Anda di halaman 1dari 21

Jurnal Phronesis

Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun

Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati


Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

ABSTRACT

Every person always experiences life changes. Positive or negative life


changes cause stress. Retirement represents one of life changes which can
cause stress. Stress is an organism’s physiological and psychological
responses that can cause unpleasant situation and make mental and emotional
dysfunction. Resilient people are more likely to see changes as opportunity to
grow rather than as stressors. Resiliency is the ability to bounce back quickly
from misfortune and successfully adapt in a smart way to adverse with more
power. This quantitative research represents a non-exsperimental method
using questionnaires with Likert scale as the instrument to find correlation
between resiliency and stress in the preparatory phase of retirement. There
were 32 participants (male & female) from various tribes and religions.
Result indicates that there is no correlation between resiliency and stress.

Keywords: stress, retirement/pension, resiliency

Data statistik kesejahteraan rakyat menunjukkan bahwa persentase jumlah


penduduk Indonesia berusia 50 tahun ke atas pada tahun 2003 adalah 15,03%
(Menjadi tua namun tetap sehat, 2004). Menurut perkiraan dari United State Bureau
of Census 1993, populasi usia lanjut di Indonesia diproyeksikan antara tahun 1990-
2023 akan naik 414%, suatu angka tertinggi di seluruh dunia, dan pada tahun 2020
Indonesia akan berada pada urutan keempat dalam jumlah usia lanjut paling banyak
sesudah Cina, India dan Amerika serikat (Pedoman pembinaan kesehatan jiwa usia
lanjut bagi petugas kesehatan, 2003). Pada tahun 1991, ada sekitar 3,5 juta orang
lanjut usia atau 1/8 jumlah penduduk memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan
(Turner & Helms, 1995). Usia 50 tahun ke atas khusus usia 56 tahun merupakan batas
usia pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pensiun adalah satu dari sekian banyak peristiwa yang dialami seseorang
dalam hidupnya (Greenberg, 1996). Masa pensiun juga merupakan salah satu tonggak
sejarah dalam rentang kehidupan seorang manusia. Delvin (2001) menyebutkan

50
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

bahwa dalam banyak kasus pensiun tidak perlu lagi mencemaskan perihal pekerjaan
namun banyak pensiunan yang menderita stres.
Masalahnya, masa pensiun seringkali dianggap sebagai masa yang mengerikan
karena di masa itu orang dianggap kehilangan pekerjaan, kedudukan, teman-teman,
kehormatan bahkan harga diri. Tidak heran jika banyak yang merasa stres ketika
mendekati masa pensiun. Terutama bagi mereka yang sebelumnya sibuk dan aktif.
Pada saat pensiun datang, dunia seakan tidak bersahabat lagi (Tri, 2002).
Seseorang yang memasuki masa pensiun itu akan mengalami stres atau tidak
tentunya tergantung pada banyak faktor, seperti kesehatan ketika memasuki masa
pensiun, kondisi finansial, dan faktor-faktor psikologis yang terkait dengan masa
pensiun seperti, makna kerja, cara menyikapi masa pensiun atau arti masa pensiun dan
kesiapan membuat perencanaan menghadapi masa pensiun (Lubis, 2002).
Dalam hidup manusia mengalami perubahan yang besar, sekalipun hal itu
positif namun tetap dapat menyebabkan stres. Dari penelitian di USA ditemukan
bahwa stres pensiun mendapat skor 45 pada skala 10–100 (Lubis, 2002). Hal-hal yang
dapat membuat pensiun merasa stres termasuk adanya perubahan: (a) pendapatan dan
status keuangan, (b) rutinitas sehari-hari, (c) perkawinan atau persahabatan dan
hubungan keluarga yang lain, (d) identitas dan peran, dan (e) kesehatan. Tetapi
mempunyai rencana menyiapkan diri untuk pensiun dapat membebaskan perasaan
stres dan membantu bersiap-siap untuk menikmati suatu langkah baru di dalam hidup
(Retiring? Don't worry, be happy, 2004).
Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan
sehingga menjelang tiba masanya sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak
mengetahui kehidupan seperti apa yang akan dihadapi nantinya (Rini, 2001). Dalam
era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor penting yang
dapat mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan dan memperkuat harga diri).
Oleh karenanya, sering terjadi orang yang pensiun bukannya menikmati masa tua
dengan hidup santai, sebaliknya ada yang mengalami masalah serius baik kejiwaan
atau pun fisik (Rini, 2001). Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lanjut usia
dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering
diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan,
kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Kuntjoro, 2002).

51
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Orang yang mengalami masalah saat pensiun biasanya adalah mereka yang
pada dasarnya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang
negatif dan perasaan kurang percaya diri terutama berkaitan dengan kompetensi diri
dan keuangan/ penghasilan (Rini, 2001). Pada saat pensiun, mereka merasa
kehilangan harga diri dan ditambah kesepian karena tidak mempunyai teman.
Kesepian akan menimbulkan depresi yang menurunkan daya tahan tubuh (Menjadi
tua namun tetap sehat, 2004). Penyakit-penyakit degeneratif mulai menampakkan diri
pada usia ini. Beberapa peneliti menemukan bahwa kesehatan mental dan fisik
merupakan prekondisi yang mendukung keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap
perubahan hidup yang disebabkan oleh pensiun (Pedoman pembinaan kesehatan jiwa
usia lanjut bagi petugas kesehatan, 2003).
Masalah-masalah kesehatan, sosial dan ekonomi, sendiri-sendiri atau bersama-
sama secara kumulatif dapat berdampak negatif secara psikologis. Hal-hal tersebut
dapat menjadi stresor, yang bila tidak dicerna dengan baik akan menimbulkan
masalah atau menimbulkan stres dalam berbagai manifestasinya (Pedoman pembinaan
kesehatan jiwa usia lanjut bagi petugas kesehatan, 2003).
Peristiwa yang membuat stres pada waktu yang berbeda dalam hidup memiliki
arti yang berbeda. Stresor apa yang dihadapi, seberapa berat, dan berapa lama hal
tersebut berpengaruh. Seberapa baik individu dan keluarga dapat mengatasi dampak
dari stres juga bergantung pada sumber daya yang dimiliki seperti: pelajaran yang
diambil dari pengalaman masa lalu; hubungan anggota keluarga satu sama lain;
dukungan dari rekan, teman dan masyarakat; sumber daya keuangan dan kemampuan
(Jolly, 1996).
Kemampuan untuk tumbuh kembali dan keberhasilan beradaptasi dari hal
yang tidak menyenangkan (dalam hal ini stres) penting dimiliki individu pada masa
persiapan pensiun, karena pada masa-masa ini banyak hal yang dapat menyebabkan
stres. Stresor yang akan dialami dapat berupa gejala fisik seperti mudah sakit-sakitan,
emosi yang gampang sekali marah, perilaku murung maupun hubungan yang semakin
renggang dengan orang lain yang disebabkan karena status pensiunan menyebabkan
hilangnya rasa hormat orang lain, hilangnya sikap respek dan bersahabat, atau
mungkin karena pola pemikiran yang terbentuk dalam dirinya bahwa pensiunan
nantinya tidak lagi dihormati.

52
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

Kemampuan tersebut di atas disebut resiliensi, yaitu kemampuan untuk


tumbuh kembali dan keberhasilan beradaptasi dari hal yang tidak menyenangkan
(Resiliency in action, 2002), atau kemampuan untuk memantulkan kembali ke tingkat
pre-stres (Andrews, Arbuthnott, Ast, Carlson, Ferner, Dodds, Gibson, Grewcock,
Léonard, Sippola, Thompson, & Wildfong, 2002). Resilience sangat penting karena
ini adalah kekuatan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi kuat atau
bahkan mengubah bentuk kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1995).
Penelitian memperlihatkan bahwa bagaimana seseorang menginterpretasikan
dan merespon stresor secara signifikan berhubungan dengan seberapa banyak stres
yang akan mereka rasakan. Kobasa dalam Reivich & Shatte (2002) menyebutkan
adanya tiga faktor utama yang membedakan antara orang-orang yang resilien terhadap
stres dengan orang-orang yang lebih rapuh. Ketiga faktor tersebut adalah control,
commitment dan challenge. Orang-orang yang resilien lebih melihat suatu perubahan
dalam hal ini pensiun sebagai suatu tantangan (challenge) atau kesempatan untuk
berkembang dibanding sebagai suatu stresor.
Setiap orang dilahirkan dengan potensi untuk dapat mengembangkan
resiliensi. Resiliensi terdiri dari beberapa lima tingkat yang harus dilalui agar dapat
terhindar dari stres (Resiliency in action, 2002). Semakin tinggi tingkat resiliensi yang
dilalui maka semakin tinggi kemampuan seseorang untuk dapat terhindar dari stres.
Lima tingkat dari resiliensi tersebut adalah: (1) menjaga kestabilan emosi, kesehatan
dan kesejahteraan, ini penting untuk menjaga kesehatan dan tenaga, (2) fokus keluar:
kemampuan pemecahan masalah yang baik, (3) fokus ke dalam diri pada akar
resiliensi – self-esteem yang kuat, self-confidence, dan self-concept yang positif, (4)
kemampuan mengembangkan resiliensi dengan baik, dan (5) bakat untuk
mencerahkan atau kemampuan untuk mengubah ketidakberuntungan menjadi
keberuntungan (Siebert, 1996). Namun tidak semua orang mampu melewati tingkat-
tingkat tersebut, dan tidak semua orang harus melewati tingkat-tingkat tersebut
seluruhnya. Ada kalanya dari tingkat yang ada individu hanya memerlukan beberapa
tingkat saja untuk mengatasi stresnya.
Dalam mengatasi kemalangan, manusia mengambil dari tiga sumber resiliensi
yang kemudian diberi nama, “I HAVE” (saya memiliki), “I AM” (saya adalah) dan “I
CAN” (saya dapat) (Grotberg, 1995). Faktor “I HAVE” adalah dukungan eksternal

53
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

dan sumber-sumber yang dapat meningkatkan resilience, seseorang membutuhkan


dukungan eksternal dan sumber-sumber untuk mengembangkan perasaan selamat dan
aman.
Sumber kedua adalah faktor “I AM”. Ini adalah faktor internal seseorang yang
merupakan kekuatan pribadi. Hal ini antara lain perasaan, sikap dan kayakinan di
dalam diri. Sumber ketiga yaitu faktor “I CAN”. Faktor ini adalah kemampuan sosial
dan interpersonal manusia. Individu belajar kemampuan ini dengan berinteraksi
dengan orang lain dan dari orang-orang yang mengajarkan mereka.
Bila dilihat pada tahap-tahap perkembangan, masa pensiun berada pada tahap
dewasa madya, yang memiliki rentang usia antara 40 (empat puluh) sampai 65 (enam
puluh lima). Pada tahap perkembangan ini individu memiliki dorongan untuk
memelihara perkembangan generasi selanjutnya, menjadi penuntun dan penasehat
dewasa muda. Beberapa stagnasi dapat menjadi pelengkap keseluruhan yang
menuntun pada kreativitas masa depan yang baik, namun bila terlalu banyak stagnasi
dapat membuat kecacatan baik fisik maupun psikis (Papalia, Olds, & Feldman,
1998).

Pengertian Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dan keberhasilan
beradaptasi dari hal yang tidak menyenangkan. Suatu badan penelitian bidang
psikologi, psikiater dan sosial menunjukkan bahwa hampir semua individu – termasuk
anak muda – dapat bangkit kembali dari sesuatu yang beresiko, stres, krisis, dan
trauma. Dengan kata lain resiliensi adalah “bangkit kembali dari masalah dan hal-hal
lain dengan lebih kuat dan lebih pandai” (Resiliency in action, 2002).
Resiliensi juga berarti kemampuan untuk sembuh dengan cepat dari
ketidakberuntungan; kemampuan untuk kembali pada keadaan semula setelah
menyerah, tertekan, atau penegangan bentuk, kemampuan manusia untuk sembuh
dengan cepat dari perubahan yang merusak, sakit, atau ketidakberuntungan tanpa
meliputi atau bertingkah disfungsional (Siebert, 1996b).
Benard dalam Hamzah dan Kassim (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai
penguraian perilaku seseorang yang mampu melewati sesuatu dengan sukses dari
resiko kegagalan yang dihadapi. Kekuatan yang dimiliki dapat membantu seseorang

54
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

untuk melepaskan diri dari resiko-resiko tersebut sehingga terlepas dari kesan-kesan
negatif seperti menjadi jahat, masalah psikologis, patologis, komplikasi fisik dan
kesulitan akademik, atau adaptasi baik yang tidak biasa untuk stres berat atau kronis,
atau kemampuan untuk memantulkan kembali ke level pre-stres (Andrews et al.,
2002).
Dari pengertian para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan untuk bangkit kembali, sembuh dengan cepat dari perubahan yang
merusak, sakit, atau ketidakberuntungan dan keberhasilan beradaptasi dari hal yang
tidak menyenangkan seperti sesuatu yang beresiko, stres, krisis, trauma, dan hal-hal
lain dengan lebih kuat dan lebih pandai.

Sumber-Sumber Resiliensi
Dalam mengatasi kemalangan manusia mengambil tiga sumber dari resiliensi
yang kemudian diberi nama, “I HAVE” (saya memiliki), “I AM” (saya adalah) dan “I
CAN” (saya dapat) (Grotberg, 1995). Seseorang yang hanya memiliki satu sumber
saja tidak dapat menjadi resilien karena resilien dihasilkan dari kombinasi ketiga
sumber ini, Faktor “I HAVE” adalah dukungan eksternal dan sumber-sumber yang
dapat meningkatkan resilience, seseorang membutuhkan dukungan eksternal dan
sumber-sumber tersebut untuk mengembangkan perasaan selamat dan aman. Sumber-
sumber tersebut adalah, orang-orang di sekeliling yang dipercaya dan dicintai apapun
yang terjadi, orang-orang yang dapat memberikan batasan sehingga tahu kapan harus
berhenti sebelum mendapatkan bahaya atau masalah, orang-orang yang menunjukkan
bagaimana melakukan sesuatu dengan benar seperti apa yang mereka melakukan,
orang-orang yang menginginkan seseorang belajar dengan cara mereka sendiri dan
orang-orang yang membantu disaat sakit, dalam bahaya dan saat butuh bimbingan.
Sumber kedua adalah faktor “I AM” sebagai kekuatan pribadi. Hal ini antara
lain perasaan, sikap dan keyakinan di dalam diri. Sumber-sumber ini adalah: menjadi
diri yang dapat menyukai dan mencintai, senang melakukan hal-hal yang baik untuk
orang lain dan memperlihatkan perhatian, menghargai diri sendiri dan orang lain, mau
bertanggungjawab pada semua yang dilakukan, dan memiliki keyakinan bahwa semua
hal akan baik-baik saja.

55
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Sumber ketiga yaitu faktor “I CAN”. Faktor ini adalah kemampuan sosial dan
interpersonal manusia. Individu belajar kemampuan ini dengan berinteraksi dengan
orang lain dan dari orang-orang yang mengajarkan mereka. Sumber-sumber tersebut
adalah: bicara pada orang lain tentang hal-hal yang membuat takut dan menggangu,
menemukan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi, mengendalikan diri
sendiri disaat merasa telah melakukan sesuatu yang tidak baik atau berbahaya,
mencari tahu kapan waktu yang baik untuk berbicara dengan orang lain atau
melakukan sesuatu dan menemukan seseorang yang dapat membantu saat dibutuhkan.

Unsur-Unsur Resiliensi
Benard dalam Hamzah dan Kassim (2002) menyebutkan bahwa penelitian
psikologis menunjukkan unsur-unsur resiliensi yang terdiri dari: (1) keterampilan
kecakapan sosial seperti kemampuan berkomunikasi, meniru perilaku positif orang
lain, dan penyesuaian diri; (2) kemampuan menyelesaikan masalah seperti pemikiran
yang kritis dan pemikiran yang kreatif; (3) kesadaran kritikal (critical consciousness)
yaitu kemampuan untuk mengenali stres yang dihadapi dan dapat mencari strategi
yang sesuai untuk memecahkannya, penelitian memperlihatkan bahwa problem-
focused coping membuat orang lebih resiliensi dibanding emotion-focused coping
(Siebert, 1996a); (4) sifat-sifat otonomi seperti bebas (independent), jati diri dan
kemampuan diri dan (5) sense of purpose (berwawasan, cekatan dan memiliki
motivasi terhadap tujuan).

Pengertian Stres
Malim dan Birch (1998) mendefinisikan stres sebagai situasi fisik maupun
psikis yang tidak menyenangkan yang menghasilkan respon terhadap sumber stres
tersebut. Tokoh lain menyebutkan bahwa stres adalah respon suatu organisme baik
secara fisik maupun psikis terhadap tuntutan yang dibuat (Papalia, Olds, & Feldman,
1998). Greenberg (1996) mendefinisikan stres sebagai perpaduan antara stressor dan
stress reactivity. Stresor adalah stimulus yang berpotensi memancing respon untuk
fight-or-flight, sedangkan stress reactivity adalah respon terhadap fight-or-flight itu
sendiri. Stres adalah respon kita terhadap tuntutan yang kita inginkan (Jolly, 1996).

56
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

Selain itu Ali (1994) mendefinisikan stres sebagai gangguan atau kekacauan
mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar seperti ketegangan. Tokoh
lain (Delvin, 2001) mendefinisikan stres sebagai suatu kelebihan beban dalam otak
manusia, kelebihan beban karena terlalu banyak tuntutan, terlalu merasa cemas,
seringnya mengalami, atau pekerjaan yang menumpuk.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon suatu
organisme baik secara fisik maupun psikis terhadap tuntutan yang dibuat sehingga
menghasilkan situasi tidak menyenangkan yang menyebabkan terjadinya gangguan
atau kekacauan mental dan emosional.

Sumber Stres
Hampir sepanjang waktu, masalah-masalah yang dialami sehari-hari dapat
menimbulkan stres. Bagaimana seseorang bereaksi terhadap stres adalah suatu yang
penting untuk menjadi seorang yang pintar dalam pengatur stres. Stres pada umumnya
datang dari tiga wilayah yaitu, lingkungan, tubuh dan proses berpikir (Manage stress
– before stress manages you, 2004).
Lingkungan memiliki sejumlah sumber stres, seperti: suara bising, keramaian,
waktu yang dihasilkan dari hubungan di rumah dan tempat kerja, polusi, dan ancaman
terhadap kesejahteraan/ kesehatan dan keselamatan. Selain itu perubahan dalam tubuh
dapat memicu suatu respon terhadap stres. Perubahan ini termasuk perubahan
fisiologis yang terjadi di masa pertumbuhan hingga remaja, perubahan menopouse
pada wanita, penuaan, kecelakaan dan macam-macam penyakit serius, kurang
olahraga, kekurangan nutrisi serta kurang tidur yang kronis.
Lalu proses berpikir dapat juga menjadi sumber stres yang juga harus
dipertimbangkan. Para ahli memperkirakan bahwa orang dapat menemukan pemikiran
untuk 200 kata-kata per menit. Otak menginterpretasikan "self talk" tentang
perubahan di dalam lingkungan dan untuk menentukan ya atau tidaknya untuk
menekan "tombol panik". Bagaimana cara menginterpretasikannya, merasa atau
memberi label suatu peristiwa yang berlangsung di dalam lingkungan atau "self talk"
lah yang akan menentukan apakah persepsi ini merupakan hal yang dapat di atasi
atau bertindak sebagai sumber stres. Banyak orang tidak memerlukan banyak waktu
untuk mengevaluasi "self talk" pada diri mereka atau persepsi mereka dari dunia luar.

57
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Hal-hal yang dapat membuat masa pensiun dirasakan sebagai masa yang
membuat stres termasuk adanya perubahan, adalah: (a) pendapatan dan status
keuangan, (b) rutinitas sehari-hari, (c) perkawinan atau persahabatan dan hubungan
keluarga yang lain, (d) identitas dan peran, dan (e) kesehatan. Tetapi mempunyai
rencana menyiapkan diri untuk pensiun dapat membebaskan perasaan stres dan
membantu bersiap-siap untuk menikmati suatu langkah baru di dalam hidup
(Retiring? Don't Worry, Be Happy, 2004).

Gejala-gejala Stres
Banyak stresor dalam hidup yang berlanjut dalam waktu yang lama. Hal
tersebut tidak selalu dapat diubah, bahkan sesekali tidak disadari sebagai sumber
stres. Gejala fisik dan emosi, berubah dalam perilaku seseorang atau berubah dalam
kesehatan mental seseorang, perubahan ini dapat menandakan tingkat stres seseorang
(Jolly, 1996).
Gejala-gejala dalam stres dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: fisik,
emosi, perilaku dan hubungan sosial. Secara fisik gejala dapat berupa: (a) sakit
kepala, (b) perubahan berat badan atau nafsu makan, (c) merasa lelah setiap saat, (d)
perubahan kebiasaan hidur, (e) nyeri otot, dan (f) sering sakit.
Gejala emosi yaitu berupa: (a) mudah marah, (b) perasaan sedih atau
menangis, (c) mudah marah atau temperamen, (d) merasa cemas, (e) hilangnya
semangat, (f) kesulitan untuk tenang, (g) kesepian atau hilang arah, dan (h) mencari
penyelesaian yang tidak dapat dipahami. Gejala dalam perilaku berupa: (a)
meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, (b) sulit berkonsentrasi,
(c) menghindari keputusan, (d) produktivitas menurun, (e) pikun, dan (f) jenuh.
Dalam hubungan sosial dapat berupa: (a) bermasalah dalam pernikahan dan
anak-anak, (b) tidak memiliki toleransi terhadap orang lain, (c) kurangnya kontak
dengan teman, (d) sering mengomel, (e) rendahnya dorongan seks, (f) kesepian, dan
(g) kemarahan.

Stres di Usia Tua


Lubis (2002) mengatakan stres atau tidaknya seseorang yang memasuki masa
pensiun itu akan mengalami stres atau tidak tentunya tergantung pada banyak faktor,

58
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

seperti kesehatan ketika memasuki masa pensiun, kondisi finansial, dan faktor-faktor
psikologis yang terkait dengan masa pensiun seperti, makna kerja, cara menyikapi
masa pensiun atau arti masa pensiun dan kesiapan membuat perencanaan menghadapi
masa pensiun.
Banyak orang yang tidak menyangka bahwa sebenarnya stres menjadi bagian
dalam kehidupan orang tua. Orang tua seharusnya bersikap lebih tenang dan santai.
Stres didapat dari berbagai hal antara lain, masalah keuangan, masalah keluarga,
masalah kesehatan dan ketidakmampuan, masalah tempat tinggal, kehilangan dan
berduka serta pensiun. Orang tua merasa kurang mampu dalam mengontrol
lingkungannya. Ini juga mengarahkan mereka pada perasaan stres. Hal ini penting
untuk disadari bahwa meskipun baik, perubahan positif dapat mengarahkan pada
perasaan stres. Banyak orang tidak mengetahui apa yang mereka lakukan, saat mereka
meraih suatu tujuan mereka tidak mempunyai tujuan lain lagi untuk dikejar. Ini suatu
yang terjadi pada para pensiunan (Stress in senior years, 1997).

Mencegah Stres Setelah Pensiun


Setelah pensiun seseorang akan memiliki banyak waktu luang namun ada
beberapa masalah yang tidak dapat lepas dari pensiun dan usia tua yang dapat
menyebabkan stres. Memikirkan tentang rencana untuk pensiun sebelum benar-benar
pensiun dapat menolong menenangkan orang-orang yang baru saja pensiun menjadi
seseorang yang baru, gaya hidup yang menyenangkan dan dapat mencegah frustasi
dan kekhawatiran terhadap masalah pensiun (Hoosier, 2005).
Ada lima saran untuk mencegah stres setelah pensiun. Pertama, tetap sehat.
Penyebab utama stres pada pensiunan adalah rendahnya kesehatan. Kedua, dukungan
social. Banyak para pensiunan pindah ke daerah setelah pensiun, meninggalkan
teman-teman lama. Ini sangat penting bagi para pensiunan untuk mencari teman,
berhubungan dengan anggota keluarga, dan bergabung dalam suatu kumpulan untuk
melakukan kegiatan. Menjadi bagian suatu kelompok penting untuk menjaga agar
jiwa tetap baik dan meredakan stres.
Ketiga, spiritual. Memperbaiki inner self baik untuk meredakan stres pada
masa pensiun. Menghadiri layanan agama atau belajar agama, latihan meditasi atau
yoga, dan menulis jurnal adalah cara-cara yang baik untuk lebih mengembangkan

59
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

inner life yang positif dan mengurangi stres. Keempat, keuangan. Idealnya setiap
orang ingin memiliki uang yang cukup di saat mereka pensiun yang menuntun mereka
menuju kebahagiaan, hidup yang produktif setelah pensiun. Banyak pensiunan
memimpikan rekreasi keliling dunia, melakukan hobi yang tidak pernah mereka
lakukan karena tidak adanya waktu, membantu cucu mereka, tapi pensiun tanpa
kesempatan kadang membuat impian tersebut mustahil.
Kelima, mengembangkan kegiatan sehari-hari. Pensiun berarti tidak lagi
bekerja, namun banyak pensiunan yang lebih sibuk dibanding saat masih aktif
bekerja. Menemukan cukup waktu untuk menjalankan hobi, seperti berkebun, golf
dan rekreasi.

Pengertian Pensiun
Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 1969, pensiun adalah jaminan hari
tua dan sebagai balas jasa terhadap Pegawai Negeri Sipil yang telah bertahun-tahun
mengabdikan dirinya kepada Negara (Nainggolan, 1985). Sebagai tambahan pensiun
sering diartikan sebagai cara untuk penyesuaian hidup terhadap orientasi-waktu luang
(Greenberg, 1996). Selain itu Turner & Helms (1995) mendefinisikan pensiun
sebagai berakhirnya kerja formal dan awal dari peran baru dalam hidup. Ini berarti
dapat dikatakan bahwa pensiun adalah masa penyesuaian hidup terhadap orientasi-
waktu luang setelah berakhirnya masa kerja formal dan mendapat jaminan/tunjangan
hari tua sebagai balas jasa terhadap Pegawai Negeri Sipil yang telah bertahun-tahun
mengabdikan dirinya kepada Negara.
Dijelaskan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor: Per.02 /Men/
1995 tentang usia pensiun normal dan batas usia pensiun maksimum bagi peserta
peraturan dana pensiun pasal 2 ayat 1 dan 2, yaitu pasal (1) usia pensiun normal bagi
peserta ditetapkan 55 (lima puluh lima) tahun, dan pasal (2) dalam hal pekerja tetap
dipekerjakan oleh pengusaha setelah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, maka
batas usia pensiun maksimum ditetapkan 60 (enam puluh) tahun. Nainggolan (1985)
menyebutkan tentang batas usia pensiun, secara umum batas usia pensiun bagi
Pagawai Negeri Sipil adalah 56 (lima puluh enam) tahun.
Namun batas usia pensiun bagi Pagawai Negeri Sipil yang memangku jabatan
tertentu dapat diperpanjang sebagai berikut: Pertama, 65 (enam puluh lima) tahun

60
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan: (a) Ahli Peneliti dan Peneliti
yang ditugaskan secara penuh dibidang penelitian, (b) Guru Besar, Rektor Kepala,
Rektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi baik Negeri maupun
Swasta; (c) Jabatan lain yang ditentukan Presiden.
Kedua, 60 (enam puluh) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku
jabatan: (a) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim anggota Mahkamah Agung;
(b) Jaksa Agung; (c) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara;
(d) Pimpinan Lembaga Pemerintahan Nondepartemen; (e) Sekretaris Jenderal,
Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen; (f) Eselon I
dalam jabatan struktural yang tidak termasuk dalam huruf (c), (d), dan (e); (g) Eselon
II dalam jabatan Struktural.
Ketiga, 58 (enam puluh lima) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang
memangku jabatan: (a) Hakim pada Mahkamah Pelayaran; (b) Hakim pada
Pengadilan Tinggi; (c) Hakim pada Pengadilan Negeri; (d) Hakim Agama pada
Pengadilan Agama Tingkat Banding; (e) Hakim Agama pada Pengadilan Agama; (f)
Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.

Pensiun dan Depresi


Kim dan Moen (dalam Rini, 2001) menemukan bahwa: (1) wanita yang baru
pensiun cenderung mengalami depresi lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang
sudah lama pensiun atau bahkan yang masih bekerja, terutama jika suami masih
bekerja; (2) pria yang baru pensiun cenderung lebih banyak mengalami konflik
perkawinan dibandingkan dengan yang belum pensiun; (3) pria yang baru pensiun
namun istrinya masih bekerja cenderung mengalami konflik perkawinan lebih tinggi
dibandingkan dengan pria yang sama-sama baru pensiun namun istrinya tidak bekerja;
(4) pria yang pensiun dan kembali bekerja dan mempunyai istri yang tidak bekerja,
maka keduanya memiliki semangat lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang
keduanya sama-sama tidak bekerja
Kesimpulan penelitian yang diambil dari para sampel tersebut menunjukkan
bahwa para pria yang sudah berusia setengah abad cenderung memiliki kepuasan
hidup lebih tinggi jika istrinya menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga.

61
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Pensiun adalah satu dari sekian banyak peristiwa yang dialami seseorang
dalam hidupnya (Greenberg,1996). Masa pensiun juga merupakan salah satu tonggak
sejarah dalam rentang kehidupan seorang manusia. Masalahnya, masa pensiun
seringkali dianggap sebagai masa yang mengerikan, karena di masa itu, orang
dianggap kehilangan pekerjaan, kedudukan, teman-teman, kehormatan bahkan harga
diri. Tidak heran jika banyak yang merasa stres ketika mendekati masa pensiun.
Namun stres atau tidaknya seseorang dalam memasuki masa pensiun tentunya
tergantung pada banyak faktor, seperti kesehatan ketika memasuki masa pensiun,
kondisi finansial, dan faktor-faktor psikologis yang terkait dengan masa pensiun
seperti, makna kerja, cara menyikapi masa pensiun atau arti masa pensiun dan
kesiapan membuat perencanaan menghadapi masa pensiun (Lubis, 2002).
Dalam hidup manusia mengalami perubahan yang besar, sekalipun hal itu
positif namun tetap dapat menyebabkan stres. Hal-hal yang dapat membuat pensiun
merasa stres termasuk perubahan di dalam, (a) pendapatan dan status keuangan, (b)
rutinitas sehari-hari, (c) perkawinan atau persahabatan dan hubungan keluarga yang
lain, (d) identitas dan peran, dan (e) kesehatan (Retiring? Don't Worry, Be Happy,
2004).
Masalah-masalah kesehatan, sosial dan ekonomi, sendiri-sendiri atau bersama-
sama secara kumulatif dapat berdampak negatif secara psikologis. Hal-hal tersebut
dapat menjadi stressor, yang bila tidak dicerna dengan baik akan menimbulkan
masalah atau menimbulkan stres dalam berbagai manifestasinya (Pedoman pembinaan
kesehatan jiwa usia lanjut bagi petugas kesehatan, 2003).
Orang-orang yang resilience lebih melihat suatu perubahan (dalam hal ini
pensiun) sebagai suatu kesempatan untuk berkembang dibanding sebagai suatu
stressor (Reivich & Shatte, 2002). Resilience sangat penting karena ini adalah
kekuatan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi kuat atau bahkan
mengubah bentuk kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1995).
Setiap orang dilahirkan dengan potensi untuk dapat mengembangkan
resiliensi, namun dalam mengembangkannya tidak semua orang mampu melewati
tingkat-tingkat resiliensi, dan tidak semua orang harus melewati tingkat-tingkat
tersebut seluruhnya. Ada kalanya dari tingkat yang ada individu hanya memerlukan
beberapa tingkat saja untuk mengatasi stresnya. Peranan resiliensi dalam mengatasi

62
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

stres yang dialami di masa persiapan pensiun menjadi perhatian utama dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa terdapat hubungan antara
resiliensi dan tingkat stres pada masa persiapan pensiun.

METODE PENELITIAN

Subjek
Subjek yang diperoleh dalam penelitian ini berjumlah 32 orang. Pada
penelitian ini diambil data identitas subjek seperti nama, jenis kelamin, eselon,
golongan, masa kerja, gaji pokok perbulan, penghasilan tambahan di luar gaji pokok
dan tunjangan PNS perbulan, suami/istri bekerja, penghasilan suami/istri perbulan dan
jumlah anak yang masih menjalani pendidikan TK sampai dengan Universitas.
Subjek penelitian yang berjumlah 32 orang yang terdiri dari 28 orang (87,5%)
laki-laki dan 4 orang (12,5%) perempuan.
Jika dilihat dari eselon, subjek terdiri dari terdiri dari 5 orang (15,6%) eselon
III, 5 orang (15,6%) eselon IV, 20 orang (62,5%) non struktural dan 2 orang
fungsional (6,3%).
Lalu dilihat golongannya, dari 32 orang subjek terdapat 1 orang (3,1%)
golongan IV/c, 8 orang (25,0%) golongan IV/b, 2 orang (6,3%) golongan IV/a, 3
orang (9,4%) golongan III/d, 4 orang (12,5%) golongan III/c, 5 orang (15,6%)
golongan III/b, 1 orang (3,1%) golongan III/a, 2 orang (6,3%) golongan II/d, 2 orang
(6,3%) golongan II/c, 1 orang (3,1%) golongan II/b dan 3 orang (9,4%) golongan II/a.
Berdasarkan masa kerja, tidak ada satu subjek pun yang bekerja di bawah 10
tahun, ada 3 orang (9,4%) yang memiliki masa kerja 11 sampai dengan 20 tahun, 20
orang (62,5%) yang memiliki masa kerja 21 sampai dengan 30 tahun dan 9 orang
(28,1%) yang memiliki masa kerja di atas 30 tahun.
Selain itu berdasarkan gaji pokok per bulan terdapat 6 orang (18,8%) yang
memiliki gaji pokok di bawah atau sama dengan Rp1.000.000,-, 21 orang (65,6%)
yang memiliki gaji pokok antara Rp1.000.001,- sampai dengan Rp1.500.000,- dan 5
orang (15,6%) yang memiliki gaji pokok di atas Rp1.500.000,-.

63
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Berdasarkan suami/istri bekerja terdiri dari 13 orang (40,6%) yang


suami/istrinya bekerja dan 19 orang (59,4%) yang suami/istrinya tidak bekerja.
Pada penghasilan suami/istri perbulan terdiri dari 15 orang (46,9%) yang
suami/istrinya tidak mempunyai penghasilan, 4 orang (12,5%) yang suami/istrinya
mempunyai penghasilan di bawah atau sama dengan Rp500.000,- 2 orang (6,3%)
yang suami/istrinya mempunyai penghasilan antara Rp500.001,- sampai dengan
Rp1.000.000,-, 6 orang (18,8%) yang suami/istrinya mempunyai penghasilan
tambahan antara Rp1.000.001,- sampai dengan Rp1.500.000,-, 3 orang (9,4%) yang
suami/istrinya mempunyai penghasilan antara Rp1.500.001,- sampai dengan
Rp2.000.000,- dan 2 orang (6,3%) yang suami/istrinya mempunyai penghasilan di
atas Rp2.000.000,-.
Kemudian yang terakhir dilihat dari jumlah anak yang masih menjalani
pendidikan terdiri dari 5 orang (15,6%) yang tidak memiliki anak yang masih
menjalani pendidikan, 10 orang (31,3%) yang memiliki 1 orang anak yang masih
menjalani pendidikan, 8 orang (25,0%) yang memiliki 2 orang anak yang masih
menjalani pendidikan, 7 orang (21,9%) yang memiliki 3 orang anak yang masih
menjalani pendidikan, 1 orang (3,1%) yang memiliki 4 orang anak yang masih
menjalani pendidikan dan 1 orang (3,1%) yang memiliki 5 orang anak yang masih
menjalani pendidikan.

Pengukuran
Alat ukur stres terdiri dari 56 butir pernyataan dengan koefisien reliabilitas
konsistensi internal sebesar 0,95. Alat ukur resiliensi terdiri dari 34 butir pernyataan
dengan koefisien reliabilitas konsistensi internal sebesar 0,89.

Prosedur
Dalam penelitian ini terdapat dua tahap, tahap persiapan penelitian dan tahap
penelitian. Pada tahap persiapan dilakukan kunjungan ke salah satu Departemen
Pemerintah sebagai tempat bekerja para PNS. Kemudian meminta izin untuk
melakukan penelitian serta meminta data pegawai yang sedang menjalani MPP pada
Kepala Biro Kepegawaian Departemen yang bersangkurtan. Data yang diperoleh dari
Biro Kepegawaian didapat subjek sebanyak 76 orang. Untuk menentukan kelompok

64
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

subjek uji coba dilakukan pemilihan secara acak sehingga didapat 30 orang. Uji coba
tersebut berlangsung mulai tanggal 6 Juli sampai dengan 18 Juli 2005.

HASIL PENELITIAN

Gambaran Resiliensi
Rentang skor untuk skala resiliensi antara 1 (satu) sampai dengan 4 (empat).
Rata-rata skor minimum yang diperoleh adalah sebesar 2,68 dan rata-rata skor
maksimum sebesar 3,91. Skor rerata yang diperoleh dari resiliensi 3,09 dengan
standar deviasi 0,29. Ini berarti, tingkat resiliensi pada subjek penelitian ini cenderung
tinggi karena skor rerata resiliensi subjek berada di atas nilai tengah (2,50).

Gambaran Tingkat Stres


Dari hasil pengolahan data diperoleh rata-rata skor minimum sebesar 1,05 dan
rata-rata skor maksimum sebesar 2,13. Skor rerata yang diperoleh dari tingkat stres
adalah 1,47 dengan standar deviasi 0,27. Ini berarti, tingkat stres subjek penelitian ini
tergolong rendah karena skor rerata stres berada jauh di bawah nilai tengah (2,50).

Korelasi Stres dan Resiliensi


Perhitungan korelasi antara stres dan resiliensi menggunakan statistik
nonparametric yaitu korelasi Spearman rho. Alasan menggunakan korelasi Spearman
rho ialah karena setelah dilakukan uji normalitas diketahui bahwa penyebaran data
pada penelitian ini tidak normal.
Pengolahan data yang dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian ini
menggunakan bantuan program SPSS versi 11.5 (Statistical Packages for Social
Sciences). Perhitungan korelasi ini menunjukkan rs(30)=-0,10, ρ>0,05. Nilai
probabilitas yang lebih besar dari 0,05 ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara resiliensi dengan tingkat stres.

65
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

PEMBAHASAN

Banyak teori dan referensi yang menjelaskan keterikatan antara resiliensi dan
stres, salah satunya teori dari Grotberg (1995) yang mengatakan bahwa resiliensi
sangat penting karena ini adalah kekuatan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan
menjadi kuat atau bahkan mengubah bentuk kesengsaraan dalam hidup, dalam hal ini
stres.
Namun hasil penelitian ini, yang mencoba meneliti hubungan antara resiliensi
dengan tingkat stres di masa persiapan pension, mengungkapkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara resiliensi dengan tingkat stres di masa persiapan
pensiun. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Siebert (2000) mengatakan
bahwa orang dewasa yang lebih tua yang memiliki resiliensi lebih dapat melawan
stres. Ketahanan mereka terhadap stres datang saat mereka mencari dan
mengembangkan pengalaman yang menyenangkan. Tidak terdapatnya hubungan
antara variabel-variabel dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya, orang-orang yang resilien lebih melihat suatu perubahan (dalam hal ini
pensiun) sebagai suatu kesempatan untuk berkembang dibanding sebagai suatu stresor
(Reivich & Shatte, 2002). Studi longitudinal memperlihatkan kecilnya peningkatan
tanda-tanda depresi pada para pensiunan, dan secara umum dapat dikatakan bahwa
pensiun sama sekali tidak menyebabkan stres (Palmore dalam Bee, 1998)
Selain tiga tokoh tersebut di atas juga terdapat faktor internal departemen yang
membuat para pegawai yang sedang menjalani MPP menganggap pensiun sebagai
suatu masa yang tidak menyebabkan stress. Faktor-faktor tersebut antara lain: telah
diadakannya program persiapan pensiun yang diadakan setiap tahun oleh departemen
untuk para pegawai yang sedang menjalani MPP. Program ini dalam departemen
disebut juga sebagai Panduan Peningkatan Kualitas SDM Pra purna Tugas. Program
ini berisi pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk membekali, membulatkan tekad,
memberikan keterampilan serta cara-cara memilih bidang usaha yang tepat untuk
membuka wirausaha bagi pada pegawai yang akan menjalani masa pensiun. Faktor
lainnya adalah koperasi pegawai yang juga mempekerjakan para pensiunan. Hal ini

66
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

membuat para pegawai merasa lebih tenang karena mereka memiliki wadah/tempat
untuk bekerja selepas pensiun nanti. Ini juga berarti para pegawai merasa tidak
sepenuhnya lepas ikatan dengan departemen.
Selain faktor-faktor di atas ada beberapa hal yang memungkinkan tidak adanya
hubungan dalam penelitian ini. Diantaranya mungkin karena pemilihan subjek
penelitian yang tidak tepat. Para subjek yang memang sudah memiliki persiapan atau
rencana untuk menghadapi MPP menilai pensiun bukanlah sebagai suatu stresor,
mungkin justru bekerjalah yang sebenarnya menjadi stresor bagi mereka. Bila subjek
bekerja pada bidang yang mereka amat minati mungkin pensiun merupakan hal yang
membuat mereka menjadi stress namun bila mereka bekerja karena terpaksa pensiun
justru merupakan hal yang mereka tunggu-tunggu sehingga tak mustahil bila mereka
lebih memilih pensiun dini dibandingkan menjalankan pensiun sebagai keharusan.
Rendahnya tingkat stres yang ditunjukkan oleh sebagian besar subjek tidak
berhubungan dengan tingkat resiliensi yang dimiliki. Namun hal ini disebabkan
karena menurut mereka pensiun bukanlah hal yang dapat membuat mereka stres.
Orang–orang yang berada pada usia menengah (middle age) cenderung untuk lebih
realistik dalam melakukan coping terhadap stres. Mereka memiliki kesadaran yang
lebih baik terhadap apa yang menurut mereka dapat mereka lakukan untuk mengubah
keadaan yang membuat stres atau mungkin memiliki kemampuan yang lebih baik
untuk menerima hal yang tidak dapat mereka ubah. Mereka juga belajar lebih efektif
strategi untuk menghindari atau memperkecil stres (Papalia, Olds, Feldman & Gross,
2004).
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, seperti:
terbatasnya ruang lingkup penelitian serta sedikitnya sampel yang digunakan untuk
penelitian. Bagi yang ingin meneliti hal yang serupa perlu melengkapi keterbatasan-
keterbatasan agar hasil yang diperoleh lebih maksimum.

SIMPULAN

67
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis statistik, dapat ditarik


kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara resiliensi dengan tingkat stres pada
masa persiapan pensiun.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, L. (1994). Kamus besar bahasa Indonesia (2nd ed.). Jakarta: Balai Pustaka.
Andrews, J., Arbuthnott, K., Ast, R., Carlson, L., Ferner, P., Dodds, K., Gibson,
D., Grewcock, E., Léonard, C., Sippola, L., Thompson, V., & Wildfong, D.
(2002). Psychology 30: Human Development A Curriculum Guide for the
Secondary Level. Retrieved July 1, 2004. Available:
http://sasked.gov.sk.ca/docs/sosial/psych30/unitseven.htm#intro22
Bee, H. (1998). Lifespan development (2nd ed.). New York: Addison-Wesley
Educational Publishers.
Delvin, D. (2001). Stress in later life. Retrieved March 16, 2005. Available:
http://www.retirement-matters.co.uk/stress in later life.htm
Greenberg, J. S. (1996). Comprehensive stress management (5th ed.). Dubuque, IA:
Brown & Benchmark.
Grotberg, E. (1995). A guide to promoting resilience in children. Den Haag: Bernard
van Leer Fondation.
Hamzah, M. D., & Kassim, M. (2002). Waja diri pelajar sekolah menengah.
Retrieved July 3, 2004. Available:
http://myschoolnet.ppk.kpm.my/arkib/a_berita/2002/waja.htm
Hoosier, L. (2005). 5 tips for preventing stress after retirement. Retrieved March 16,
2005. Available: http://www.pagewise.com/health-mental-healt/5tips-for-
preventing-stress-after-retirement.htm
Jolly, C. D. (1996). Stress taking charge: All about stress. Ames, IA: State University
Department of Human Development And Family Studies.
Kuntjoro, Z., S. (2002). Masalah kesehatan jiwa lansia. Retrieved July 1, 2004.
Available: http://www.e-psikologi.com/usia/160402.htm
Lubis, Y. U. (2002). Persiapan mental psikologis menghadapi masa pensiun. Jakarta:
Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia.

68
Resiliensi dan Tingkat Stres pada Masa Persiapan Pensiun
Danny Darmawan Hidayat, Zamralita & Ninawati

Malim, T. & Birch, A. (1998). Introductory psychology. London: MacMillian.


Manage stress–before stress manages you. (2004). Retrieved March 15, 2004.
Available:
http://www.4therapy.com/consumer/life_topics/category/112/stress/Manage
stress – before stress manages you.htm
Menjadi tua namun tetap sehat. (2004, Mei 29). Retrieved February 17, 2005.
Available: http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0405/29/humaniora/1051178.htm
Nainggolan, H. (1985). Pembinaan pegawai negeri sipil. Jakarta: P.T. Pertja.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (1998). Human development (7th ed.).
Boston: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D., & Gross, D. (2004). Human development
(9th ed.). Boston: McGraw-Hill.
Pedoman pembinaan kesehatan jiwa usia lanjut bagi petugas kesehatan. (2003).
Retrieved February 17, 2005. Available:
http://www.depkes.go.id/downloads/Keswa_Lansia.pdf
Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor: Per.02 /Men /1995 tentang usia pensiun
normal dan batas usia pensiun maksimum bagi peserta peraturan dana pensiun.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1979 tentang
pemberhentian pegawai negeri sipil.
Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skill for
overcoming life’s inevitable obstacles. New York: Broadway Books.
Resiliency In Action (2002). What is resiliency. Retrieved June 29, 2004. Available:
http://www.resiliency.com/ htm/whatisresiliency.htm
Retiring? Don't worry, be happy. (2004). AARP. Retrieved March 16, 2005.
Available: http://www.aarp.org/health/staying_health/stress/articles/a2004-10-
08-retiring-happy.html
Rini, J. F. (2001, Oktober). Pensiun dan pengaruhnya. Retrieved July 1, 2004.
Available: http:// www.e-psikologi.com/usia/pensiun.htm
Siebert, A. (1996a). 5 level of resiliency. Retrieved June 29, 2004. Available: http://
www.resiliencycenter.com/articles/5levels.shtml

69
Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 50-70

Siebert, A. (1996b). Definition. Retrieved June 29, 2004. Available:


http://www.resiliencycenter.com/definitions.shtml
Siebert, A. (2000). Resiliency and longevity. Retrieved March 15, 2005, Available:
http://www.resiliencycenter.com/resiliency and longevity. htm
Stress in senior years. (1997). Retrieved March 16, 2005. Available:
http://www.baptistonline.org/health/library/agin4127.asp
Sudharto. (2002). Kontroversi batas usia pensiun PNS. Retrieved July 01, 2004.
Available: http://www.suaramerdeka.com/harian/0202/ 06/kha2.htm
Tri (2002). Menikmati masa pensiun. Retrieved January 15, 2005. Available:
http://www.astaga.com/karir/article.php
Turner, J. S., & Helms, D. B. (1995). Lifespan development (5th ed.). Fort Worth, TX:
Harcourt Brace College Publishers.

70

Anda mungkin juga menyukai