Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

Kegiatan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa


suatu tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha
tanpa adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha
lainnya. Jadi, maksud kegiatan ini adalah merupakan suatu usaha, aktivitas tindakan
atau perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan tanpa
melibatkan pelaku usaha lainnya.

Sebagaimana dalam “perjanjian yang dilarang” maka dalam “kegiatan yang


dilarang” diatur dalam bab tersendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai Pasal
24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berikut bentuk-bentuk kegiatan yang
dilarang dilakukan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
yaitu:

a. Kegiatan yang bersifat monopoli (Pasal 17);


b. Kegiatan yang bersifat monopsoni (Pasal 18);
c. Kegiatan yang bersifat penguasaan pasar (Pasal 19);
d. Kegiatan jual rugi/ jual murah (dumping) (Pasal 20);
e. Kegiatan penetapan biaya produksi secara curang (manipulasi biaya)
(Pasal 21);
f. Kegiatan persekongkolan (Pasal 22 sampai dengan Pasal 24).

A. Monopoli
1) Pengertian
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengertian monopoli yaitu:
“penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.”1
Selain dari definisi monopoli dalam undang-undang juga diberikan
pengertian praktik monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu “pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatakan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”2
Berdasarkan pengertian tersebut, unsur-unsur dari praktik monopoli
dalam konteks hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999, yaitu:3
a. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha;
b. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut mengakibatkan terjadinya
penguasaan produksi dan/atau pemasaran atas produk tertentu;
c. Terjadinya persaigan usaha tidak sehat;
d. Perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan umum.

Selanjutnya yang dimaksud dengan “pemusatan kekuatan ekonomi


adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau
lebih pelaku usaha sehingga dapat menetukan harga barang dan atau jasa”;
dan “persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha”.4

Selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya


persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak dapat dikatakan telah terjadi
1
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Hal. 68.
2
Gunawan Wijaya. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Hal. 17.
3
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 373.
4
Gunawan Wijaya. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Hal. 18.
suatu praktik monopoli, yang melanggar produk atau bertentangan dengan
Undang-Undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara nyata-nyata telah
terjadi (penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa
tertentu). Jadi, monopoli itu tidak dilarang, yang dilarang adalah praktik
monopolinya serta persaingan usaha yang tidak sehat.

Salah satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan
dari kekuatan ekonomi adalah telah terjadinya penguasaan nyata dari suatu
pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atau jasa yang diperdagangkan
tidak lagi mengikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan,
melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku eonomi yang
menguasai pasar tersebut.

2) Dasar hukum larangan praktik monopoli


Pengaturan larangan praktik monopoli terdapat dalam ketentuan Pasal 17
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:5
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila :
a) barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;
atau
b) mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
c) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.

5
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 370.
3) Pasal yang terkait dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999
Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yang terkait dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:6
a. Pasal 19
Dikarenakan Pasal 19 menjelaskan bentuk-bentuk praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagai akibat dari penguasaan
pasar. Pasal 17 tidaklah melarang penguasaan pasar yang dilakukan oleh
sebuah perusahaan kecuali mengakibatkan praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat, yang dapat dijabarkan melalui Pasal 19,
yaitu:
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:7
a) menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu; atau
c) membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar bersangkutan; atau
d) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

b. Pasal 20
Keterkaitan Pasal 17 dengan Pasal 20 dikarenakan perilaku jual beli
dengan harga yang sangat rendah (jual rugi) merupakan salah satu bentuk

6
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 378-
379.
7
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 387.
dari praktek monopoli untuk mengurangi atau meniadakan tekanan
persaingan. Bunyi pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu: “Pelaku usaha
dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
c. Pasal 25
Berdasarkan isi Pasal 17 ayat (2) huruf c, posisi monopoli tidak berarti
perusahaan merupakan satu-satunya pelaku usaha di pasar bersangkutan.
Posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha juga merupakan bentuk lain
dari pengertian posisi monopoli. Sehingga pengaturan Pasal 17 akan
terkait dengan pengaturan Pasal 25 tentang Posisi Dominan. Aspek
penguasaan pasar sebagai prasyarat untuk mengontrol tingkah laku dari
pelaku usaha yang berkuasa dalam pasar berperan penting dalam
sejumlah peraturan hukum antimonopoli.
4) Dampak Negatif
Dalam literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek
negative yang merugikan antara lain:8
a. Terjadi peningkatan haraga suatu produk sebagai akibat tidak adanya
kompetisi dan persaingan yang bebas. Harga yang tinggi ini pada
gilirannya akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas;
b. Adanya keuntungan di atas kewajaran yang normal. Pelaku usaha akan
seenaknya menetapkan harga untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa
membeli produk tersebut;
c. Terjadi eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih
konsumen atas produk. Konsumen akan seenaknya menetapkan kualitas

8
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 380-
381.
suatu produk tanpa dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Eksploitasi ini juga akan menimpa karyawan dan buruh yang bekerja
pada produsen tersebut dengan menetapkan gaji dan upah yang
sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku;
d. Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang dibebankan
kepada konsumen dalam rangka menghasilkan suatu produk, karena
perusahaan meonopoli cenderung tidak beroperasi pada averafe cost
yang minimum;
e. Adanya entry barrier di mana perusahaan lain tidak dapat masuk ke
dalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, karena penguasaan
pangsa pasarnya yang besar. Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi
kesempatan untuk tumbuh berkembang dan akan menemui ajalnya satu
persatu.
f. Pendapatan menjadi tidak merata, karena sumber dana dan modal akan
tersedor ke dalam perusahaan monopoli. Masyarakat banyak harus
berbagi dengan banyak orang bagian yang sangat kecil, sementara
perusahaan monopoli dengan sedikit orang akan menikmati bagian yang
lebih besar.
5) Pengecualian Monopoli
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang monopoli secara rule of
reason, bahwa monopoli akan dilarang jika monopoli tersebut merusak
persaingan usaha secara signifikan dan dengan pertimbangan monopoli
tersebut nantinya akan mengakibatkan praktik monopoli.
Namun, dalam ketentuan Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang
Dasar 1945, memberikan dasar filosofis dan hukum kemungkinan monopoli
atas “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak” serta “penguasaan bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya oleh negara”. Dengan kata lain monopoly by
law dimungkinkan dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945
tersebut.
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang-
Undang Dasar 1945, negara dapat memberikan hak-hak eksklusif kepada
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di sektor yang termasuk dalam
pengertian “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak” tersebut. Namun hal itu jangan
dijadikan sandaran dalam pengambilan kebijakan yang dipersalahgunakan
negara untuk menindas rakyat banyak dan menyerahkan tumpuk produksi
yang penting kepada “tangan” orang perseorangan atau swasta.
Ketentuan dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945,
dalam konteks hukum persaingan usaha dapat dijumpai dalam Pasal 51
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa monopoli dan atau pemusatan
kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau
lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.9
6) Larangan Monopoli dalam Hukum Islam
Secara etimologi, monopoli yaitu menghimpun dan menahan. Sedangkan
menurut mazhab Hambali, monopoli yaitu membeli bahan makanan untuk
diperdagangkan dan ditimbun agar supaya langka dan harganya meningkat,
untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Menurut Qaradhawi, yang
dimaksud dengan monopoli yaitu menahan barang untuk tidak beredar di
pasar supaya naik harganya. Menurut Imam Al-Ghazali (Madzab Syafi’i)
monopoli atau ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual
makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika
harga melonjak. Ulama madzab Maliki mendefinisikan ihtikar adalah
penyimpanan barang oleh produsen baik, makanan, pakaian, dan segala
barang yang merusak pasar. Dari beberapa pandangan di atas, maka secara

9
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 390-
391.
umum dapat dipahami, monopoli dalam pandangan Islam yaitu menimbun
barang atau bahan pokok atau komoditi apapun yang dihajatkan masyarakat
agar menjadikan harganya melambung naik karena ada motif ekonomi untuk
mencari keuntungan setinggi mungkin.10
Dalam Islam, keberadaan satu penjual di pasar atau tidak adanya pesaing
bukanlah suatu hal yang terlarang. Siapa pun boleh berdagang tanpa peduli
apakah dia satu-satunya penjual atau ada penjual lain. Jadi monopoli dalam
arti harfiah, boleh-boleh saja, akan tetapi, siapapun dia tidak boleh
melakukan ikhtikar (pengambilan keuntungan di atas keuntungan normal
dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi).11
Dasar hukum larangan monopoli bahwa ada yang berpendapat haram
secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh
sabda Nabi SAW:

‫َم ِن احْ تَ َك َر فَهُ َو َخا ِط ٌئ‬

“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim 1605)

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila


memenuhi tiga kriteria:

a) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga


untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang
untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan
Rasulullah SAW.
b) Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya
membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru
dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c) Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti
pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di
10
Muh. Barid Nizarudin Wajni. Monopoli Dagang dalam Kajian Fiqih Islam. At-Tahdzib: Jurnal Studi
Islam dan Muamalah, vol. 2 no. 2, 2016. Hal. 3.
11
Adiarman Karim. Ekonomi Islam Mikro. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Hal. 174.
tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok
kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk
menimbun.12

Berkenaan dengan definisi monopoli, ada perbedaan pendapat di antara


empat mahzab pemikiran hukum islam. Mahzab Maliki mendefinisikan
monopoli sebagai perilaku menimbun barang untuk meraih keuntungan
ketika harga naik, tetapi menimbun pangan tidaklah termasuk didalamnya.
Menurut mahzab Hanafi, monopoli adalah tindakan membeli pangan dari
pasar atau tetangga dan menahannya selama 40 hari untuk menunggu harga
naik. Mahzab Syafi’i berpendapat monopoli merupakan membeli makanan
ketika masyarakat membutuhkan dan menjualnya kembali dengan harga
yang lebih tinggi. Terakhir, mahzab Hambali menyatakan monopoli sebagai
pembelian barang yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga berakibat
kerugian kepada pembeli lain atau masyarakat. Dari pendapat keempat
mahzab pemikiran hukum Islam diatas, Al-Robi mengarahkan perhatian
terhadap tiga elemen utama:13

1) sifat monopoli dapat diindikasikan dari tujuan dan akibat dari perilaku
tersebut;
2) barang tersebut dibutuhkan masyarakat, sehingga ketiadaan pilihan,
baik kualitas maupun harga,mengakibatkan kerugian kepada
masyarakat itu; dan
3) tujuan monopoli adalah untuk membeli barang dari pasar dan
menahannya sehingga menciptakan kelangkaan.

B. Monopsoni
1) Pengertian

12
Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Hal. 58.
13
Muh. Barid Nizarudin Wajni. Monopoli Dagang dalam Kajian Fiqih Islam. At-Tahdzib: Jurnal Studi
Islam dan Muamalah, vol. 2 no. 2, 2016. Hal. 13-14.
Kegiatan monopsoni merupakan kegiatan yang dilarang untuk
dilakukan pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Monopsoni adalah situasi pasar dimana yang menguasasi pangsa pasar yang
besar hanyalah satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha yang
bertindak sebagai pembeli tunggal, sedangkan pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha yang bertindak sebagai penjualnya banyak. Jadi, monopsoni
dimaksudkan sebagai seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai
pasar-pasar yang besar untuk membeli suatu produk.
2) Dasar hukum larangan kegiatan monopsoni
Dasar larangan kegiatan monopsoni ini dinyatakan dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:14
1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana diamksud dalam
ayat 1, apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar saru jenis barang atau jasa
tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa beberapa perbuatan ini dapat dikatakan


melakukan tindakan monopsoni apabila kegiatan usaha hanya dilakukan oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai
pembeli tunggal; lalu menguasai pasar sebesar 50% pangsa pasar pada satu
jenis barang atau jasa tertentu; sehingga kegiatan tersebut mengakibatkan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

3) Dampak negatif
a. Para penjual mendapatkan keuntungan yang tidak banyak.

14
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004. Hal. 73.
Karena satu pembeli tersebut mengambil keuntungan yang banyak,
sehingga para penjual mengambil dengan harga murah, dan juga para
penjual harus mau menerima apapun keputusan dari sang pembeli karena
hanya pihak tersebut satu-satunya yang mampu dan mau membeli hasil
produk mereka.
b. Pendapatan tidak merata
Karena pihak penjual tidak bias berbuat banyak, tidak bias menuntut
kepada pembeli untuk produknya dibeli dengan harga mahal karena
memang sulit mencari pembeli yang mau membeli hasil produksinya.
Dengan hal tersebut jelas bahwa pendapatan dalam pasar monopsoni
berat sebelah, karena memang para penjual hanya berpangku tangan pada
pembeli yang berkuasa tersebut, yang bisa memiliki kenaikan pendapatan
adalah pembeli tersebut.
c. Sering terjadi perselisihan
Dalam pasar monopsoni sering terjadi perselihan antara pembeli dan
penjual, hal ini terjadi ketika harga yang ditetapkan oleh pembeli tidak
sesuai dengan harapan penjual, maka di sini sering terjadi sebuah
permasalahan antara keduanya. Hal ini terjadi juga karena kegelisahan
penjual yang harus memutar otak lebih keras dengan harga bahan dasar
selalu naik namun harga kadang tidak sesuai dengan harapan sang
penjual. Bukan hanya itu ternyata peran orang ketiga sangat dibutuhkan
dalam masalah ini, di pasar monopsoni ini bisa terjadi perselisihan karena
tidak adanya pihak ketiga seperti layaknya pemerintah yang mampu
mengatur penentuan harga hasil produksi agar sama-sama
menguntungkan, namun kita tahu sendiri dalam pasar monopsoni tidak
ada pihak lain selain penjual dan pembeli yang berkuasa jadi potensi
timbulnya perselisihan begitu besar.
4) Pengecualian kegiatan monopsoni
Namun, tidak semua monopsoni dilarang oleh undang-undang.
Misalnya, kondisi yang terjadi bila di satu daerah hanya terdapat sebuah
pabrik pengolahan rotan milik pabrik mebel yang berbahan baku rotan dan di
sekitarnya terdapat penduduk yang menanam rotan, sehingga pabrik tersebut
penerima pasokan atau sebagai pembeli tunggal hasil perkenunan rakyat.
Kondisi seperti ini tidak dilarang, karena memang tidak ada persaingan yang
terjadi di daerah tersebut. Jika dicermati, maka pemilik pabrik mebel tersebut
merupakan seorang monopsonis (pembeli tunggal) dan berpotensi
menimbulkan monopoli. Akan tetapi yang dilakukan oleh seorang
monopsonis tadi bukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan
dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, karena apa yang telah
dilakukannya merupakan bentuk/jenis monopoli alamiah dan tidak
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.15

DAFTAR PUSTAKA

Adiarman Karim. Ekonomi Islam Mikro. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

15
Rachmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal. 404.
Muh. Barid Nizarudin Wajni. Monopoli Dagang dalam Kajian Fiqih Islam. At-
Tahdzib: Jurnal Studi Islam dan Muamalah, vol. 2 no. 2, 2016.

Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2004.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,


2013.

Wijaya, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2002.

Anda mungkin juga menyukai