Anda di halaman 1dari 96

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG

SKRIPSI

EVALUASI ATAS PENAGIHAN PAJAK PADA KPP TANGERANG

Diajukan oleh :
YUYU YULIANA

NPM : 03460003818

Ahli Madya Perpajakan


Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun 1997

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat

Guna Mencapai Gelar Sarjana Sains Terapan Akuntans


Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Tahun 2006
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : YUYU YULIANA

NPM : 03460003818

Bidang Skripsi : PERPAJAKAN

Judul Skripsi : EVALUASI ATAS PENAGIHAN PAJAK PADA KPP

TANGERANG

Mengetahui, Menyetujui,

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Direktur, Dosen Pembimbing,

Suyono Salamun, Ph.D Drs. Pardiat, Ak


NIP. 060052727 NIP. 060044943

ii
TANDA LULUS UJIAN MEMPERTAHANKAN SKRIPSI

Nama : YUYU YULIANA

NPM : 03460003818

Bidang Skripsi : PERPAJAKAN

Judul Skripsi : EVALUASI ATAS PENAGIHAN PAJAK PADA KPP

TANGERANG

Tangerang, 10 Juli 2006

1. Drs. Sanjoto G, SE., MKom.,MComm.,MMSi.,Ak..............................(Ketua Penguji)

2. Drs. Pardiat, Ak..............................................(Anggota Penguji/Dosen Pembimbing)

3. Drs. Akmal......................................................................................(Anggota Penguji)

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna mencapai gelar Sarjana

Sains Terapan pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Penulis menyadari bahwa skripsi

ini jauh dari sempurna dan memiliki banyak kelemahan karena keterbatasan pengetahuan,

pengalaman, dan kemampuan penulis.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah

memberi sumbangan tak terhingga kepada penulis. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ibu dan keluarga di rumah atas semua perjuangannya selama ini untuk selalu

memberikan yang terbaik bagi Penulis.

2. Bapak Suyono Salamun selaku Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang telah

memberikan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.

3. Bapak Pardiat yang telah meluangkan waktu mengarahkan dan membimbing

penyusunan skripsi ini dengan penuh kesabaran.

4. Bapak Yuniarto Hadiwibowo yang memberikan bimbingan teknis penyelesaian

skripsi.

5. Bapak Sutardi Karnawidjaja, selaku Kepala KPP Tangerang yang telah memberikan

izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian.

iv
6. Ibu Endang Sunaryati, selaku Kepala Seksi Penagihan KPP Tangerang beserta stafnya

terutama Bapak Untung Slamet, yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis

selama melakukan penelitian.

7. Seluruh pejabat, dosen, dan staf Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang telah

membimbing dan membantu penulis selama menuntut ilmu di Sekolah Tinggi

Akuntansi Negara.

8. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi

ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca, dapat menjadi sumbangan bagi almamater tercinta dan dapat menjadi catatan

amal kebaikan penulis.

Tangerang, Juni 2006

Penulis

v
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI................................................................... ii

PERNYATAAN LULUS UJIAN SKRIPSI........................................................ iii

KATA PENGANTAR........................................................................................ iv

DAFTAR ISI....................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL............................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul.................................................. 1

B. Pendekatan dan Tujuan Penulisan Skripsi..................... 2

C. Ruang Lingkup Penelitian............................................. 3

D. Metode Penelitian......................................................... 4

E. Sistematika Penelitian................................................... 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Perpajakan................................................ 7

B. Penagihan Pajak.............................................................. 13

vi
BAB III : PENAGIHAN PAJAK PADA KPP TANGERANG

A. Gambaran Umum KPP Tangerang................................ 25

B. Seksi Penagihan KPP Tangerang................................... 30

C. Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak...................... 31

D. Jumlah Tunggakan Pajak dan Pencairannya.................. 32

E. Pelaksanaan Penagihan Pajak........................................ 33

F. Hambatan-hambatan yang Dihadapi.............................. 38

BAB IV : PEMBAHASAN

A. Evaluasi atas Seksi Penagihan KPP Tangerang............. 40

B. Evaluasi Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak....... 42

C. Evaluasi Jumlah Tunggakan Pajak dan Pencairannya... 45

D. Evaluasi Pelaksanaan Penagihan Pajak......................... 49

E. Evaluasi terhadap Hambatan-hambatan yang Dihadapi... 73

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...................................................................... 80

B. Saran-saran...................................................................... 81

LAMPIRAN......................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 84

DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................. 85

vii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak per Jenis Pajak

Tahun 2005..................................................................................... 31

Tabel 3.2 Perkembangan Jumlah Tunggakan Pajak Tahun 2005.................. 32

Tabel 3.3 Penyampaian Surat Teguran Tahun 2005..................................... 35

Tabel 3.4 Penyampaian Surat Paksa Tahun 2005......................................... 36

Tabel 3.5 Penyamapaian Surat Perintah Melakukan Penyitaan.................. 37

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Diagram Batang Perbandingan Rencana dengan Realisasi

Penerimaan Pajak Tahun 2005..................................................... 44

Gambar 4.2 Diagram Batang Penyampaian Surat Teguran Tahun 2005....... 54

Gambar 4.3 Diagram Batang Penyampaian Surat Paksa Tahun 2005........... 57

Gambar 4.4 Diagram Batang Penyampaian SPMP Tahun 2005................... 66

Gambar 4.5 Diagram Batang Perbandingan antara Pelaksanaan SP

dengan SPMP (lembar).............................................................. 69

Gambar 4.6 Diagram Batang Perbandingan antara Pelaksanaan SP

dengan SPMP (Rupiah)............................................................. 70

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Keterangan Melakukan Penelitian............................. 83

x
xi
BAB I

PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa

yang adil dan sejahtera, aman, tenteram, dan tertib, serta menjamin kedudukan yang sama

bagi warga masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan nasional yang

dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah

air memerlukan biaya besar yang harus digali terutama dari sumber kemampuan sendiri.

Dalam rangka kemandirian tersebut, peran masyarakat dalam pemenuhan kewajiban di

bidang perpajakan perlu terus ditingkatkan dengan mendorong kesadaran, pemahaman,

dan penghayatan bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan

pembangunan nasional.

Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemungutan pajak yang dianut oleh undang-

undang perpajakan di Indonesia adalah self assessment system dimana Wajib Pajak diberi

kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak-

pajak yang terutang berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan self

assessment system, fungsi fiskus adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

Wajib Pajak. Pembinaan Wajib Pajak dapat berupa penyuluhan yang bersifat massal

1
2

melalui seminar, lokakarya, training, media cetak ataupun elektronik, dan lain

sebagainya. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, fiskus diberi wewenang untuk

melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib

Pajak. Pengawasan yang dilakukan oleh fiskus dapat menghasilkan Surat Tagihan Pajak

(STP) dan/atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). SKP yang dikeluarkan dapat berupa Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), dan Surat

Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Terhadap STP, SKPKB, dan SKPKBT yang tidak

dibayar setelah jatuh tempo pembayarannya, KPP (Kantor Pelayanan Pajak) akan

melakukan tindakan penagihan.

Penagihan pajak merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) untuk merealisasikan penerimaan negara dari sektor pajak, yang

didasarkan pada Undang-undang No. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 tahun 2000 (UU

PPSP). Penagihan pajak terdiri dari serangkaian tindakan yang dilaksanakan oleh

aparatur perpajakan dalam rangka mencairkan tunggakan pajak. Penagihan pajak ini

meliputi beberapa tahapan tindakan yang meliputi: penyampaian Surat Teguran,

penyampaian Surat Paksa (SP), pelaksanaan (SPMP), dan pelaksanaan lelang atas barang

sitaan untuk melunasi hutang-hutang pajak dari wajib Pajak yang bersangkutan. Tindakan

penagihan pajak ini merupakan wujud tindakan penegakan hukum atau law enforcement.
Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, penulis akan melakukan penelitian

terhadap upaya penagihan pajak yang dilakukan oleh KPP Tangerang. Pembahasan hasil

penelitian ini akan ditulis dalam skripsi yang diberi judul “Evaluasi atas Penagihan

Pajak pada KPP Tangerang”.

B. Pendekatan dan Tujuan Penulisan Skripsi

Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah

pendekatan positif dan pendekatan normatif. Pendekatan positif dimaksudkan agar

penulis memberikan penjelasan fakta/praktik yang diamati berdasarkan teori tertentu,

sedangkan pendekatan normatif dimaksudkan agar penulis memberikan saran-saran atas

fakta/praktik yang diamati berdasarkan pada teori tertentu.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penagihan pajak pada KPP Tangerang;

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pencairan tunggakan

pajak;

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penagihan

pajak dan memberikan solusi untuk menghadapinya.

Dari hasil penelitian ini diharapkan Penulis dapat memberikan saran-saran untuk lebih

meningkatkan mutu penagihan pajak dan tindak lanjut penagihan pajak pada Direktorat

Jenderal Pajak.
C. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan hanya terbatas pada kegiatan penagihan pajak yang

dilakukan oleh KPP Tangerang pada tahun 2005. Dalam penelitian ini akan difokuskan

pada masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan penagihan sebagai upaya

penegakan hukum dan optimalisasi penerimaan pajak, yaitu:

1. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa telah dilaksanakan sesuai

dengan prosedur yang berlaku?

2. Apakah terdapat permasalahan atau kendala-kendala yang dihadapi selama

berlangsungnya proses pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa?

3. Berapakah kontribusi penerimaan pajak yang diperoleh dari pelaksanaan penagihan

terhadap target penerimaan pajak.

D. Metode Penelitian

Dalam mengumpulkan data sebagai bahan penulisan skripsi ini, penulis

menggunakan dua metode yaitu:

1. Studi Kepustakaan ( library research )

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan, membaca, dan menelaah

berbagai literatur, artikel maupun bahan-bahan kuliah yang mempunyai relevansi

dengan materi skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan adalah untuk memperoleh dan

meningkatkan pengetahuan teoritis penulis yang akan digunakan dalam pembahasan

skripsi.
2. Penelitian Lapangan ( field research )

Penelitian lapangan ini meliputi pengumpulan data dari objek penelitian baik berupa

data kuantitatif maupun data kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan mengunjungi

objek penelitian untuk melakukan studi langsung atas dokumen, kebijakan, catatan,

laporan serta wawancara dengan pejabat yang terkait.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi dalam lima bab dan tiap bab terbagi dalam subbab-subbab

dengan urutan pembahasan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan gambaran umum tentang penyusunan skripsi.

Penjelasan tersebut mencakup uraian mengenai alasan pemilihan judul,

tujuan dan pendekatan skripsi, ruang lingkup penelitian, metode penelitian

yang digunakan untuk memperoleh data dan fakta dalam rangka

penyusunan skripsi, serta sistematika penyajian skripsi.

BAB II : LANDASAN TEORI

Dalam bab ini diuraikan teori-teori mengenai penagihan pajak yang

meliputi pengertian pajak dan utang pajak, asas-asas pemungutan pajak,

sistem pemungutan pajak di Indonesia, pengertian penagihan pajak, dasar

penagihan pajak, proses penagihan pajak, dan tugas dan wewenang

Jurusita Pajak Negara. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan


landasan teori untuk analisis pembahasan dan pengambilan simpulan serta

saran yang akan diajukan.

BAB III : PENAGIHAN PAJAK PADA KPP TANGERANG

Bab ini berisi uraian ringkas hasil penelitian di lapangan. Uraian tersebut

meliputi gambaran umum organisasi, seksi penagihan, rencana dan

realisasi penerimaan pajak, tunggakan pajak dan pencairannya,

pelaksanaan penagihan, dan hambatan yang dihadapi.

BAB IV : PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan melakukan pembahasan atas hasil penelitian di

lapangan. Pembahasan ini selalu didasarkan pada landasan teoritis seperti

yang telah dijabarkan dalam bab II.

BAB V : PENUTUP

Bab ini menyajikan beberapa simpulan yang dapat diambil dari

pembahasan bab-bab sebelumnya. Kemudian dari beberapa simpulan

tersebut, saran perbaikan akan coba diberikan berkenaan dengan

penagihan pajak pada KPP Tangerang.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Perpajakan

1. Pengertian Pajak dan Utang Pajak

Ada beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang beberapa diantaranya

akan penulis kutip sebagai berikut:

a. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.1

b. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas

Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum.”2

1
R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Hukum Pajak, (Bandung, PT
Eresco,1981), hal. 2.
2
Ibid., hal 5

7
8

Dari kedua pengertian tersebut di atas, terdapat beberapa hal penting dari pengertian

pajak:

a. iuran yang dapat dipaksakan;

b. berdasakan pada undang-undang;

c. tidak ada kontraprestasi langsung yang dapat dirasakan oleh si pembayar pajak;

d. digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara.

Pengertian utang pajak sesuai dengan Pasal 1 angka 8 UU PPSP, yaitu bahwa:

“utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa

bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat

sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Utang

pajak timbul karena adanya kekurangan pembayaran pajak sebagai koreksi dari surat

pemberitahuan Wajib Pajak beserta sanksi-sanksinya. Utang pajak berakhir karena

adanya pembayaran atau penghapusan utang pajak. Penghapusan utang pajak ini diatur

dalam KMK No.535/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan

Menteri Keuangan No. 539/KMK.03/2002, Tgl. 31-12-2002 tentang Tata Cara

Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Penghapusan piutang

pajak dapat dilakukan karena:

a. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia

dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli

waris tidak dapat ditemukan (untuk WP Orang Pribadi).


b. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang

saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan

atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan (untuk WP Badan).

c. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi.

d. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan penyampaian Salinan Surat

Paksa.

e. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluarsa.

f. Sebab lain sesuai hasil penelitian.

Yang bertanggung jawab atas utang pajak tidak hanya Wajib Pajak, tetapi juga

Penanggung Pajak. Wajib Pajak menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah orang pribadi atau

badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan

untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut atau pemotong pajak

tertentu. Penanggung Pajak menurut UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang

bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan

memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.
2. Asas-asas Pemungutan Pajak

Adam Smith mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan

nama four canons atau The Four Maxims, seperti yang ditulis oleh Erly Suandi dalam

buku yang berjudul Hukum Pajak, yang terdiri dari:

a. Equality

Pembebanan pajak diantara subyek pajak hendaknya seimbang dengan

kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya. Dalam

keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda

Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda. Equality ini dapat juga disebut non-

discrimination, sehingga orang asing dan warga negara Indonesia yang berada dalam

keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar.

b. Certainity

Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not

arbitrary). Pembuat undang-undang harus mengusahakan supaya ketentuan yang

dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda

atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Dalam asas ini kepastian hukum

yang diutamakan adalah mengenai subyek pajak, obyek pajak, tarif pajak, dan

ketentuan mengenai pembayarannya.

c. Convenience of payment

Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling tepat, yaitu saat sedekat-dekatnya

dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.


d. Economic of collections

Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai

biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.

3. Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mulai berlaku pada 1 Januari 1984,

Indonesia melakukan reformasi perpajakan dengan mengubah sistem pemungutan pajak

dari semi self assessment system dan withholding system dengan tata cara yang disebut

dengan MPO dan MPS menjadi self assessment system. Dalam sistem ini, Wajib Pajak

diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang

terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan sehingga penentuan

besarnya jumlah pajak terutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain itu, Wajib Pajak

harus melaporkan jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana

ditentukan dalam peraturan perpajakan, sedangkan fiskus (aparat perpajakan) tidak lagi

melakukan tugas merampungkan/menetapkan semua jumlah pajak yang harus dibayar,

melainkan melakukan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan dan penerapan

sanksi perpajakan (Penjelasan Umum angka ke-3 UU KUP). Hakikat sistem self

assessment adalah penetapan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Sistem pemungutan pajak yang digunakan dalam perpajakan Indonesia mempunyai

ciri-ciri sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka ke-3 UU KUP, yaitu:
a. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta

Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban

perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

b. tanggung jawab atas pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang

perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam

hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan

pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan

Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan;

c. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan

kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan

membayar sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini

pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat melaksanakan dengan lebih

rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat

Wajib Pajak.

Berdasarkan ciri-ciri sistem pemungutan pajak sesuai dengan Penjelasan Umum

angka ke-3 UU KUP di atas, jelaslah bahwa sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia

untuk saat ini memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak dalam menghitung,

memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Hal

ini dimaksudkan untuk mencapai kemandirian bangsa dalam membiayai negara dan

pembangunan nasional melalui pembayaran pajak dalam rangka kegotongroyongan


nasional. Dalam sistem perpajakan yang dianut sekarang, pemerintah yaitu aparat

perpajakan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak

dalam melaksanakan peraturan perpajakan yang berlaku.

B. Penagihan Pajak

1. Pengertian Penagihan Pajak

Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian penagihan pajak, seperti yang akan

penulis kutip sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 9 UU PPSP

Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi


utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita.

b. H. Moeljo Hadi, SH

Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal


Pajak, berhubung Wajib Pajak tidak melunasi sebagian/seluruh kewajiban
perpajakan yang terutang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku, agar
Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penagihan,
melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.3

2. Dasar Penagihan Pajak

UU KUP telah mengatur tentang dasar penagihan pajak yaitu:

3
H. Moeljo Hadi, S.H., Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh
Juru Sita Pajak Pusat dan Daerah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 8.
a. Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan bahwa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat

Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang

menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar

penagihan pajak.

b. Pasal 20 ayat (1) UU KUP:

Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh
Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3), ditagih dengan Surat Paksa.

Beberapa pengertian ketetapan pajak yang dapat ditagih dengan Surat Paksa sesuai

dengan Pasal 1 UU KUP, adalah:

a. Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau

sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang

menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan

pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih

dibayar.

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan

pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
d. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan

tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak,

Surat Tagihan Pajak, Surat Kepututsan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau

Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan ata Pembatalan

Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan

Kelebihan Pajak.

e. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat

ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang

diajukan Wajib Pajak.

f. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat

Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

3. Proses Penagihan Pajak

Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal

Pajak agar Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi utang pajaknya. Serangkaian

tindakan yang dimaksud adalah bahwa tindakan penagihan dilakukan tahap demi tahap

dari diterbitkan Surat Teguran, Surat Paksa, penyitaan, dan pelelangan. Dalam hal-hal

tertentu tindakan penagihan dapat juga meliputi penagihan seketika dan sekaligus,

pencegahan dan penyanderaan. Serangkaian tindakan ini telah diatur dalam Keputusan

Menteri Keuangan No. MK-561/KMK.04/2000 tentang tata Cara Pelaksanaan Penagihan


seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa, tanggal 26 Desember 2000, yang

meliputi:

a. Penyampaian Surat Teguran

Surat Teguran diterbitkan apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak melunasi

utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Surat Teguran adalah

surat yang diterbitkan untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak/Penanggung

Pajak untuk melunasi utang pajaknya, yang diterbitkan setelah tujuh hari sejak saat jatuh

tempo pembayaran. Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak/Penanggung

pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.

b. Penyampaian Surat Paksa

Apabila dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu hari) sejak diterbitkannya Surat

Teguran, Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya, maka kepala

kantor segera menerbitkan Surat Paksa. Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannnya

Surat Paksa, yaitu:

a. Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya dan kepadanya telah

diterbitkan Surat Teguran.

b. Telah dilakukan penagihan seketika/sekaligus.

c. Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan tentang persetujuan

angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

UU PPSP menegaskan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan oleh pejabat (pejabat

adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat

dari Surat Paksa dengan adanya kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”, kata-kata ini juga yang ada pada putusan

pengadilan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan. Berdasarkan pertimbangan inilah,

maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak harus

dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah fihak

menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat

Paksa telah diberitahukan.

c. Pelaksanaan Penyitaan

Pelaksanaan penyitaan diatur dalam Pasal 12 UU PPSP. Penyitaan adalah tindakan

yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang milik Penanggung Pajak

yang akan dijadikan jaminan pelunasan utang pajak. Tindakan ini dilakukan apabila

utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak dalam waktu 2 x 24 jam setelah Surat

Paksa diberitahukan. Pelaksanaan penyitaan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2

(dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan

dapat dipercaya. Pada intinya Jurusita Pajak melakukan penyitaan barang milik

Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan yang dikeluarkan

oleh pejabat yang berwenang. Pelaksanaan penyitaan harus disaksikan oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan penyitaan telah

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam melaksanakan penyitaan Jurusita Pajak
membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak,

Penanggung Pajak, dan saksi-saksi. Apabila Penanggung Pajak tidak hadir dalam

pelaksanaan penyitaan, penyitaan tetap dapat dilakukan dengan syarat ada seorang saksi

yang berasal dari Pemerintah Daerah setempat.

Pada dasarnya semua barang milik Penanggung Pajak dapat disita sebagaiman

dimaksud dalam Pasal 14 UU PPSP, kecuali terhadap:

a. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung

Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;

b. persediaan makanan dan minuman (termasuk obat-obatan dalam hal Penanggung

Pajak dan keluarganya sakit, kecuali obat-obatan untuk diperdagangkan) untuk

keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;

c. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;

d. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-

alat yang dipergunakan untuk pendidikan , kebudayaan, dan keilmuan;

e. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan

atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00

(dua puluh juta rupiah); atau

f. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga

yang menjadi tanggungannya.


d. Pelelangan

Tata cara pelelangan serta waktu pelaksanaannya diatur dalam Pasal 25 ayat (1),

Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 UU PPSP. Pelelangan adalah setiap penjualan barang di

muka umum yang dipimpin oleh Pejabat Lelang dengan cara penawaran harga secara

terbuka/lisan dan/atau tertutup yang didahului dengan pengumuman lelang. Terhadap

utang pajak dan biaya penagihan pajak yang tidak dilunasi setelah dilakukan penyitaan,

pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita

melalui Kantor Lelang, kecuali yang telah ditentukan oleh undang-undang tidak melalui

penjualan sita lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPSP. Landasan

hukum pelaksanaan lelang atas barang sitaan pajak adalah Pasal 25 ayat (1) UU PPSP,

yaitu: “Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah

dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang

terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.”

Sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, pelaksanaan penjualan secara lelang

terhadap barang yang telah disita dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari

setelah pengumuman lelang. Pengumuman lelang itu sendiri dilakukan dalam waktu

sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan penyitaan. Pengumuman

tersebut dilakukan 1 (satu) kali untuk barang bergerak dan 2 (dua) kali untuk barang tidak

bergerak.

Hasil dari pelaksanaan lelang barang-barang yang telah disita akan digabungkan

dengan hasil penjualan barang-barang sitaan tanpa melalui lelang, yang akan
dipergunakan terlebih dahulu untuk melunasi biaya penagihan pajak, dan sisanya baru

akan digunakan untuk membayar utang pajak. Bila masih ada sisanya maka akan

dikembalikan kepada Penanggung Pajak, tetapi apabila hasil lelang tidak mencukupi

untuk membayar utang pajak, maka Jurusita Pajak dapat melakukan penyitaan tambahan,

hal ini diatur dalam Pasal 21 huruf (b) UU PPSP yaitu “penyitaan tambahan dapat

dilaksanakan apabila nilai barang yang dilelang nilainya tidak cukup untuk melunasi

biaya penagihan pajak dan utang pajak.” Setelah lelang selesai dilaksanakan maka akan

dibuatkan Risalah Lelang yang merupakan suatu Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang

dapat berfungsi sebagai suatu akta jual beli yang merupakan bukti otentik sebagai dasar

untuk pengalihan hak atas barang yang dilelang.

e. Penagihan Seketika dan Sekaligus

Penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak tanpa menunggu tanggal

jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang pajak, jenis pajak, masa pajak, dan tahun

pajak. Seketika artinya penagihan dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo

pembayaran. Sekaligus artinya penagihan pajak meliputi seluruh utang pajak dari semua

jenis pajak dan tahun pajak.

Pasal 20 UU KUP menyebutkan bahwa penagihan seketika dan sekaligus dapat

dilakukan bila:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat

untuk itu.
b. Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan

perusahaannya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun

memindahtangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya

atau dikuasainya.

c. Pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula

dalam hal penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik

Penanggung Pajak.

f. Pencegahan dan Penyanderaan

Tindakan penagihan dapat pula dilakukan terhadap diri/badan Wajib

Pajak/Penanggung Pajak yaitu dengan melakukan pencegahan dan penyanderaan.

Definisi dari pencegahan dinyatakan dalam Pasal 1 angka 20, yaitu: “Pencegahan adalah

larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar

wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan

perundangan-undangan”, sedangkan penyanderaan dinyatakan dalam angka 21 UU

PPSP, yaitu: “Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan

Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.”

Agar tindakan pencegahan dan penyanderaan tidak dilakukan secara sewenang-

wenang, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Dalam Pasal 29 dan Pasal 33 UU PPSP pencegahan dan penyanderaan hanya dapat

dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-

kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


b. Diragukan itikad baiknya untuk melunasi utang pajak.

c. Telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa.

4. Tugas dan Wewenang Juru Sita Pajak Negara

Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang diangkat dan

diberhentikan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak

pusat, Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah. Sebelum

memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji menurut agama dan

kepercayaannya oleh pejabat.

Berdasarkan uraian dari proses pelaksanaan penagihan, maka dapat disimpulkan

bahwa Jurusita Pajak merupakan ujung tombak dari upaya pencairan tunggakan pajak

negara yang mempunyai beberapa tugas sebagai berikut:

a. melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus;

b. memberitahukan Surat Paksa (menyampaikan Surat Paksa secara resmi kepada

Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa;

c. melaksanakan penyitaan atas barang milik Penanggung Pajak berdasarkan Surat

Perintah Melakukan Penyitaan;

d. melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan

memeriksa semua ruangan, termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk

menemukan obyek sita di tempat usaha dan melakukan penyitaan di tempat kedudukan,

atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai
tempat penyimpanan obyek sita. Kewenangan ini harus tetap memperhatikan norma yang

berlaku dalam masyarakat, misalnya dengan terlebih dahulu meminta izin dari

Penanggung Pajak.

Sesuai dengan SE-01/PJ.75/2005 tanggal 3 Maret 2005 tentang Kebijakan

Penagihan Pajak Tahun 2005, standar prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan pajak

tahun 2005 adalah:

a. Penyampaian Surat Paksa : 12 Surat Paksa per Jurusita per bulan.

b. Penyampaian SPMP : 3 SPMP per Jurusita per bulan.

c. Pelaksanaan Lelang : 1 lelang per Triwulan per KPP.

d. Pemblokiran rekening bank : minimal 1 Wajib Pajak per bulan per KPP

e. Pencegahan

1) Bagi Kanwil DJP yang berada di pulau Jawa: minimal 2 Wajib Pajak per

Triwulan per Kanwil.

2) Bagi Kanwil yang berada di luar pulau Jawa: minimal 1 Wajib Pajak pe Triwulan

per Kanwil.

Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan fihak lain,

misalnya dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi izin atau menghalangi pelaksanaan

penyitaan, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal

penyitaan terhadap barang tidak bergerak seperti tanah, Jurusita Pajak dapat meminta

bantuan kepada Badan Pertanahan Nasional atau Pemerintah Daerah untuk meneliti

kelengkapan dokumen berupa keterangan kepemilikan atau dokumen lainnya. Dalam hal
penyitaan terhadap kapal laut dengan isi kotor tertentu, Jurusita Pajak dapat meminta

bantuan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut


BAB III

PENAGIHAN PAJAK PADA KPP TANGERANG

A. Gambaran Umum KPP Tangerang

KPP Tangerang diresmikan pada tanggal 1 Maret 1989 oleh Direktur Jenderal

Pajak saat itu, Marie Muhamad. Wilayah kerja KPP Tangerang meliputi Kotamadya dan

Kabupaten Tangerang. Kantor Pelayanan Pajak dahulu bernama Kantor Inpeksi Pajak

(KIP) yang kemudian dengan keputusan Menteri Keuangan, KIP berganti nama menjadi

Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kemudian sekitar tahun 1994 KPP Tangerang dipecah

menjadi dua, yaitu:

1. KPP Tangerang, yang wilayah kerjanya meliputi Kotamadya Tangerang.

2. KPP Serpong, yang wilayah kerjanya meliputi Kabupaten Tangerang.

Dipecahnya KPP Tangerang disebabkan karena adanya perkembangan wilayah

kabupaten dan kotamadya Tangerang. Hal ini dilakukan untuk memudahkan

pemantauan/pengawasan dan untuk memberi pelayanan pajak yang lebih maksimal

kepada Wajib Pajak.

Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Tangerang berada di Wilayah Adminstrasi

Daerah Tingkat II Kotamadya Tangerang yang meliputi 13 ( tigabelas ) kecamatan yang

letak geografisnya sangat strategis terutama pengembangan ekonominya. Jumlah Wajib

Pajak terdaftar per 1 Januari 2005 adalah 24.660 WP orang pribadi dan 10.296 WP

25
26

badan. Kotamadya Tangerang merupakan salah satu kota penyangga Daerah Khusus

Ibukota. Jakarta. Pertumbuhan dan perkembangan DKI Jakarta yang sangat pesat

menyebabkan lahan wilayahnya menjadi sempit dan mahal, sehingga Kotamadya

Tangerang menjadi salah satu limpahan baik itu dari segi penyebaran penduduk maupun

lahan pengembangan usaha. Dampak dari hal-hal tersebut di atas adalah lahan-lahan/areal

yang tadinya untuk usaha pertanian (agraris) berubah fungsi menjadi pabrik, gudang

maupun tempat pemukiman penduduk. Disamping itu, Kotamadya Tangerang juga

meliputi Bandara Soekarno-Hatta yang menjadi lalu lintas baik itu penumpang pesawat

maupun perdagangan ekspor-impor barang.

Dari hal-hal tersebut di atas yang spesifik di Wilayah Kotamadya Tangerang

adalah:

1. Banyak perusahaan yang berlokasi/berkantor cabang di Kotamadya Tangerang namun

tempat kedudukan (domisili) di Jakarta.

2. Banyak warga Kotamadya Tangerang yang bekerja di Jakarta.

3. Banyak data dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta.

KPP Tangerang semula berada di bawah koordinasi Kantor Wilayah (Kanwil) VII

Bandung. Akan tetapi dengan terbentuknya Propinsi Banten, KPP Tangerang kemudian

dialihkan menjadi di bawah koordinasi Kanwil VIII Serang pada bulan Januari 2002,

yang kemudian menjadi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Bagian Barat I

(Kanwil DJP JBB I). Tugas utamanya adalah melaksanakan kegiatan operasional

pelayanan, pengawasan administrasi, pemeriksaan sederhana terhadap Wajib Pajak


dibidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan

Barang Mewah (PPn BM), dan pajak tidak langsung lainnya dalam wilayah

wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana tersebut di atas, KPP Tangerang

menyelenggarakan fungsi:

1. Pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, pengamatan

potensi perpajakan, dan ekstensifikasi Wajib Pajak.

2. Penelitian dan penatausahaan surat pemberitahuan tahunan, surat pemberitahuan

masa, serta berkas Wajib Pajak.

3. Pengawasan pembayaran masa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya.

4. Penatausahaan piutang pajak, penerimaan, penagihan, penyelesaian keberatan,

penatausahaan banding, dan penyelesaian restitusi Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Tidak Langsung

Lainnya.

5. Pemeriksaan sederhana dan penerapan sanksi perpajakan.

6. Pengurangan sanksi perpajakan.

7. Penerbitan surat ketetapan pajak.

8. Pembetulan surat ketetapan pajak.

9. Penyuluhan dan konsultasi perpajakan.

10. Pelaksanaan administrasi kantor pelayanan pajak.


KPP Tangerang termasuk klasifikasi kantor pelayanan pajak tipe A yang dikepalai

oleh seorang kepala kantor dan membawahi 139 orang karyawan, yang tersebar dalam

delapan seksi, satu Sub Bagian Umum, dan satu Kantor Penyuluhan dan Pengamatan

Potensi Perpajakan. Adapun susunannya per 1 April 2006 adalah:

1. Kepala Kantor : 1 orang

2. Kepala Seksi : 10 orang

3. Koordinator Pelaksana : 25 orang

4. Pelaksana : 104 orang

Tugas dan wewenang dari masing-masing bagian tersebut adalah:

1. Subbagian umum mempunyai tugas urusan tata usaha dan kepegawaian, urusan

keuangan, dan urusan rumah tangga.

2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi mempunyai tugas melakukan urusan

pengolahan data dan penyajian informasi, pembuatan monografi pajak, penggalian

potensi perpajakan serta ekstensifikasi Wajib Pajak.

3. Seksi Tata Usaha Perpajakan mempunyai tugas melakukan urusan penatausahaan

pendaftaran, pemindahan dan pencabutan identitas Wajib Pajak, penerimaan dan

penelitian surat pemberitahuan pajak dan surat Wajib Pajak lainnya, kearsipan berkas

Wajib Pajak, serta penerbitan surat ketetapan pajak.

4. Seksi Pajak Penghasilan Orang Pribadi mempunyai tugas pengawasan dan perekaman

surat pemberitahuan pajak penghasilan orang pribadi, pengawasan pembayaran masa,

pemeriksaan sederhana berdasarkan kriteria yang ditentukan, dan fiskal luar negeri.
5. Seksi Pajak Penghasilan Badan mempunyai tugas pengawasan dan perekaman surat

pemberitahuan pajak penghasilan badan, pengawasan pembayaran masa, pemeriksaan

sederhana berdasarkan kriteria yang ditentukan.

6. Seksi Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan mempunyai tugas melakukan

urusan penatausahaan dan perekaman surat pemberitahuan pemotongan dan

pemungutan pajak penghasilan, pengawasan pembayaran masa serta melakukan

pemeriksaan sederhana berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.

7. Seksi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak tidak Langsung Lainnya mempunyai tugas

melakukan urusan penatausahaan dan perekaman surat pemberitahuan masa Pajak

Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, dan pajak tidak langsung

lainnya, pengawasan pembayaran masa, konfirmasi faktur pajak, serta pemeriksaan

sederhan berdasarkan kriteria yang ditentukan.

8. Seksi penagihan mempunyai tugas menatausahakan piutang pajak, penagihan,

penundaan dan angsuran, dan pembuatan usulan penghapusan piutang pajak.

9. Seksi Penerimaan dan Keberatan mempunyai tugas melakukan urusan rekonsiliasi

penerimaan, pengolahan dan penyaluran surat storan pajak serta perhitungan pajak,

penyiapan surat keputusan pengembalian kelebihan pajak dan surat perintah

membayar kelebihan pajak, penyelesaian keberatan dan uraian banding, pembetulan

surat ketetapan pajak, serta pengurangan sanksi.


B. Seksi Penagihan KPP Tangerang

Jumlah pegawai pada seksi Penagihan KPP Tangerang adalah 12 orang dan 4

(empat) orang diantaranya adalah merupakan Jurusita Pajak. Dalam melaksanakan

tugasnya Kepala Seksi Penagihan dibantu oleh dua orang Koordinator Pelaksana yaitu:

1. Sub Seksi Penagihan Aktif yang membawahi Jurusita Pajak dengan tugas:

a. menerima dokumen dari Seksi TUP (Tata Usaha perpajakan) yang berupa daftar

keterangan pajak dan daftar keputusan pengurangan pajak;

b. mempersiapkan teguran dan melakukan penagihan pajak aktif;

c. pembuatan laporan pelaksanaan kegiatan penagihan dan pengawasan pelaksanaan

tugasnya.

2. Sub Seksi Tata Usaha Piutang Pajak, tugasnya yaitu:

a. melakukan urusan-urusan tata usaha piutang pajak, menangani permohonan

penundaan, angsuran, pembuatan usulan penghapusan piutang pajak, pembuatan

laporan perkembangan tunggakan pajak;

b. mencatat surat setoran pajak atau bukti pemindahbukuan dalam buku pengawasan

penagihan, menerbitkan Surat Tagihan Pajak bunga penagihan, membuat nota

perhitungan pembayaran kelebihan pajak atas Surat Keputusan Keberatan dan

Putusan Banding;

c. menerima dokumen dan mengarsipkan daftar pengantar ketetapan pajak, daftar

keputusan pengurangan dan lampirannya;

d. menjawab atau memberikan konfirmasi tentang tunggakan pajak.


Kendaraan operasional yang dimiliki oleh seksi Penagihan adalah 1 (satu) buah mobil

dan 2 (dua) buah sepeda motor.

C. Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak

Target penerimaan pajak yang dibebankan pada KPP Tangerang senantiasa

bertambah dari tahun ke tahun. Semua pegawai yang ada pada KPP Tangerang selalu

didorong untuk meningkatkan kinerjanya, supaya angka penerimaan yang dibebankan

pada KPP Tangerang dapat tercapai. Jumlah tunggakan pajak yang dapat dicairkan oleh

seksi Penagihan akan dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi penerimaan

KPP Tangerang. Berikut ini adalah jumlah rencana dan realisasi penerimaan KPP

Tangerang tahun 2005 berdasarkan jenis pajak.

Tabel 3.1
Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak per Jenis Pajak Tahun 2005
(Dalam Jutaan Rupiah)
No. Jenis Pajak Rencana (Rp) Realisasi(Rp) Prosentase

1. Pajak Penghasilan 949.195,11 820.253,80 90,1%

2. PPN dan PPn BM 710.685,93 532.616,62 89,5%

3. Pajak Lainnya dan PIB 19.708,86 29,396,73 150,5%

Jumlah 1.679.589,90 1.382.267,15 82,3%

Sumber: Laporan Penerimaan Pajak Tahun 2005, Seksi Penerimaan dan Keberatan KPP
Tangerang
D. Jumlah Tunggakan Pajak dan Pencairannya

Tunggakan pajak KPP Tangerang dari waktu ke waktu senantiasa berubah.

Perkembangan tunggakan ini dilaporkan setiap bulan dalam bentuk KPL.KPP 7.5.1-96.

Berikut ini disajikan laporan perkembangan tunggakan pajak tahun 2005:

Tabel 3.2
Perkembangan Jumlah Tunggakan Pajak Tahun 2005
(Dalam Ribuan Rupiah)
No. Tunggakan Tunggakan
Bulan Penambahan Pengurangan
Awal Bulan Akhir Bulan
(1) (2) (3) (4) (5) (6)=(3)+(4)-(5)

1. Januari 76.531.855 3.985.940 7.817.600 72.700.195


2. Pebruari 72.700.195 2.903.043 6.105.619 69.497.619
3. Maret 69.497.619 10.951.317 3.537.167 76.911.769
4. April 76.911.769 2.880.403 4.431.029 75.361.143
5. Mei 75.361.143 2.752.295 8.933.080 69.180.358
6. Juni 69.180.358 2.784.923 13.883.910 58.081.371
7. Juli 58.081.371 2.329.336 3.822.959 56.587.748
8. Agustus 56.587.748 2.050.463 10.806.276 47.831.935
9. September 47.831.935 1.025.154 1.912.442 46.944.647
10. Oktober 46.944.647 5.097.581 17.840.491 34.201.737
11. Nopember 34.201.737 2.563.595 941.560 35.823.772
12. Desember 35.823.772 13.270.051 3.004.494 46.089.329

Jumlah 52.594.101 83.036.627


Sumber: Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak per Jenis Pajak periode Januari –
Desember 2005, Seksi Penagihan KPP Tangerang

Pengurangan tunggakan pajak selama tahun 2005 adalah sebagai berikut:

1. Pembayaran melalui:

a. Surat Setoran Pajak : Rp 25.615.606.000

b. Pemindahbukuan : Rp 24.020.441.000
2. SK Pembetulan / SK Keberatan / Putusan Banding : Rp 31.900.681.000

3. Penghapusan : Rp 1.499.899.000

E. Pelaksanaan Penagihan Pajak

Terhadap Penanggung Pajak yang belum melunasi utang pajaknya dalam jangka

waktu pembayaran seperti tertera dalam surat ketetapan pajak yang menyebabkan jumlah

tunggakan seperti pada tabel 3.2, KPP Tangerang melakukan penagihan yang berupa

penyampaian Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa, pelaksanaan Surat Perintah

Melakukan Penyitaan, maupun pelaksanaan lelang terhadap. Dalam hal-hal tertentu dapat

juga dilakukan penagihan seketika dan sekaligus, juga pencegahan dan penyanderaan.

Selama tahun 2005 kedua hal tersebut belum pernah dilakukan oleh KPP Tangerang.

Pelaksaanaan tindakan penagihan pajak harus sampai selesai sampai dengan utang

pajak menjadi cair. Pengertian cair disini mengandung dua pengertian yakni sampai

dengan lunas atau tidak dapat dilakukan penagihan dan dihapuskan. Pengertian lunas

memiliki dua arti yakni dengan cara dibayar lunas baik dibayar melalui uang tunai

ataupun melalui pemindahbukuan atau dengan cara penjualan sita lelang atas barang-

barang milik Penanggung Pajak.

Kemudian dalam kasus-kasus tertentu utang pajak dapat diusulkan untuk

dihapuskan manakala sudah tidak ada lagi kemampuan dari Penanggung Pajak untuk

membayar pajak dan tidak ada lagi obyek sitanya. Kasus penghapusan utang pajak harus

dilakukan dengan hati-hati, sebab timbulnya utang pajak dalam surat ketetapan pajak

biasanya dilakukan melalui pemeriksaan, sehingga dihapuskannya utang pajak


mengandung arti penggunaan wewenang untuk menentukan Surat Pemberitahuan Wajib

Pajak yang diperiksa dan mungkin juga jalannya pemeriksaan yang error.

1. Penyampaian Surat Teguran

Penerbitan Surat Teguran atau surat peringatan merupakan tindakan awal dari

pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan

dengan penerbitan Surat Paksa. Penerbitan Surat Teguran di KPP Tangerang dilakukan

dengan bantuan komputer yang menggunakan program Sistem Informasi Perpajakan

yang berjumlah 4 (empat) unit, sehingga seluruh Surat Ketetapan Pajak dan Surat

Tagihan Pajak yang belum lunas dapat segera diterbitkan surat tegurannya. Komputer

secara otomatis akan menampilkan data tunggakan pajak lengkap dengan identitas Wajib

Pajak yang memenuhi kriteria untuk diterbitkan Surat Teguran. Setelah ditandatangani

oleh Kepala Seksi Penagihan, Surat Teguran dikirimkan kepada Wajib Pajak melalui

Kantor Pos.

Berikut ini disajikan tabel yang memuat informasi tentang jumlah Surat Teguran

dan jumlah tunggakan pajak yang ditagih dengan Surat Teguran yang diterbitkan dalam

setia triwulan selama tahun 2005. Dari jumlah Surat Teguran tersebut tidak tersedia

informasi tentang jumlah Surat Teguran yang kempos (kembali pos), karena KPP

Tangerang tidak mengadministrasikannya.


Tabel 3.3
Penyampaian Surat Teguran Tahun 2005
Jumlah Surat Teguran
Triwulan Wajib Pajak
(Lembar) (Rupiah)
I Badan 2,220 13,949,142,000
Orang Pribadi 456 1,003,665,000
Jumlah 2,676 14,952,807,000
II Badan 427 14,505,477,000
Orang Pribadi 1,171 670,469,000
Jumlah 1,598 15,175,946,000
III Badan 884 12,962,208,000
Orang Pribadi 534 279,848,000
Jumlah 1,418 13,242,056,000
IV Badan 738 5,846,251,000
Orang Pribadi 506 180,799,000
Jumlah 1,244 6,027,050,000
Jumlah Badan 4,269 47,263,078,000
Orang Pribadi 2,667 2,134,781,000
Jumlah 6,936 49,397,859,000
Sumber : Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP Tangerang

2. Penyampaian Surat Paksa

Penyampaian Surat Paksa yang merupakan surat perintah untuk membayar utang

pajak dan biaya penagihan pajak adalah langkah awal dari pelaksanaan tindakan

penagihan pajak secara aktif. Seperti juga Surat Teguran, Surat Paksa diterbitkan dengan

bantuan komputer. Perbedaannya adalah bahwa Surat Teguran diterbitkan kepada semua

Penanggung Pajak yang belum melunasi utang pajaknya, sedangkan Surat Paksa

diterbitkan berdasarkan jumlah utang pajaknya. Penerbitan Surat Paksa di KPP


Tangerang dilakukan hanya kepada Wajib Pajak yang mempunyai utang pajak minimal

Rp 500.000,00.

SE-01/PJ.75/2005 tanggal 3 Maret 2005 tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun

2005 menetapkan standar prestasi untuk Jurusita Pajak. Standar pelaksanaan

penyampaian Surat Paksa adalah 12 Surat Paksa untuk setiap Jurusita Pajak dalam

sebulan. Meskipun telah ditetapkan jumlah minimal penyampaian Surat Paksa, dalam

kenyataannya KPP Tangerang tidak melakukan pengawasan terhadap kinerja para

Jurusita Pajak. Berikut ini disajikan laporan tentang pelaksanaan penyampaian Surat

Paksa selama tahun 2005:

Tabel 3.4
Penyampaian Surat Paksa

Jumlah Surat Paksa


Triwulan Wajib Pajak
(Lembar) (Rupiah)

I Badan 118 2,065,640,000


Orang Pribadi 19 222,897,000
Jumlah 137 2,288,537,000
II Badan 316 1,448,821,000
Orang Pribadi 140 866,002,000
Jumlah 456 2,314,823,000
III Badan 109 1,784,489,000
Orang Pribadi 128 185,923,000
Jumlah 237 1,970,412,000
IV Badan 161 9,724,433,000
Orang Pribadi 161 203,160,000
Jumlah 322 9,927,593,000

Jumlah Badan 704 15,023,383,000


Orang Pribadi 448 1,477,982,000
Jumlah 1,152 16,501,365,000
Sumber: Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP Tangerang
3. Pelaksanaan SPMP

Tidak seperti penerbitan Surat Teguran dan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan

Penyitaan (SPMP) dilakukan secara manual. Selama tahun 2005 KPP Tangerang telah

melakukan tindakan penyitaan sebanyak 19 (sembilan belas) kali dengan rincian sebagai

berikut:

Tabel 3.5
Penyampaian Surat Perintah Melakukan Penyitaan
Jumlah SPMP
Triwulan Wajib Pajak
(Lembar) (Rupiah)
I Badan 10 9,470,047,000
Orang Pribadi 1 16,100,000
Jumlah 11 9,486,147,000
II Badan 1 553,238,000
Orang Pribadi 3 93,132,000
Jumlah 4 646,370,000
III Badan 2 1,441,621,000
Orang Pribadi 0 0
Jumlah 2 1,441,621,000
IV Badan 2 1,705,020,000
Orang Pribadi 0 0
Jumlah 2 1,705,020,000
Jumlah Badan 15 13,169,926,000
Orang Pribadi 4 109,232,000
Jumlah 19 13,279,158,000
Sumber: Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP Tangerang
4. Pengumuman dan Pelaksanaan Lelang

Pelelangan adalah penjualan barang-barang milik Wajib Pajak/Penanggung Pajak di

muka umum. Pelelangan dilakukan apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak

melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak setelah dilakukan tindakan penyitaan.

Selama tahun 2005 KPP Tangerang belum pernah melakukan tindakan pelelangan

terhadap harta Penanggung Pajak yang telah disita berdasarkan .

F. Hambatan-hambatan yang Dihadapi

Berdasarkan hasil wawancara dengan Jurusita Pajak dan Kepala Seksi Penagihan

diproleh informasi bahwa dalam melaksanakan penagihan pajak sebagai upaya pencairan

tunggakan pajak, Jurusita Pajak banyak menemui berbagai kendala. Kendala-kendala

tersebut adalah:

1. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia ataupun badan yang telah dibubarkan

masih diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP).

2. Surat Pemberitahuan Pajak dan Surat Setoran Pajak yang diterima dari Wajib Pajak

melalui Kantor Pos seringkali terlambat direkam oleh petugas di Tempat Pelayanan

Terpadu, sehingga sering diterbitkan Surat Tagihan Pajak terhadap Wajib Pajak yang

taat.

3. Dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pokok Pengusaha Kena

Pajak seringkali tidak dilakukan verifikasi lapangan, sehingga menyebabkan data

yang tercantum dalam Master File Wajib Pajak di KPP menjadi tidak akurat.
4. Tidak dilakukannya pemutakhiran data Penanggung Pajak dari hasil pemeriksaan di

lapangan.

5. Pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak seringkali dilakukan secara semena-

mena sehingga melahirkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak berdasar. Ketika

dilakukan penagihan atas SKP tersebut Wajib Pajak menolaknya.

6. Dokumen kepemilikan harta milik Wajib Pajak yang telah dijadikan agunan utang,

sehingga menyulitkan jurusita dalam melakukan penyitaan.

7. Kurangnya kerjasama antar seksi.

8. Kurangnya motivasi Jurusita Pajak.

9. Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak mempunyai pemahaman yang baik terhadap hak

dan kewajiban perpajakannya.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Evaluasi atas Seksi Penagihan KPP Tangerang

Seksi Penagihan merupakan ujung tombak KPP dalam pencairan tunggakan pajak

yang merupakan salah satu sumber penerimaan KPP. Pegawai di Seksi ini berjumlah 12

(dua belas) orang, yang terdiri dari 1 (satu) orang Kepala Seksi, 2 (dua) orang

Koordinator Pelaksana, dan 9 (sembilan) orang pelaksana termasuk 4 (empat) orang di

dalamnya merupakan Jurusita Pajak. Masing-masing pegawai tersebut telah ditentukan

jenis pekerjaan dan tanggung jawabnya, seperti pengadministrasian SSP, penerbitan Surat

Teguran dan Surat Paksa, pembuatan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP),

penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, dan SPMP, pembuatan laporan penagihan,

pemberian jawaban konfirmasi kepada KPP lain.

Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan yang meliputi penagihan

seketika dan sekaligus, penyampaian Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan, dan

penyanderaan. Sebelum memangku jabatannya terlebih dahulu diambil sumpah atau janji

menurut agama dan kepercayaannya oleh Kepala KPP Tangerang. Jumlah pegawai KPP

Tangerang yang telah mendapatkan pendidikan Jurusita Pajak sebanyak 8 (delapan)

orang dan 7 (tujuh) orang diantaranya telah diambil sumpahnya sebagai Jurusita Pajak

oleh Kepala Kantor.

40
41

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Penagihan diperoleh informasi

bahwa jumlah Jurusita Pajak yang ditempatkan di Seksi Penagihan sebanyak 4 (empat)

orang telah mencukupi untuk melaksanakan tindakan penagihan yang akan dilakukan

oleh seksinya, sehingga dalam pelaksanaan tindakan penagihan tidak pernah melibatkan

Jurusita Pajak yang ditempatkan di seksi lain. Keempat orang Jurusita Pajak tersebut

(yang mempunyai latar belakang pendidikan SLTA) masing-masing mempunyai masa

kerja 9, 14, 21, dan 25 tahun.

Sebagai sarana dalam melaksanakan penagihan pajak, seksi Penagihan diberikan

kendaraan operasional berupa 1 (satu) buah mobil dan 2 (dua) buah sepeda motor.

Biasanya sepeda motor ini digunakan untuk menyampaikan Surat Paksa kepada Wajib

Pajak yang alamatnya cukup dekat dari kantor, sedangkan mobil biasanya digunakan

untuk menyampaikan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang alamatnya cukup jauh dari

kantor dan juga digunakan dalam setiap pelaksanaan Surat Perintah Melakukan

Penyitaan. Diakui oleh Jurusita Pajak bahwa penggunaan jenis kendaraan dalam

pelaksanaan penagihan akan berpengaruh terhadap respon Wajib Pajak dalam

menanggapi apa yang disampaikan oleh Jurusita Pajak.

Dokumen-dokumen dari tindakan penagihan yang telah dilakukan disimpan dalam

berkas penagihan. Berkas penagihan ini merupakan file permanen dari tindakan

penagihan pajak dari awal sampai dengan akhir. Berkas penagihan ini akan bermanfaat
bila tindakan penagihan dilakukan sampai dengan penjualan obyek sita atas barang-

barang milik Penanggung Pajak. Isi dari berkas penagihan antara lain:

1. Tindasan Surat Teguran berikut dengan data pengiriman Surat Teguran.

2. Asli dari Surat Paksa yang dilengkapi dengan Berita Acara Pemberitahuan Surat

Paksa dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Surat Paksa.

3. Tindasan Surat Perintah Melakukan Penyitaan, yang dilengkapi dengan Berita Acara

Pelaksanaan .

4. Surat permintaan jadwal waktu lelang kepada Kantor Lelang Negara.

5. Surat Pengumuman Lelang.

6. Daftar tunggakan utang pajak.

7. Surat-surat yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang.

B. Evaluasi Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak

Sumber penerimaan pajak KPP Tangerang selama tahun 2005 dapat dikelompokan

kedalam 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Pajak Penghasilan (PPh), yang terdiri dari PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 bendaharawan,

PPh Pasal 22 atas badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri

rokok, industri kertas, industri otomotif, serta yang dilakukan oleh pertamina dan

Bulog, PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25/29 orang pribadi, PPh Pasal

25/29 badan, PPh Pasal 26, PPh final, Fiskal Luar Negeri, dan PPh Minyak Bumi.

Realisasi jumlah penerimaan PPh mencapai 59,4 % dari total penerimaan KPP.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM),

yang terdiri dari PPN dalam negeri, PPN impor, PPn BM dalam negeri, dan PPn BM

impor. Realisasi jumlah penerimaan PPN dan PPn BM mencapai 38,5% dari total

penerimaan KPP.

3. Pendapatan atas pajak lainnya dan PIB (Pemberian Imbalan Bunga), terdiri dari Bea

Materai, Pajak Tidak Langsung Lainnya, bunga penagihan PPh, dan bunga penagihan

PPN dan PTLL, BPP (Berbagai Penerimaan Pajak), dan PIB (Pemberian Imbalan

Bunga). Realisasi jumlah penerimaan pendapatan atas pajak lainnya ini mencapai

2,1% dari total penerimaan KPP.

Rencana jumlah penerimaan yang dibebankan kepada KPP Tangerang selama

tahun 2005 adalah sebesar Rp 1.679.589.900.000. Berbagai upaya telah dilakukan oleh

KPP Tangerang untuk memenuhi target yang diberikan kepadanya, tetapi meskipun

demikian jumlah penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan oleh KPP Tangerang

selama tahun 2005 kurang menggembirakan, yaitu jumlahnya hanya mencapai Rp

1.382.267.150.000. Bila dibandingkan dengan rencana penerimaannya, hasil yang

diperoleh hanya mencapai 82,3%.

Berikut ini disajikan diagram batang yang menggambarkan perbandingan antara

rencana dengan realisasi penerimaan pajak KPP Tangerang selama tahun 2005:
Gambar 4.1
Diagram Batang Perbandingan Rencana dengan Realisasi Penerimaan Pajak
Tahun 2005

1000000
900000
800000
700000
(Jutaan Rupiah)

600000
500000
400000
300000 Rencana
200000 Realisasi
100000
0

PPh PPN dan PL & PIB


PPn BM

Sumber: Diolah dari Laporan Penerimaan Pajak Tahun 2005, Seksi Penerimaan dan
Keberatan KPP Tangerang

Dari diagram batang tersebut di atas terlihat bahwa sumber penerimaan pajak yang

terbesar adalah dari PPh, kemudian disusul dengan PPN dan PPn BM dan yang terkecil

adalah dari Pajak lainnya dan PIB. Target penerimaan yang tercapai hanya dari Pajak

lainnya dan PIB, sedangkan target penerimaan PPh dan PPN & PPn BM tidak tercapai.

Tidak tercapainya target penerimaan pajak KPP Tangerang disebabkan oleh hal-hal

sebagai berikut:

1. Masih banyaknya Surat Setoran Pajak (SSP) dari Wajib Pajak yang belum diterima

oleh KPP Tangerang pada akhir bulan Desember, sehingga perekaman SSP lembar

kedua yang merupakan dasar untuk menentukan jumlah penerimaan belum

dilakukan. Hal ini terjadi apabila Wajib Pajak membayar kewajiban pajaknya di luar
kota Tangerang. SSP tersebut akan dikirimkan oleh KPP lain di kota dimana Wajib

Pajak membayar pajaknya. Keadaan ini akan menyebabkan penerimaan pajak

sebesar yang tercantum dalam SSP-SSP tersebut akan menjadi penerimaan pajak

tahun 2006.

2. Adanya pengakuan penerimaan oleh KPP lain atas SSP-SSP Wajib Pajak KPP

Tangerang yang salah pendistribusiannya oleh Kantor Wilayah (Kanwil). Hal ini

dilakukan untuk menambah penerimaan KPP lain tersebut. Meskipun identitas Wajib

Pajak-Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar di KPP lain tersebut, perekaman atas SSP

lembar kedua dapat dipaksakan, sehingga jumlah pembayaran pajak dalam SSP-SSP

tersebut akan menjadi penerimaan KPP lain tersebut. Keadaan ini hanya sementara,

karena pada akhirnya seksi teknis akan mengembalikan SSP lembar kedua yang tidak

terdaftar di master file kepada Seksi Penerimaan dan Keberatan, sehingga jumlah

penerimaan pajaknya pun akan berkurang. Hal ini biasanya dilakukan oleh KPP-KPP

pada akhir tahun, tujuannya adalah agar target penerimaan KPP-nya dapat tercapai,

meskipun di dalamnya terdapat penerimaan KPP lain.

C. Evaluasi Jumlah Tunggakan Pajak dan Pencairannya

Jumlah tunggakan pajak selalu mengalami perubahan selama tahun 2005.

Perubahan ini terjadi karena adanya penambahan dan pengurangan jumlah tunggakan,

yang merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan berupa pelunasan utang pajak oleh

Wajib Pajak/Penanggung Pajak di satu sisi dan hasil dari penegakan hukum oleh aparatur

perpajakan pada sisi lain.


Penambahan tunggakan pajak timbul akibat adanya ketetapan-ketetapan pajak baru

yang memuat sejumlah pajak yang masih harus dibayar beserta sanksi administrasinya.

Tunggakan pajak timbul apabila jumlah utang pajak sebagaimana yang tercantum dalam

ketetapan pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak sampai dengan

tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketetapan-ketetapan pajak yang baru tersebut yang

merupakan dasar penagihan pajak antara lain:

1. Surat Tagihan Pajak (STP);

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

4. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus

dibayar bertambah;

5. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus

dibayar bertambah;

6. Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar

bertambah.

Pengurangan tunggakan pajak selama tahun 2005 terjadi karena adanya pembayaran

utang pajak oleh Penanggung Pajak baik sebelum dilakukan tindakan penagihan maupun

setelah dilakukan tindakan penagihan, dikabulkannya upaya hukum yang dilakukan oleh

Wajib Pajak berupa peninjauan kembali, keberatan, maupun banding atas SKPKB,

SKPKBT, dan/atau STP tersebut baik sebagian ataupun seluruhnya, dan penghapusan

tunggakan pajak yang telah daluarsa penagihannya. Pembayaran utang pajak oleh
Penanggung Pajak dapat dilakukan melalui SSP dan pemindahbukuan. Pembayaran

dengan SSP dilakukan oleh Penanggung Pajak dengan cara menyetorkan sejumlah uang

kepada bank dengan menggunakan formulir SSP. Sedangkan pemindahbukuan adalah

suatu cara pembayaran utang pajak yang dilakukan oleh Penanggung Pajak dengan

mengalihkan kelebihan/kesalahan pembayaran pajak yang telah dilakukan. Sebagai bukti

bahwa Penanggung Pajak telah melunasi utang pajaknya, maka atas permohonan

pemindahbukuan pajak, Penanggung Pajak akan menerima bukti pemindahbukuan yang

fungsinya sama dengan SSP, yaitu sebagai bukti setoran pajak. SK Pembetulan/SK

Keberatan/Putusan Banding dapat menjadi pengurangan pajak apabila berdasakan atas

SK tersebut jumlah pajak yang tercantum dalam SKP dan/atau STP menjadi berkurang.

Penghapusan piutang pajak merupakan salah satu pengurang jumlah tunggakan pajak

tanpa adanya pemasukan uang ke kas negara, yang menyebabkan Wajib

Pajak/Penanggung Pajak tidak dapat ditagih lagi. Hal-hal yang menyebabkan piutang

pajak dihapuskan:

1. Wajib Pajak telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan, dan

tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak diketemukan lagi.

2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi.

3. Hak untuk melakukan penagihan sudah daluarsa.

4. Sebab lain sesuai dengan hasil penelitian, misalnya Wajib Pajak tidak ditemukan,

keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti bencana alam, kebakaran, dan

sebagainya.
Terhadap piutang pajak yang akan dihapuskan, terlebih dahulu KPP melakukan

penelitian terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan. Penelitian dapat dilakukan melalui

penelitian setempat ataupun penelitian administrasi. Penelitian setempat dilakukan

terhadap piutang pajak yang akan dihapuskan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Wajib Pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak

mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan. Hal ini dapat

dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan

bahwa Wajib Pajak yang meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan harta warisan

dan tidak mempunyai ahli waris.

2. Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dapat dibuktikan

dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa Wajib

Pajak memang benar-benar sudah tidak mempunyai harta kekayaan lagi. Wajib Pajak

seperti ini biasanya tidak memahami hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak,

sehingga ketika tidak mempunyai penghasilan lagi, Wajib Pajak tersebut tidak

segera membuat permohonan pencabutan NPWP.

3. Sebab lain, misanya bencana alam dan kebakaran.

Sedangkan penelitian administrasi dilakukan terhadap piutang pajak yang akan

dihapuskan karena hak penagihannya sudah daluarsa.

Berdasarkan Tabel 3.1, dapat diketahui bahwa pencairan/pengurangan tunggakan

selama tahun 2005 adalah sebesar Rp 83.036.627.000. Pengurangan tunggakan ini tidak
berarti bahwa ada penambahan Kas Negara sebesar Rp 83.036.627.000, karena

pencairan tunggakan ini dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:

1. Pembayaran oleh Wajib Pajak sebesar Rp 49.636.047.000. Bila dibandingkan dengan

realisasi penerimaan tahun 2005 yang berjumlah Rp 1.382.267.150.000, maka jumlah

pencairan tunggakan yang berasal dari pembayaran Wajib Pajak 3,6%.

2. Pengurangan jumlah tunggakan pajak karena adanya SK Pembetulan/SK

Keberatan/Putusan Banding adalah sebesar Rp 31.900.681.000. Pengurangan

sejumlah ini tidak akan menambah kas Negara.

3. Pengurangan jumlah tunggakan pajak karena adanya penghapusan piutang pajak

sebesar Rp 1.499.899.000. Penghapusan sejumlah ini dilakukan karena terjadinya

daluarsa penagihan pajak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari pencairan tunggakan pajak

sebesar Rp 83.036.627.000, hanya Rp 49.636.047.000 yang menambah Kas Negara dan

memberikan kontribusinya terhadap penerimaan pajak sebesar 3,6%. Sedangkan

pengurangan tunggakan pajak karena SK Pembetulan / SK Keberatan / Putusan Banding

tidak memberikan kontribusinya terhadap penerimaan pajak.

D. Evaluasi Pelaksanaan Penagihan Pajak

Sistem perpajakan di Indonesia menganut self assessment system, dimana Wajib

Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan

melaporkan sendiri pajak-pajak yang terutang olehnya berdasarkan peraturan perpajakan

yang berlaku. Dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Apabila berdasarkan hasil

pemeriksaan Wajib Pajak melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam melakukan

kewajiban perpajakannya, maka terhadap Wajib Pajak tersebut dapat diterbitkan STP

dan/atau SKP.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Seksi Tata Usaha Perpajakan diketahui bahwa

jumlah STP, SKPKB, dan SKPKBT yang diterbitkan selama tahun 2005 adalah 5.759

yang terdiri 4.774 lembar STP, 973 lembar SKPKB, dan 6 lembar SKPKBT dengan nilai

ketetapan pajaknya sebesar Rp 52.594.101.000. Jumlah ketetapan pajak yang belum

dilunasi per 31 Desember 2004 dapat dilihat dalam tabel 3.1 tentang perkembangan

tunggakan pajak tahun 2005, yaitu sebesar Rp 76.531.855.000. Bila jumlah ketetapan

pajak yang dikeluarkan selama tahun 2005 dibandingkan dengan tunggakan awal tahun

2005, akan didapatkan prosentase penambahan tunggakan pajak sebesar 68,7%. Ini

merupakan tugas dari seksi penagihan khususnya untuk dapat mencairkannya.

Pencairan/pengurangan terhadap jumlah tunggakan pajak sebesar Rp

129.125.956.000 selama tahun 2005 yaitu dapat dilakukan dengan tindakan penagihan,

diterimanya permohonan peninjauan kembali/keberatan/banding Wajib Pajak baik

sebagian maupun seluruhnya, ataupun penghapusan piutang pajak karena telah daluarsa

penagihannya. Upaya penagihan dapat dilakukan dengan atau tanpa penagihan aktif.

Penagihan aktif yang dimaksud dimulai dengan Surat Paksa, Sita, dan lelang, sedangkan

pengurangan tunggakan pajak tanpa penagihan aktif dapat terjadi karena Wajib Pajak

membayar utang pajaknya sebelum jatuh tempo atau pembayaran dilakukan setelah
diterbitkan Surat Teguran. Berdasarkan Laporan Kegiatan Penagihan Triwulan IV

diketahui bahwa selama tahun 2005 penagihan aktif yang dilakukan oleh KPP Tangerang

telah dapat mencairkan tunggakan pajak atas ketetapan Wajib Pajak badan sebanyak 305

lembar dan Wajib Pajak orang pribadi sebanyak 9 lembar dengan jumlah tunggakan pajak

sebesar Rp 23.031.492.000, sedangkan pelunasan tunggakan pajak tanpa penagihan aktif

terdiri dari 1.174 lembar ketetapan pajak Wajib Pajak badan dan 673 lembar ketetapan

pajak Wajib Pajak orang pribadi dengan nilai ketetapan sebesar Rp 26.604.555.000. Bila

dibandingkan antara nilai tunggakan yang berhasil dicairkan dengan jumlah lembar

ketetapan pajak, maka dapat disimpulkan bahwa penagihan aktif dilakukan terhadap

ketetapan pajak yang nilainya relatif lebih besar. Hal ini berkaitan dengan adanya biaya

yang akan dibebankan kepada Wajib Pajak atas tindakan penagihan aktif yang

dilaksanakan.

Keadaan-keadaan yang menyebabkan dilakukannya penagihan seketika dan

sekaligus adalah Penanggung Pajak akan atau berniat meninggalkan Indonesia untuk

selama-lamanya, memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam

rangka menghentikan perusahaan, atau pekerjaannya di Indonesia, terdapat tanda-tanda

Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau

memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan

perubahan bentuk usahanya, badan usaha akan dibubarkan oleh negara, atau terjadi

penyitaan atas barang milik Penanggung Pajak oleh fihak ketiga atau terdapat tanda-tanda

kepailitan. Keadaan-keadaan seperti ini sangat sulit untuk dideteksi oleh administrasi
KPP Tangerang, sehingga selama tahun 2005 KPP Tangerang belum pernah melakukan

penagihan seketika dan sekaligus.

Demikian juga dengan tindakan pencegahan dan penyanderaan Penanggung Pajak

untuk tujuan penagihan pajak, selama tahun 2005 KPP Tangerang belum pernah

melakukan tindakan pencegahan dan penyanderaan. Pengawasan fiskus terhadap Wajib

Pajak yang mempunyai utang pajak lebih dari Rp 100.000.000,00 dilakukan secara

intensif dan Wajib Pajak-Wajib Pajak tersebut selalu memberikan itikad baiknya untuk

melunasi utang pajaknya dengan cara mengangsur secara rutin setiap bulan, sehingga

tindakan pencegahan dan penyanderaan tidak perlu dilakukan.

1. Penyampaian Surat Teguran

Surat Teguran merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan penagihan dalam

rangka pencairan tunggakan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum

dilanjutkan dngan penerbitan Surat Paksa. Surat Teguran merupakan surat peringatan

yang dimaksudkan untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi

utang pajaknya. Apabila terhadap Wajib Pajak tidak pernah diberikan Surat Teguran atau

surat peringatan namun langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa, maka secara

yuridis Surat Paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului dengan

penegeluaran Surat Teguran atau surat peringatan.

Penerbitan Surat Teguran dilakukan dengan menggunakan fasilitas menu penagihan

yang tersedia pada Sistem Informasi Pajak, sehingga semua surat ketetapan pajak yang

sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayarannya belum dilunasi oleh Penanggung
Pajak, setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran dapat segera diterbitkan

dengan mudah dan cepat tanpa ditemukan kendala yang berarti. Biasanya kendala

penerbitan Surat Teguran terletak pada Sistem Informasi Pajak dan perangkat

pendukungnya yang error. Terhadap STP dan/atau SKP yang sudah diterbitkan Surat

Teguran berdasarkan Sistem Informasi Pajak tidak dapat lagi diterbitkan Surat Teguran.

Jadi terhadap satu STP dan/atau SKP tidak mungkin diterbitkan Surat Teguran lebih dari

satu kali melalui Sistem Informasi Pajak.

Selama tahun 2005, jumlah Surat Teguran yang diterbitkan adalah 4.269 lembar

untuk Wajib Pajak badan dengan nilai tunggakan Rp 47.263.078.000 dan 2.667 lembar

untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan nilai tunggakan Rp 2.134.781.000, sehingga

jumlah keseluruhan Surat Teguran yang diterbitkan selama tahun 2005 adalah 6.936

lembar dengan nilai tunggakan Rp 49.397.859.000. Seluruh jumlah Surat Teguran yang

diterbitkan selama tahun 2005 dapat diketahui dari diagram batang (yang dibagi ke dalam

empat triwulan) pada halaman 54.

Dari diagram tersebut terlihat bahwa jumlah Surat Teguran yang paling banyak

diterbitkan adalah pada Triwulan I. Menurut keterangan petugas yang mencetak Surat

Teguran diketahui bahwa pencetakan Surat Teguran yang paling banyak biasanya terjadi

pada bulan Januari, karena meliputi juga ketetapan pajak pada tahun sebelumnya.
Gambar 4.2
Diagram Batang Penyampaian Surat Teguran Tahun 2005

2500

2000

1500
(lembar)

Badan

1000
Orang pribadi

500

Triwulan I Triwulan II Triwulan IIITriwulan IV

Sumber: Diolah dari Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, seksi Penagihan KPP
Tangerang

Surat Teguran adalah surat peringatan yang ditujukan kepada Wajib Pajak yang

tidak patuh dalam pembayaran pajaknya. Jika jumlah Surat Teguran yang diterbitkan

dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar, maka akan dihasilkan angka tingkat

ketidakpatuhan Wajib Pajak badan dan orang pribadi sebagai berikut:

a. Wajib Pajak badan : 4.269 x 100% = 41,5%


10.296

b. Wajib Pajak orang pribadi : 2.667 x 100% =10,8%


24.660

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak orang

pribadi lebih tinggi daripada Wajib Pajak badan.

Bila jumlah Surat Teguran yang diterbitkan dibandingkan dengan jumlah ketetapan

pajak yang diterbitkan tahun 2005 sebanyak 5.759 lembar akan didapatkan angka
120,4%. Angka ini menunjukan bahwa jumlah Surat Teguran yang diterbitkan jauh lebih

besar dari jumlah ketetapan pajak yang diterbitkan selama tahun 2005. Berdasarkan

keterangan dari petugas pencetak Surat Teguran diketahui bahwa jangka waktu

penerbitan Surat Teguran berdasarkan peraturan yaitu tujuh hari setelah jatuh tempo

pembayaran biasanya terlewati. Hal ini terjadi karena proses penatausahaan dan

pengiriman Surat Teguran hanya dilakukan oleh satu orang. Bila dihitung rata-ratanya

dalam satu bulan petugas tersebut dapat menyelesaikan Surat Teguran sebanyak 578

lembar, dan bila dihitung dalam sebulan terdapat 20 hari kerja, maka dalam satu hari

kerja petugas tersebut dapat menyelesaikan Surat Teguran sebanyak 28,9 lembar.

Surat Teguran diterbitkan dan dicetak melalui komputer melalui Sistem Informasi

Pajaknya. Surat Teguran yang sudah ditandatangani oleh Kepala Seksi Penagihan,

dikirimkan kepada Penanggung Pajak dengan menggunakan jasa Kantor Pos. Namun,

dari Surat Teguran yang dikirimkan kepada Penanggung Pajak, tidak semuanya dapat

diterima oleh Penanggung Pajak, sebagian diterima kembali dari pos (kempos). Surat

Teguran yang kempos tidak ditatausahakan/diadministrasikan dengan baik, tetapi

ditumpuk begitu saja di gudang, sehingga laporan tentang Surat Teguran yang kempos

tidak tersedia di Seksi Penagihan.

Surat Teguran kembali pos dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:

a. Penanggung Pajak telah bubar atau meninggal dunia.

b. Penanggung Pajak menolak untuk menerima Surat Teguran karena merasa tidak

mempunyai utang pajak.


c. Tidak ditemukan alamat tempat kedudukan Penanggung Pajak, karena alamat yang

disampaikan pada saat pendaftaran sebagai Wajib Pajak tidak akurat dan tidak

dilakukan verifikasi lapangan tentang kebenaran alamat Wajib Pajak tersebut.

d. Penanggung Pajak telah pindah alamat dan tidak memberitahukannya kepada KPP,

hal ini merupakan salah satu upaya dari Wajib Pajak untuk menghindarkan diri dari

kewajiban perpajakannya.

2. Penyampaian Surat Paksa

Surat Paksa diterbitkan setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya Surat

Teguran, telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus, atau Penanggung Pajak tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran

pembayaran atau penundaan pembayaran pajak. Seperti halnya dengan penerbitan Surat

Teguran, proses penerbitan Surat Paksa ini dilakukan dengan bantuan komputer yang

menggunakan aplikasi Sistem Informasi Perpajakan, sehingga menjadi lebih cepat dan

mudah dalam pelaksanaannya.

Dalam pelaksanaannya Surat Paksa tidak diterbitkan terhadap semua ketetapan

pajak yang tidak dilunasi setelah diterbitkan Surat Teguran. Berdasarkan hasil wawancara

yang dilakukan dengan Jurusita Pajak, diperoleh keterangan bahwa Surat Paksa

diterbitkan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak minimal Rp

500.000,00. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain adalah

pertimbangan biaya penagihan yang akan dibebankan kepada Penanggung Pajak dan

jumlah Jurusita Pajak yang akan menyampaikan Surat Paksa.


Selama tahun 2005, KPP Tangerang telah menerbitkan 1.152 lembar Surat Paksa,

dengan nilai tunggakan sebesar Rp 16.501.365.000 yang terdiri dari 704 lembar Wajib

Pajak badan dengan nilai tunggakan sebesar Rp 15.023.383.000 dan 448 lembar Wajib

Pajak orang pribadi dengan nilai tunggakan sebesar Rp 1.477.982.000. Untuk dapat

memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang pelaksanaan penyampaian Surat

Paksa, berikut ini disajikan diagram batang yang menggambarkan pasang surut

pelaksanaan penyampaian Surat Paksa selama tahun 2005 berdasarkan periode

triwulanan.

Gambar 4.3
Diagram Batang Penyampaian Surat Paksa Tahun 2005

500

400
(Lembar)

300 Standar
Realisasi
200

100

0
Triwulan ITriwulan II Triwulan III Triwulan IV

Sumber: Diolah dari Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP
Tangerang
Berdasarkan SE-01/PJ.75/2005 tentang Kebijakan Penagihan Pajak tahun 2005,

diatur tentang standar prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan pajak tahun 2005. Dalam
SE tersebut dinyatakan bahwa standar prestasi pelaksanaan penyampaian Surat Paksa

adalah sebanyak 12 SP per Jurusita per bulan. Hal ini berarti bahwa setiap petugas

Jurusita Pajak yang ada harus mampu melaksanakan tugas pemberitahuan Surat Paksa

paling sedikit 12 Surat Paksa sebulan. Karena di KPP Tangerang terdapat 4 orang

Jurusita Pajak, maka dalam sebulan harus dilaksanakan sedikitnya 48 Surat Paksa atau

144 Surat Paksa dalam setiap triwulan. Diagram batang tentang Penyampaian Surat

Paksa Tahun 2005 menggambarkan prestasi penyampaian Surat Paksa KPP Tangerang

per triwulan, yaitu:

a. Triwulan I, jumlah Surat Paksa yang berhasil disampaikan adalah 137 Surat Paksa

dan bila dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 45,67 sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan I penyampaian Surat Paksa masih berada di bawah

standar minimal per bulan yang harus mencapai 48 Surat Paksa.

b. Triwulan II, jumlah Surat Paksa yang berhasil disampaikan adalah 456 Surat Paksa

dan bila dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 152 sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan II penyampaian Surat Paksa jauh berada di atas

standar minimal per bulan. Ini merupakan suatu prestasi yang sangat membanggakan

dari Jurusita Pajak dan Seksi Penagihan KPP Tangerang.

c. Triwulan III, jumlah Surat Paksa yang berhasil disampaikan adalah 237 Surat Paksa

dan bila dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 79 sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan III penyampaian Surat Paksa jauh berada di atas

standar minimal per bulan.


d. Triwulan IV, jumlah Surat Paksa yang berhasil disampaikan adalah 322 Surat Paksa

dan bila dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 107,3 sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan III penyampaian Surat Paksa jauh berada di atas

standar minimal per bulan.

e. Jumlah Surat Paksa yang berhasil disampaikan selama tahun 2005 adalah 1.152

lembar, sedangkan standar minimal penyampaian Surat Paksa dalam setahun adalah

576 lembar, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyampaian Surat Paksa selama

tahun 2005 melebihi standar minimal yang ditetapkan.

Penyampaian Surat Paksa pada triwulan I berada di bawah standar prestasi minimal

penyampaian Surat Paksa, tetapi pada ketiga triwulan berikutnya penyampaian Surat

Paksa jauh berada di atas standar minimal. Bila dihitung rata-rata per bulan dari jumlah

penyampaian Surat Paksa selama tahun 2005 diperoleh angka 96, yang berarti bahwa

prestasi KPP Tangerang dalam hal penyampaian Surat Paksa melampaui batas ketentuan

minimal. Meskipun demikian, SE-01/PJ.75/2005 tentang Kebijakan Penagihan Pajak

tahun 2005 hanya mengatur tentang standar prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan

pajak tahun 2005 dan tidak mengatur tentang reward dan punishment yang akan

diberikan kepada Jurusita Pajak/KPP bila standar prestasi kegiatan penagihan tercapai

atau tidak.

Sebelum menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, Jurusita Pajak

mempelajari berkas Wajib Pajak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa saja yang

menjadi Penanggung Pajak pada saat utang pajak terjadi dan juga alamatnya serta untuk
mengetahui kemungkinan harta/barang yang dapat dijadikan obyek sita, disamping itu

juga untuk mengetahui kemungkinan ada atau tidaknya pelimpahan kewajiban-kewajiban

perusahaan karena adanya perubahan susunan pengurus perusahaan dan pemegang

saham.

Dalam menyampaikan Surat Paksa Jurusita Pajak harus berusaha untuk dapat

bertemu dengan Penanggung Pajak dan kemudian memperkenalkan diri dengan

menunjukkan identitas diri dan Surat Tugas. Kemudian Jurusita Pajak membacakan isi

dari Surat Paksa dari mulai dasar penagihan pajak, jumlah tunggakan utang pajak, dan

perintah untuk membayar tunggakan pajak dalam waktu 2 x 24 jam. Atas pelaksanaan

penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak kemudian membuat Berita Acara

Pemberitahuan Surat Paksa yang berisi tentang nama hari, tanggal, dan tempat

pemberitahuan dilaksanakan, nama Jurusita Pajak dan juga nama Penanggung Pajak,

untuk kemudian ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan Penanggung Pajak, serta

membuat Laporan Pemberitahuan Surat Paksa. Disamping itu juga Jurusita Pajak harus

menanyakan tentang jaminan apa yang dapat digunakan untuk pelunasan tunggakan

utang pajak dimaksud dan kemudian jaminan tersebut dicatat dalam Laporan

Pemberitahuan Surat Paksa, sekaligus memberikan taksiran harga atas jaminan tersebut.

Apabila jaminan yang diberikan lebih kecil dari utang pajak, maka Jurusita Pajak mencari

harta Penanggung Pajak yang lain untuk mencari obyek sita.

Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak ditempat tinggal, tempat

usaha, atau tempat lain yang memungkinkan. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, Surat
Paksa dapat disampaikan kepada orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau

bekerja di tempat usaha Wajib Pajak, atau ahli waris apabila Wajib Pajak telah meninggal

dunia, atau pelaksana wasiat apabila harta warisan belum dibagi. Untuk Wajib Pajak

badan, Surat Paksa dapat disampaikan kepada pengurus, pemegang saham, dan pemilik

modal baik di tempat kedudukan badan atau pun di tempat tinggal mereka atau tempat

lain yang memungkinkan, dan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah satu

dari mereka, maka Surat Paksa dapat disampaikan kepada pimpinan di tempat kedudukan

atau tempat usaha badan. Apabila Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa untuk

melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya maka Surat Paksa dapat disampaikan

kepada Kuasa Wajib Pajak tersebut. Apabila pemberitahuan sebagaimana tersebut di atas

tidak dapat dilakukan, maka Surat Paksa dapat disampaikan kepada Pemerintah Daerah

setempat.

Dalam penyampaian Surat Paksa, adakalanya Penanggung Pajak menolak untuk

menerima Surat Paksa. Alasan penolakan tersebut antara lain:

a. Jumlah utang pajak dalam STP, SKPKB, dan/atau SKPKBT berbeda dengan jumlah

utang pajak dalam Surat Paksa. Dalam hal ini Jurusita Pajak tidak boleh mengubah

dan mencoret apa yang ada dalam Surat Paksa. Jurusita harus mengembalikan Surat

Paksa tersebut kepada Seksi Penagihan untuk dapat diterbitkan Surat Paksa yang baru

dengan nomor dan tanggal yang sama sesuai dengan data sebenarnya dan berfungsi

sebagai Surat Paksa pengganti.


b. Penanggung Pajak tidak mengakui adanya utang pajak sebagaimana tersebut dalam

Surat Paksa, maka dalam hal ini Jurusita Pajak dapat meninggalkan begitu saja Surat

Paksa di tempat kediaman/tempat kedudukan Penanggung Pajak dan mencatat dalam

Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa bahwa Penanggung Pajak menolak untuk

menerima dan menandatangani Surat Paksa dan dengan demikian Surat Paksa

dianggap telah disampaikan.

c. Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa dengan alasan terhadap SKP yang

ditagih dengan Surat Paksa sedang diajukan surat keberatan. Pasal 25 ayat (7) UU

KUP menyebutkan bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar

pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Dengan demikian alasan penolakan

Penanggung Pajak tersebut bertentangan dengan undang-undang. Apabila Jurusita

Pajak telah menjelaskan ketentuan undang-undang tersebut dan Penanggung Pajak

tetap menolak menerima Surat Paksa, maka Jurusita Pajak dapat meninggalkan begitu

saja Surat Paksa di tempat kediaman/kedudukan Penanggung Pajak dan dengan

demikian Surat Paksa dianggap telah disampaikan. Kemudian Jurusita Pajak

membuat Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa yang menerangkan bahwa

Penanggung Pajak menolak untuk menerima dan menandatangani Surat Paksa.

Tingkat kemampuan Penanggung Pajak dalam menyerap ketentuan perpajakan

tidaklah sama karena perbedaan latar belakang pendidikan dan sosial. Penanggung Pajak

yang mengerti dan menyadari akan hak dan kewajibannya akan langsung menentukan

pilihannya apakah akan mengajukan keberatan atau segera melunasi utang pajaknya.
Namun, terdapat juga Penanggung Pajak yang tidak mau mengerti dan memahami

ketentuan perpajakan bahkan berusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar

pajak. Terhadap Penanggung Pajak yang seperti ini, Jurusita Pajak memberikan

penjelasan penyebab timbulnya utang pajak dan melakukan tindakan penagihan

selanjutnya dengan segera sesuai dengan jadwal penagihan pajak apabila dalam waktu

2x24 jam utang pajak belum juga dilunasi.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tidak semua STP dan/atau SKP yang

tidak dilunasi setelah diterbitkan Surat Teguran ditindaklanjuti dengan Surat Paksa. Surat

Paksa diterbitkan hanya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai utang pajak lebih dari

Rp 500.000. Surat Paksa yang tidak diterbitkan atas utang pajak yang tidak dilunasi akan

membawa dampak negatif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Wajib Pajak akan

tidak peduli untuk melunasi utang pajaknya dan merasa aman saja, padahal secara nyata

tunggakan pajaknya akan semakin menumpuk dan akan menyebabkan terjadinya daluarsa

penagihan.

3. Pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan

Penyitaan adalah tindak lanjut dari pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa,

dilakukan apabila pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu

2x24 jam sesudah tanggal penyampaian Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.

Penyitaan dilakukan untuk menguasai barang milik Penanggung Pajak guna dijadikan

jaminan untuk melunasi utang pajaknya. Penguasaan ini dilakukan agar mempermudah

dalam pelaksanaan penjualan sita lelang apabila Penanggung Pajak nyata-nyata tidak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pada saat yang telah ditentukan oleh undang-

undang.

Hal penting yang harus dilakukan Jurusita dalam melakukan penyitaan adalah

menentukan urut-urutan obyek sita. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan penagihan pajak

melalui penyitaan dapat lebih mudah dan bermanfaat di dalam upaya pelunasan utang

pajak dengan tidak merugikan kegiatan usaha Wajib Pajak itu sendiri. Urut-urutan obyek

sita didasarkan pada tingkat likuiditas barang/harta milik Penanggung Pajak, yang terdiri

dari:

a. uang tunai, deposito berjangka, tabungan, giro, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu;

b. emas dan perhiasan;

c. saham dan obligasi yang diperjualbelikan di pasar bursa;

d. saham dan obligasi yang tidak diperjualbelikan di pasar bursa;

e. kendaraan bermotor roda dua dan roda empat;

f. piutang atau penyertaan modal pada perusahaan lain;

g. tanah dan bangunan.

Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan

nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya

penagihan pajak. Pelaksanaan penyitaan terhadap harta milik Penanggung Pajak tetap

dilakukan meskipun nilainya tidak mencukupi, karena pelaksanaan penyitaan dapat

dilakukan beberapa kali sampai utang pajak dan biaya penagihan pajaknya lunas. Namun
hendaknya Jurusita Pajak harus memperhatikan biaya yang harus dikeluarkan.

Pelaksanaan penyitaan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang dapat

dipercaya. Untuk dapat memberikan kekuatan hukum yang lebih pasti, maka biasanya

salah satu dari saksi tersebut merupakan aparat pemerintahan daerah setempat, misalnya

lurah.

Barang yang disita dapat dititipkan kepada Penanggung Pajak yang biasanya

merupakan barang yang diperlukan oleh Wajib Pajak untuk melakukan usahanya,

sedangkan barang Wajib Pajak yang tidak mengganggu kegiatan usaha Wajib Pajak dapat

dibawa ke KPP. Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, maka

barang bergerak yang telah disita dapat dititipkan kepada aparat Pemerintah Daerah

setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita. Pengawasan terhadap barang tidak

bergerak yang disita diserahkan kepada aparat Pemerintah Daerah setempat yang

menjadi saksi pelaksanaan sita tersebut.

Selama tahun 2005 KPP Tangerang telah berhasil melaksanakan penyitaan

sebanyak 19 kali dengan jumlah tunggakan sebesar Rp 13.279.158.000, dengan rincian

15 kali terhadap Wajib Pajak badan dengan nilai tunggakan Rp 13.169.926 dan 4 kali

terhadap Wajib Pajak orang pribadi dengan nilai tunggakan sebesar Rp 109.232.000..

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang pelaksanaan

penyampaian SPMP, berikut ini disajikan diagram batang yang menggambarkan pasang

surut pelaksanaan penyampaian SPMP selama tahun 2005 berdasarkan periode

triwulanan.
Gambar 4.4
Diagram Batang Penyampaian SPMP Tahun 2005

40
35
30
25
(Lembar)

20
15
10 Standar
5 Realisasi

Triwulan ITriwulan IITriwulan IIITriwulan IV

Sumber : Diolah dari Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP
Tangerang

Dari diagram tersebut diketahui bahwa penyampaian SPMP selama tahun 2005

cenderung terus mengalami penurunan. Pelaksanaan SPMP mencapai puncaknya pada

triwulan I, yaitu sebanyak 11 kali. Triwulan selanjutnya yaitu pada triwulan II terjadi

penurunan yang sangat drastis, pelaksanaan penyitaan yang berhasil dilakukan hanya 4

kali. Selama triwulan III dan IV pelaksanaan SPMP cenderung, penyitaan yang berhasil

dilakukan hanya masing-masing sebanyak 2 kali.

Berdasarkan ketentuan dalam SE-01/PJ.75/2004 tentang Kebijakan Penagihan

Pajak tahun 2005, setiap petugas Jurusita Pajak harus dapat menyampaikan SPMP

sedikitnya 3 SPMP sebulan, sehingga dengan jumlah Jurusita Pajak sebanyak 4 orang,

KPP Tangerang harus berhasil melaksanakan penyitaan sedikitnya 12 kali dalam sebulan
atau 36 kali pada setiap triwulan. Perbandingan antara ketentuan tentang standar minimal

pelaksanaan penyitaan dengan realisasinya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Triwulan I, jumlah SPMP yang berhasil dilaksanakankan adalah sebanyak 11 SPMP

dan bila dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 3,67 sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan I pelaksanaan SPMP masih berada di bawah

standar minimal per bulan yang harus mencapai 12 SPMP.

b. Triwulan II, jumlah SPMP yang berhasil disampaikan adalah 4 SPMP dan bila

dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 1,33 SPMP sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan II pelaksanaan SPMP jauh berada di bawah

standar minimal per bulan.

c. Triwulan III, jumlah SPMP yang berhasil disampaikan adalah 2 SPMP dan bila

dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 0,67 SPMP sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada triwulan III penyampaian SPMP jauh berada di bawah

standar minimal per bulan.

d. Triwulan IV, jumlah SPMP yang berhasil disampaikan sama dengan triwulan III yaitu

2 SPMP dan bila dihitung rata-ratanya per bulan didapatkan jumlah 0,67 SPMP

sehingga dapat disimpulkan bahwa pada triwulan IV penyampaian SPMP jauh

berada di bawah standar minimal per bulan.

e. Selama tahun 2005 jumlah SPMP yang berhasil dilaksanakan adalah 19 SPMP,

sedangkan standar minimal pelaksanaan SPMP selama setahun adalah 144 SPMP. .
Bila dihitung prosentase pelaksanaan SPMP terhadap standar minimal pelaksanaan

SPMP akan didapatkan angka 13,2%.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa prestasi pelaksanaan tindakan penyitaan

masih jauh dari standar prestasi yang ditentukan. Keadaan paling parah terjadi pada

Triwulan III dan triwulan IV, dimana KPP Tangerang hanya melaksanakan 2 kali

penyitaan dari 12 kali penyitaan yang dipersyaratkan. Berdasarkan hasil konfirmasi

kepada Jurusita Pajak diperoleh informasi bahwa, rendahnya pelaksanaan tindakan

penyitaan disebabkan oleh tidak diperolehnya obyek sita yang akan dijadikan jaminan

pelunasan utang pajak pada saat menyampaikan Surat Paksa. SKP yang terbit sebagai

hasil pemeriksaan tahun pajak 2004 dan tahun pajak sebelumnya, akan menyulitkan

Jurusita Pajak untuk melakukan penagihan sampai tuntas. Hal ini disebabkan karena

sebagian besar Wajib Pajak yang mempunyai utang pajak berdasarkan SKP telah

dinyatakan bubar/bangkrut dan aset-asetnya telah berpindah tangan, sehingga pada saat

dilakukan penagihan dengan Surat Paksa, Jurusita tidak memperoleh obyek sita sebagai

jaminan pelunasan SKP.

Apabila dibandingkan antara pelaksanaan Surat Paksa dengan pelaksanaan SPMP

dari segi jumlah lembar dan jumlah tunggakan (rupiah) akan diperoleh hasil

perbandingan yang akan digambarkan dalam diagram berikut ini:


a. Dari segi jumlah/lembar

Gambar 4.5
Diagram Batang Perbandingan Pelaksanaan SP dengan SPMP (Dalam rupiah)

500

400
(Lembar)

300

SP
200 SPMP

100

0
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

Sumber: Diolah dari Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP
Tangerang

Hasil dari perbandingan antara jumlah pelaksanaan SPMP (19 lembar) dengan

pelaksanaan Surat Paksa (1.152 lembar) akan didapatkan angka 1,65%. Angka ini

menunjukan bahwa pelaksanaan SPMP di KPP Tangerang sangat kecil, hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Penanggung Pajak telah melunasi utang pajaknya setelah menerima Surat Paksa.

2) Wajib Pajak/Penanggung Pajak telah pindah alamat dan alamat barunya tidak

diketahui.

3) Wajib Pajak telah membubarkan diri dan asset-asetnya sudah dipindahtangankan.

4) Adanya keputusan peninjauan kembali/keberatan/putusan banding yang

menyebabkan utang pajaknya menjadi nihil atau mungkin menjadi lebih bayar.
5) Jumlah tunggakan pajak berdasarkan Surat Paksa relative kecil bila dibandingkan

dengan biaya penagihan, sehingga apabila tetap dilaksanakan penyitaan akan tidak

sesuai dengan asas efisiensi dalam pemungutan pajak.

b. Dari segi besarnya tunggakan pajak

Gambar 4.6
Diagram Batang Perbandingan Pelaksanaan SP dengan SPMP (Dalam Rupiah)

10000000
9000000
8000000
7000000
(Ribuan Rupiah)

6000000
5000000
4000000
3000000
SP
2000000
SPMP
1000000
0

Triwulan ITriwulan IITriwulan IIITriwulan IV

Sumber: Diolah dari Laporan Kegiatan Penagihan Tahun 2005, Seksi Penagihan KPP
Tangerang

Gambar 4.6 adalah diagram batang yang menggambarkan perbandingan antara

jumlah tunggakan pajak yang ditagih dengan SP dan SPMP. Dari diagram tersebut dapat

dilihat bahwa hasil perbandingan jumlah lembar pelaksanaan SPMP dengan SP relatif

sangat kecil, tetapi bila kita bandingkan jumlah rupiah tunggakan pajak berdasarkan

SPMP (Rp 13.279.158.000) dengan SP (Rp 16.501.365.000) akan didapatkan angka

80,5%. Jumlah tunggakan pajak terbesar yang dilakukan penyitaan berdasarkan SPMP
terjadi pada Triwulan I. Hasil perbandingan antara SPMP dengan SP selama triwulan I

didapatkan angka 414,5%. Jumlah tunggakan pajak berdasarkan SPMP selama Triwulan I

mencapai 71,4%. Dari angka-angka ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

tunggakan pajak yang ditagih dengan SPMP merupakan kelanjutan dari pelaksanaan

penagihan dengan Surat Paksa tahun 2004 dan sebelumnya. Berdasarkan pada

kesimpulan tersebut kita dapat mengetahui bahwa jadwal penagihan pajak (Dalam waktu

2x24 jam sejak dilaksanakannya Surat Paksa Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya,

maka dilakukan penyitaan berdasarkan SPMP) dalam kenyataannya tidak dapat

dilaksanakan.

Pelaksanaan penyitaan merupakan bagian dari rangkaian pelaksanaan penagihan

aktif yang dapat memberikan suatu bentuk shock therapy bagi Penanggung Pajak. Selain

itu, pelaksanaan penyitaan juga dapat menjadi suatu model/contoh bagi Wajib Pajak lain

agar tidak mencoba untuk tidak membayar utang pajaknya. Pelaksanaan penyitaan

merupakan salah satu upaya untuk menyadarkan masyarakat Wajib Pajak agar memenuhi

segala kewajiban perpajaknnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

4. Pelaksanaan Lelang

Pada dasarnya utang pajak dan biaya penagihan pajak apabila tidak dilunasi setelah

dilakukan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap

barang yang disita melalui Kantor Lelang, kecuali terhadap barang yang disita yang

berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, obligasi, saham,
atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain.

Tindakan lelang dilakukan karena segala upaya hukum yang telah dilakukan oleh

Direktur Jenderal Pajak dari mulai pengiriman Surat teguran, Surat Paksa, serta terhadap

barang-barang milik Penanggung Pajak tidak mendatangkan hasil berupa pelunasan utang

pajak dan biaya penagihan.

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pelaksanaan lelang dapat berjalan

dengan lancar, yaitu:

a. Keabsahan dari ketetapan yang menimbulkan tunggakan.

b. Proses penagihan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. Adanya objek sita milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.

Untuk membuktikan kepemilikan objek sita dimaksud, maka perlu dilakukan

tindakan pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan untuk tujuan ini disebut dengan

pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak (delinquency audit). Jadi dalam pemeriksaaan

untuk tujuan penagihan pajak hanya mencakup pemeriksaan atas harta yang menjadi

objek sita yang dimiliki oleh Penanggung Pajak. Selama tahun 2005, delinquency audit

belum pernah dilaksanakan di KPP Tangerang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Jurusita Pajak diperoleh keterangan bahwa

atas semua SPMP yang disampaikan selama tahun 2005, Penanggung Pajak telah

meluanasi utang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum dilakukan tindakan

pelelangan, sehingga proses penagihan tidak sampai berlanjut pada pengumuman lelang

dan pelaksanaan lelang. Hal ini merupakan keberhasilan Jurusita Pajak dalam
mencairkan tunggakan pajak. Pelunasan utang pajak sebelum tindakan pelelangan juga

akan mengurangi biaya penagihan pajak yang akan dibebankan kepada Penanggung

Pajak, diantaranya biaya pengumuman lelang, biaya lelang, dan biaya tambahan

penagihan sebesar 1% dari pokok lelang. Berikut ini merupakan contoh perhitungan

pelunasan pajak melalui hasil lelang yang penulis kutip dari buku “Materi Pokok

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa” yang ditulis oleh Drs. Djoned Gunadi halaman

74 dan 75:

Penjualan barang sitaan tanpa melalui sita lelang : Rp 1.000.000.000,-


Penjualan barang sitaan melalui penjualan sita lelang
 Atas barang bergerak : Rp 500.000.000,-
 Atas barang tak gerak : Rp 1.000.000.000,-
Jumlah penjualan sita lelang : Rp 1.500.000.000,-
Jumlah untuk pelunasan utang pajak Rp 2.500.000.000,-

Biaya lelang:
 Untuk barang bergerak 3% x Rp 500.000.000,- : Rp 15.000.000,-
 Untuk barang tak gerak 1,5% x Rp 1.000.000.000 : Rp 15.000.000,-
Jumlah biaya lelang : Rp 30.000.000,-
Jumlah untuk biaya penagihan dan utang pajak : Rp 2.470.000.000,-
Biaya penagihan :
Biaya Surat Paksa yang belum dibayar : Rp 50.000,-
Biaya SPMP yang belum dibayar : Rp 100.000,-
Biaya Pengumuman Lelang : Rp 2.500.000,-
Biaya penitipan br. dan bi d/ br. sitaan : Rp 1.000.000,-
Biaya tambahan penagihan 1% : Rp 25.000.000,-
Jumlah biaya penagihan pajak : Rp 28.650.000,-
Jumlah yang siap untuk pelunasan pajak : Rp 2.342.350.000,-

E. Evaluasi terhadap Hambatan-hambatan yang Dihadapi

Kedudukan jurusita Pajak adalah sangat strategis dalam unit organisasi Direktorat

Jenderal Pajak, yaitu sebagai ujung tombak dan benteng terakhir dalam rangka
pengamanan penagihan pajak Negara. Berhasilnya tugas Jurusita Pajak tergantung

sepenuhnya pada bobot, keterampilan, keuletan, kejelian, mental yang dimiliki olehnya,

apalagi Jurusita bertugas sepenuhnya di lapangan dengan segala persoalan yang beraneka

ragam coraknya. Pada dasarnya tidak ada Penanggung Pajak yang rela bila hartanya

disita oleh Jurusita Pajak karena akan menurunkan kredibilitas mereka di mata

masyarakat, meskipun sadar dan mengerti bahwa hal itu adalah ketentuan perpajakan

yang harus ditaati. Dalam melaksanakan penagihan, Jurusita Pajak adakalanya

menghadapi rintangan dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak ataupun dari fihak ketiga

yaitu dengan jalan ancaman-ancaman fisik maupun non fisik. Dalam hal ini hendaknya

Jurusita Pajak menghindari bentrokan fisik dan selalu berkonsultasi dengan atasannya.

Atasan Jurusita Pajak dapat mengambil langkah meminta bantuan kepada Pemda

setempat atau kepada Polri sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) Undang-undang No. 19 Tahun

2000. Disebutkan dalam Pasal tersebut bahwa dalam melaksanakan tugasnya Jurusita

Pajak dapat meminta bantuan kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi

hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan

Nasionl, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank, atau fihak lain.

Misalnya, dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi izin atau menghalangi

pelaksanaan penyitaan, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan.

Demikian juga dalam hal penyitaan terhadap barang tidak bergerak seperti tanah, Jurusita

Pajak dapat meminta bantuan kepada Badan Pertanahan Nasional atau Pemerintah

Daerah untuk meneliti kelengkapan dokumen berupa keterangan kepemilikan atau


dokumen lainnya. Dalam hal penyitaan terhadap kapal laut dengan isi kotor tertentu dapat

meminta bantuan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Dalam melaksanakan penagihan pajak, Jurusita Pajak menghadapi berbagai macam

hambatan, tidak hanya dari fihak Penanggung Pajak tetapi juga dari internal KPP itu

sendiri. Hambatan-hambatan yang timbul harus difahami sebagai suatu tantangan yang

harus dihadapi dan harus dicari penyebabnya untuk kemudian dicari pemecahannya. Dari

hasil pengamatan dan wawancara dengan petugas yang ada diketahui bentuk-bentuk

hambatan yang dihadapi petugas dalam pelaksanaan penagihan pajak di KPP Tangerang

yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Hambatan yang berasal dari intenal KPP Tangerang

a. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia ataupun badan yang telah dibubarkan

masih diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dan/atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Hal ini akan menambah beban pekerjaan bagi seksi penagihan untuk mencairkan

tunggakan atas STP dan/atau SKP tersebut yang sebenarnya tidak perlu, yang

disebabkan oleh:

1) Tidak adanya permohonan pencabutan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan

Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) yang disebabkan karena Wajib

Pajak meninggal dunia atau badan telah dibubarkan, sehingga seksi teknis tetap

menerbitkan STP dan/atau SKP atas tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan,

karena data di KPP Tangerang Wajib Pajak tersebut masih tercatat sebagai

Wajib Pajak efektif.


2) Petugas pemeriksa di seksi teknis terkadang tidak peduli akan keadaan Wajib

Pajak. Baginya yang terpenting adalah target penerbitan SKP dapat tercapai.

b. Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diterima dari

Wajib Pajak melalui Kantor Pos seringkali terlambat direkam oleh petugas di Tempat

Pelayanan Terpadu, sehingga sering diterbitkan Surat Tagihan Pajak terhadap Wajib

Pajak yang sudah bayar pajaknya.

Pelaporan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dapat juga dilakukan melalui Kantor

Pos dan Giro. Tanda terima dari Kantor Pos dan Giro merupakan tanda terima

pelaporan pembayaran pajak. Tetapi pada kenyataannya SPT dan SSP yang diterima

dari Kantor Pos dan Giro biasanya ditumpuk terlebih dahulu, sehingga besar

kemungkinan SPT dan SSP tersebut hilang, tidak terekam, atau terlambat

perekamannya oleh petugas di Tempat Pelayanan Terpadu. Hal ini menyebabkan

catatan administrasi di seksi teknis menyatakan bahwa wajib Pajak tersebut tidak

patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajaknnya, sehingga mereka akan

menerbitkan STP atas Wajib Pajak yang sebenarnya taat.

c. Tidak dilakukannya pemutakhiran data Penanggung Pajak dari hasil pemeriksaan di

lapangan.

Hal ini menyebabkan data yang ada di Master File Wajib Pajak adalah data lama yang

tidak sesuai lagi, sehingga akan menyulitkan Jurusita Pajak dalam melaksanakan

tindakan penagihan pajak, yang terjadi karena:


1) Petugas pemeriksa lapangan tidak menyampaikan hasil temuan perubahan

keadaan Penanggung Pajak kepada seksi yang menangani pemutakhiran data

Penanggung Pajak.

2) Petugas pemutakhiran data tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.

d. Dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pokok Pengusaha Kena

Pajak seringkali tidak dilakukan verifikasi lapangan, sehingga menyebabkan data

yang tercantum dalam Master File Wajib Pajak di KPP menjadi tidak akurat.

Hal ini menyebakan identitas Wajib Pajak yang tercantum dalam Master File Wajib

Pajak di KPP menjadi tidak akurat. Pada saat dilaksanakan tindakan penagihan

kepada Wajib Pajak yang bersangkutam, ternyata alamat yang dikunjungi tidak ada,

atau bukan alamat Wajib Pajak yang tercantum dalam dokumen perpajakan.

e. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak yang semena-mena;

Pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak seringkali dilakukan secara semena-

mena sehingga melahirkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak berdasar. Hal ini

berkaitan dengan mental aparat pemeriksa KPP yang lebih mendahulukan

kepentingannya daripada melaksanakan kewajibannya. Ketika dilakukan penagihan

atas SKP tersebut Wajib Pajak menolaknya.

f. Dokumen kepemilikan harta milik Wajib Pajak yang telah dijadikan agunan utang,

sehingga menyulitkan jurusita dalam melakukan penyitaan.

Berdasarkan pada Pasal 21 ayat (1) UU PPSP dinyatakan bahwa Negara mempunyai

hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Timbulnya hak mendahulu manakala Wajib Pajak mempunyai utang kepada banyak

fihak, sedangkan harta kekayaan yang digunakan untuk melunasi utang terbatas atau

tidak mencukupi. Dalam hal obyek sita telah dijadikan agunan utang, meskipun

Negara mempunyai hak mendahulu dalam pelunasan utang pajak, Jurusita akan

kesulitan melakukan penyitaan terhadap barang tersebut, karena masing-masing

kreditur akan sama-sama mengakui mempunyai hak mendahulu atas pelunasan utang

debiturnya. Dalam hal ini biasanya yang lebih kuat dalam penguasaan harta debitur

adalah pemegang surat-surat kepemilikan barang Wajib Pajak.

g. Kurangnya kerjasama antar seksi.

Pemeriksa wajib membuat daftar harta Penanggung Pajak dalam hasil

pemeriksaannya. Namun dalam kenyataannya banyak pemeriksa yang membuat

daftar harta Penanggung Pajak hanya sekedar untuk memenuhi syarat hasil

pemeriksaan yang mengharuskan melampirkan daftar harta Penanggung Pajak.

h. Kurangnya motivasi Jurusita Pajak.

Pada umumnya pegawai KPP membedakan antara seksi teknis dan non teknis. Seksi

teknis adalah suatu bagian di KPP yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap

Wajib Pajak sesuai dengan kewajiban perpajakannya. Kewajiban perpajakan biasanya

dibedakan berdasarkan jenis pajaknya, yaitu Pajak Penghasilan WP badan, Pajak

Penghasilan WP orang pribadi, Pajak Penghasilan Pemotongan dan Pemungutan, dan

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya. Seksi non teknis adalah

bagian di KPP yang mengurusi masalah administrasi Wajib Pajak, termasuk


pengurusan masalah tunggakan pajak yang merupakan tugas dari seksi Penagihan.

Dalam diri pegawai KPP pada umumnya masih melekat perbedaan pandangan gengsi

atau status antara seksi teknis dengan seksi non teknis, sehingga biasanya Jurusita

Pajak yang merupakan bagian dari seksi Penagihan merasa minder dan tidak bangga

dengan statusnya sebagai Jurusita Pajak.

2. Hambatan yang berasal dari ekternal KPP Tangerang

Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak mempunyai pemahaman yang baik terhadap hak

dan kewajiban perpajakannya sehingga menimbulkan perlawanan hukum berupa

tidak mau mengakui tunggakan pajak dengan tidak menerima Surat Paksa atau pada

saat pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Penanggung Pajak tidak mau

mengakui harta miliknya.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pada uraian di muka pada bagian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Kinerja Jurusita Pajak di KPP Tangerang dalam pelaksanaan penagihan selama tahun

2005 tidak memenuhi ketentuan mengenai standar prestasi pelaksanaan kegiatan

penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak

No: SE-01/PJ.75/2005 tanggal 3 Maret 2005 tentang kebijakan Penagihan Pajak

Tahun 2005.

2. Tidak tercapainya ketentuan mengenai standar prestasi pelaksanan kegiatan

penagihan pajak yaitu dalam penyitaan dan lelang disebabkan terdapatnya berbagai

hambatan dan kendala baik yang bersifat internal maupun external.

3. Hambatan-hambatan internal yang dihadapi dalam pelaksanaan penagihan pajak

adalah:

a. Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia ataupun badan yang telah

dibubarkan masih diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

b. Surat Pemberitahuan Pajak dan Surat Setoran Pajak yang diterima dari Wajib

Pajak melalui Kantor Pos seringkali terlambat direkam oleh petugas di Tempat

Pelayanan Terpadu, sehingga sering diterbitkan Surat Tagihan Pajak terhadap

80
Wajib Pajak yang taat.

c. Dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Nomor Pokok Pengusaha Kena

Pajak seringkali tidak dilakukan verifikasi lapangan, sehingga menyebabkan data

yang tercantum dalam Master File W ajib Pajak di KPP menjadi tidak akurat.

d. Tidak dilakukannya pemutakhiran data Penanggung Pajak dari hasil pemeriksaan

di lapangan.

e. Pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak seringkali dilakukan secara

semena-mena sehingga melahirkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak berdasar,

sehingga ketika dilakukan penagihan atas SKP tersebut Wajib Pajak

menolaknya.

f. Dokumen kepemilikan harta milik Wajib Pajak yang telah dijadikan agunan

utang, sehingga menyulitkan jurusita dalam melakukan penyitaan.

g. Kurangnya kerjasama antar seksi.

h. Kurangnya motivasi Jurusita Pajak.

4. Hambatan eksternal yang dihadapi dalam pelaksanaan penagihan pajak adalah Wajib

Pajak/Penanggung Pajak tidak mempunyai pemahaman yang baik terhadap hak dan

kewajiban perpajakannya.

B. Saran-saran

Berdasarkan pada kesimpulan tersebut di atas dapat diberikan beberapa saran

sebagai berikut:

81
82

1. Diperlukan penelitian lapangan pada saat pendaftaran NPWP dan NPPKP, agar

alamat yang diberikan Wajib Pajak dapat dibuktikan kebenarannya.

2. Meningkatkan sosialisasi/penyuluhan tentang peraturan perpajakan kepada Wajib

Pajak, baik secara langsung maupun melalui iklan media massa dan elektronik.

3. Diperlukan ketentuan tentang reward yang berupa pemberian insentif atas jumlah

tunggakan pajak yang berhasil dicairkan dan punishment yang berupa pwnundaan

kenaikan pangkat Jurusita Pajak, agar standar penagihan pajak dapat tercapai.

4. Pemeriksa pajak hendaknya memberikan informasi tentang perubahan atau keadaan

Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.

5. Meningkatkan motivasi Jurusita Pajak dengan mengikutsertakannya pada pelatihan

dan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA

B. Boediono. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Diadit Media, 2001.

Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT Eresco, 1981.

Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. Hukum Pajak. Jakarta : Salemba Empat, 2001.

Gunadi, Djoned. Materi Pokok Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Jakarta: Badan
Pendidikan dan Perlatihan Keuangan, 2003.

Muljohadi. Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak
Pusat dan Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Rusjdi, Muhammad. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jakarta: PT Indeks, 2005.

Suandy, Erly. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2002.

Undang-undang Nomor 6 Tahun tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16
Tahun 2000.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000.

Peraturan pemerintah RI Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang


Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat
Paksa.

Keputusan Menteri Keuangan No.535/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan


Keputusan Menteri Keuangan No. 539/KMK.03/2002, Tgl. 31-12-2002 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-01/PJ.135/2005 tanggal 3 Maret 2005 tentang
Kebijakan penagihan Pajak Tahun 2005.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Yuyu Yuliana

Aalamat : Jl. Akasia 3 AS 16 No. 21 Taman Royal 3 Tanah

Tinggi Tangerang

Tempat, Tanggal Lahir : Kuningan, 15 Pebruari 1975

Agama : Islam

Status : Menikah

Riwayat Pendidikan : 1. SDN Karangmangu II, lulus tahun 1987

2. SMPN Jalaksana, lulus tahun 1990

3. SMAN Cilimus, lulus tahun 1993

4. Prodip III Pajak, lulus tahun 1997

Riwayat Pekerjaan : 1. KPP Surabaya Krembangan tahun 1997 s.d tahun

2001

2. KP PBB Kuningan, tahun 2002 s.d tahun 2004

3. Kantor Pusat DJP, Sub Bagian Pengembangan

tahun 2003 hingga sekarang

Anda mungkin juga menyukai