Anda di halaman 1dari 25

KEPERAWATAN KRITIS

KONSEP BANTUAN HIDUP LANJUT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6:

Firza Noviatun Nisa 1814301001

Indah Wulandari Berutu 1814301007

Komang Tiara Koridevani Giri 1814301010

Elda Maysari 1814301012

Farid Hidayat 1814301023

Dosen : Efa Trisna, Ns.,S.Kep.,M.Kes

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
T.A 2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang membahas tentang KONSEP
BANTUAN HIDUP LANJUT.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata ajar yaitu ibu Efa Trisna,
Ns.,S.Kep.,M.Kes atas bimbingan dan pendidikan yang diberikan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik. Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami
dengan materi Asuhan Keperawatan Kritis dengan gangguan hepatitis dan hematemesis
melena. Kami sadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pembelajaran
bagi teman-teman.

Bandar Lampung, 23 Januari 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................5

PEMBAHASAN........................................................................................................................5

2.1 Definisi .......................................................................................................................5

2.2 Obat-obatan dan cairan ...........................................................................................5

2.3 Electrocardiography..................................................................................................13

2.4 Terapi Fibrilasi..........................................................................................................16

BAB 3.......................................................................................................................................23

PENUTUP................................................................................................................................23

Kesimpulan.........................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24

BAB I
PENDAHULUAN

Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi dimana


3
saja, kapan saja, dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
suatu penyakit ataupun akibat kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan, dan
lain-lain. Keadaan ini sangat membutuhkan pertolongan segera sejak di tempat
kejadian, selama transportasi, sampai pasien diserahkan kepada petugas kesehatan
di rumah sakit. Berbagai kasus kedaruratan medis yang sering dijumpai meliputi
sumbatan jalan napas, henti nafas, syok, henti jantung. Kasus tersebut dapat
teratasi apabila dilakukan tindakan resusitasi sesegera mungkin. Resusitasi yang
harus dipertimbangkan dalam setiap kasus kedaruratan medis adalah resusitasi
jantung- paru.1
Resusitasi jantung-paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat
untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi pada pasien yang masih
memiliki harapan hidup. RJP dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu bantuan hidup
dasar, bantuan hidup lanjut, dan bantuan hidup jangka panjang. Bantuan hidup
dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat dengan tiga langkah, yaitu Airway,
Breathing, dan Circulation. Sedangkan bantuan hidup lanjut bertujuan untuk
memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan dengan tiga langkah, yaitu
Drugs and fluid treatment, Electrocardiography, dan Fibrillation treatment.
Bantuan hidup jangka panjang bertujuan untuk pengelolaan intensif mentasi
manusia yang terdiri dari tiga langkah, yaitu Gauging, Human mentation, dan
Intensive care.1
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara
simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan
mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi
jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. Untuk mengembalikan
sirkulasi secara spontan, diperlukan pemberian obat-obatan serta cairan, diagnosis
dengan elektrokardiografi, dan juga terapi fibrilasi. Ketiga tahapan ini dapat
dilakukan dengan urutan yang berbeda-beda tergantung keadaan yang dihadapi.2

4
Peralatan yang dipakai pada BHL meliputi alat jalan napas (pipa orofaring,
nasofaring, endotrakea, sungkup muka, alat isap, laringoskop, forsep Magil),
perlengkapan untuk memasang infus, EKG monitor dengan defibrillator arus
searah, dan papan datar yang kuat untuk resusitasi. Obat-obatan yang diperlukan
adalah golongan simpatomimetik (adrenalin, noradrenalin, dopamine, ephedrine,
efortil, metaraminol, dan isoproterenol), golongan pelumpuh otot (suksinil kolin,
pankuronium, atau derivate kurare yang lain), golongan sedatif dan anti kejang,
lidokain, prokainamid, atropin, morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator, dan
cairan infus. Tinjauan pustaka ini akan membahas lebih lanjut tentang langkah-
langkah BHL serta jenis peralatan dan juga obat-obatan yang dipakai.1

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan secara


simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan
mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi
jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan,
yaitu terapi obat dan cairan, electrokardiografi, dan terapi fibrilasi.1

2.2 Obat-obatan dan Cairan

Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang
paling penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat
dan cairan itu penting, pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan
kompresi dada dan ventilasi. Dalam melakukan terapi obat dan cairan tentunya
harus dipikirkan juga jalur masuknya obat dan cairan. Jalur yang sering digunakan
dalam resusitasi adalah jalur intravena dan intraosseous.3 Di bawah ini akan
dijelaskan mengenai terapi obat dan cairan yang meliputi jalur masuknya obat dan
cairan dan jenis obat serta cairan yang digunakan dalam bantuan hidup lanjut.
2.2.1 Jalur Obat-obatan dan Cairan

a. Jalur Intravena Perifer

Pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur intravena perifer sangat


penting untuk dilakukan. Tindakan ini harus dilakukan tanpa mengganggu
kompresi, airway management, atau terapi defibrilasi. Apabila sudah terdapat jalur
vena sentral, maka pemberian obat-obatan dan cairan lebih baik melalui jalur vena
sentral. Jika belum terpasang jalur vena sentral, pemasangan jalur vena perifer
harus dilakukan sesegera mungkin. Lokasi pemasangan jalur vena perifer yang
dianjurkan adalah vena antecubital, jugular eksternal, atau femoralis. 2,4 Jika
pemasangan jalur vena perifer sulit untuk dilakukan, penyuntikan adrenalin
pertama secara intravena dapat dilakukan. Penyuntikan dilakukan menggunakan
jarum kecil di vena perifer.2 Pemberian obat melalui vena perifer kemudian harus

6
dilanjutkan dengan pemberian 20 ml bolus cairan dan atau elevasi ekstremitas
yang terpasang kateter selama 10-20 detik agar kerja obat dapat lebih dipercepat.3

b. Jalur Intraosseous

Apabila kanulasi intravena sulit dilakukan, maka pemberian obat-obatan


dan cairan melalui jalur intraosseous dapat dilakukan, terutama pada anak-anak.
Jalur intraosseous ini merupakan jalur administrasi obat sementara selama
resusitasi terjadi. Setelah keadaan darurat teratasi, maka jalur intraosseous ini
harus segera diganti dengan jalur intravena, baik itu vena perifer atau vena
sentral.4
Angka kesuksesan pemasangan jalur intraosseous pada orang dewasa
terbilang cukup rendah, namun masih dapat dilakukan pada tibia dan pada distal
radius dan ulna. Jarum spinal yang rigid dan berukuran 16-18 gauge dengan stylet
atau jarum khusus spinal dapat digunakan pada distal femur dan anterior
proksimal tibia. Jika melakukan pemasangan jalur intraosseous di tibia, maka
jarum ditusukkan 2-3 cm dibawah tuberositas tibia dengan sudut 90° menuju
bagian tengah tulang atau sedikit inferior untuk menjauhi epifisis. Pemasangan
dikatakan berhasil jika jarum dapat berdiri tegak tanpa penyangga dan sumsum
tulang dapat diaspirasi melalui jarum yang terpasang.3, 4
Jalur intraosseous ini sangat efektif untuk pemberian cairan kristaloid,
koloid, maupun darah. Namun, pemberian obat-obatan melalui jalur ini akan
sedikit lebih lambat dibandingkan dengan jalur intravena sehingga dosis obat yang
diberikan harus sedikit lebih banyak dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan
dalam pemberian melalui jalur intravena. Jalur intraosseous tidak dapat digunakan
terus menerus sebagai jalur untuk pemberian obat dan cairan karena dapat
meningkatkan resiko terjadinya osteomyelitis dan sindrom kompartemen.
Sehingga sesegera mungkin harus dipindah ke jalur intravena. Jalur intraosseous
ini juga kontra indikasi pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi pulmonal,
insufisiensi pulmonal berat, dan right-to-left shunts karena dapat mengakibatkan
terjadinya fat- emboli.4

4
Gambar 2.1 Jalur Intraosseous

c. Jalur Endotrakeal

Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru, terkadang pemasangan


kateter pada vena perifer atau intraosseous secara cepat sulit untuk dilakukan
sehingga jalur endotrakeal ini dapat dijadikan alternatif. Jalur endotrakeal dapat
dilakukan selama terdapat pipa endotrakeal dan pasien tidak sedang menggunakan
laryngeal mask airway (LMA). Hanya beberapa obat yang dapat diberikan melalui
jalur intrapulmonum. Obat-obatan itu meliputi lidokain, epinephrine, atropine,
naloxone, dan vasopressin (kecuali natrium bikarbonat). Jalur intrapulmonum ini
tidak direkomendasikan untuk rutin dilakukan pada keadaan darurat. Jalur yang
direkomendasikan dalam resusitasi jantung-paru adalah jalur intravena dan
intraosseous.5
Pemberian obat melalui jalur intrapulmonum ini memiliki kecepatan yang
kurang efektif dibanding jalur intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang
masuk secara sistemik melalui jalur ini tidak konsisten. 3 Sehingga dosis yang
diberikan 3-10 kali lebih banyak dibanding dengan dosis yang dianjurkan untuk
jalur intravena. Obat-obatan tersebut kemudian dilarutkan dalam 10 ml normal
salin.4 Obat-obatan selain yang disebutkan sebelumnya tidak boleh diberikan
melalui jalur endotrakeal karena dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa atau
alveolar.5
Dosis atropine yang diberikan menurut rekomendasi AHA 2010 ada 0.1
mg IV untuk mencegah terjadinya bradikardia paradoksal. Namun pada AHA
2015, dikatakan bahwa tidak ada cukup bukti yang mendukung penggunaan
atropine secara rutin untuk mencegah terjadinya bradikardia pada intubasi
pediatrik darurat.

5
Penelitian terbaru menyatakan bahwa menggunakan atropine dengan dosis kurang
dari 0.1 mg tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya bradikardia atau aritmia.6
d. Jalur Intra Jantung

Pemberian obat intra jantung sudah tidak dianjurkan selama RJP karena
manfaat yang sedikit namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi. 5 Jalur
intra jantung ini dapat menyebabkan pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan
gangguan kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika penyuntikan obat tidak
sengaja mengenai otot jantung dapat menyebabkan disritmia intraktabel.
Pemasangan jalur intra jantung menggunakan jarum panjang dan tipis, melalui
intracostal space ke-5 di parasternal ke dalam ruang jantung.2

Gambar 2.2 Jalur Intra Jantung

e. Jalur Intra Muskulus

Pemberian obat melalui jalur intra muskulus tidak dianjurkan pada


tindakan resusitasi atau kedaruratan karena absorpsi obat dalam otot dan lama
kerja obat tidak dapat ditentukan dan dikontrol dengan baik. Jalur intra muskulus
juga tidak dapat digunakan untuk pemberian terapi cairan.2

f. Jalur Vena Sentral

Jalur vena sentral sebaiknya dilakukan segera setelah kembalinya sirkulasi


spontan sehingga tekanan vena sentral dapat dikontrol. Nilai normal dari tekanan
vena sentral adalah 3-10 mmHg.2 Pembuluh vena yang biasanya digunakan untuk
pemasangan kateter vena sentral adalah vena kava superior melalui vena jugularis
6
interna kanan.
Cara pemasangan kateter vena sentral melalui vena jugularis interna kanan dimulai
dengan melakukan prosedur asepsis pada daerah yang akan dipasang kateter vena sentral
sambil mempersiapkan alat yang dibutuhkan untuk memasang kateter vena sentral. Setelah
itu, putar kepala pasien kearah kiri, palpasi arteri karotis dengan sebelah tangan dan
memasukkan jarum kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam bidang paramedian, 45°
kaudal, menembus kulit pada puncak segitiga yang dibentuk oleh dua bagian otot
sternokleidomastoideous. Emboli udara harus dicegah pada semua kanulasi vena sentral
dengan upaya sebagai berikut: kepala pasien sedikit lebih rendah. Jika pasien sadar
hendaknya diminta menahan nafas, sedangkan untuk pasien tidak sadar hendaknya
mendapat ventilasi tekanan positif dan pada saat diskoneksi yang tidak dapat dihindarkan,
bagian terbuka hendaknya ditutup dengan jari atau keran.2

Gambar 2.3 Jalur Vena Sentral

2.2.2 Obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya memiliki banyak jenis. Namun, obat-obatan yang penting untuk
diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium,
magnesium, dan natrium bikarbonat.1

a. Adrenalin

Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan pada
pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan
disaksikan.

7
Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa dan
beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor alfa
adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian adrenalin
dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat memberikan perbaikan
klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan dengan pemberian
dengan dosis standar.4
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan PEA
(Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa
nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol atau PEA
diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan
pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, adrenalin
diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang
kembali setiap 2 siklus berakhir).5,6
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena
atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada
anak- anak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui
pipa endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril).
Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis
sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah
adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter sentral
sesegera mungkin.4
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap orang dewasa di luar rumah
sakit mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan peningkatan
ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki rumah sakit, tapi
tidak berkaitan untuk pasien yang akan dipulangkan. Penggunaan epinefrin
sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar namun pemberiannya bukan
sebuah keharusan karena rekomendasi tentang pemberian epinefrin selama
serangan jantung telah diturunkan sedikit pada Kelas Rekomendasi.6
Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia,
hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi.4 Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin tidak
menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian

8
adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu
dikombinasikan dengan vasopressin.6

b. Amiodaron

Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal


natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta adrenergik.
Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan farmakologik yang kompleks.
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin
dapat meningkatkan ROSC dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron.
Amiodaron diberikan kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan keempat pada
pasien yang tidak merespon dengan pemberian vasopressor dan terapi
defibrillator.4 Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300 mg bolus
untuk pemberian pertama kali dan kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya,
pemberian amiodaron dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan
dosis pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian amiodaron ini juga dapat
dipertimbangkan sebagai profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel. Amiodaron memiliki efek hipotensi dan bradikardi, sehingga
pemberiannya perlu diperhatikan.4

c. Atropine

Sulfas atropine meningkatkan konduksi atrioventricular dan automatisitas


nodus sinus dengan efek vagolitik. Atropine diindikasikan pada kasus bradikardia
yang disertai dengan hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala yang berhubungan
dengan iskemia miokardium. Atropine juga dapat diberikan sebagai terapi pada
second-degree heart block, third-degree heart block, dan irama idioventricular
lambat. Atropin sering digunakan pada kasus henti jantung dengan
elektrokardiografi (EKG) asistol atau PEA.3
Tidak ada penelitian yang menunjukkan secara pasti penggunaan atropine
meningkatkan prognosis pada kasus henti jantung irama asistol atau bradisitolik.
Penanganan kasus asistol atau PEA yang paling efektif adalah dengan melakukan
kompresi dada, ventilasi, dan epinefrin karena dapat meningkatkan perfusi arteri
koroner dan oksigenasi miokardium. Henti jantung dengan irama asistol memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan irama lainnya. Oleh karena
9
atropine memiliki efek samping yang sangat sedikit, maka penggunaan atropine
pada kasus henti jantung dapat dipertimbangkan selain penggunaan epinefrin dan
oksigenasi. Namun penggunaan secara rutin pada kasus henti jantung tidak
direkomendasikan.3
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa adalah

0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk anak-
anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg
dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3-
5 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang
dewasa adalah 1 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu
diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus
takikardia setelah resusitasi.3

d. Kalsium

Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal.
Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia, hipokalsemia, dan
overdosis obat kalsium channel blocker.4 Kalsium sangat diperlukan pada kasus
henti jantung karena disosiasi elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi
spontan dengan pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti
jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.1 Sumber
lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak dapat
mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan angka survival rate
di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak
direkomendasikan. Efek samping dari pemberian kalsium ini adalah kemungkinan
meningkatkan cedera miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel miokardiak
dan otak serta dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.4
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml
dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium
glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.5

d. Lidokain

Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker yang biasanya


digunakan sebagai alternatif anti-aritmia. Pemberian lidokain tidak dapat
meningkatkan ROSC secara konstan dan tidak berhubungan dengan perbaikan

10
klinis pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan amiodaron,
efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam pencapaian ROSC pada pasien
dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon terhadap RJP,
defibrilasi, dan vasopressor.7
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis awal
diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi.
Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari
pemberian lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan
kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi, dan asistol.4
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung
penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau
kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan
jantung akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian pada pasien
yang selamat dari serangan jantung menunjukkan adanya penurunan dalam
insiden fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel berulang, namun tidak
menunjukkan manfaat maupun kerugian jangka panjang.6

e. Magnesium

Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor dalam


regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel. Magnesium tidak
dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien dengan henti jantung dan juga
tidak memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga pemberian
magnesium tidak direkomendasikan.6 Magnesium diberikan pada kasus
hipomagnesemia, hypokalemia, henti jantung yang disebabkan oleh toksisitas
digoxin, kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade
de pointes.5

Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali
kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas pada
penggunaan kalsium yang berlebihan.5

f. Natrium Bikarbonat

Natrium bikarbonat merupakan larutan alkalin yang bercampur dengan ion


hydrogen membentuk asam karbonat lemah. Pada kasus henti jantung, resusitasi
11
jantung-paru yang efisien dan ventilasi yang adekuat dapat mengurangi
penggunaan natrium bikarbonat.5 Sebagian besar penelitian menyatakan tidak ada
keuntungan dari pemberian natrium bikarbonat pada pasien henti jantung sehingga
pemberian natrium bikarbonat secara rutin pada pasien dengan henti jantung tidak
direkomendasikan.6
Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah 1 mmol/kg yang
diberikan selama 2-3 menit. Pemberian obat ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan analisis gas darah untuk memantau koreksi asidosis metabolik,
sehingga pemberian bikarbonat selanjutnya bisa digunakan rumus seperti berikut:

Dosis bikarbonat = defisit basa x 0.25 berat badan1

Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan diberikan pada pasien


dengan hyperkalemia, terapi asidosis metabolik yang sudah terdokumentasi, terapi
pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protracted arrest (lebih dari 15 menit).
Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah alkalosis metabolik,
hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar. Pemberian natrium bikarbonat
kontraindikasi pada kasus asidosis intraseluler karena dapat semakin
memperparah asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium bikarbonat
masuk kedalam sel. Natrium bikarbonat dan adrenalin atau kalsium tidak boleh
dicampurkan bersamaan karena dapat saling menginaktivasi, mengendap, dan
menyumbat jalur intravena.5
2.2.3 Cairan

Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup paska


resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan cairan,
penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit, koloid, dan sel
darah merah. Infus garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif dapat
menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus perdarahan luar atau dalam yang
berat.
2. Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung dengan
cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10 ml/kgBB) guna mengganti
volume darah relatif akibat vasodilatasi, penimbunan di vena, dan kebocoran
kapiler.

12
3. Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan sekaligus
memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.
4. Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi darah
optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik koloid
normal, albumin serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan glukosa serum
(100-300 mg/dl).2
Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa paska
henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan vena
sentral untuk menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu
kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat diberikan secara
tunggal atau kombinasi.1

2.3 Electrocardiography

Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang


wajib disediakan di masing-masing unit gawat darurat karena diagnostik henti
jantung mutlak harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG. Gambaran EKG
sangat menentukan langkah-langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan. Ada
tiga pola EKG pada henti jantung, yaitu asistol ventrikel, Pulseless Electrical
Activity (PEA), dan fibrilasi ventrikel.1, 3
1. Asistol Ventrikel

Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan gambaran


EKG yang isoelektris. Paling sering disebabkan oleh hipoksia, asfiksia, dan
blok jantung.1

Gambar 2.4 Ventrikel Asistole

2. Pulseless Electrical Activity

PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-anak


dan biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA adalah suatu
keadaan dimana tidak terabanya denyut nadi ketika irama jantung masih
terdeteksi oleh EKG. Terdapat jenis-jenis PEA, yaitu disosiasi

13
elektromekanik (EMD),

14
disosiasi pseudoelektromekanik, irama idioventrikular, irama ventricular
escape, irama bradiasistolik, dan irama idioventrikular postresusitasi. EMD
merupakan gambaran EKG yang paling sering muncul.3
EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana terdapat gambaran
ketiadaan denyut dengan EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadang relatif
normal tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak
efektif sehingga denyut nadi tidak teraba.1 Disosiasi pseudoelektromekanik
merupakan keadaan dimana denyut nadi tidak teraba namun masih ditemukan
denyut jantung pada gambaran EKG dengan ETCO2 yang tinggi. Disosiasi
pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan EMD. Irama ventricular escape adalah adanya denyut ventrikel setelah
hilangnya nodus atrial sehingga gambaran EKG akan menunjukkan adanya
gelombang QRS disertai dengan tidak adanya gelombang p. Irama
bradiasistolik merupakan irama jantung yang terdapat irama ventricular
kurang dari 60 kali per menit pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung. 3
Sedangkan irama idioventrikular postresusitasi dikarakterisasi dengan adanya
aktivitas gelombang yang teratur yang terlihat segera setelah dilakukan
cardioversion pada kasus dimana sebelumnya tidak ada denyut yang teraba.9

Gambar 2.5 Disosiasi Elektromekanik

Gambar 2.6 Irama Idioventrikular

15
Gambar 2.7 Irama Ventricular Escape

3. Fibrilasi Ventrikel

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel jantung secara


kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan darah ke seluruh
tubuh. Gambaran EKG akan tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama
jantung ini paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.
Penyebab dari fibrilasi ventrikel dibedakan menjadi dua, primer dan
sekunder. Mekanisme dari penyebab tersebut masih belum diketahui dengan
pasti. Penyebab primer yang paling sering adalah iskemik otot jantung, reaksi
obat, tersengat listrik, dan kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan
penyebab sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia,
tenggelam, dan akibat perdarahan.

Gambar 2.8 Fibrilasi Ventrikel

4. Takikardi Ventrikel

Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumber dari ventrikel.


Potensi menjadi aritmia yang fatal sangat tinggi akibat menurunnya curah
jantung dan gagal sirkulasi. Definisi dari takikardi ventrikel adalah ventrikular
ekstrasistol yang timbul berurutan dengan kecepatan >100 kali/menit,
takikardi ventrikel juga memiliki kompleks QRS yang lebar.8

16
Gambar 2.9 Takikardi Ventrikel

2.4 Terapi Fibrilasi

Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri disaritmia


takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan
menggunakan syok balik listrik. Syok balik listrik menghasilkan depolarisasi
serentak semua serat otot jantung dan setelah itu jantung akan berkontraksi
spontan, asalkan otot jantung mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak
menderita asidosis.1
Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel. Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang sering muncul pada
kasus henti jantung. Penanganan yang paling efektif untuk henti jantung dengan
irama tersebut adalah dengan defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan
mengkonsumsi oksigen lebih banyak sehingga akan memperburuk iskemia
miokardium. Defibrilasi harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin lama
fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk dilakukan defibrilasi dan banyak
kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga semakin kecil kemungkinan
resusitasi akan berhasil.3
Defibrillator menyalurkan energi listrik dalam dua bentuk, yaitu
monofasik dan bifasik. Gelombang monofasik menyalurkan energi hanya searah
dari satu elektroda ke elektroda lainnya. Gelombang bifasik membalikkan arah
energi dengan mengubah polarisasi elektroda dari bagian dimana energi tersebut
disalurkan sehingga gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih besar
dibandingkan gelombang bifasik. Gelombang bifasik biasanya digunakan pada
implantable cardioverter defibrillator (ICD) yang kemudian dapat diadaptasi
menjadi eksternal defibrillator.3,4,6
Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang dibutuhkan untuk
defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding dewasa

17
dengan serendah-rendahnya 0.5 J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu
berpengaruh pada dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang
sukses dengan menggunakan energi yang rendah (160-200 J). Penelitian yang
dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan bahwa terdapat kesuksesan
defibrilasi yang sama ketika menggunakan 200 J atau lebih rendah dari itu
dibandingkan dengan menggunakan 300 J atau lebih.3
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik, dikenal ada dua
jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated exponential waveform dan
rectilinear biphasic waveform. Pada AED, energi yang disalurkan akan diatur
secara otomatis oleh alat. Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan
range energi yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated
exponential waveform, maka energi yang disediakan berkisar antara 150-200 J
dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan untuk defibrillator jenis
rectilinear biphasic waveform, energi yang disediakan 120 J dengan tingkat
kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential waveform.3

Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi sebesar 360


Joule untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik direkomendasikan pemberian
energi sebesar 200 Joule. Energi dapat ditingkatkan bertahap apabila keadaan
takikardi ventrikel atau fibrilasi ventrikel tidak membaik setelah kejutan pertama.
Tipe bifasik lebih direkomendasikan untuk melakukan cardioversion karena tipe
bifasik memberikan tingkat kesuksesan yang sama dengan menggunakan lebih
sedikit energi.4 Penggunaan gelombang bifasik lebih direkomendasikan
dibandingkan dengan gelombang monofasik karen penggunaan defibrillator
dengan energi besar akan meningkatkan potensi kerusakan otot jantung.3,4,6
Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus diperiksa dan dicoba
terlebih dahulu kemampuannya memberikan energi mulai dari rendah hingga
tinggi. Pedal defibrillator luar (dada) untuk dewasa memiliki diameter 14 cm,
sedangkan untuk anak-anak memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi memiliki
diameter 4.5 cm. Pedal defibrillator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa
adalah 6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk bayi 2 cm.1 Lokasi pedal
defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-lateral dengan satu pedal diletakkan
di ICS keenam pada midaxillary line kiri, sedangkan pedal lainnya diletakkan di
ICS kedua

18
parasternal kanan. Jika penderita memiliki payudara besar, pedal kiri dapat
diletakkan di bawah payudara dengan menghindari jaringan payudara terkena
kejutan.5

Gambar 2.10 Posisi Anterolateral

Gambar 2.11 Posisi Anteroposterior. Terbagi menjadi posisi antero-left


infrascapular (B) dan antero-right infrascapular (C).

19
Gambar 2.12 Algoritma Resusitasi Henti Jantung

20
BAB III
KESIMPULAN

Resusitasi Jantung-Paru (RJP) adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat


untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkulasi yang mengalami kegagalan
mendadak pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup. RJP memiliki tiga
tahapan, yaitu bantuan hidup dasar (tahap I), bantuan hidup lanjut (tahap II), dan
bantuan hidup jangka panjang (tahap III). Bantuan hidup dasar meliputi airway,
breathing, circulation. Bantuan hidup lanjut meliputi drugs and fluid, EKG, dan
fibrillation therapy. Sedangkan bantuan hidup jangka panjang meliputi gauging, human
mentation, dan intensive care. Bantuan hidup lanjut membutuhkan alat-alat dan obat-
obatan khusus. Bantuan hidup lanjut merupakan lanjutan dari bantuan hidup dasar yang
dilakukan secara simultan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi spontan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor. Wiryana IM,
Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.
2. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
1984.
3. Longnecker, D., Newman, M., Mackey, S., Sandberg, W. and Zapol, W. (2012).
Anesthesiology. 2nd ed. Mc Graw Hill

4. Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New York:
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013.
5. Australian Resuscitation Council. ANZCOR Guideline 11.5 – Medications in Adult
Cardiac Arrest. 2016.
6. American Heart Association. 2015 AHA Guidelines Update for CPR and ECC.
2015.
7. American Heart Association. Highlights of the 2015 American Heart Association
Guidelines Update for CPR and ECC. 2015.
8. Pakpahan HA. Elektrokardiografi Ilustratif. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
9. Emedicine.medscape.com. (2017). Pulseless Electrical Activity: Background,
Etiology, Epidemiology. [online] Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/161080-overview#a6 [Diakses 9 May
2017].
10. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/af014e7457b6eefbf504fc6a
03171c2e.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai