Anda di halaman 1dari 13

ROH KUDUS DAN PERTOBATAN 

KITA
ROH KUDUS DAN PERTOBATAN KITA

 Sdr. F.X. Indrapradja, OFS *) 

Seganilah dan hormatilah, pujilah dan muliakanlah,


ucap syukurlah dan sembahlah Tuhan Allah Yang Mahakuasa, Tritunggal dan Esa, Bapa
dan Putera dan Roh Kudus, Pencipta segala sesuatu. Lakukanlah pertobatan, hasilkanlah
buah yang sesuai dengan pertobatan sebab kita akan segera mati. Berilah, maka kamu
akan diberi. Ampunilah maka kamu akan diampuni. Jikalau kamu tidak mengampuni
dosa orang maka Tuhan juga tidak akan mengampuni kesalahanmu; akuilah segala
dosamu. Berbahagialah mereka yang mati dengan bertobat sebab mereka akan tinggal di
dalam kerajaan surga. Celakalah mereka yang mati tanpa bertobat sebab mereka akan
menjadi anak setan, yang pekerjaanya mereka lakukan, dan mereka akan masuk dalam
api yang kekal. Waspadalah dan jauhkanlah dirimu dari segala yang jahat dan
bertekunlah dalam yang baik hingga akhir    [Santo Fransiskus dari Assisi]. 

Petikan tulisan Santo Fransiskus dari Assisi (1181-1226) di atas terdapat dalam ‘Anggaran Dasar
Tanpa Bulla’ (1221), Pasal XXI yang berisikan pujian dan ajakan untuk bertobat. Paus
Innocentius III (1198-1216) telah memberikan tugas kepada semua saudara dina, baik rohaniwan
maupun awam (bruder) untuk ‘mewartakan pertobatan’, yaitu dengan khotbah yang berupa
ajakan untuk umat, dan bukan uraian dogma. Petikan di atas merupakan sebuah contoh ‘khotbah
ajakan untuk bertobat’ termaksud. Contoh yang diberikan oleh Fransiskus ini berisikan petikan-
petikan Kitab Suci Perjanjian Baru[1] dan menggunakan bahasa yang lugas dan tidak bertele-
tele. Contoh tersebut dapat digunakan oleh setiap anggota keluarga besar Fransiskan dalam tugas
pewartaannya, namun tentunya dengan terlebih dahulu menerapkan pesan-pesan pertobatan itu
pada dirinya sendiri. yaitu apa saja yang harus dilakukan selama hidupnya di dunia ini sampai
saat dipanggil oleh-Nya kelak. 
Melakukan pertobatan sesungguhnya merupakan intisari dari hidup ke-Fransiskan-an.[2] Salib
Tau yang suka kita kenakan samasekali bukanlah untuk sok-sok gaya di depan umum. Salib Tau
adalah tanda seseorang yang menghayati hidup pertobatan … setiap hari! Pertobatan sejati
bukanlah topik kehidupan Kristiani yang hanya sibuk digembar-gemborkan pada masa Adven
atau masa Prapaskah saja. Bagi Yesus, pewartaan Kerajaan Allah dan pertobatan tidak dapat
dipisahkan (lihat peristiwa “Terang” atau “Cahaya” ke tiga dalam doa rosario). Seperti tercatat
dalam Kitab Suci, kata-kata Yesus yang pertama kali diucapkan dalam pewartaan-Nya berbunyi:
“Saatnya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!’”
[Mrk 1:15]. Bagi Fransiskus yang mengikuti jejak langkah Yesus secara radikal, pertobatan
merupakan suatu gaya hidup sehari-harinya; demikian pula tentunya yang diharapkan dari kita
semua sebagai anak-anak rohaninya. 

Tulisan ini secara khusus merupakan persembahan dari saya – seorang saudara – bagi para
postulan baru di Persaudaraan OFS Santa Elisabeth dari Hongaria, Palembang (tanggal 20 Juli
2009) dan juga bagi para saudara-saudari yang beralih-tahap menjadi postulan, novis dan
mengucapkan/membuat profesi kekal di Persaudaraan OFS Santo Thomas More, Jakarta Selatan
pada tanggal 26 Juli 2009. Tentunya tulisan ini pun dapat digunakan oleh para saudara-saudari
Fransiskan lainnya dan siapa saja murid-Nya yang berkehendak baik. 

Peran Roh Kudus dalam pertobatan kita 

Seperti saya selalu ulang-ulangi dalam kesempatan yang ada, lima pilar
penopang spiritualitas Fransiskan kita adalah: (1) Misteri Inkarnasi Putera Allah; (2) Sengsara
dan wafat Yesus Kristus (tentunya termasuk kebangkitan-Nya); (3) Ekaristi Kudus; (4) Kitab
Suci dan (5) Bunda Maria. Kali ini saya mengajak saudara-saudari untuk secara istimewa
menyandarkan diri pada Kitab Suci dalam membahas hal-ikhwal pertobatan ini. Oleh karena itu,
marilah kita membuka Kitab Suci kita masing-masing dan menimba seoptimal mungkin sabda
Allah yang terdapat di dalamnya. Santo Fransiskus sangat mencintai sabda Allah dalam Kitab
Suci, oleh karena itu selalu baiklah bagi kita semua untuk meneladan Bapak Serafik kita itu.
Sampai titik ini, semoga jelaslah bagi para postulan yang baru,  mengapa pada upacara alih-tahap
kepada mereka masing-masing diberikan sebuah Kitab Suci. Seperti Fransiskus, upayakanlah
dengan serius supaya Saudara-saudari sungguh menjadi akrab dengan sabda Allah dalam Kitab
Suci agar pada satu nanti, Saudara-saudari pun dapat menjadi ‘pelaku firman’ [baca Yak 1:19-
27] yang sejati. 

Nah, kalau kita merujuk pada bacaan-bacaan Kitab Suci, maka pertobatan pertama-tama dan
terutama adalah karya Roh Kudus. Dia-lah yang melunakkan hati kita dan membuat kita pada
akhirnya dapat serupa dengan Yesus Kristus. Sesungguhnya Roh Kudus merupakan salah satu
pemberian Allah kepada kita yang paling agung. Melalui Roh Kudus inilah hati kita diangkat ke
hadirat-Nya. Melalui Roh Kudus pula kita menerima kuasa untuk hidup seperti Yesus. 
Daud dan pertobatannya 

Seorang pribadi dalam Kitab Suci yang seringkali dikaitkan dengan


pertobatan adalah Raja Daud. Memang benar bahwa kisah hubungan-dosa antara Raja Daud dan
Batsyeba sedikit saja berbicara mengenai pertobatan Daud [baca 2Sam 11-12].[3] Namun
demikian, praktis setiap hari Jumat (kecuali pada hari Pesta atau Hari Raya), dalam Ibadat Pagi
kita akan membaca dan merenungkan bacaan Mazmur pertama – Mzm 51 atau Miserere – yang
menggambarkan secara sangat detil apa saja yang berkecamuk dalam hati dan pikiran Daud
selagi dia menggumuli segala konsekuensi dari perbuatan dosanya sampai dia membawa dosa-
dosanya itu ke hadirat Allah dan mohon pengampunan-Nya. Marilah sekarang kita secara singkat
menyoroti Mzm 51 yang indah ini[4] agar dengan demikian kita dapat melihat bagaimana
sesungguhnya sebuah hati yang bertobat itu. 

Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku


menurut rahmat-mu yang besar! Selagi dia dalam kegelisahan batinnya (tercermin dalam
sikap dan perilaku sehari-harinya) merenungkan dosa-dosanya dan dorongan-dorongan batinnya
yang membuatnya berdosa (dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya), Daud berseru:
“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” [51:12].
Dalam proses pergumulan batinnya, Daud pada akhirnya melihat bahwa dia tidak dapat
mengubah hatinya dengan kekuatan sendiri. Yang paling dapat dilakukannya hanyalah
menyembunyikan diri atau melarikan diri dari segala nafsu dan kecanduannya. Hanya Allah-lah
yang dapat mengubahnya menjadi suatu ciptaan baru. Hanya Allah-lah yang dapat membebaskan
atau memerdekakannya dari segala hasrat buruk yang telah menyebabkan begitu banyak
malapetaka dalam hidupnya. Tidak cukuplah bagi seorang pendosa untuk sekadar memohon
maaf. Daud membutuhkan perubahan mendalam dalam hatinya.

Daud juga mengerti bahwa dosa-dosanya tidak hanya membawa dampak luarbiasa buruk atas
Batsyeba, Uria dan rakyat Israel, melainkan juga hubungannya dengan Allah sendiri. Karenanya
dia berseru: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa
yang Kauanggap jahat” [51:6]. Di jantung dosanya terdapatlah rasa sesal yang akhirnya
membawa dirinya kepada Allah. Terkadang mudahlah bagi kita untuk melihat bagaimana dosa
kita melukai orang-orang yang kita cintai. Kata-kata pedas dan kasar serta pilihan-pilihan yang
dibuat atas dasar nafsu dan pemuasan kepentingan diri sendiri dapat dengan cepat merusak
kerukunan keluarga yang sekian lama dibina dengan susah payah. Namun demikian, sampai
berapa sering kita menyadari atau berpikir bagaimana dosa-dosa kita mempengaruhi hubungan
kita dengan Allah? Sesungguhnya manakala kita berdosa, kita mendirikan tembok pemisah
antara diri kita dan Allah yang sangat mengasihi kita. Artinya sama saja seperti kita berkata
kepada-Nya: “Engkau tidak kuterima dalam hatiku!”  Pada akhirnya kita harus menyadari,
bahwa dosa bahkan dapat memutus aliran rahmat Allah dan perlindungan-Nya atas kehidupan
kita. Dengan demikian tidak mengherankanlah kalau pada akhir pengajarannya dalam
‘perumpamaan tentang domba yang hilang’, Yesus bersabda: “Aku berkata kepadamu: Demikian
juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita
karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan” [Luk 15:7]. 

Apabila kita menyadari dan mengakui dosa-dosa kita, maka kita dapat meyakinkan diri sendiri
bahwa Roh Kudus sedang bekerja dalam diri kita. Setiap hari Allah mengundang kita untuk
memeriksa/menguji pikiran-pikiran serta perbuatan-perbuatan kita, dan minta kepada Roh Kudus
untuk membuka keberadaan dosa kita. Samasekali bukanlah keinginan-Nya supaya kita
kemudian merasa bersalah, tetapi penyingkapan itu dilakukan oleh-Nya karena Dia menghendaki
agar kita menerima kesembuhan dan pemurnian. Seperti yang telah diakui oleh Daud, hanya
Allah-lah yang dapat membuang rasa bersalah dan rasa malu yang membebani seorang anak
manusia [lihat Mzm 51:4], meyakinkan kita untuk tidak berdosa lagi [51:14], dan yang paling
penting membuat kita menjadi seseorang yang lebih mengasihi orang-orang lain [51:15]. 

Pertobatan itu membebaskan, memerdekakan seorang pendosa! 

Rasa bersalah harus diatasi. Tentunya anda pernah mengalami seperti saya
sendiri alami: tetap merasa bersalah, meskipun setelah keluar dari kamar pengakuan, artinya
setelah menerima Sakramen Rekonsiliasi atau setelah memohon maaf kepada seorang sahabat
karib. Anda tahu bahwa Allah telah mengampunimu, tetapi suara hatimu masih saja
mengganggu. Anda tahu bahwa Allah tidak ingin melihat anda terikat oleh rasa bersalah dan
malu, namun anda tak dapat mengusir perasaan negatif tersebut. Bagaimana anda membuat
dirimu bebas? 

Langkah pertama yang anda harus lakukan adalah mengakui kuasa penyembuhan dari Allah
setiap kali anda mohon pengampunan atau menerima absolusi dari imam (Bapak pengakuan).
Dalam iman terimalah bahwa Allah telah mengampuni anda dan ingin menyembuhkanmu.
Lawanlah rasa bersalah yang menghantui dirimu! Jangan sampai rasa bersalah itu menguasai
suara hatimu. Percayalah bahwa kesembuhan telah terjadi, meskipun anda tidak merasakannya. 

Apabila pikiran kita terus membangkit-bangkitkan kenangan akan dosa masa lampau, mohonlah
kepada Roh Kudus agar memerintah dalam pikiran-pikiran anda. Sungguh sesuatu yang
menakjubkan, apabila ingatan kita dapat melakukan re-play  adegan-adegan (dosa) yang sama
sehingga menyebabkan kita merasa dicengkeram oleh rasa bersalah. Rasa malu karena utang
keuangan di masa lalu, rasa bersalah karena dosa seksual atau perselingkuhan di masa lampau.
Bahkan kalimat yang bersifat mengingatkan dari orang-orang terdekat kita saja dapat kita
tanggapi dengan kata-kata kasar dan menyakitkan. Begitu hal seperti ini terjadi, berpalinglah
dengan cepat kepada Tuhan: “Roh Kudus Allah, aku tahu Engkau berdiam di dalam diriku. Aku
menyerahkan segenap pikiran dan ingatan-kenanganku kepada-Mu. Datanglah dan bebaskanlah
aku!” 

Akhirnya, akuilah bahwa cinta-kasih Allah kepada anda jauh lebih besar daripada dosa apa saja
yang pernah melibatkan serta menjerumuskan dirimu. Nyatakanlah dalam hatimu bahwa Allah
ingin membebaskan anda karena Dia begitu mengasihimu sehingga Dia tidak mau membiarkan
anda tetap ‘terjebak’ dalam kegelapan. 

Pertobatan sejati. Salah satu contoh paling jelas mengenai perbedaan antara rasa malu yang
ditimbulkan dari penyesalan mendalam dan kebebasan yang diakibatkan oleh pertobatan, terjadi
pada hari Yesus disalibkan. Baik Yudas Iskariot maupun Simon Petrus telah menolak Tuhan
pada hari Kamis malam, beberapa jam sebelum Yesus disalibkan [baca Luk 22:47-62], namun
dua orang murid ini bereaksi terhadap dosa mereka dengan cara yang secara radikal berbeda. 

Yudas sangat dibebani oleh rasa bersalah yang luarbiasa beratnya, sehingga dia pun
menggantung dirinya sendiri [Mat 27:3-10]. Dapatkah anda membayangkan apa yang dirasakan
Yudas ketika mengalami memorinya dihantui oleh tindakan pengkhianatannya? Yudas terus-
menerus diganggu oleh rasa bersalah sehingga kelihatannya dia telah melupakan segalanya yang
dipelajarinya sebagai seorang murid Yesus. Ia tidak mampu lagi menyadari bahwa Yesus begitu
mengasihinya, dan betapa Dia telah menyembuhkannya dan mengampuninya. Apa yang dapat
dilihatnya hanyalah dosanya dan hal ini membuatnya kehilangan pengharapan. Dia menjadi
yakin (secara keliru) bahwa dirinya tidak dapat diampuni. Dengan demikian, dalam keputus-
asaannya dia mengakhiri hidupnya sendiri. 

Bagaimana halnya dengan Simon Petrus? Setelah Petrus menyangkal bahwa dia
mengenal Yesus [Mat 26:75], dia pun mengalami kegoncangan batin yang amat sangat. Pada
saat yang kritis ini, Kefas sang ‘batu karang’ (di atas siapa Gereja didirikan) sadar bahwa dia
telah memperlakukan Yesus sebagai bukan yang utama bagi dirinya. Demi ‘cari-aman-sendiri’
dia mengorbankan hubungan istimewanya dengan sang Guru. Petrus pun mengalami kepedihan
hati yang luarbiasa, namun kepedihan hatinya ini berbeda dengan apa yang dialami oleh Yudas.
Meskipun mengalami kenangan pahit akan pengkhianatannya sendiri, Petrus tetap tidak
melupakan janji-janji Yesus tentang pengampunan. Akhirnya, Petrus membawa dosa-dosanya ke
hadapan Allah dan mohon pengampunan dan damai dari-Nya. Sebagai akibatnya Petrus pun
menjadi seorang hamba Allah yang lebih rendah hati dan berbelarasa terhadap sesama. 

Beginilah cara kerja Roh Kudus. Ia meyakinkan kita akan dosa-dosa kita, namun pada saat yang
sama Dia memenuhi diri kita dengan pengharapan bahwa kita dapat diampuni dan diubah. 

Umat Allah sebagai mempelai-Nya 


Keprihatinan utama Allah bukanlah dosa-dosa kita. Mengasihi-Nya, menghormati-Nya dan
menyerahkan kehendak kita kepada-Nya – ini semualah hasrat hati-Nya yang terdalam. Allah
ingin membuat kita murni dan tanpa noda sebagai seorang mempelai perempuan pada hari
pernikahannya. Untuk mencapai tujuan-Nya ini Allah mengutus Roh Kudus guna memimpin kita
dalam jalan pertobatan. 

Dalam doa-doa permohonan akan anugerah pertobatan, baiklah kita meneladan tokoh-tokoh
yang ada dalam Kitab Suci yang mengalami dorongan Roh Kudus. Dalam Perjanjian Lama kita
dapat melihat tiga orang tokoh. Yang pertama adalah Ezra, seorang imam; yang kedua adalah
Nehemia, seorang awam; dan yang ketiga adalah Daniel, seorang nabi. Cerita-cerita yang
menyangkut ketiga tokoh alkitabiah ini berpusat pada peristiwa penghancuran Yerusalem oleh
pasukan tentara Babel dan keadaan memedihkan hati yang menyusul setelah itu. Semua ini
merupakan kesaksian bahwa manakala umat Allah terbawa ke dalam penderitaan yang
mendalam, maka mereka mulai memahami kebutuhan mereka di hadapan Tuhan dan berseru
kepada-Nya dalam pertobatan. 

Ezra sang imam. Misi pelayanan Ezra adalah membangun kembali hati
umat. Ezra adalah seorang imam Yahudi yang hidup di Yerusalem tidak lama sebelum
kedatangan Nehemia. Imam ini sangat terkejut melihat kondisi umat Allah dan berdukacita atas
kenyataan bagaimana mereka dipengaruhi secara negatif oleh budaya kafir di sekeliling mereka.
Mereka tidak lagi merasakan bahwa mereka adalah umat pilihan Allah, milik Allah yang
istimewa. Keyakinan mereka bahwa hanya Yahwe-lah yang pantas untuk disembah, sudah
sangat melemah, sampai pada titik di mana mereka tidak lagi dapat melihat perbedaan antara diri
mereka sendiri dengan orang-orang kafir yang tinggal di luar kota suci itu. 

Cerita tentang Ezra menunjukkan seorang imam yang sangat menderita karena empatinya yang
mendalam atas kondisi buruk umat Allah. Kita dapat merasakan dan membayangkan bagaimana
sang imam menangis tersedu-sedu dengan bercucuran airmata ketika dia berdoa: “Dari zaman
nenek moyang kami sampai hari ini kesalahan kami besar, dan oleh karena dosa kami maka kami
sekalian dengan raja-raja dan imam kami diserahkan ke dalam tangan raja-raja negeri, ke dalam
kuasa pedang, ke dalam penawanan dan penjarahan, dan penghinaan di depan umum, seperti
yang terjadi sekarang ini. … sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu
kami tidak ditinggalkan Allah kami” [Ezr 9:7.9]. 

Didorong oleh kepercayaannya yang kokoh akan cintakasih Yahwe kepada umat-Nya, Ezra pada
awalnya merencanakan untuk membangun kembali Bait Allah. Namun kemudian dia menyadari
kenyataan, bahwa pembangunan kembali bangunan fisik Bait Allah tidaklah cukup. Visi umat
Israel tentang diri mereka sendiri dan kesadaran akan adanya cintakasih Allah bagi diri
merekalah yang justru perlu dibangun kembali. Maka Ezra mendedikasikan dirinya pada upaya
restorasi perjanjian sebagai jantung kehidupan bersama umat Israel. 
Keprihatinan Nehemia. Nehemia adalah seorang Yahudi yang bekerja
sebagai juru minuman raja dalam istana raja Persia. Kedudukannya dalam masyarakat boleh
dikatakan sudah mapan. Sekitar tahun 450 SM dia mendapat tahu tentang kondisi mengenaskan
dari orang-orang Yahudi di Yerusalem. Israel pernah merupakan suatu bangsa yang kuat dan
dihormati, namun pada masa Nehemia telah menjadi bahan tertawaan untuk satu abad lamanya,
yaitu sejak Yerusalem diduduki oleh Nebukadnezar dari Babel. Tembok-tembok kota
diruntuhkan dan Bait Allah (tempat kediaman Yahwe) dibumi-hanguskan. Hampir semua orang
telah dideportasi ke Babel dan hanya mereka yang paling miskin sajalah yang ditinggalkan.

Ketika kabar tentang penderitaan orang Yahudi di Yerusalem sampai ke telinga Nehemia, dia
pun menangis dan berkabung untuk beberapa hari lamanya. Dia berpuasa dan berdoa ke hadirat
Allah semesta langit [lihat Neh 1:4]. Dengan penuh kerendahan hati dia berdoa kepada Yahwe: 

“Ya, TUHAN (Yahwe), Allah semesta langit, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang
berpegang pada perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-Nya dan tetap
mengikuti perintah-perintah-Nya, berilah telinga-Mu dan bukalah mata-Mu dan dengarkanlah
doa hamba-Mu yang sekarang kupanjatkan ke hadirat-Mu siang dan malam bagi orang Israel,
hamba-hamba-Mu itu, dengan mengaku segala dosa yang kami orang Israel telah lakukan
terhadap-Mu. Juga aku dan kaum keluargaku telah berbuat dosa. Kami telah sangat bersalah
terhadap-Mu dan tidak mengikuti perintah-perintah, ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan
yang telah Kauperintahkan kepada Musa, hamba-Mu itu. Ingatlah akan firman yang Kaupesan
kepada Musa, hamba-mu itu, yakni: Bila kamu berubah setia, kamu akan Kucerai-beraikan di
antara bangsa-bangsa. Tetapi, bila kamu berbalik kepada-Ku dan tetap mengikuti perintah-
perintah-Ku serta melakukannya, maka sekalipun orang-orang buanganmu ada di ujung langit,
akan Kukumpulkan mereka kembali dan Kubawa ke tempat yang telah Kupilih untuk membuat
nama-ku diam di sana. Bukankah mereka ini hamba-hamba-Mu dan umat-Mu yang telah
Kaubebaskan dengan kekuatan-Mu yang besar dan dengan tangan-Mu yang kuat? Ya, Tuhan,
berilah telinga kepada doa hamba-Mu ini dan kepada doa-doa hamba-Mu  yang rela takut atas
nama-Mu, dan biarlah hamba-Mu berhasil hari ini dan mendapat belas kasihan dari orang
ini”   [Neh 1:5-11]. 

Jadi, dalam doanya Nehemia dengan rendah hati mengakukan dosa-dosa umat dan dosa-dosanya
sendiri serta keluarganya. Dia mengingatkan Allah akan cintakasih perjanjian-Nya bagi Israel –
sebuah perjanjian yang tidak pernah boleh dibatalkan. Nehemia mengetahui, bahwa karena dia
adalah salah satu umat pilihan Allah, maka dia pun tak dapat lepas dari keterkaitan dengan setiap
anak Israel. Dia juga ikut bertanggung jawab atas keadaan bangsa Israel. Perjuangan orang-orang
Yahudi yang hidup memelaskan hati di Yerusalem begitu menyentuh hati Nehemia sehingga dia
memutuskan untuk meninggalkan istana raja Persia yang aman, kemapanannya sebagai warga
masyarakat, dan orang-orang sebangsanya di Persia. Sekali dia berada di Yerusalem, Nehemia
membaktikan seluruh energinya untuk menyemangati dan menolong orang-orang membangun
kembali tembok-tembok kota. Bayangkan risiko yang diambil oleh Nehemia. Bayangkan
pengorbanan yang dibuatnya. Karena dia digerakkan untuk berdoa dan bertobat, maka
kehidupannya pun tidak akan pernah sama lagi kalau dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. 

Daniel – sebuah kasus tentang doa yang didengar Allah. Daniel


adalah seorang pribadi  dalam Perjanjian Lama yang juga berdukacita atas penderitaan terus-
menerus rakyat Israel. Kitab Daniel mungkin ditulis sekitar tahun 165 SM. Dengan demikian,
doa-doa nabi ini mencerminkan seseorang yang memandang ke belakang, kepada penyebaran
orang-orang Yahudi ke diaspora, ketiadaan-pengharapan, dan bahkan apati. Mengapa begitu
banyak orang Yahudi masih hidup dalam pengasingan? Mengapa Yerusalem masih berada di
bawah pemerintahan bangsa asing? Di mana cintakasih yang menyentuh kedalaman hati dan
devosi yang dicari Allah dalam umat-Nya? 

Nabi Yeremia bernubuat tentang Israel: “… seluruh negeri ini akan menjadi reruntuhan dan
ketandusan, dan bangsa-bangsa ini akan menjadi hamba kepada raja Babel tujuh puluh tahun
lamanya” [Yer 25:11; bdk. 29:10]. Setelah membaca Kitab Yeremia tentang derita yang harus
ditanggung oleh orang-orang Israel ini, Daniel pun berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan
mengenakan kain kabung serta abu. Dia menghaturkan permohonan kepada Yahwe dan
mengakui dosanya dan dosa bangsa Israel: 

“Ah Tuhan, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia
terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintah-Mu! Kami telah berbuat
dosa dan salah, kami telah berlaku fasik dan telah memberontak, kami telah menyimpang dari
perintah dan peraturan-Mu, dan kami tidak taat kepada hamba-hamba-Mu, para nabi, yang telah
berbicara atas nama-Mu kepada raja-raja kami, kepada pemimpin-pemimpin kami, kepada bapa-
bapa kami dan kepada segenap rakyat  negeri. Ya Tuhan, Engkaulah yang benar, tetapi patutlah
kami malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yehuda, penduduk kota Yerusalem dan
segenap orang Israel, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri kemana Engkau
telah membuang mereka oleh karena mereka berlaku murtad terhadap Engkau. Ya TUHAN,
kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu, sebab kami
telah berbuat dosa terhadap Engkau. Pada Tuhan, Allah kami, ada kesayangan dan keampunan,
walaupun kami telah memberontak terhadap Dia, dan tidak mendengarkan suara TUHAN, Allah
kami, yang menyuruh kami hidup menurut hukum yang telah diberikan-Nya kepada kami
dengan perantaraan para nabi, hamba-hamba-Nya. Segenap orang Israel telah melanggar hukum-
Mu dan menyimpang karena tidak mendengarkan suara-Mu. Sebab itu telah dicurahkan ke atas
kami kutuk dan sumpah, yang tertulis dalam kitab Taurat Musa, hamba Allah itu, sebab kami
telah berbuat dosa terhadap Dia. Dan telah ditetapkan-Nya firman-Nya, yang diucapkan-Nya
terhadap kami dan terhadap orang-orang yang telah memerintah kami, yakni bahwa akan
didatangkan-Nya kepada kami malapetaka yang besar, yang belum pernah terjadi di bawah
semesta langit, seperti di Yerusalem. Seperti yang tertulis dalam kitab Taurat Musa, segala
malapetaka ini telah menimpa kami, dan kami tidak memohon belas kasihan TUHAN, Allah
kami, dengan berbalik dari segala kesalahan kami dan memperhatikan kebenaran yang dari pada-
Mu. Sebab itu TUHAN bersiap dengan malapetaka itu dan mendatangkannya kepada kami;
karena TUHAN, Allah kami, adalah adil dalam segala perbuatan yang dilakukan-Nya, tetapi
kami tidak mendengarkan suara-Nya. Oleh sebab itu, ya Tuhan, Allah kami, yang telah
membawa umat-Mu keluar dari tanah Mesir dengan tangan yang kuat dan memasyhurkan nama-
Mu, seperti pada hari ini, kami telah berbuat dosa, kami telah berlaku fasik. Ya Tuhan, sesuai
dengan belas kasihan-Mu, biarlah kiranya murka dan amarah-Mu berlalu dari Yerusalem, kota-
Mu, gunung-Mu yang kudus; sebab oleh karena dosa kami dan oleh karena kesalahan nenek
moyang kami maka Yerusalem dan umat-Mu telah menjadi cela bagi semua orang yang di
sekeliling kami. Oleh sebab itu, dengarkanlah, ya Allah kami, doa hamba-Mu ini dan
permohonannya, dan sinarilah tempat kudus-Mu yang telah musnah ini dengan wajah-Mu, demi
Tuhan sendiri. Ya Allahku, arahkanlah telinga-Mu dan dengarlah, bukalah mata-Mu dan lihatlah
kebinasaan kami dan kota yang disebut dengan nama-Mu, sebab kami menyampaikan doa
permohonan kami ke hadapan-Mu bukan berdasarkan jasa-jasa kami, tetapi berdasarkan kasih
sayang-Mu yang berlimpah-limpah. Ya Tuhan, dengarlah! Ya, Tuhan, ampunilah! Ya Tuhan,
perhatikanlah dan bertindaklah dengan tidak bertangguh, oleh karena Engkau sendiri, Allahku,
sebab kota-Mu dan umat-Mu disebut dengan nama-Mu!” [Dan 9:4-19]. 

Karena Daniel mencari Tuhan dalam Kitab Suci, maka Roh Kudus mampu untuk ‘merobek’ dan
‘menyayat-nyayat’ hatinya dan membimbingnya kepada sebuah doa pertobatan yang indah
seperti dikutip di atas tadi. Doa Daniel ini dengan cepat dijawab oleh Allah. Bahkan sebelum dia
menyelesaikan doanya tersebut, malaikat Gabriel muncul dan mengatakan kepadanya: “Daniel,
sekarang aku datang untuk memberi akal budi kepadamu untuk mengerti. Ketika engkau mulai
menyampaikan permohonan keluarlah suatu firman, maka aku datang untuk memberitahukannya
kepadamu, sebab engkau sangat dikasihi. Jadi camkanlah firman itu dan perhatikanlah
penglihatan itu!” [Dan 9:22-23]. Pada hari ini pun Allah ingin mengatakan kepada anda, bahwa
sejak saat anda mulai berdoa, Dia mendengar anda dan akan menjawab doa anda, karena Dia
mengasihi anda. 

Mohon pengampunan seturut contoh Paus Yohanes Paulus II 

Tahun Yubileum 2000. Dalam tahun Yubileum yang baru lalu, tepatnya
pada tanggal 12 Maret 2000, hari Minggu Prapaskah pertama, terjadilah peristiwa dramatis yang
tidak ada presedennya dalam sejarah Gereja. Dalam Misa Kepausan di Basilika Santo Petrus hari
itu, Sri Paus, setelah homili memanjatkan doa-doa umat yang terdiri dari tujuh pengakuan akan
dosa-dosa di masa lampau dan dosa-dosa para putera-puteri Gereja di masa kini, kemudian
mohon pengampunan dari Tuhan untuk masing-masing dosa tersebut. Pada setiap akhir satu
pengakuan dosa, Sri Paus memanjatkan sebuah doa, Kyrie Eleison dinyanyikan dan sebatang
lilin dinyalakan di depan sebuah salib besar. 

Pengakuan tujuh macam dosa. Dalam pengakuan ini Sri Paus menyebutkan 7 (tujuh) kategori
dosa: (1) dosa-dosa pada umumnya; (2) dosa-dosa yang berkaitan dengan pelayanan kebenaran;
(3) dosa-dosa yang telah merusak kesatuan tubuh Kristus; (4) dosa-dosa melawan cintakasih,
damai, hak-hak manusia dan respek terhadap budaya-budaya serta agama-agama; (6) dosa-dosa
terhadap martabat perempuan dan kesatuan umat manusia; dan (7) dosa-dosa yang berkaitan
dengan hak-hak fundamental dari semua pribadi manusia – korban aborsi, mereka yang miskin
dan korban-korban berbagai macam pelecehan. Dalam homilinya Sri Paus menyatakan: “Marilah
kita mengampuni dan mohon pengampunan! … Pada saat yang sama, selagi kita melakukan
pengakuan atas dosa-dosa kita, marilah kita mengampuni dosa-dosa orang-orang lain terhadap
kita.” Pengakuan dosa-dosa ini janganlah dipandang sebagai suatu sandiwara belaka. Juga bukan
merupakan suatu upaya pimpinan Gereja untuk meluruskan catatan sejarah di masa lampau.
Pengakuan dosa-dosa ini harus dilihat sebagai tindakan spiritual yang keluar dari hati terdalam
seorang wakil Kristus di dunia, yang mengakui dosa-dosa Gereja yang dipimpinnya dan adanya
kebutuhan nyata akan pengampunan. 

Dalam menyampaikan doa-doa pertobatan di atas, Sri Paus sebenarnya mengikuti teladan 
banyak tokoh dalam Kitab Suci yang mengalami dorongan-dorongan Roh Kudus yang serupa,
seperti ketiga orang tokoh Perjanjian Lama yang diceritakan di atas. 

Kudus dan pada saat yang sama juga berdosa. Tentunya seorang Kristiani harus memohon
pengampunan atas dosa-dosanya sendiri, namun apakah dia juga harus bertanggung-jawab atas
dosa-dosa di masa lampau dan masa kini dari orang-orang Kristiani lainnya? Sri Paus dalam
homilinya menyinggung hal ini dengan memetik dari apa yang ditulisnya dalam sebuah dokumen
Gereja dengan judul  Misteri Inkarnasi, yang ditulisnya dan diterbitkan pada tahun 1998.
Dokumen ini secara resmi memproklamasikan Tahun Yubileum. Dalam dokumen ini Sri Paus
mengatakan bahwa karena umat Kristiani dipersatukan dalam tubuh mistik Kristus, maka kita
semua, “meskipun tidak bertanggung-jawab secara pribadi dan tanpa mengganggu penghakiman
Allah – Dia-lah satu-satunya yang mengenal setiap hati manusia – berbeban untuk menanggung
kesalahan-kesalahan dari mereka yang hidup sebelum kita” [butir 11]. Pengampunan kita harus
dimotivasi hanya oleh cintakasih kepada Allah dan kepercayaan kita akan kerahiman-Nya yang
mahabesar. 

Dalam “Pengakuan Iman Hasil Konsili Nikea-Konstantinopel”, kita berkata: “Aku percaya akan
Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Nah, apabila Gereja itu kudus, mengapa harus
mohon pengampunan? Jawabannya adalah, karena kita adalah sebuah Gereja kudus yang terdiri
dari orang-orang berdosa. Konsili Vatikan II dengan jelas membedakan antara kekudusan Gereja
dan kelemahan-kelemahan para anggotanya [lihat ‘Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium [LG]
tentang Gereja’  # 39]. Dokumen yang sama juga mengajarkan: “Gereja itu suci, dan sekaligus
harus selalu dibersihkan, serta terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan” [LG #
8]. Penjelasan ini adalah sesuai dengan ajaran Santo Paulus: “… di mana dosa bertambah
banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah’” (Rm 5:20]. 
Seorang pemimpin Gereja yang sungguh istimewa. Semangat yang ada di
belakang hari bersejarah dalam Gereja pada tahun 2000 itu konsisten dengan seluruh pontifikat
Yohanes Paulus II yang mungkin saja akan dikenal dalam sejarah sebagai “paus yang mohon
pengampunan”. Sejak awal, pontifikat Yohanes Paulus II telah ditandai oleh banyak peristiwa
yang luarbiasa. Ia adalah paus pertama yang pernah mengunjungi sinagoga Yahudi di Roma. Ia
adalah seorang pemimpin Gereja Katolik yang telah berbicara dengan berani membela mereka
yang menderita karena penindasan ekonomis maupun politis. Ia telah banyak kali mengunjungi
tempat-tempat di seluruh dunia untuk mewartakan Kristus. Bapak suci juga tidak jemu-jemunya
mengemukakan keprihatinannya akan pertobatan, teristimewa dalam banyak kunjungan
pastoralnya ke berbagai penjuru dunia. Dalam banyak kesempatan Sri Paus berbicara mengenai
dosa-dosa umat Kristiani, mengindikasikan penyesalannya, mengoreksi pendapat yang keliru,
dan mohon maaf. Secara khusus Sri Paus telah menyebutkan kekurangan-kekurangan Gereja
dalam memperlakukan kaum perempuan, orang-orang Yahudi dan kaum minoritas lainnya, dan
juga peranan Gereja dalam Perang Salib, Inkuisisi, konflik keagamaan antara umat Kristiani
sendiri, dan bahkan penghukuman Galileo. Luigi Accattoli menulis sebuah buku yang memuat
permohonan ampun dari Sri Paus yang jumlahnya mendekati seratus buah. Judul buku tersebut
dalam bahasa Inggris: When a Pope Asks Forgiveness: The Mea Culpas of John Paul II  (Ketika
seorang Paus Mohon Pengampunan: Mea Culpa dari Yohanes Paulus II). 

Satu tubuh. Ada satu unsur yang mempersatukan Paus Yohanes Paulus II
dengan tiga orang tokoh Perjanjian Lama yang diuraikan di atas, yaitu Ezra, Nehemia dan
Daniel. Bangunan-bangunan atau gedung-gedung yang megah, organisasi-organisasi yang rapih
tertata, komisi-komisi yang menangani berbagai bidang pelayanan dengan SDM yang sungguh
qualified atau malah superqualified – tidak satu pun akan menjadi jantung Gereja, kalau berjalan
sendiri-sendiri tanpa bimbingan Roh Kudus. Jantung Gereja adalah mengenai hasrat Yesus untuk
menarik umat-Nya bersama-sama sebagai satu tubuh. Bersama dengan semua umat Allah, kita
adalah sebuah keluarga, bukannya individu-individu yang menghayati kehidupan yang terisolasi
satu sama lain. 

Apabila kita memahami bahwa kita adalah bagian dari Tubuh ini, maka hal ini berarti kita
mengakui bahwa kita tidak berbeda dari orang-orang lain. Santo Paulus berani menjuluki dirinya
sendiri sebagai “orang yang paling berdosa” [lihat 1Tim 1:15], karena dia tahu benar bahwa
dirinya membutuhkan pengampunan seperti halnya dengan orang-orang lain. Pada zaman
modern ini, ketika kita mengetahui bahwa Bapak Suci melakukan pertobatan untuk dosa-dosa
zaman lampau yang mencakup suatu kurun waktu sekitar dua milenia, maka kita masing-masing
pun perlu menyadari bahwa tanpa rahmat Allah, kita pun berkemampuan sama untuk berdosa
seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Latar belakang ras dan suku yang
berbeda-beda, latar-belakang pendidikan yang berbeda dan status sosial yang berbeda,
samasekali tidak boleh mengkotak-kotakkan atau memecah-belah umat Allah. Kita semua satu
dalam baptisan [1Kor 12:13].  Seorang nara pidana di belakang jeruji besi tidak kurang vitalnya
daripada seorang uskup yang paling berpengaruh karena semua adalah anggota-anggota dari
tubuh yang satu. 

Catatan Penutup 

Cerita-cerita yang menyangkut Ezra, Nehemia dan Daniel menunjukkan kepada kita, bahwa kita
semua – baik awam, imam maupun para religius lainnya – dipanggil untuk bertobat atas dosa-
dosa kita dan dosa-dosa semua umat beriman. Tiga orang Yahudi ini melakukan pertobatan
untuk bangsanya, Israel. Gereja adalah Israel yang baru. Sebagai anggota Gereja, kita pun patut
melakukan pertobatan untuk seluruh Gereja, tidak hanya untuk diri kita sendiri. Dengan
demikian, dalam menjalani hidup pertobatannya seorang Fransiskan  atau Kristiani pada
umumnya – baik awam atau pun religius – tidak pernah boleh sibuk dengan pertobatan dirinya
saja agar menjadi suci-suci sendiri. Ia harus selalu melakukan juga pertobatan untuk Gereja
secara keseluruhan dalam arti yang luas. Misalnya, kalau dia adalah seorang Fransiskan sekular
yang hidup berkeluarga, maka keluarganya adalah sebuah gereja domestik (ecclesia domestica);
persaudaraan OFS lokalnya juga merupakan sebuah komunitas basis yang adalah Gereja;
lingkungan/kring di mana dia menjadi anggota adalah sebuah komunitas basis (yang bersifat
teritorial) yang adalah Gereja; dan parokinya adalah sebuah Gereja juga. Komunitasnya yang
terdiri dari orang-orang dari berbagai perusahaan yang berlainan (namun yang letaknya
berdekatan, misalnya dalam bangunan gedung yang sama) dan bertemu untuk kebaktian-doa
bersama pada setiap hari Jumat siang di lokasi tertentu juga adalah sebuah komunitas basis (yang
bersifat kategorial) yang adalah sebuah Gereja, dan seterusnya. Dalam tulisan ini telah diberikan
contoh-contoh nyata dari beberapa tokoh dalam Kitab Suci dan almarhum Paus Yohanes Paulus
II. Semua itu baik untuk ditiru oleh kita semua. 

Seperti Paus Yohanes Paulus II yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk melakukan pertobatan
atas dosa-dosa Gereja di masa lampau, maka kita sebagai umat Allah (Gereja) sekarang juga
dipanggil untuk meneladan pemimpin Gereja yang hebat ini. Kita juga perlu memohon kepada
Roh Kudus untuk menunjukkan kepada kita kebutuhan-kebutuhan akan pertobatan – tidak hanya
atas dosa-dosa kita sendiri, namun juga atas dosa-dosa umat Allah secara keseluruhan. Dengan
demikian, kita perlu memohon kepada Roh Kudus agar menunjukkan kepada kita segala
kebutuhan kita untuk bertobat – tidak hanya dosa-dosa kita sendiri, melainkan juga dosa-dosa
umat Allah (Gereja) secara keseluruhan. Allah telah menjanjikan kepada kita bahwa apabila “…
umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu
berbalik dari jalan-halannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari surga dan mengampuni
dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka” [2Taw 7:14]. 

Selamat mengikuti jejak Kristus kepada Saudara-saudari sekalian! 

Anda mungkin juga menyukai