E Book Pedoman Penulisan Resep
E Book Pedoman Penulisan Resep
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya sehingga penulis
bisa menyelesaikan Buku Pedoman Penulisan Resep. Buku ini disusun sebagai
penunjang pelaksanaan pelayanan oleh dokter umum dan dokter spesialis di RS Kusta
Dr. Rivai Abdullah Palembang dan juga sebagai salah satu program aktualisasi Calon
Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018.
Peresepan obat oleh dokter harus memenuhi kriteria peresepan obat yang
rasional. Penulisan resep yang baik dan benar oleh dokter umum di RS Kusta dr. Rivai
Abdullah Palembang dirasa perlu upaya pengoptimalan agar terwujudnya pelayanan
kesehatan yang prima.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat dalam pembuatan buku ini:
1. dr. Zubaidah Elvia, MPH sebagai direktur utama RS Kusta dr. Rivai Abdullah
Palembang atas kepercayaan serta dukungannya kepada kami agar dapat
menjalankan rancangan aktualisasi ini dengan baik.
2. Bapak Asep Zaenal Mustofa, SKM, M. Epid selaku Kepala Badan Pelatihan
Kesehatan (Bapelkes) Batam yang telah memberikan kesempatan dan
motivasi kepada kami agar terus dapat berkarya dan mengabdikan diri
sepenuh hati demi Indonesia tercinta.
3. Bapak Drs. Zaenal Komar, Apt, MA atas masukannya sehingga e-book ini
dapat menjadi lebih efektif dan efisien dalam pemanfaatannya.
4. Ibu dr. Wilda Hayati, MM selaku coach yang senantiasa tiada lelah
memberikan bimbingan dan dukungan dalam penyusunan rancangan
aktualisasi ini.
5. Bapak Hendriansyah, SKM, MM selaku mentor yang memberikan dukungan
penuh serta memberi masukan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan aktualisasi ini dengan lebih baik.
6. Ibu Ezy Fatmasari, S. Si, Apt atas masukan dan bantuannya dalam pembuatan
buku panduan penulisan resep ini.
7. Seluruh staff dan karyawan RS Kusta Dr. Rivai Abdullah Palembang telah
memberikan motivasi dan bantuan dalam peyelesaian buku panduan ini.
Semoga buku panduan ini dapat bermanfaat bagi sesama demi kemajuan
generasi Aparatur Sipil Negara sebagai agent of change untuk memajukan bangsa dan
negara.
Penulis
Buku Pedoman Penulisan Resep 1
DAFTAR ISI
Pendahuluan .............................................................................. 5
Kesalahan terapi (medication errors) sering terjadi di praktek umum maupun rumah
sakit. Kesalahan yang terjadi bisa karena peresepan yang salah, dan itu terjadi karena
kesalahan dalam proses pengambilan keputusan. Setiap langkah mulai dari
pengumpulan data pasien (anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang lainnya) berperan penting untuk pemilihan obat dan akhirnya penulisan
resep. Kesalahan pemilihan jenis obat, dosis, cara pemakaian, penulisan yang sulit
dibaca merupakan faktor yang bisa meningkatkan kesalahan terapi. Penyebab hal ini
multifaktorial, antara lain faktor dokter, faktor pasien dan juga faktor-faktor yang lebih
tinggi misalnya aturan dan sistem pelayanan kesehatan yang tersedia di suatu wilayah
atau negara. Atas latar belakang ini, World Health Organization (WHO) sejak tahun 90-
an telah memperkenalkan sistem pembelajaran yang dikembangkan terutama untuk
dokter yaitu Guide to Good Prescribing.
Pemberian obat yang ditujukan untuk mengobati penyakit atau kumpulan gejala
(sindroma) merupakan salah satu langkah penting dalam pengobatan. Pengobatan,
seperti halnya penelitian yang baik dimulai dari penetapan masalah, membuat
hipotesis, pengujian hipotesis dan verifikasi hasil. Diagnosis yang tepat berdasarkan
kumpulan gejala yang tampak dan menetapkan tujuan terapi kemudian dipilih
tindakan atau terapi yang paling tepat, efektif dan aman. Setelah pilihan ditentukan,
pasien harus mendapat penjelasan tentang pilihan tersebut. Selanjutnya
tindakan/terapi dapat dimulai dan hasilnya harus dipantau serta diverifikasi apakah
telah sesuai dengan tujuan terapi. Apabila hasil menunjukkan perbaikan atau sesuai
dengan tujuan terapi maka terapi bisa diteruskan atau kalau tidak berhasil dihentikan,
terapi perlu dikaji ulang.
Algoritma terapi yang runtut dan rasional perlu dipelajari oleh setiap dokter dan harus
menjadi kebiasaan bagi mereka. Bahkan dokter pun harus selalu disegarkan kembali
ingatannya tentang peresepan yang rasional.
Keenam faktor tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga tidak mudah membuat
praktik terapi dan pengobatan yang irasional menjadi rasional. Buku pedoman
penulisan resep ini mengacu pada pendekatan yang dianjurkan oleh WHO lewat buku
pedoman terapi (Guide to good prescribing).
Keluhan yang disampaikan pasien harus digali lebih dalam saat anamnesis. Anamnesis
yang baik sangat membantu penegakan diagnosis yang tepat setelah ditambah data
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain. Bila
masalah jelas maka diagnosis (kerja) menjadi lebih mudah, karena bila diagnosis sudah
ditegakkan, maka tujuan terapi lebih mudah ditetapkan.
Bila diagnosis (kerja) dapat ditegakkan maka tujuan terapi pun dapat dibuat dengan
tegas, karena dari sinilah ditentukan apa yang diharapkan bila terapi diberikan pada
pasien. Contoh di bawah ini memberikan gambaran tentang tujuan terapi.
Pasien 1.
Anak usia 3 tahun dengan status kurang gizi, menderita diare encer disertai muntah
selama empat hari. Anak tersebut tidak buang air kecil selama 24 jam. Pada
pemeriksaan tidak ditemukan demam (suhu 36,8 oC), nadi 135 kali per menit dan
turgor rendah. Tujuan terapi: Rehidrasi untuk mencegah semakin parahnya dehidrasi.
Pasien 2
Mahasiswi 19 tahun mengeluh mual dan sakit kepala. Dari anamnesis selanjutnya juga
didapatkan bahwa ia mengalami keluhan tidak haid selama 3 bulan. Pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang tes kehamilan menunjukkan ia hamil tiga bulan.Tujuan
terapi: Konseling kehamilan.
Pasien 3
Tuan Y usia 40 tahun, mengeluh sering pusing dan tegang bagian leher sejak dua hari.
Tekanan darah 140/95 mmHg, Nadi 80 x/menit. Paru, jantung, hati dan ginjal dalam
batas normal, dan Body Mass Index (BMI): 27 kg/m2. Diagnosis kerja: Hipertensi
Esensial grade I.Tujuan terapi: Mencegah end-organ failure dengan menurunkan
tekanan darah mendekati optimal.
Dari keadaan pasien dipilih (rangkaian) terapi-P yang paling cocok agar tujuan terapi
tercapai dengan mempertimbangkan efektifitas, keamanan, kecocokan dan biaya. Bila
Pasien-3 diambil sebagai contoh, maka pengaturan diet dan upaya penurunan berat
badan bisa dianjurkan meskipun tetap diperlukan terapi dengan obat anti hipertensi
yang tersedia saat ini.
Tuan P umur 55 tahun, selama tiga bulan ini mengeluh nyeri dada yang disertai sesak
nafas yang timbul bila melakukan kegiatan fisik. Nyeri dada tidak berkurang saat
istirahat. Pasien merupakan perokok sejak usia 15 tahun, dapat menghabiskan satu
bungkus rokok setiap hari. Sejak 1bulanyang lalu berhenti merokok. Ibu meninggal
akibat serangan jantung. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan alkohol maupun
obat – obatan narkotika..
• Pada auskultasi: bising di atas ArteriKarotis Dekstra dan Arteri Femoralis
Dekstra. Tekanan darah: 130/86 mmHg, Nadi: 78/mnt, teratur, berat badan
normal.
• EKG : STEMI Inferior
• Diagnosis: Angina Pektoris Unstable
Patofisiologi ?
Tujuan pengobatan ?
Obatnya apa?
Maka senyawa farmakologis yang bisa memenuhi tujuan tersebut adalah: (1) Nitrat
organik, (2) Penghambat reseptor beta, (3)Penyekat kanal kalsium.
Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa untuk kondisi pasien itu tampaknya isosorbid
dinitrat yang paling cocok, maka akhirnya pilihan obat-P jatuh pada isosorbid dinitrat.
Proses pemilihan obat-P dapat dirangkum sebagai berikut:
1. TETAPKAN DIAGNOSIS
Angina Pectoris Stabil (penyumbatan parsial Arteri Koronaria)
2. TETAPKAN TUJUAN TERAPI
Merupakan keadaan emergency, perlu penanganan sesegera mungkin. Kurangi
kebutuhan miokardium terhadap oksigen dengan cara menurunkan beban
preload, kontraktilitas, heart rate, serta afterload.
3. SUSUN DAFTAR KELOMPOK OBAT YANG EFEKTIF
Nitrat
Beta Blocker
Calsium Canal Blocker
4. PILIH KELOMPOK OBAT YANG EFEKTIF BERDASARKAN KRITERIA
Tabel 4. Rangkuman Pemilihan Obat-P (Kasus Pasien dengan Angina Pektoris)
Nitrat + + ++ +
Beta Blocker + + - -
Gliseril Trinitrat + ± + +
(Tablet)
Isosorbid Dinitrat + ± ++ -
(Tablet)
Isosorbid Dinitrat + ± + ±
(Semprot)
Isosorbid Mononitrat + ± + ±
(Tablet)
6. KESIMPULAN
Zat aktif, bentuk sediaan : ISDN, tablet sublingual 5 mg
Dosis : 5 mg, dapat diulang 1-3 menit jika nyeri menetap
Lama pengobatan : Sesuai rencana terapi
Tampaknya langkah yang ditempuh cukup lama, namun bila hal ini dibiasakan ketika
sedang kepaniteraan atau pun residensi/internship maka kita pun akan terbiasa
melakukan proses di atas dengan mudah dan cepat. Sehingga setiap saat daftar obat-
P kita akan semakin bertambah sejalan dengan kasus-kasus yang semakin sering kita
tangani.
4. MULAI PENGOBATAN
Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling cocok untuk
pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah memulai pengobatan
dengan menuliskan resep yang merupakan suatu “instruksi” kepada apoteker untuk
menyediakan/menyiapkan obat yang dibutuhkan tadi. Dalam mata rantai pengobatan
rasional, pasien pun berhak mendapatkan informasi dari apoteker dan perawat (atau
petugas kesehatan yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentang obat, dosis, cara
penggunaan, efek samping, dll.
Setelah resep ditulis, kita harus menjelaskan tentang berbagai hal kepada pasien yaitu:
1. Efek obat: Efek utama obat yang menjadi dasar pilihan kita untuk mengatasi
permasalahan/diagnosis perlu dijelaskan kepada pasien, misalnya gejala
demam dan pusing akan berkurang atau hilang.
2. Efek samping: Demikian pula efek samping yang mungkin muncul akibat
menggunakan obat. Namun perlu bijaksana, agar pasien tidak justru menjadi
takut karenanya, yang penting pasien tahu dan bisa mengantisipasi bila efek
samping itu muncul, misalnya hipoglikemia akibat obat anti diabetes,
mengantuk akibat anti-histamin, dll.
3. Instruksi: Pasien harus jelas tentang saat minum obat, cara minum obat,
misalnya obat diminum 3 kali (pagi, siang dan malam, sesudah/sebelum
makan, dengan cukup air, dst.), cara menyimpannya, apa yang harus
dilakukan bila ada masalah dst. Antibiotika misalnya harus diminum sampai
habis sesuai dengan jumlah yang diresepkan, sedangkan beberapa obat
digunakan hanya bila diperlukan saja. Ada obat yang diminum secara
bertahap dengan dosis berangsur-angsur naik dan setelah itu berangsur-
angsur turun (kortikosteroid).
4. Peringatan: terkait dengan efek samping, misalnya tidak boleh mengemudi
dan menjalankan mesin karena efek kantuk obat.
5. Kunjungan berikutnya: jadwal kunjungan berikutnya ke dokter (untuk
evaluasi dan monitor terapi).
6. Sudah jelaskah semuanya?: Pasien perlu ditanya apakah semua informasi
yang diberikan telah dimengerti dengan baik. Pasien bisa diminta untuk
mengulang segenap informasi yang telah disampaikan.
PERESEPAN IRRASIONAL
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah yang kadang-kadang terjadi
karena maksud baik dan perhatian dokter. Peresepan irrasional dapat dikelompokkan
menjadi:
1. Peresepan mewah, yaitu pemberian obat baru dan mahal padahal tersedia obat
tua yang lebih murah yang sama efektif dan sama amannya, penggunaan
simtomatik untuk keluhan remeh sehingga dana untuk penyakit yang berat
tersedot, atau penggunaan obat dengan nama dagang walaupun tersedia obat
generik yang sama baiknya.
2. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan,
dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih
dari yang diperlukan. Terdapat beberapa jenis obat yang paling banyak
diberikan kepada pasien tanpa indikasi yang tepat dan jelas. Golongan obat
tersebut adalah antibiotik, kortikosteroid, obat penurun berat badan,
antikolesterol, multivitamin, dan tonikum, vasodilator, obat untuk
memperbaiki metabolisme otak, dan sediaan dermatologis.
3. Peresepan salah, yaitu obat yang diberikan untuk diagnosis yang keliru, obat
yang dipilih untuk suatu indikasitertentu tidak tepat, peneyediaan (di apotik,
rumah sakit) salah, atau tidak disesuaikan dengan kondisi medis, genetik,
lingkungan, dan faktor lain yang ada pada saat itu.
4. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat padahal satu obat sudah
mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisahpadahal pengobatan
terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala.
5. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diberikan, dosis tidak
mencukupi, atau pengobatan terlalu singkat.
Resep dituliskan dalam kertas resep dengan ukuran yang ideal yaitu lebar 10-12 cm
dan panjang 15-18 cm. Resep harus ditulis dengan lengkap sesuai dengan PerMenKes
no. 26/MenKes/Per/I/81 Bab III tentang Resep dan KepMenKes No.
28/MenKes/SK/U/98 Bab II tentang RESEP, agar dapat dibuatkan/diambilkan obatnya
di apotik.
A. BSO PADAT
Digunakan dengan cara dioleskan pada kulit untuk pengobatan topikal, karena obat
dapat meresap ke dalam kulit. Perkembangan teknologi membuat bahan kimia
sebagai bahan tambahan yang dapat meresapkan obat sampai ke sirkulasi
darah/sistemik dikenal sebagai sistem transdermal.
1. Salep = unguenta = oinment
Digunakan dengan cara dioleskan pada kulit. Salep untuk mata diberi nama
occulenta dan BSO ini harus steril. Ada berbagai macam jenis bahan pembawa
salep.
2. Krim
Mudah menyebar di kulit, memberikan absorbsi obat yang baik. Sediaan ini
disukai pasien dan dokter karena mudah dibersihkan dan memberi rasa
dingin.
3. Jel = Gel = Jelly
Sediaan semi solid yang jernih, terbuat dari bahan pengental dan air sehingga
rasanya dingin dan apabila kering meninggalkan selaput tipis.
Sediaan cair dapat berupa larutan atau suspensi. Sediaan cair untuk oral dapat sebagai
larutan/solutio, sirup, eliksir, suspensi, emulsi. Diminum dengan menggunakan sendok
teh (5 ml) atau sendok makan (15 ml). Sediaan cair untuk bayi dikenal sebagai sediaan
oral-drops atau tetes dengan menggunakan alat penetes/ pipet. Sediaan cair untuk
obat luar atau topikal dikenal sebagai lotio, solutio, kompres (epithema).
Macam-macam BSO cair :
1. Solutio
Larutan yang mengandung bahan obat terlarut. Apabila digunakan untuk
topikal dapat disebut sebagai lotio atau lotion.
2. Sirup
BSO cair yang diminum mengandung pemanis, secara fisik dapat berupa
larutan atau suspensi. Sering digunakan untuk anak-anak.
3. Eliksir
Larutan obat dalam air yang mengandung gula dan alkohol 6 – 19%. Fungsi
alkohol untuk membantu kelarutan obat dan memberi rasa segar.
4. Guttae (tetes)
BSO cair yang cara pengunaannya dengan cara diteteskan menggunakan
pipet biasa atau pipet volume.
Ada beberapa guttae: guttae ophthalmic (tetes mata), Guttae auric (tetes
telinga), guttae nasales (Tetes hidung), guttae orales (drops)
5. Clysma
BSO cair digunakan dengan cara dimasukkan ke rektal.
6. Potio = obat minum, tidak memperhatikan rasa.
7. Litus oris = tutul mulut
BSO yang steril, bebas pirogen dan cara pemberiannya dengan disuntikkan. Apabila
volumenya besar disebut infus dan apabila volumenya kecil disebut injeksi.
a. Spray
Larutan dengan tetesan kasar atau zat padat terbagi yang halus digunakan
dengan cara disemprotkan pada topikal, hidung, faring atau kulit.
b. Inhalasi
Obat diberikan lewat nasal atau mulut dengan cara dihirup, untuk
pengobatan pada bronchus atau pengobatan sistemik lewat paru. Aksinya
cepat karena tidak melewati lintas utama di hepar.
c. Aerosol
Produk farmasetik dalam wadah yang diberi tekanan. Cara penggunaan
dengan menekan tutup botol yang diberi pengatur dosis. Obat yang
disemprotkan berbentuk kabut halus.
Sediaan yang bahan aktifnya berupa mikroorganisme hirup, berasal dari manusia atau
hewan. Digunakan untuk pencegahan atau pengobatan penyakit. Contohnya macam-
macam vaksin, antisera dan imunoglobulin.
BSO yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga untuk pelepasan tablet tidak
diperlukan air. Ada sistem penghantaran obat yang baru dengan fase lliberasi obat
sangat cepat, konsentrasi puncak kadar obat dalam plasma cepat, sehingga diperoleh
respon obat yang dikehendaki. Contohnya : BSO Fast-dissolving, orodisperse (oros),
fast-melting.
Bentuk Sediaan
Frekuensi
Penggunaan
Lain-lain
1. Lewis PJ, Dornan T, Taylor D, Tully MP, Wass V, Ashcroft DM. Prevalence, Incidence
and Nature of Prescribing Errors in Hospital Inpatients. A systematic Review. Drug
Safety 2009; 32 (5): 379-89.
2. Patel H, Bell D, Molokhia M, Srishanmuganathan J, Patel M, Car J, Majeed A. Trends in
hospital admissions for adverse drug reactions in England: analysis of national hospital
episode statistics 1998–2005. BMC Clin Pharmacol 2007; 7: 9.
3. Velo GP; Minuz P. Medication errors: prescribing faults and prescription errors. Br J
Clin Pharmacol 2009; 67 (6): 624-8.
4. Pearson SA, Rolfe I, Smith T. Factors influencing prescribing: an intern’s perspective.
Medical Educat 2002;36:781–7.
5. Oshikoya KA, Senbanjo IO, Amole OO. Interns' knowledge of clinical pharmacology and
therapeutics after undergraduate and on-going internship training in Nigeria: a pilot
study. BMC Medical Education 2009, 9: 50 diunduh dari
http://www.biomedcentral.com/1472-6920/9/50 pada tanggal 20 Maret 2010.
6. Coombes ID, Mitchell CA, Stowasser DA. Safe medication practice: attitudes of medical
students about to begin their intern year. Medical Educat 2008; 42:427–31.
7. Heaton A, Webb DJ, Maxwell SRJ. Undergraduate preparation for prescribing: the
views of 2413UK medical students and recent graduates. Br J Clin Pharmacol 2008; 66
(1): 128–34.
8. Garjani A, Salimnejad M, Shamsmohamadi M, Baghchevan V, Vahidi RG, Maleki-Dijazi
N, Rezazadeh H. Effect of interactive group discussion among physicians to promote
rational prescribing. Eastern Mediterranean Health J. 2009; 15(2): 408-15.
9. De Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to Good Prescribing. 1994,
Geneva. WHO.
10. Pollack D, Wopat R, Muench J, Hartung DM. Show me the evidence: the ethical aspects
of pharmaceutical marketing, evidence-based medicine, and rational prescribing.
JEMH 2009: April-Sept. suppl : 1-8.
11. Sacket DL, Rosenberg WM, Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence based
medicine: what it is and what it isn't. Editorial. BMJ 1996; 312: 71-2. Diunduh dari
http://www.bmj.com/cgi/content/full/312/7023/71.
12. Krulichová I, van Wilgenburg H. Computer-based skills training in rational drug
prescribing. IFMBE Proc 2002; 3 (1): 714-5.
13. Davey P, Garner S. Professional education on antimicrobial prescribing: a report from
the Specialist Advisory Committee on antimicrobial Resistance (SACAR) professional
education subgroup. J Antimicrob Chemother 2007; 60, Suppl. 1.i27-i32.
14. Simatupang A. Pengembangan Modul HIV & AIDS bagi Mahasiswa Kedokteran dengan
Metode Belajar-Berbasis Masalah. J Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan
Indonesia, 2007; 2 (3): 107-12.
15. Gommans J, McIntosh P, Bee S, Allan W. Improving the quality of written prescriptions
in a general hospital: the influence of 10 years of serial audits and targeted
interventions. Internal Medicine J, 2008; 38: 243–48.
Buku Pedoman Penulisan Resep 28
NOTE