DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6:
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata ajar yaitu ibu Efa Trisna,
Ns.,S.Kep.,M.Kes atas bimbingan dan pendidikan yang diberikan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik. Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami
dengan materi Asuhan Keperawatan Kritis dengan gangguan hepatitis dan hematemesis
melena. Kami sadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pembelajaran
bagi teman-teman.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
2.3 Electrocardiography..................................................................................................13
BAB 3.......................................................................................................................................23
PENUTUP................................................................................................................................23
Kesimpulan.........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
4
Peralatan yang dipakai pada BHL meliputi alat jalan napas (pipa orofaring,
nasofaring, endotrakea, sungkup muka, alat isap, laringoskop, forsep Magil),
perlengkapan untuk memasang infus, EKG monitor dengan defibrillator arus
searah, dan papan datar yang kuat untuk resusitasi. Obat-obatan yang diperlukan
adalah golongan simpatomimetik (adrenalin, noradrenalin, dopamine, ephedrine,
efortil, metaraminol, dan isoproterenol), golongan pelumpuh otot (suksinil kolin,
pankuronium, atau derivate kurare yang lain), golongan sedatif dan anti kejang,
lidokain, prokainamid, atropin, morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator, dan
cairan infus. Tinjauan pustaka ini akan membahas lebih lanjut tentang langkah-
langkah BHL serta jenis peralatan dan juga obat-obatan yang dipakai.1
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi yang
paling penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi. Walaupun terapi obat
dan cairan itu penting, pemberiannya jangan sampai mengganggu tindakan
kompresi dada dan ventilasi. Dalam melakukan terapi obat dan cairan tentunya
harus dipikirkan juga jalur masuknya obat dan cairan. Jalur yang sering digunakan
dalam resusitasi adalah jalur intravena dan intraosseous.3 Di bawah ini akan
dijelaskan mengenai terapi obat dan cairan yang meliputi jalur masuknya obat dan
cairan dan jenis obat serta cairan yang digunakan dalam bantuan hidup lanjut.
2.2.1 Jalur Obat-obatan dan Cairan
6
dilanjutkan dengan pemberian 20 ml bolus cairan dan atau elevasi ekstremitas
yang terpasang kateter selama 10-20 detik agar kerja obat dapat lebih dipercepat.3
b. Jalur Intraosseous
4
Gambar 2.1 Jalur Intraosseous
c. Jalur Endotrakeal
5
Penelitian terbaru menyatakan bahwa menggunakan atropine dengan dosis kurang
dari 0.1 mg tidak meningkatkan kemungkinan terjadinya bradikardia atau aritmia.6
d. Jalur Intra Jantung
Pemberian obat intra jantung sudah tidak dianjurkan selama RJP karena
manfaat yang sedikit namun memiliki resiko tinggi terjadinya komplikasi. 5 Jalur
intra jantung ini dapat menyebabkan pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan
gangguan kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika penyuntikan obat tidak
sengaja mengenai otot jantung dapat menyebabkan disritmia intraktabel.
Pemasangan jalur intra jantung menggunakan jarum panjang dan tipis, melalui
intracostal space ke-5 di parasternal ke dalam ruang jantung.2
2.2.2 Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya memiliki banyak jenis. Namun, obat-obatan yang penting untuk
diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin, amiodaron, atropine, lidokain, kalsium,
magnesium, dan natrium bikarbonat.1
a. Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan pada
pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan
disaksikan.
7
Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada reseptor alfa dan
beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui reseptor alfa
adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian adrenalin
dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat memberikan perbaikan
klinis (Return of Spontaneous Circulation) dibandingkan dengan pemberian
dengan dosis standar.4
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan PEA
(Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa
nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol atau PEA
diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir. Sedangkan
pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, adrenalin
diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang
kembali setiap 2 siklus berakhir).5,6
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena
atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan pada
anak- anak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui
pipa endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril).
Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis
sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah
adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter sentral
sesegera mungkin.4
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap orang dewasa di luar rumah
sakit mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan peningkatan
ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki rumah sakit, tapi
tidak berkaitan untuk pasien yang akan dipulangkan. Penggunaan epinefrin
sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar namun pemberiannya bukan
sebuah keharusan karena rekomendasi tentang pemberian epinefrin selama
serangan jantung telah diturunkan sedikit pada Kelas Rekomendasi.6
Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia,
hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi.4 Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan vasopressin tidak
menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian
8
adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu
dikombinasikan dengan vasopressin.6
b. Amiodaron
c. Atropine
0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3 mg. Untuk anak-
anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg
dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3-
5 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang
dewasa adalah 1 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu
diperhatikan juga bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus
takikardia setelah resusitasi.3
d. Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal.
Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia, hipokalsemia, dan
overdosis obat kalsium channel blocker.4 Kalsium sangat diperlukan pada kasus
henti jantung karena disosiasi elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi
spontan dengan pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti
jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.1 Sumber
lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak dapat
mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan angka survival rate
di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak
direkomendasikan. Efek samping dari pemberian kalsium ini adalah kemungkinan
meningkatkan cedera miokardiak dan otak dengan kematian sel-sel miokardiak
dan otak serta dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.4
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml
dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium
glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.5
d. Lidokain
10
klinis pasien untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan amiodaron,
efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam pencapaian ROSC pada pasien
dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi yang tidak respon terhadap RJP,
defibrilasi, dan vasopressor.7
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis awal
diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5 mg/kgBB selama resusitasi.
Pemberian infus lidokain untuk ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari
pemberian lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan
kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi, dan asistol.4
Menurut AHA 2015, tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung
penggunaan lidokain secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau
kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan
jantung akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel. Penelitian pada pasien
yang selamat dari serangan jantung menunjukkan adanya penurunan dalam
insiden fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel berulang, namun tidak
menunjukkan manfaat maupun kerugian jangka panjang.6
e. Magnesium
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali
kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas pada
penggunaan kalsium yang berlebihan.5
f. Natrium Bikarbonat
12
3. Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan sekaligus
memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.
4. Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi darah
optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik koloid
normal, albumin serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan glukosa serum
(100-300 mg/dl).2
Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa paska
henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan vena
sentral untuk menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu
kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat diberikan secara
tunggal atau kombinasi.1
2.3 Electrocardiography
13
elektromekanik (EMD),
14
disosiasi pseudoelektromekanik, irama idioventrikular, irama ventricular
escape, irama bradiasistolik, dan irama idioventrikular postresusitasi. EMD
merupakan gambaran EKG yang paling sering muncul.3
EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana terdapat gambaran
ketiadaan denyut dengan EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadang relatif
normal tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak
efektif sehingga denyut nadi tidak teraba.1 Disosiasi pseudoelektromekanik
merupakan keadaan dimana denyut nadi tidak teraba namun masih ditemukan
denyut jantung pada gambaran EKG dengan ETCO2 yang tinggi. Disosiasi
pseudoelektromekanik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan EMD. Irama ventricular escape adalah adanya denyut ventrikel setelah
hilangnya nodus atrial sehingga gambaran EKG akan menunjukkan adanya
gelombang QRS disertai dengan tidak adanya gelombang p. Irama
bradiasistolik merupakan irama jantung yang terdapat irama ventricular
kurang dari 60 kali per menit pada dewasa atau tidak adanya denyut jantung. 3
Sedangkan irama idioventrikular postresusitasi dikarakterisasi dengan adanya
aktivitas gelombang yang teratur yang terlihat segera setelah dilakukan
cardioversion pada kasus dimana sebelumnya tidak ada denyut yang teraba.9
15
Gambar 2.7 Irama Ventricular Escape
3. Fibrilasi Ventrikel
4. Takikardi Ventrikel
16
Gambar 2.9 Takikardi Ventrikel
17
dengan serendah-rendahnya 0.5 J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak terlalu
berpengaruh pada dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa defibrilasi yang
sukses dengan menggunakan energi yang rendah (160-200 J). Penelitian yang
dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan bahwa terdapat kesuksesan
defibrilasi yang sama ketika menggunakan 200 J atau lebih rendah dari itu
dibandingkan dengan menggunakan 300 J atau lebih.3
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik, dikenal ada dua
jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated exponential waveform dan
rectilinear biphasic waveform. Pada AED, energi yang disalurkan akan diatur
secara otomatis oleh alat. Sedangkan pada manual defibrillator, akan diberikan
range energi yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic truncated
exponential waveform, maka energi yang disediakan berkisar antara 150-200 J
dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan untuk defibrillator jenis
rectilinear biphasic waveform, energi yang disediakan 120 J dengan tingkat
kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential waveform.3
18
parasternal kanan. Jika penderita memiliki payudara besar, pedal kiri dapat
diletakkan di bawah payudara dengan menghindari jaringan payudara terkena
kejutan.5
19
Gambar 2.12 Algoritma Resusitasi Henti Jantung
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor. Wiryana IM,
Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.
2. Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
1984.
3. Longnecker, D., Newman, M., Mackey, S., Sandberg, W. and Zapol, W. (2012).
Anesthesiology. 2nd ed. Mc Graw Hill
4. Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New York:
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013.
5. Australian Resuscitation Council. ANZCOR Guideline 11.5 – Medications in Adult
Cardiac Arrest. 2016.
6. American Heart Association. 2015 AHA Guidelines Update for CPR and ECC.
2015.
7. American Heart Association. Highlights of the 2015 American Heart Association
Guidelines Update for CPR and ECC. 2015.
8. Pakpahan HA. Elektrokardiografi Ilustratif. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
9. Emedicine.medscape.com. (2017). Pulseless Electrical Activity: Background,
Etiology, Epidemiology. [online] Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/161080-overview#a6 [Diakses 9 May
2017].
10. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/af014e7457b6eefbf504fc6a
03171c2e.pdf
22