yang melewati batas, ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan
oleh orang-orang yang bodoh, dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang
yang berbuat kepalsuan.” (HR. Ibnu ‘Adi, Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ibnu
Hibban, dll,; dinyatakan berderajat hasan oleh Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali
dalam Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hal. 77, juga oleh Syeikh Ali bin Hasan di
dalam At-Tashfiyah wat Tarbiyah).
5) Membangkitkan kembali upaya mengamalkan Al Quran dan Sunnah
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan manusia
dan mengembalikan peristiwa dan hal yang baru kepada isi
kandungannya.
Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Alqami (wafat tahun 969 H)
menyatakan, “Pengertian Tajdid adalah menghidupkan kembali pengamalan
Al-Qur`an dan Sunnah serta perintah mengamalkan kandungan keduanya.”
(Lihat ‘Aunul Ma’bud, 4/178 dan Faidhul-Qadir 2/281).
Sedangkan Imam Al-Munaawi menjelaskan sebab perlunya tajdid dalam
ungkapan beliau, “Hal ini karena Allah Ta’ala menjadikan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam sebagai penutup para Nabi dan Rasul (Khatamul anbiya’war
rusul), padahal peristiwa dan kejadian tak terhitung jumlahnya dan mengenal
hukum agama sudah menjadi kelaziman hingga hari kiamat. Disamping itu
zhahir nash-nash syariat belum bisa menjelaskannya secara sempurna,
bahkan harus ada cara yang sempurna dalam masalah ini, maka hikmah
Allah menuntut munculnya satu kaun dari para ulama di awal setiap abad
yang menanggung beban menjelaskan kejadian-kejadian tersebut untuk
memperlakukan umat ini bersama ulama mereka sebagaimana perlakuan
pada bani israil bersama nabi-nabi mereka.” (Lihat Faidhul Qadir, 1/10).

6) Ta’shil Al-Ilmi (membuat kaidah-kaidah dasar ilmu yang benar) dan


mengajak orang untuk mengambil agamanya dari sumbernya yang asli
melalui para Ulama disertai dengan tarbiyah (pendidikan) manusia diatas
pemahaman agama yang benar.
Demikianlah beberapa pernyataan Ulama terdahulu seputar tajdid yang
nampaknya berbeda namun memiliki satu kesamaan dalam memahami istilah
tajdid ini. Hal ini dapat diungkapkan dalam ungkapan berikut ini:
 At –Tajdid (pembaharuan agama) adalah menghidupkan kembali yang
telah hilang atau lemah dari pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan
cabangnya, baik berupa ucapan atau perbuatan dan mengembalikanbnya
kepada keadaannya yang benar yang telah diajarkan Al-Qur`an dan As-
Sunnah serta menghilangkan semua yang berhubungan dengan agama pada
akal manusia dan amalannya berupa kebidahan dan khurafat. (Lihat Tajdidud
Dien Mafhumuhu wa Dhawaabituhu wa Atsaaruhu, hal. 46).

 At-Tajdid adalah mengembalikan kecemerlangan, keindahan islam dan


menghidupkan yang telah hilang dari Sunnah dan syiar-syiar-nya serta
mensucikan islam dari ke-bid’ah-an dan khurafat, juga membersihkannya dari
tambahan-tambahan manusia yang masuk padanya dan menebarkan agama ini
diantara manusia pada keadaannya yang asli, murni dan suci. (Lihat Asbaabul
Akhthaa’ fit Tafsir DR. Thaahir Mahmud Muhammad Ya’qub, 2/786).

 At-Tajdid adalah menghidupkan dan menebar syiar-syiar agama


(ma’aalimuddin) baik yang bersifat ilmiyah maupun amaliyah yang telah
dijelaskan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah serta pemahaman salaf. (Lihat
Mafhum Tajdidid Din, hal. 30).

Dari tiga kesimpulan ini dapat diambil satu pengertian singkat untuk
istilah At-Tajdid yang dalam istilah kita adalah pembaharuan agama sebagai
upaya mengembalikan umat kepada Islam yang tegak diatas Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman
salaf umat dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak
langkah mereka dalam beragama. Wallahu a’lam.

2.4. Pemikiran Tokoh-Tokoh Dalam Pembaruan Islam


Pemikiran tokoh-tokoh yang terkait dalam pembaruan agama Islam adalah
sebagai berikut:
1. Pemikiran Ibnu Tamiyah
Ibnu Taimiyah terlahir, dengan nama Ahmad Taqiyuddin Abu al-Abbas ibn
al-Syeikh Syihab al-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim ibn al-Syeikh Majd al-
Din Abi al-Barakat Abd al-Salam bin Abi Muhammad Abdullah  bin Abi al-
Qasim al-Khidir bin Ali bin Abdullah, tepatnya di Harran 10 Rabiul Awal 661
H./22 Januari 1263 M. Harran adalah sebuah negeri dekat dataran Eropa, terletak
antara Dajlah (Tigris) dan Furat (Euphrat).
Keluarga baik ini dikenal dengan sebutan (Bani Taimiyah). “Ibnu Taimiyah”
sebuah nama yang sudah masyhur sejak lama, awal mula penamaan Ibnu
Taimiyah adalah berawal dari sebuah nama ibu dari Muhammad bin al-Khidir.
Disebutkan juga bahwa kakeknya yang bernama Muhammad bin al-Khidir pergi
ke gerbang padang sahara (Taiyma), lalu di sana ia melihat seorang anak
perempuan kecil bernama Taimiyah, kemudian ketika kembali ke rumahnya, ia
mendapatkan istrinya melahirkan seorang anak perempuan, maka ia langsung
menamakan anak perempuan yang baru lahir  itu dengan nama Taimiyah. Maka
seluruh anggota keluarga ini dinisbatkan kepadanya yang kemudian dikenal
dengan nama ini.
Di dalam metode pemikiran Ibnu Taimiyah, kita akan dihadapkan dengan
sebuah istilah 'Salafiah' yang telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan
kontra terhadap 'Salafiah'. Orang-orang yang pro Salafiah, baik yang sementara
ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian atau yang sebagian besar
mereka benar-benar Salafiah, telah membatasinya dalam bingkai formalitas dan
kontroversial, seperti masalah-masalah tertentu dalam ilmu Kalam, ilmu Fiqh
atau ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang
berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak
prinsipil. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa Manhaj Salaf
adalah metoda 'debat' dan 'polemik', bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan
juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan 'Salafiah' ialah mempersoalkan
yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil.
Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang
disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra Salafiah, menuduh faham ini 'terbelakang',
senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham
Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa
depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara
orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan
daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan fleksibel.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra Salafiah yang hakiki dari
penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam
mendakwahkan 'Salafiah' dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim dan yang
lainnya. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan 'Pembaruan
Islam' pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar
mencakup seluruh disiplin ilmu Islam. Mereka telah menumpas faham 'taqlid',
'fanatisme madzhab fiqh' dan Ilmu Kalam yang sempat mendominasi dan
mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, disamping
kegarangan mereka dalam membasmi 'ashobiyah madzhabiyah' ini, mereka tetap
menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk
dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'i Ma lam 'an al-A'immat al-
A'lam" karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap 'tasawuf' karena penyimpangan-
penyimpangan pemikiran dan Aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di
tangan pendiri madzhab 'al-Hulul Wal-Ittihad' (penyatuan diri dengan tuhan).
Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang
menyalahgunakan 'tasawuf' untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka
menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf
yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan
warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam 'Majmu' Fatawa' karya besar
Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu Qoyyim.
Yang termasyhur ialah 'Madarijus Salikin Syarah Manazil as-Sairin ila
Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in'. Manhaj 'nalar' dan 'mengikuti
dalil', melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya,
itulah yang telah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah.
Metodologi yang diusung Ibnu Taimiyah dalam pemikiran dan tulisannya
mengenai Tafsir, Akidah, Fiqh dan Tasawuf selalu dikuatkan dengan bukti atau
dalil dari al-Qur’an dan sunnah, kemudian mendekatkan sunnah dengan nalar,
menggunakan dan menentukan nalar hanya sekedar untuk nasihat bukan untuk
gubahan, dan pendekatan bukan untuk petunjuk. Oleh karena itu, kita akan
menemukan dan menentukan sebuah kesatuan sifat, tanda dan kepribadian yaitu
kesatuan dalam satu metodologi saja.
 
Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah
Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah terdiri dari empat unsur, antara lain
adalah:
 Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak
dalam menentukan hukum.
 Ibnu Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu
Taimiyah tidak seorang pun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari
Al-Qur'an, As-Sunnah dan Atsar para ulama Salaf yang mengikuti Nabi SAW.
tentang madzhab empat, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika pendapat-
pendapat ulama Salaf sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunah dan Atsar, mereka
perlu kita ikuti, dan begitu juga sebaliknya. Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu
Hanifah mengatakan; “Ini adalah argumenku maka jika ada sebuah kebenaran
dari argumenku ini maka itu dari hati yang paling dalam ”, Imam Malik
mengatakan; “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa yang tidak
lepas dari kesalahan, maka periksalah pendapatku melalui Al-Qur'an dan As-
Sunnah”, Imam Syafi’i mengatakan; “Apabila terdapat kebenaran hadits maka
tentukanlah pendapatku dengan teliti”, dan Imam Ahmad mengatakan;
“Janganlah kamu mengikuti aku, Malik, Syafi’i juga al-Tsauri, dan belajarlah
kamu sebagaimana kami mengajarkanmu”, “Janganlah kamu mengikuti (taqlid)
kepada seseorang dalam agamamu, karena sesungguhnya seseorang itu tidak
terlepas dari kesalahan”.
 Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Syari’ah itu bersumber dari Al-Qur’an,
Nabi Muhammad lah yang menjelaskan dan mempraktekkannya kepada umat
terlebih kepada para Sahabat pada masa Nabi SAW. Sehingga bagi orang yang
mengikuti Nabi SAW lewat tafsir, penjelasan, dan penyampaian para Sahabat
berarti merekalah sejatinya orang-orang yang mengikuti syari'at Allah SWT dari
Nabi Muhammad SAW, merekalah (para Sahabat) yang menjaga ajaran Nabi
SAW, karena mereka yang langsung mendengar dan memahami Syari’at Allah
langsung dari Nabi SAW. Begitupun para Tabi’in yang mendapatkan
penyampaian dan pemahaman langsung dari para sahabat. Sebagaimana Ibnu
Taimiyah menyatakan dalam kitab al-Risalah al-Wasathiyah, “Terkadang aku
menangguhkan dari apa yang ada di tahun tiga, sehingga apabila telah datang
satu pendapat dari periode ketiga yang tidak sesuai dengan di atas maka aku
mengembalikannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, jika sesuai dengan apa
yang telah di bawa Nabi, Sahabat dan Tabi’in maka aku menetapkannya ”. Yang
dimaksud dengan periode tiga itu adalah periode setelah Nabi, Sahabat dan
Tabi’in.
 Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu
Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang
sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Atsar Salaf. Ibnu Taimiyah tumbuh
pada dirinya lewat Madzhab Hambali, akan tetapi Ibnu Taimiyah dapat
mengontrol diri, sehingga Ibnu Taimiyah pun mempelajari dan memperdalam
Madzhab-Madzhab secara keseluruhan, kemudian menghubungkan semua dalam
satu sumber.

2. Pemikiran Ibnu Abdul Wahab


Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa
Arab:‫اب التميمى‬gg‫د الوه‬gg‫د بن عب‬gg‫ )محم‬adalah seorang ahli teologi agama Islam dan
seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai
Mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih
memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang
berarti "Satu Tuhan".
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas
mengemukakan aqidah-aqidahnya sekehendak hatinya, menolak dan
mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat Islam saat itu
dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat. Melihat
keadaan umat Islam yang sudah melanggar aqidah, ia mulai merencanakan untuk
menyusun sebuah barisan Ahli Tauhid (Muwahhidin) yang diyakininya sebagai
gerakan memurnikan dan mengembalikan aqidah Islam. Oleh lawan-lawannya,
gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya
sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa)
bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan
Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung
perjuangan tersebut. Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang
dibina di atas Maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara
kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat
bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada
kemusyrikan. Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh
menghalang rancangan yang mulia ini". Tetapi beliau khawatir masalah itu
kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan Maqam
tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut
bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan Maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai Maqam Zaid bin al-Khattab
ra yang gugur sebagai Syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi
Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah
berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan Syuhada’
(pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap Maqam Zaid bin al-Khattab itu adalah Maqam
orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur
beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkramatkannya dan
membina sebuah Masjid di dekatnya. Maqam itu kemudian dihancurkan oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin
Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian
menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ke-
Tauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar Maqam tersebut
tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita tentang
pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun
di luar Uyainah.
Ketika pemerintah Al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd
al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula
menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintah 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah.
Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara
tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi
serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan Syeikh tapi di
sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir Al-Ihsa. Akhirnya, setelah
terjadi perdebatan antara Syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu
keputusan bahwa Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan
mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,
Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin
Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak
ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka
terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah
dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani
oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan
sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul
`Aziz bin `Abdullah, m.s 22). Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan
bahwa: ”Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari
pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api
pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari
percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat
dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan
demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya
yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh
Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.”

3. Pemikiran Jamaludin Al Afghani


Jamaludin Al-Afghani As-Sayid Muhammad bin Shaftar Al-Husain lahir
di Asadabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan tahun 1838 M. Ia adalah tokoh
terkemuka yang menjadi Sentral Figure umat Islam pada abad XIX. Keluarganya
adalah keturunan dari Husain bin Ali bin Abi Thalib yang selanjutnya silsilahnya
bertemu dengan keturunan ahli Sunnah yang termasyhur Ali At-Tirmidzi.
Al-Afghani menghabiskan masa kecil dan remajanya di Afghanistan,
namun banyak berjuang di Mesir, India bahkan sampai ke Paris. Pada usia 18
tahun di Kabul, Ia tidak hanya menguasai ilmu keagamaan seperti bahasa Arab,
Balaghah, Tasawuf, Manteq, tetapi juga mendalami falsafah, hukum, sejarah,
matematika, ilmu hitung, ilmu obat anatomi, metafisika, kedokteran, sains,
astronomi, dan astrologi.
Bidang Politik Jamaludin dikenal sebagai pelopor Pan Islamisme yang
mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang
Khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat. Ada pendapat
bahwa Jamaludin hanya sedikit mempersoalkan masalah agama, ia lebih
berkecimpung dalam lapangan politik. Jalan yang ditempuhnya di bidang ini,
ialah :
a) Perbaikan jiwa dan cara berfikir.
b) Perbaikan Pemerintah atau Negara,

Dalam bidang Agama, Meski Al-Afghani menjadi pemimpin politik, ia


juga berjasa dalam meninggikan kedudukan agama dengan menjadi mujahid,
pembaharu akal umat Islam yang sangat dipengaruhi tradisi-tradisi dan kurafat-
kurafat yang membawa kejumudan umat Islam waktu itu.
Al-Afghani berpendapat bahwa agama adalah suatu yang fital adanya
dalam suatu bangsa. Dan agama merupakan sumber yang nyata yang membawa
kebahagiaan bagi manusia. Peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban
yang berdasarkan pendidikan moral dan agama, bukan peradaban yang
berdasarkan karena kemajuan materi dan pembangunan kota-kota besar atau
penciptaan mesin-mesin modern yang justru digunakan untuk menghancurkan
peradaban dan pembinasaan umat manusia dengan bentuk penjajahan.

Banyak usaha yang telah dilakukannya dalam melawan penjajah , antara lain:
a. Membangun kembali jiwa Islam yang terkandung dalam ajaran Al-Qur’an.
b. Menghilangkan sifat kesukuan atau golongan.
c. Mengikis Taqlid dan Fanatisme.
d. Melaksanakan Ijtihad dalam memahami Al-Qur’an.

Ia juga mengutarakan bahwa kesejahteraan umat manusia itu tergantung pada :


a. Akal manusia yang disinari dengan Tauhid.
b. Kemuliaan budi pekerti.
c. Aqidah (iman) yang dijadikan sebagai prinsip yang pertama.
d. Loyalitas orang yang berilmu dalam membagikan ilmunya pada orang lain.

Dengan demikian, diharapkan umat Islam dapat kembali kepada ajaran-


ajaran Islam yang murni, yang membawa kepada kekuatan yang positif dalam
langkah dan sasaran yang akan dituju.
Ajaran tentang Qadha dan Qadar Kesalahan umat Islam dalam memahami
Qadha dan Qadar menurut Al-Afghani, menjadi faktor yang ikut memundurkan
umat Islam. Kesalahpahaman tersebut membuat umat Islam tidak mau berusaha
dengan sungguh-sungguh. Jamaludin menyebutkan, Qadha dan Qadar
mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang terjadi menurut sebab
musabab (kausalitas). Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat
tentang dasar-dasar ajaran agama, lemahnya persaudaraan, perpecahan umat
Islam yang diikut pemerintahan yang absolut, memercayakan kepemimpinan
kepada yang tidak dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer, juga merupakan
faktor-faktor yang membawa kemunduran umat Islam. Faktor-faktor ini yang
menjadikan umat Islam statis dan fatalis. Maka dari itu, ia menuntut kepada
semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai
keagungan Islam, karena akal menempati kedudukan yang istimewa dalam
agama Islam. Dengan akal percaya pada Qadha dan Qadar bagi orang Islam akan
membawa kekuatan moral dan mendorong usaha tawakal dan sabar untuk
mencapai tujuannya.
Penolakan terhadap Aliran Naturalisme dan Materialisme perjalanan
hidup Jamaludin sesuai dengan jalan pikirannya. Teori dan prakteknya selalu
berjalin rapat dengan tindakannya. Kedudukan dan pikirannya ditandai oleh tiga
macam keadaan :
a. Kenikmatan jiwa atau rohani
b. Perasaan agama yang mendalam
c. Moral yang tinggi

Gambaran ini jelas dapat dilihat dalam penolakannya terhadap aliran


naturalisme dan materialisme. Aliran ini merupakan senjata berbahaya bagi umat
Islam. satu-satunya kekuatan yang dapat melawannya ialah Islam itu sendiri.
Inilah peringatan yang dicanangkan oleh Jamaludin pada orang-orang Islam, bila
ingin mempertahankan agama itu, maka harus bertindak sesuai dengan ajaran
agama itu. Jamaludin terkenal dalam dunia Islam sebagai propagandaris karena
penolakannya terhadap materialisme. Dengan pandangannya terhadap tabiat
alam, ia tidak bisa menerima corak ajaran materialisme. Untuk itu ia menerbitkan
sebuah buku dengan judul The Refutation Of Materialistis.
PAN-ISLAMISME Sebagaimana yang diungkapkan L. Stoddard, dasar
pergerakan yang diusung oleh Al-Afghani lebih pada usaha pembendungan
dominasi Barat yang mulai menjelajahi dunia Islam. Setidaknya ada lima poin
penting yang menjadi pemicu utama munculnya pemikiran Pan-Islamisme,antara
lain yaitu :
a) Dunia kristen, walaupun terpisah secara geografis, budaya dan nasab namun
akan selalu menggalang pemersatuan kekuatan untuk menghadapi umat
Islam.
b) Meskipun secara gamblang perang salib telah tuntas, namun semangat dan
ideologi untuk selalu mengobarkan lagi, tetap hidup di kalangan umat
Kristen. Hal ini bisa dibuktikan melalui perlakuan diskriminatif umat Kristen
kepada umat Islam di beberapa tempat.
c) Perbedaan pemahaman tentang agama yang sangat berbeda antara agama
Islam dan agama lainnya.
d) Al-Afghani menyimpulkan bahwa kebencian umat Kristen terhadap umat
Islam bukan hanya datang dari sebagian umat kristen namun berasal dari
semua lapisan masyarakat.
e) Kurangnya apresiasi dunia kepada umat Islam, khususnya umat Kristen pada
beberapa ideologi fital agama Islam.

Dengan berbagai pertimbangan yang diantaranya telah disebutkan di atas,


maka Al-Afghani menggulirkan pemikiran tentang perlunya pemersatuan umat
Islam yang selanjutnya dikenal dengan nama Pan-Islamisme. Tujuan pasti Al-
Afghani adalah melakukan filter dini kepada gejala perpecahan yang telah
kelihatan pada zaman itu.
Di beberapa keadaan, Pan-Islamisme sering dikaitkan dengan usaha
modernisasi Islam yang juga diusung oleh Al-Afghani dan murid-muridnya
seperti Muhammad Abduh, dkk. Pada dasarnya dua paham ini bukanlah sinonim,
lebih tepatnya modernisasi adalah gejala atau sarana dari Pan-Islamisme.
Munculnya kegiatan pembaharuan dalam agama Islam adalah aplikasi nyata dari
program Pan-Islamisme yang ditawarkan oleh Al-Afghani.
Secara individu Al-Afghani adalah penolak keras adanya paham kolonial
yang menghantui hampir di semua dunia Islam di kala itu. Sebagai seorang filsuf
dan agamis sikap dan pemikiran Al-Afghani selalu berbenturan dengan paham
fatalisme (berhubungan dengan takdir).
Untuk mengetengahi masalah fatalisme dalam agama Islam, Al-Afghani
mengajak umat Islam untuk melakukan usaha perebutan peradaban, kebudayaan
dan pengetahuan dari barat. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari
semua itu dari Barat. Diharapkan dari semua sikap ini maka umat Islam lebih
bersifat dinamis dan mampu melakukan kritik sosial dalam menghadapi
perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan.
Melalui propaganda yang rapi apalagi didukung oleh Sultan Abdul Hamid
dari Turki Utsmani yang mendirikan organisasi seruan Pan-Islamisme dan
pengiriman delegasi ke Negara-Negara Islam selama 30 tahun. Hubungan paling
kongkrit antara Pan-Islamisme dengan Modernisasi Islam terlihat pada
pandangan kenegaraan yang diusulkan oleh Al-Afghani dan murid-muridnya.
Memang harus diakui, pemerintahan Negara atau Kerajaan Islam yang dimulai
dari masa Kekhalifaan Utsmani memiliki konsen yang sangat besar kepada
bentuk negara atau kerajaan dengan Sistem Monarki Absolut. Sehingga Al-
Afghani menawarkan Sistem Demokrasi sebagai jalan keluar yang tepat sebagai
bentuk ideal negara Islam. Lebih kongkritnya Al-Afghani bahkan memberikan
pertimbangan untuk memakai sistem pemerintahan republik. Bahkan lebih jauh
Al-Afghani menyatakan bahawa sebenarnya Islam menghendaki penggunaan
sistem pemerintahan republik bagi umat Muslim.
Dasar pendapat yang dikeluarkan oleh Al-Afghani ini terbentuk oleh
berbagai stigma yang terkumpul dari lawatan panjang Al-Afghani ke beberapa
negara Eropa sebelumnya. Menurut Al-Afghani keunggulan sistem republik
adalah kebebasan dalam mengedepankan pendapat dan kesamaan status dalam
hukum dan pemerintahan. Ditambah lagi republik sangat menjaga hubungan
kepala negara dengan Undang-undang negara. Lebih jelasnya, sistem republik
sangat memperhatikan kepatuhan antara kepala pemerintahan dengan undang-
undang yang dibuat oleh sebuah Negara. Pendapat yang diusulkan oleh Al-
Afghani ini tentu merupakan hal baru dalam perkembangan agama Islam.
Sebelum munculnya gagasan Al-Afghani ini Islam dan lingkungan hanya
mengenal sistem pemerintahan kerajaan atau kesultanan.
Secara mudah bisa dijelaskan hubungan antara Pan-Islamisme dan
Modernisasi Islam ini dengan wacana bahwa Pan-Islamisme Al-Afghani adalah
sebuah gerakan pemersatu antar Negara-negara Islam termasuk umat Islam di
wilayah jajahan untuk menentang kezaliman para pengusa (penjajah ekstern atau
intern) yang lalim, termasuk menentang kolonialisme dan imperialisme Barat
sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan keadilan.

4. Perbedaan Pemikiran MHD. Abdul dengan Rasyid Ridho


Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah atau Muhammad
‘ Abduh. lahir didesa Mahallat Nashr Kota Al-Buhairah, Mesir pada
tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Beliau merupakan putra dari
seorang petani berkebangsaan Turki yaitu Abduh bin Hasan Khairullah,
sedangkan ibunya masih mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar
Islam, Umar bin Khattab.
Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi),
Syariah (Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf) bahkan untuk
bertatanegara sekalipun hal ini kita kenal dengan S h i y a s a h a t a u
politik. Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih
h a n y a membahas beberapa manhaj pemikiran Muhammad Abduh secara
singkat tentang kee m p a t h a l t e r s e b u t m u d a h - m u d a h a n d a p a t
m e n j a d i s u a t u r u j u k a n k i t a d a l a m mengemukakan pendapat dan
bertindak.
Muhamrnad Rasyid bin Al Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-
Qalmuni, al-Husaini. Dari namanya jelas bahwa beliau merupakan salah
satu keturunan Alul-Bayt . Beliau dilahi rkan pada tanggal 27-5-1282
H di sebuah desa bernama Qalmun,di sebelah selatan kota Tharablas
(Tripoli) atau Syam, ia mulai menuntut ilmu dengan menghafal Al-Qur’an,
mempelajari Khat dan ilmu berhitung.
Setelah banyak berguru kepada Muhammad Abduh, Rasyid
Ridla berpendapat bahwa Madzhab dalam pengertian Muhammad
Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari
Nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam
artian mengikuti dan tunduk pada hasil Mujtahid tertentu,
tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode
yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian
bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi
bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu.
Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bil-Madzhab. Maka
Fanatisme Madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan
sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat
adalah sebaliknya. Generasi sesudah Mujtahid mengikuti hasil Ijtihad
yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang
ditempuh oleh para imam. A k i b a t n y a , terjadi perselisihan
pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri.
Fanatisme Madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pembaruan Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep
asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada
masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.
Pembaruan Islam mempunyai rujukan yang jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah,
sementara pembaruan lain akan terus berproses mencari dan tidak memiliki rujukan
yang mutlak dan pasti. Ada beberapa metologi yang ditempuh oleh Ibu Taimiyah yaitu:
1) Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak dalam
menentukan hukum.
2) Ibnu Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu Taimiyah
tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari Al-Qur'an, As-
Sunnah dan Atsar para Ulama Salaf yang mengikuti Nabi SAW.
3) Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Syari’ah itu bersumber dari Al-Qur’an, Nabi
Muhammad lah yang menjelaskan dan mempraktekkannya kepada umat terlebih
kepada para sahabat pada masa Nabi SAW.
4) Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu
Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang
sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Atsar Salaf.

Pemikiran Ibnu Abdul Wahab


Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri,
Uyainah. Beliau kemudian menghancurkan beberapa maqam yang dipandangnya
berbahaya bagi ke-Tauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar Maqam
tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita
tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun
di luar Uyainah. Ketika pemerintah Al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad
bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat dan pemerintah 'Uyainah pula
menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintah 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah.
Kemudian di capailah suatu keputusan bahwa Syeikh Muhammad harus meninggalkan
daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.

Pemikiran Jamaludin Al Afghani


Dalam bidang politik Jamaludin dikenal sebagai pelopor Pan Islamisme yang
mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang
Khalifah, untuk membebaskan mereka dari penjajahan barat.
Jamaludin hanya sedikit mempersoalkan masalah agama, beliau lebih
berkecimpung dalam lapangan politik. Jalan yang ditempuhnya di bidang:
1. Perbaikan jiwa dan cara berfikir.
2. Perbaikan pemerintah atau Negara.

Adapun usaha yang telah dilakukannya dalam melawan penjajah, antara lain:
1. Membangun kembali jiwa Islam yang terkandung dalam ajaran Al-Qur’an.
2. Menghilangkan sifat kesukuan atau golongan.
3. Mengikis Taqlid dan fanatisme.
4. Melaksanakan Ijtihad dalam memahami Al-Qur’an, Beliau juga mengutarakan
bahwa kesejahteraan umat manusia itu tergantung pada:
a) Akal manusia yang disinari dengan tauhid.
b) Kemuliaan budi pekerti.
c) Aqidah (iman) yang dijadikan sebagai prinsip yang pertama.
d) Loyalitas orang yang berilmu dalam membagikan ilmunya pada orang lain.

Jamaludin menyebutkan, qadha dan qadar mengandung pengertian bahwa segala


sesuatu yang terjadi menurut sebab musabab (kausalitas). Jamaludin menolak terhadap
Aliran Naturalisme dan Materalisme karena sesuai dengan jalan pikirannya. Kedudukan
dan pikirannya ditandai oleh tiga macam kedaan yaitu:
1) Kenikmatan jiwa atau rohani
2) Perasaan agama yang mendalam
3) Moral yang tinggi
Perbedaan Pemikiran MHD. Abdul dengan Rasyid Ridho
Setelah banyak berguru kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridla
berpendapat bahwa Madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah
lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari Nash yang ditempuh
oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan
tunduk pada hasil Mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan
mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath
hukum . Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti
umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu.
A k i b a t n y a , terjadi perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di
kalangan muslimin sendiri. Fanatisme Madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa
dihindarkan.

3.2. Saran
Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Pembaharuan
Islam adalah upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan
dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan
demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi ataupun
menambahi teks Al-Quran maupun As-Sunnah.
Dari makalah yang kami paparkan bahwa kami sedikit memberikan saran bagi
yang membaca makalah ini agar bisa mengambil hikmah dari sebuah cerita awal
pembaharuan Islam serta mengetahui beberapa pemikiran tokoh-tokoh penting yang
terkait dalam pembaharuan Islam.
Demikianlah makalah ini kami buat, kami sadar dalam makalah ini masih banyak
kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaiannya. Untuk itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and
theShi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4).

Deliar Noor. "Gerakan Modernis Islam di Indonesia". Jakarta. Pustaka LP3ES


Indonesia,1996,

Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan
CivilSociety, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:
Paramadina, 2005: 229).

Jalaluddin Rahmad. "Jejak Pemimpin Pembaharuan Sampai Guru Bangsa".


Yogyakarta.Pustaka Pelajar, 2001.

Anda mungkin juga menyukai