Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KEPERAWATAN KOMUNITAS

MORTALITAS DAN MORBIDITAS COVID-19

0leh:

Risyda Rafika Laily

P1337420618030

PROGRAM STUDI S1 TERAPAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada penulis
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Mortalitas dan Morbiditas COVID-19” tepat waktu.

Makalah “Mortalitas dan Morbiditas COVID-19” disusun guna memenuhi tugas dari Pak Arwani
pada mata kuliah Keperawatan Komunitas di Poltekkes Semarang. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Mortalitas dan Morbiditas COVID-19.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pak Arwani selaku Dosen mata
kuliah tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini

Semarang, 13 Oktober 2020

Pembimbing Penulis

Dr. Arwani, S.Kep, MN. Risyda Rafika Laily


BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Coronavirus disease 2019  (COVID-19) merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan


yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) atau
yang sering disebut virus Corona. Virus ini memiliki tingkat mutasi yang tinggi dan merupakan
patogen zoonotik yang dapat menetap pada manusia dan binatang dengan presentasi klinis yang
sangat beragam, mulai dari asimtomatik, gejala ringan sampai berat, bahkan sampai kematian.

Penyakit ini dilaporkan memiliki tingkat mortalitas 2-3%. Beberapa faktor risiko dapat
memperberat keluaran pasien, seperti usia >50 tahun, pasien imunokompromais, hipertensi,
penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit paru, dan penyakit jantung.[1-3]

COVID-19 dapat dicurigai pada pasien yang memiliki gejala saluran pernapasan, seperti
demam >38⁰C, batuk, pilek, sakit tenggorokan yang disertai dengan riwayat bepergianke daerah
dengan transmisi lokal atau riwayat kontak dengan kasus suspek atau kasus konfirmasi COVID-
19. Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien COVID-19 tidak spesifik, tetapi limfopenia,
peningkatan laktat dehidrogenase, dan peningkatan aminotransferase, umumnya sering
ditemukan.

Coronavirus sebenarnya sudah mulai diidentifikasi pada pertengahan tahun 1960an


(ECDC, Tanpa Tahun)2 . Namun, Coronavirus saat itu, secara umum, hanya menyebabkan
demam biasa. Coronavirus mulai menjadi infeksi yang mematikan setelah zoonotic
coronaviruses menjangkiti manusia pertama kali pada Februari 2003 yang menyebabkan
penyakit SARS (severe acute repiratory syndrome) yang menyebar melalui kucing (Webby dan
Webster, 2003; ECDC, Tanpa Tahun).

Merebaknya SARS sebagai pandemi lalu disusul dengan virus H7N7 dan H5N1 yang
dikenal sebagai flu burung pada Maret 2003, H1N1 yang dikenal sebagai flu babi pada 2009
serta Middle East Repiratory Syndrome (MERS) yang mulai merebak pada tahun 2012 melalui
unta (Webby dan Webster, 2003; Fukuda, 2013; ECDC, Tanpa Tahun).
Hingga pada akhir 2019 sampai sekarang, dunia dikejutkan oleh merebaknya coronavirus
jenis baru (novel coronavirus) yang dibawa oleh virus SARS-CoV2 dengan nama penyakit
COVID-19 (McCloskey dan Heymann, 2020). Merebaknya berbagai pandemi pada dua dekade
terakhir telah menciptakan sejarah baru kesehatan di dunia mengingat tingkat penyebaran dan
tingkat kematian atau fatality rate-nya yang cukup tinggi. SARS misalnya, memiliki case fatality
rate sebesar 11% (WHO, 2003), atau MERS sebesar 34,4% (WHO, Tanpa Tahun) 3 .

Adapun COVID-19, per 3 Maret 2020, dilaporkan memiliki tingkat fatality rate sebesar
3,4% (who.it, 3 Maret 2020) . Sekilas, COVID-19 tidak lebih mematikan dari SARS dan MERS
ditinjau dari tingkat fatality rate-nya, tetapi penyebaran COVID19 yang jauh di atas SARS dan
MERS menjadikan COVID-19 menewaskan lebih banyak korban daripada SARS dan MERS.
Sebagai perbandingan SARS di akhir penyebarannya menjangkit 8,098 orang dengan 774 orang
meninggal, MERS menjangkit 2949 orang dengan 858 orang meninggal, sedangkan per 25 Maret
2020, COVID-19 telah menjangkit 425.493 orang dengan 18.963 orang meninggal.

Karena kaitannya dengan COVID-19 dan tugas Komunitas Makalah ini hendak mengulas
secara singkat tentang mortalitas dan morbiditas COVID-19 di dunia.
BAB II

ISI

A. PENGERTIAN

Sejarah dinamika kependudukan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
tingkat kelahiran atau fertilitas, melainkan juga tingkat kematian atau mortalitas. Weeks
(2008:147) bahkan menyatakan bahwa revolusi pola pertumbuhan dan ukuran populasi dunia
pada dua abad terakhir banyak dipengaruhi oleh semakin berkurangnya tingkat mortalitas, bukan
naiknya tingkat fertilitas. Fenomena berkurangnya tingkat mortalitas tersebut bukan fenomena
tunggal, melainkan selalu diiringi oleh fenomena lain, yaitu tingkat morbiditas. Jika mortalitas
diartikan sebagai pola kematian, maka morbiditas adalah prevalensi penyakit (Weeks, 2008:147).

Morbiditas dan mortalitas merupakan dua sisi mata koin yang sama (Weeks, 2008:147).
Dalam sejarah peradaban manusia, pengaruh penyakit terhadap kematian kiranya menjadi
signifikan tatkala manusia mulai memasuki peradaban agraris. Pada masa berburu dan meramu,
kematian lebih banyak disebabkan oleh kurangnya nutrisi, intaficide atau pembunuhan bayi, dan
geronticide atau pembunuhan orang usia tua (Weeks, 2008: 148). Namun, setelah memasuki era
revolusi agraris, faktor yang menyebabkan kematian berubah. Meskipun manusia sudah memiliki
nutrisi yang lebih baik, tetapi kontak satu sama lain yang semakin dekat, baik sesama manusia
atau manusia dengan hewan, telah menjadikan penyakit semakin mudah menular dan menjadi
ancaman baru bagi kehidupan (Week, 2008: 148).

B. KERANGKA KONSEPTUAL

1) Communicable Diseases

Meneliti tentang COVID-19 berarti meneliti tentang salah satu penyebab besar kematian
manusia, yaitu communicable diseases atau penyakit menular. Penyakit menular ini merupakan
bahkan menyumbang 31,4% kematian di seluruh dunia (Weeks, 2008:168). Penyakit menular
bisa disebabkan oleh bakteri, seperti TBC dan Pneunomia, oleh virus, seperti influenza, atau oleh
protozoa, seperti diare (Weeks, 2008:168). Dari berbagai penyebab tersebut COVID-19
digolongkan sebagai penyakit akibat virus, khususnya virus hewan. Seperti penyakit akibat virus
pada umumnya, penyebarannya melalui medium droplets.

2) Health and Mortality Transition

Health and Mortality Transition atau dapat diartikan sebagai transisi kesehatan dan mortalitas
adalah konsep yang ditawarkan Weeks (2008) untuk menggantikan konsep epidemiological
transition yang dicetuskan oleh Abdel Omran pada tahun 1971. Namun, meskipun sudah banyak
dikritik, penjabaran konsep epidemiological transition penulis kira penting untuk dijadikan dasar
dalam memahami konsep transisi kesehatan dan mortalitas yang dicetuskan oleh Weeks.

Epidemiological transition, secara ringkas, adalah konsep yang menjelaskan perubahan pola
distribusi populasi kaitannya dengan perubahan pola mortalitas, fertilitas, harapan hidup, dan
penyebab-penyebab kematian (McKeown, 2009).

Dalam merumuskan epidemiological transition, Omran membagi sejarah manusia mejadi tiga
era, yaitu:

 era wabah dan kelaparan,

 era surutnya pandemi

 era degeneratif dan penyakit buatan manusia (man-made disease) (Kahn, 2006:8).

Masing-masing dari era tersebut memiliki pola mortalitas dan harapan hidup yang berbeda-beda.
Era wabah dan kelaparan didominasi oleh tingginya tingkat mortalitas pada usia anak-anak dan
balita, era surutnya pandemi ditandai dengan mulai naiknya tangkat harapan hidup dan
pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan, sedangkan era degenartif dan penyakit buatan
manusia ditandai dengan semakin tingginya angka harapan hidup hingga di usia tertua (older
ages) (Kahn, 2006:8).

Dari pemaparan tersebut, konsep epidemiological transition digunakan untuk menganalisis dua
komponen utama, yaitu:
 perubahan dalam jejak pertumbuhan populasi, komposisinya, terkhusus distribusi usia
dari lebih muda ke lebih tua,

 perubahanan dalam pola mortalitas, termasuk bertambahnya angka harapan hidup dan
menata kembali tingkatan relatif penyebab-penyebab kematian (McKeown, 2009).

Konsep epidemiological transition ini merupakan terobosan yang besar dalam kajian demografik,
tetapi para ilmuwan demografi berpikir bahwa konsep epidemiological transition tidak cukup.
Oleh karena itu, Lerner pada tahun 1973 mengeluarkan konsep baru yang lebih luas, yaitu Health
Transition (Frenk, et al, 1991:22).

Health transition merupakan konsep yang lebih luas dari epidemiological transition. Jika
epidemiological transition hanya menganalisis penyebab-penyebab kematian, maka Health
transition memasukkan elemen konsepsi sosial dan perubahan perilaku kaitannya 5 dengan
penentu-penentu kesehatan (Frenk, et al, 1991:22; Kahn, 2006:10). Dengan begitu, analisis
terhadap perubahan pola kelahiran, kematian, penyakit dan disabilitas juga perlu dikaji dari
faktor-faktor sosial (social disruption) serta perilaku kesehatan penduduk.

3) Age, Sex, and Gender Differentials in Mortality

Selama beberapa masa, ilmuwan demografi selalu berfokus pada perbedaan umur, jenis kelamin,
serta gender dalam melihat pola kematian (Zao dan Kinfu, 2005:9). Dalam hal umur, transisi
kesehatan dan mortalitas dapat digambarkan dalam kalimat ringkas “jika dahulu orang tua
mengubur anaknya, maka sekarang anak yang mengubur orang tuanya” (Weeks, 2008:162).
Artinya, di era modern, khususnya setelah tahun 1950an, telah terjadi perubahan pola mortalitas
dari kematian menjadi pola rectangularizaton, yaitu pola yang menunjukkan kematian drastic
pada usia-usia tertua (di atas 100 tahun) sehingga menunjukkan bentuk persegi panjang pada
grafik.

Dari segi jenis kelamin dan umur, data demografi menunjukkan bahwa perempuan selalu
memiliki harapan hidup lebih tinggi daripada laki-laki (Weeks, 2008:164). Fenomena tersebut
bisa disebabkan oleh faktor biologis ataupun masyarakat. Secara biologis, beberapa ilmuwan
berargumen bahwa tingginya harapan hidup perempuan disebabkan oleh imun yang lebih kuat
yang dipengaruhi oleh hormone estrogen (Waldron, 1986 dalam Weeks, 2008:165). Adapun
secara sosial, beberapa ilmuwan menaganlisis kebiasan rokok sebagai penyebab laki-laki mati
lebih cepat daripada perempuan dan lebih rentan terhadap penyakit (Weeks, 2008:165).
C. EPIDEMOLOGI COVID 19

Secara epidemiologi, prevalensi coronavirus disease 2019 (COVID-19) meningkat secara cepat


di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menetapkan penyakit COVID-19 sebagai
pandemi global.

Global
Kasus COVID-19 pertama kali ditemukan pada Desember 2019 di Wuhan, Cina. Setelah itu,
dalam beberapa minggu, virus ini menyebar ke seluruh bagian negara Cina dan dalam kurun
waktu 1 bulan menyebar ke negara lainnya, termasuk Italia, Amerika Serikat, dan Jerman.

Sampai tanggal 2 September 2020, COVID-19 sudah ditemukan di 216 negara, dengan total
kasus konfirmasi sebesar 25.602.665 kasus. Amerika Serikat merupakan negara dengan kasus
COVID-19 terbanyak dengan total kasus 5.968.380, diikuti dengan Brazil 3.908.272 kasus, dan
India 3.769.523 kasus.

Indonesia
Kasus COVID-19 pertama di Indonesia dikonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020 berjumlah 2
orang. Sampai 3 September 2020, kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 184.268 kasus
konfirmasi yang menempati peringkat ke 23 total kumulatif kasus COVID-19 di dunia.

Mortalitas
Sampai tanggal 3 September 2020, jumlah mortalitas akibat COVID-19 adalah sebesar 852.758
kasus. Di Indonesia, jumlah kematian akibat COVID-19 adalah sebesar 7.750 kasus. Case
fatality rate (CFR) akibat COVID-19 di Indonesia adalah sebesar 4,2%. Angka ini masih
tergolong tinggi jika dibandingkan dengan CFR secara global, yaitu 3,85%.

Hingga akhir Augustus 2020 telah tercatat jumlah tenaga kesehatan (Nakes) meninggal karena
Covid-19 setidaknya telah mencapai: 100 dokter (catatan IDI), 55 perawat (catatan PPNI), 15
bidan, 8 dokter gigi, 1 tenaga kesehatan masyarakat, 1 asisten apoteker, dan 1 ahli teknologi
laboratorium medik. Berdasarkan data yang ada, didapatkan bahwa kematian dokter terutama
terjadi pada dokter berusia > 50 tahun, dokter umum, memiliki komorbid, dan masih produktif
berkarya.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

Angka mortalitas dan morbidilitas nasional yang semakin melonjak membuat masyarakat
semakin tinggi beresiko terkena COVID-19. Diharapkan, tahun 2021 pandemi COVID-19 bisa
berakhir dengan adanya upaya dan doa.

Disarankan agar pemerintah pusat dan stakeholders terkait untuk:

1) Menjadikan isu penurunan angka kesakitan dan kematian Nakes karena Covid-19 menjadi
salah satu prioritas nasional

2) Menyusun dan menjalankan Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C19-
MMRP) untuk Nakes dan masyarakat secara nasional
DAFTAR PUSTAKA

Hanesvi, Djasri. 2020. Jurnal: Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C19-
MMRP): Sebuah Usulan Kebijakan untuk Mencegah kematian Nakes akibat Covid-1.

Jurnal Research link:


https://www.researchgate.net/publication/340224377_DUNIA_DALAM_ANCAMAN_PANDEMI
_KAJIAN_TRANSISI_KESEHATAN_DAN_MORTALITAS_AKIBAT_COVID-19
(Diakses pada 20 Maret 2020)

https://www.mutupelayanankesehatan.net/19-headline/3501-covid-19-morbidity-and-mortality-
reduction-program-c19-mmrp-sebuah-usulan-kebijakan-untuk-mencegah-kematian-nakes-
akibat-covid-19.
(Diakses pada 31 Agustus 2020)

https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/coronavirus-disease-2019-covid-19.
(Diakses pada 12 Oktober 2020)

Anda mungkin juga menyukai