Anda di halaman 1dari 6

Nama : Siti Ranjuna Risira Putri

Nim : 1901003010009

Tingkat inflasi yang tinggi dapat mempengaruhi perekonomian negara

BAB II

Struktur Organisasi Bank Indonesia

Sampai saat ini satuan kerja di Kantor Pusat Bank Indonesia berkedudukan di Jakarta,
terdiri dari 21 Direktorat, empat Unit Khusus, satu Pusat Pendidikan, dan Studi
Kebanksentralan, serta tiga Biro yang tidak berada di bawah Direktorat. Satuan Kerja Bank
Indonesia di daerah disebut Kantor Bank Indonesia (KBI) dan berjumlah 41 kantor.
Sedangkan satuan kerja Bank Indonesia di luar negeri dinamakan Kantor Perwakilan (KPw)
dan berjumlah empat kantor yang berlokasi di London, New York, Tokyo, dan Singapura.

Dalam pelaksanaan tugasnya, masing-masing satuan kerja di Kantor Pusat, KBI, dan
KPw membawahkan sub-sub unit satuan kerja sesuai dengan lingkup tugas dan beban
kerjanya. Satuan kerja di Kantor Pusat yang berbentuk:
1. Direktorat membawahkan beberapa Biro, bagian, dan atau Tim 55
2. Biro (yang tidak berada di bawah Direktorat) membawahkan beberapa Tim, dan atau
Bagian
3. Unit Khusus yang membawahkan Tim-Tim
4. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan membawahkan Kelompok Peneliti
Bagan Struktur Organisasi Bank Indonesia dilampirkan

Posisi Job Training

Job training dilakukan di cabang kantor perwakilan Bank Indonesia Banda Aceh.
Terdapat beberapa bagian struktur organisasi pada kantor Bank Indonesia. Penulis bergabung
pada divisi Direktorat Tim 55.
BAB III

Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan pendapatan atau produksi nasional dalam


satu negara dari tahun ke tahun. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi di suatu negara,
dapat dilihat dari tingkat produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Pertumbuhan
ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Akhir-akhir
ini banyak sekali negara- negara yang berusaha meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
negaranya dengan cara menaikan output secara berkesinambungan melalui ketersediaan
barang-barang modal, teknologi dan sumber daya manusia. Dalam cakupan ekonomi makro
salah satu acuan yang digunakan untuk melihat/mengukur stabilitas perekonomian suatu
negara adalah inflasi. Dalam perspektif ekonomi, inflasi merupakan sebuah fenomena
moneter dalam suatu negara dimana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan
terjadinya gejolak ekonomi. Pemeliharaan stabilitas harga terus menjadi tujuan utama dari
kebijakan makro ekonomi untuk sebagian besar negara di dunia. Hal ini dilakukan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Antara lain penekanan diberikan kepada
kestabilan harga pelaksanaan kebijakan moneter adalah dengan maksud untuk
mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta penguatan daya beli mata
uang (Umaru dan Zubairu, 2012).

Inflasi dipandang sebagai salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi


pertumbuhan ekonomi suatu negara, ada berbagai pandangan mengenai dampak inflasi
terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain pada tahun 1958, Philips menyatakan bahwa
inflasi yang tinggi secara positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan
tingkat pengangguran. Pendapat tersebut juga didukung oleh para tokoh perspektif struktural
dan keynesian yang percaya bahwa inflasi tidak berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi
sedangkan pandangan monetarist berpendapat bahwa inflasi berbahaya bagi pertumbuhan
ekonomi. Hal ini didukung oleh peristiwa pada tahun 1970 dimana negara-negara dengan
inflasi yang tinggi terutama negara-negara Amerika Latin mulai mengalami penurunan
tingkat pertumbuhan dan dengan demikian menyebabkan munculnya pandangan yang
menyatakan Inflasi yang memiliki efek negatif pada pertumbuhan ekonomi bukan efek
positif. Berdasarkan kontroversi tersebut, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis
pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1983- 2014.
Inflasi (Inflation)

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum


dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi
kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya
(Bank Indonesia). Hamilton (2001) inflasi telah banyak digambarkan sebagai situasi ekonomi
saat peningkatan pasokan uang "" lebih cepat " daripada produksi barang dan jasa dalam
perekonomian yang sama. Tingkat inflasi diukur sebagai persentase perubahan indeks harga
(indeks harga konsumen, indeks harga grosir, indeks harga produsen dll). Essien (2005)
berpendapat bahwa indeks harga konsumen (IHK) mengukur harga keranjang perwakilan
barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen ratarata dan dihitung atas dasar survei periodik
harga konsumen. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK).

Teori-Teori Inflasi

Teori Kuantitas Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, kaum klasik berpendapat


bahwa tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang yang beredar. Harga akan naik jika ada
penambahan uang yang beredar. Jika jumlah barang yang ditawarkan tetap, sedangkan
jumlah uang ditambah menjadi dua kali lipat, maka cepat atau lambat harga akan naik
menjadi dua kali lipat.

Teori Keynes

Keynes melihat bahwa inflasi terjadi karena nafsu berlebihan dari suatu golongan
masyarakat yang ingin memanfaatkan lebih banyak barang dan jasa yang tersedia. Karena
keinginan memenuhi kebutuhan secara berlebihan, permintaan bertambah, sedangkan
penawaran tetap, yang akan terjadi adalah harga akan naik, pemerintah dapat membeli barang
dan jasa dengan cara mencetak uang, misalnya inflasi juga dapat terjadi karena keberhasilan
pengusaha memperoleh kredit. Kredit yang diperoleh ini digunakan untuk membeli barang
dan jasa sehingga permintaan agregat meningkat, sedangkan penawaran agregat tetap.
Kondisi ini berakibat pada kenaikan harga-harga.

Teori Struktural
Teori ini menyorot penyebab inflasi dari segi struktural ekonomi yang kaku. Produsen
tidak dapat mengantisipasi cepat kenaikan permintaan yang disebabkan oleh pertambahan
penduduk. Permintaan sulit dipenuhi ketika ada kenaikan jumlah penduduk.

Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDB)

Pada dasarnya tidak semua inflasi berdampak negatif pada perekonomian. Terutama
jika terjadi inflasi ringan yaitu inflasi di bawah sepuluh persen. Inflasi ringan justru dapat
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena inflasi mampu memberi
semangat pada pengusaha, untuk lebih meningkatkan produksinya. Pengusaha bersemangat
memperluas produksinya, karena dengan kenaikan harga yang terjadi para pengusaha
mendapat lebih banyak keuntungan. Selain itu, peningkatan produksi memberi dampak
positif lain, yaitu tersedianya lapangan kerja baru. Inflasi akan berdampak negatif jika
nilainya melebihi sepuluh persen.

Kebijakan Moneter dan Suku Bunga Acuan Bank Indonesia

Dengan pertumbuhan PDB tahunan naik rata-rata 5 persen (y/y) selama 15 tahun,


perekonomian Indonesia berekspansi dengan cepat, dengan karakteristik naiknya permintaan
domestik yang kuat (konsumsi domestik berkontribusi untuk sekitar 56 persen dari total
pertumbuhan ekonomi negara ini), pertumbuhan kredit sektor swasta yang subur, dan
peningkatan akses bisnis untuk kredit.

Terlebih lagi, gaji sektor publik telah meningkat karena reformasi administratif dan
pertumbuhan gaji sektor swasta telah berakselerasi (upah minimum regional Indonesia
dinaikkan secara signifikan pada tahun 2012-2014). Karena pertumbuhan ekonomi yang
subur ini membawa tekanan-tekanan inflasi, kebijakan-kebijakan moneter baru-baru ini
(sejak 2013) bertujuan untuk mengamankan stabilitas keuangan negara ini, tertutama setelah
inflasi naik akibat reformasi harga BBM bersubsidi pada periode 2013-2015, sementara akhir
dari program quantitative easing Federal Reserve (dan ancaman kenaikan suku bunga AS)
menyebabkan capital outflows besar-besaran dari negara-negara berkembang (maka
menyebabkan pelemahan tajam mata uang negara-negara berkembang), termasuk Indonesia.
Apalagi kekhawatiran muncul terkait defisit transaksi berjalan.

Sikap kebijakan moneter Bank Indonesia yang lebih ketat (tercermin dari naiknya suku bunga
acuan) pada periode 2013-2014 dilaksanakan dengan mengorbankan laju pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi bagi Indonesia (di tengah biaya kredit yang lebih tinggi,
pertumbuhan kredit turun secara signifikan maka pertumbuhan aktivitas ekonomi menurun).
Tetapi layak dipuji bahwa stabilitas keuangan lebih diprioritaskan daripada pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi (namun yang tidak berkelanjutan).

Bank Indonesia (BI) memiliki tujuan utama memastikan kestabilan rupiah. BI menggunakan
instrumen-instrumen dalam cakupan luas untuk mengurangi tekanan-tekanan inflasi di negara
ini. Kebijakan suku bunga bank disesuaikan ketika target inflasi tidak tercapai. Antara
Februari 2012 sampai Juni 2013, suku bunga acuan negara ini (BI rate) telah ditetapkan pada
level terendah dalam sejarah pada 5,75 persen. Setelah periode ini, tekanan-tekanan inflasi
meningkat karena reformasi harga bahan bakar bersubsidi dan ketidakjelasan global
mengenai kebijakan moneter AS. Capital outflows yang mengikutinya mengakibatkan
pelemahan nilai tukar rupiah secara tajam. Oleh karena itu, mulai dari pertengahan 2013,
Bank Indonesia menyesuaikan BI rate-nya dengan menaikkannya secara bertahap namun
agresif dari 5,75 persen menjadi 7,75 persen. Tindakan ini juga membawa kepada penurunan
pertumbuhan kredit di Indonesia.

Tindakan lain untuk memperketat kebijakan moneter adalah menaikkan persyaratan


simpanan baik untuk deposito mata uang lokal maupun mata yang asing di bank-bank
Indonesia. Terakhir, BI mengurangi permintaan para investor asing untuk Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dengan memperpanjang periode persyaratan kepemilikan SBI dari satu
menjadi enam bulan, memperpanjang waktu jatuh tempo dari SBI yang diterbitkan menjadi 9
bulan dan dengan memperkenalkan deposito-deposito dalam konteks tidak dapat
diperdagangkan dengan waktu jatuh tempo lebih panjang (yang hanya tersedia untuk bank-
bank). Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk memitigasi aliran ‘uang panas’ ke dalam
Indonesia.

Mulai dari tahun 2015, waktu kinerja rupiah menjadi stabil, inflasi rendah dan defisit neraca
berjalan di bawah kendali, Bank Indonesia dapat melonggarkan kebijakan moneternya dan
memulai proses pelonggaran moneter yang agak agresif, tercermin dari suku bunga acuan
yang lebih rendah (lihat tabel di bawah). Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan
dengan drastis dari 7,75 persen pada awal tahun 2016 menjadi 4,25 persen pada September
2017 (ini juga termasuk perubahan dari BI rate manjadi BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai
alat benchmark bank sentral).
Namun, meskipun suku bunga lebih rendah, masih tetap ada kekhawatiran tentang lemahnya
laju pertumbuhan kredit dan konsumsi rumah tangga di Indonesia.

Hubungan antara Puncak-Puncak Inflasi dan Penyesuaian Harga-Harga yang


Ditetapkan Pemerintah

Puncak-puncak dalam volatilitas inflasi Indonesia berkolerasi dengan penyesuaian harga-


harga yang ditetapkan pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar dan listrik) ditetapkan
oleh Pemerintah dan karenanya tidak bergerak sesuai dengan kondisi pasar, berarti defisit
yang dihasilkannya harus diserap oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Program yang berumur beberapa
dekade ini menempatkan tekanan yang serius pada neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan juga membatasi belanja publik untuk proyek-proyek berjangka panjang
dan produktif, seperti pembangunan infrastruktur atau pembangunan sosial. Namun, sejak
Joko Widodo jadi kepala negara ini, pemerintah Indonesia dengan sukses berhasil untuk
mengurangi pendanaan subsidi energi dan meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan
infrastruktur dan pembangunan sosial.

Dari hasil diatas dapat disarankan/direkomendasikan sebagai berikut :

1. Sekiranya pemerintah terus memperbaharui dan mengevaluasi setiap kebijakan yang


dilakukan untuk mengatasi inflasi baik itu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
2. Sebaiknya pemerintah menjaga kestabilan harga setiap produk terutama bahan pokok
untuk menekan inflasi dan mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat.
3. Pemerintah menjalin kerjasama yang baik dengan pengusaha dan mendorong agar
pengusaha menaikkan hasil produksinya. Cara ini cukup efektif mengingat inflasi disebabkan
oleh kenaikan jumlah barang konsumsi tidak seimbang dengan jumlah uang yang beredar.
Oleh karena itu pemerintah membuat prioritas produksi atau memberi bantuan (subsidi)
kepada sektor produksi bahan bakar, produksi beras.
4. Pemerintah melakukan pengawasan harga dan sekaligus menetapkan harga maksimal.

Anda mungkin juga menyukai