Anda di halaman 1dari 3

RINGKASAN KARYA SASTRA

NAMA : Nabila Aulya Rahmi


NIM : 1205030151
KELAS :2D

NOVEL : JALAN TAK ADA UJUNG


KARYA MOCHTAR LUBIS (2016)

Judul Buku : Jalan Tak Ada Ujung

Jenis Buku : Novel

Penulis : Mochtar Lubis

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

ISBN : 978-979-461-980-3

Tahun Terbit : Februari, 2016

Tebal : 168 halaman

Ringkasan :
Guru Isa hendak berangkat ke sekolah. Ia melewati sebuah warung. Ia melihat istrinya
di sana, kemudian merunduk. Ia tahu kalau istrinya hendak mengutang beras lagi di warung
Pak Damrah. Guru Isa kembali berjalan, sayang, para serdadu Nica (No Indonesian Cares
About)—serdadu Sich Hindia Belanda dan para penentang kebijakan Sukarno—yang berada
di dalam sebuah truk datang berkeliling gang. Mereka melintasi jalan yang hendak dilalui guru
Isa. Lantas orang-orang dalam warung tadi berlarian, refleks guru Isa pun mengikuti. Ia
bersembunyi pada salah satu rumah yang berada di dekatnya.

Serdadu Nica, setiap kali melihat orang yang berlarian dan hendak bersembunyi, lekas
saja mengokang senjata dan menembakkan peluru panasnya secara membabi-buta. Dalam satu
kesempatan, salah satu anggota Nica berkata, “Mampus lu, anjing Soekarno! Mau merdeka?
Ini merdeka!”—(hal.06). Nahasnya tak ada yang berani melawannya. Sembari menembaki
mereka terus berjalan. Entah ditembakkan ke berapa, tepat berada di pandangan Guru Isa,
serdadu Nica itu menembak seorang perempuan Tionghoa yang halaman rumahnya ia pakai
untuk bersembunyi. Guru Isa gemetar takut tertangkap. Meski setelah itu para serdadu keparat
kembali ke dalam truk dan melanjutkan perjalanan. Sejak saat itu, guru Isa selalu merasa kalah,
dan ketakutan selalu berada selangkah di belakangnya, menjadi bayang-bayang yang
menghantuinya ke manapun ia berjalan, bahkan sampai terbawa ke alam mimpi. Setiap kali
hendak tidur, ia selalu gusar.

Entah bisa dibilang nasib buruk atau baik, dalam keadaan guru Isa yang dalam
ketakutan, ada seorang pemuda bernama Hazil yang menemuinya. Mula-mula mereka ada
kecocokan pada hobi yang dimilikinya. Hazil datang kepadanya karena ia senang menggesek
biola, dan seseorang membawanya kepada Guru Isa, si pemain biola terbaik di sekolah
tempatnya mengajar. Akan tetapi, karena intensitas Hazil datang ke rumah Guru Isa, pada
akhirnya ia mengajak juga guru yang lugu dan berperangai kaku dalam bergaul itu untuk
tergabung dalam gerakan perjuangan yang mereka dirikan. Lagi-lagi karena ketidakenakan
serta kurang beraninya ia menolak ajakan Hazil, maka ia menurutinya. Hingga di kemudian
hari ia ditunjuk sebagai pemimpin gerakan. Dan sejak saat itu berpikir bahwa pada akhirnya
semua ibarat jalan. Apa yang ia kerjakan dan putuskan adalah jalan. Jalan tak ada ujung.

Penggalian karakter yang sedemikian detil itu berhasil merasuk ke dalam benak
pembaca. Betapa Guru Isa adalah orang yang sangat pendiam dan selalu memendam segala
perasaannya. Ia penuh keragu-raguan sampai membuat ia harus menjadi orang lain. Berperang,
bertarung secara fisik adalah bukan guru Isa yang ia sendiri tahu. Ia hanya seorang guru. Guru
sekolah dasar. Selama ia bersama Hazil, ia hanya orang yang berpura-pura; pura-pura berani,
pura-pura berontak. Ia sekali pernah berucap pada istrinya, Fatimah, “aku tidak suka pada
orang yang berpura-pura”—(hal.71).

Guru Isa menaruh kekaguman pada Hazil ketika pemuda itu menggesek biola pinjaman
darinya. Ada karakter baru yang ia lihat, bukan sebagai pemuda pemberontak, tetapi pemuda
yang berhasil memberikan ekspresi positif. Sayangnya, kekagumannya itu tak berlangsung
lama. Ketika guru Isa sedang terbaring sakit, sudah sejak jauh hari ternyata Hazil pernah
bertukar pandang secara diam-diam dengan Fatimah. Mereka menaruh rasa satu sama lain.
Hingga tiba sebuah kesempatan, saat mereka berdua di dapur, mereka pun melenggangkan
nafsu birahinya masing-masing. Bibir keduanya saling berpagut, tak peduli lagi kalau di dalam
rumah itu ada orang lain selain mereka, yakni suaminya Fatimah.
Bahkan, alih-alih menyesali perbuatannya—karena memang Fatimah sudah tak
menaruh gairah lagi dengan guru Isa—mereka malah semakin menjadi. Puncaknya ketika guru
Isa sedang mengajar, Hazil datang menemui Fatimah. Mereka berhubungan layaknya suami
istri di kamar guru Isa. Kebiasaan Hazil selalu menaruh pipa rokoknya di bawah bantal. Ia akan
selalu diingatkan Fatimah untuk tidak lupa mengambil pipa rokoknya. Sepandai apapun kau
menyembunyikan bangkai, baunya akan tercium juga. Begitulah aksioma bersabda. Dan benar
saja, ketika malam hari, saat guru Isa hendak tidur, tangannya tanpa sengaja mendapati sebuah
pipa di bawah bantalnya. Kegeraman guru Isa pun dirasakan oleh pembaca tentunya. Lebih-
lebih dengan keputusan Guru Isa untuk tidak memperpanjang masalah dan tidak
menanyakannya. Bahkan pipa itu ia simpan dalam laci kerjanya dan tak butuh bertanya apa
pun pada kedua tersangka.
Kebohongan demi kebohongan pun mulai terbangun. Satu kebohongan timbul
menutupi kebohongan lainnya. Hazil dengan kawannya Rahmat setelah berhasil
menyelundupkan senjata dan granat, mereka merencanakan untuk menyerang serdadu Hindia
Belanda yang ramai berada di bioskop. Hazil meminta Guru Isa untuk ikut dan memastikan
keduanya setelah penyerangan akan baik-baik saja. Setelah mengangguki, terjadilah segalanya.
Granat berhasil meledak meski hanya dua serdadu saja yang tewas. Hazil dan Rahmat aman,
tentara belum berhasil melacak siapa pelakunya. Sayang hanya berlaku satu Minggu saja.
Minggu berikutnya Hazil tertangkap dan membuat guru Isa ketakutan. Hari-hari berikutnya ia
tidak bisa terlelap. Selalu saja membayangi kalau suatu waktu para tentara datang
menjemputnya. Tetapi sesekali ia berpikir akan aman. Sebab Hazil dan Rahmat sebelum
melakukan aksi itu, bila tertangkap nanti tidak akan menyebut-nyebut nama Guru Isa.
Sayangnya Hazil hanyalah orang bodoh yang tak tahu rasa terima kasih. Karena
ketidaktahanannya oleh hukuman dan penyiksaan yang dilakukan serdadu Nica padanya, maka
ia pun mengatakan kalau masih ada dua orang lagi kawan yang berkomplot dengannya. Yakni
guru Isa dan Rahmat.
Rahmat berhasil kabur keluar kota. Sedangkan guru Isa tak berdaya apa-apa saat
digelendang tentara ke jeruji besi. Ia sungguh tak menyangka, Hazil si pemuda yang ia kagumi
ternyata menelan ludahnya sendiri. Ia berkhianat padanya.

Anda mungkin juga menyukai