Anda di halaman 1dari 16

“PENGERTIAN AQIDAH, KONSEP AQIDAH, MAKNA KALIMAH

LA ILLAHA ILLA ALLAH DAN KONSEP TAUHID”

Mata kuliah Umum : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu :

Drs. Kasmui, M. Si.

Disusun oleh :

1. Adib Faiqo Muzhafar_3301420064


2. Belinda Pujiarti_3301420034
3. Nurul Fitria_3312420039
4. Moh.Bilal Suryadi_3211420039
5. Afifah Al Fanny_2601420015
6. Anisa Aprilia_3211420069
7. Dimas Adib Alwi_3211420082
8. Naura Afrilla Khansa_3211420054
9. Salsabila_2601420068

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


2021
PEMBAHASAN AQIDAH
A. Pengertian Aqidah

Menurut bahasa, aqidah berasal dari bahasa Arab “ Aqada-ya” ”Qiduuqdatan-wa‟aqidatan.


Artinya ikatan atau perjanjian, maksudnya sesuatu yang menjadi tempat bagi hati dan hati
nurani terikat kepadanya. Istilah aqidah juga digunakan untuk menyebut kepercayaan yang
mantap dan keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan, yaitu apa-apa yang
dipercayai oleh seseorang, diikat kuat oleh sanubarinya, dan dijadikan madzhab atau agama
yang dianutnya, tanpa melihat benar atau tidaknya.

Secara terminologi, pengertian akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada
keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Secara umum, pengertian aqidah adalah sebuah ikatan atau kepercayaan kuat dalam diri
seseorang terhadap apa yang diimaninya. Di dalam islam, Aqidah meliputi keimanan kepada
Allah SWT beserta sifat-sifatNya.

Secara bahasa, aqidah diartikan sebagai ikatan atau keyakinan. Sedangkan secara istilah
aqidah adalah sebuah keimanan yang kuat terhadap suatu dzat tanpa ada keraguan sedikitpun.

Adapun yang dimaksud dengan aqidah islam adalah kepercayaan yang dikaji pula tentang
asma‟ (nama nama) dan af‟al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, dan jaiz,
juga sifat yang wajib, mustahil, dan ja‟iz, bagi Rasulnya. Ilmu tauhid sendiri sebenarnya
membahas keesaan Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.

Dalam Islam, aqidah merupakan masalah asasi yang merupakan misi pokok yang diemban
para Nabi. Baik tidaknya seseorang dapat dilihat dari aqidahnya sebab amal saleh hanyalah
pancaran dari aqidah yang sempurna. Karena aqidah merupakan masalah asasi, dalam
kehidupan manusia perlu ditetapkan prinsip-prinsip dasar aqidah islamiyah agar dapat
menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Keyakinan tersebut harus
langsung, tidak boleh melalui perantara. Aqidah itulah yang akan melahirkan bentuk
pengabdian hanya kepada Allah, yang selanjutnya berjiwa bebas, merdeka, dan tidak tunduk
kepada manusia dan lainnya yang menggantikan posisi Tuhan.7

Aqidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib
disembah, ucapan dengan lisandalam bentuk dua kalimah syahadat, yaitu menyatakan tidak
ada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammad SAW. sebagai utusannya, perbuatan
dengan amal saleh. Aqidah demikian mengandung arti bahwa pada orang beriman, tidak ada
rasa dalam hati atau ucapan di mulut dan perbuatan, melainkan secara keseluruhan
menggambarkan iman kepada Allah, yakni tidak ada niat, ucapan, dan perbuatan yang
menyambung, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain sebagaimana pohon
beserta buahnya.10 Keimanan atau aqidah dalam dunia keilmuan (Islam) dijabarkan melalui
kedisiplinan ilmu yang sering diistilahkan dengan ilmu tauhid, Ilmu Aqaid, ilmu kalam, ilmu
ushuludin, ilmu hakikat, ilmu ma‟rifat, dan sebagainya.

Dengan demikian, maka aspek pokok dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah masalah
keyakinan akan adanya eksistensi Allah Yang Maha Sempurna, Maha kuasa, dan
kesempurnaan lainnya. Keyakinan tersebut akan membawa seseorang untuk mempercayai
adanya malaikatmalaikat Allah, kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah, Nabi-nabi dan
Ketiga pokok tersebut sekaligus sebagai ruang lingkup dalam ajaran Islam. Semua unsur
yang termasuk dalam ruang lingkup ajaran Islam tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi
menjadi satu bentuk kepribadian yang utuh pada diri seorang muslim (Q.S. Al-Baqarah (2):
208).

Antara aqidah, syariah, dan akhlak masing-masing saling berkaitan. Aqidah merupakan
keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk melaksanakan syariah. Aqidah sebagai
unsur keyakinan mempunyai sifat dinamis. Artinya kuat atau lemahnya aqidah akan
bergantung pada perlakuan yang datang kepadanya. Apabila dibina dengan baik, maka ia
akan kuat dan sebaliknya bila dibiarkan kering, maka Dengan demikian, aqidah Islam bukan
sekedar keyakinan dalam hati, melainkan harus menjadi acuan dan dasar dalam bertingkah
laku, serta berbuat yang pada akhirnya menimbulkan amal saleh.

B. Ruang Lingkup Aqidah


Menurut para ulama, ada beberapa hal yang termasuk dalam ruang lingkup aqidah
diantaranya:

 Ilahiyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan masalah ketuhanan,


khususnya membahas mengenai Allah SWT.

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah


mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa,
istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih,
bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada
Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu
apapun.

Pada dasarnya tidaklah berbeda dengan maksud dari uluhiyah. Hanya perbedaan
bentuk bahasa. Ilahiyat adalah uluhiyah -bahasa Arab- yang telah di sadur ke dalam
Bahasa Indonesia. Dalam pengertian maknanya sendiri, keyakinan ilahiyat atau
tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala
bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Pada
dasarnya, kalimat tahlil adalah bentuk simbol dari tauhid uluhiyah. Laa ilaha illallah,
dengan ungkapan bahwasanya tiada tuhan yang patut disembah selain Allah.

 Nubuwwat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan para utusan Allah (nabi
dan rasul Allah).

 Ruhaniyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan mahluk gaib. Misalnya
malaikat, iblis, dan jin.
 Sam’iyyat, yaitu pembahasan hal yang berkenaan dengan alam gaib. Misalnya surga,
neraka, alam kubur, dan lainnya.
C. Tujuan mempelajari Aqidah

Hal ini tentu sangat penting untuk diketahui serta dipelajari dengan tujuan untuk
mendapatkan sebuah petunjuk dalam kehidupan serta mampu membedakan mana yang benar
dan mana yang salah. Aqidah islam memiliki banyak tujuan yang baik yang harus di pegang
diantaranya yaitu:

 Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu – satunya. Karena Dia
merupakan Pencipta yang tidak ada sekutu bagi nya, maka tujuan dari ibadah haruslah
diperuntukkan hanya kepadanya.
 Membebaskan akal serta pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari
akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah, adakalanya kosong hatinya
dari setiap akidah serta bisa menyembah materi yang hanya dapat diindera saja dan
adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.
 Meluruskan tujuan serta perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada
Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar dari akidah ini ialah
mengimani para rasul yang mengandung tujuan mengikuti jalan mereka yang lurus
dalam suatu perbuatan dan tujuan.
 Ketenangan jiwa serta pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam
pikiran. Karena pada hakekatnya akidah ini akan menghubungkan orang mukmin
dengan penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur. Hakim yang
membuat tasyri. Oleh sebab itu hatinya dapat menerima takdir, dadanya lapang untuk
menyerah lalu tidak akan mencari pengganti yang lain.
 Bersungguh – sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan
kesempatan dalam beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala dan
ridho darinya serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut
dari siksa kelak. Karena diantara dasar akidah ini ialah mengimani hari kebangkitan
dan hari pembalasan terhadap seluruh perbuatan.

D. Fungsi Aqidah
Setelah memgulas tentang pengertian, ruang lingkup, dan tujuan selanjutnya akan membahas
tentang fungsi dari akidah. Berikut adalah penjelasan mengenai Fungsi aqidah islam
diantaranya sebagai berikut :

 Sebagai sebuah pondasi untuk mendirikan bangunan islam.


 Merupakan suatu awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang mempunyai sebuah
aqidah yang kuat pasti tentunya akan melaksanakan ibadah dengan tertib, mempunyai
akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik.
 Semua ibadah yang kita kerjakan jika tanpa ada landasan aqidah maka ibadah kita
tersebut tidak akan di terima oleh Allah SWT.

E. Peranan Aqidah

Berikutnya adalah peran aqidah di dalam islam diantaranya meliputi :

1. Aqidah merupakan misi pertama yang di bawa oleh para rasul Allah.

Allah SWT berfirman : “dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap –
tiap umat (untuk menyeruku) sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut itu”. (QS.
An-Nahl : 36).

2. Manusia diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah.

Allah berfirman :”dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk
menyembah-ku”. (QS. Adz-Dzariyat : 56).

3. Berpegang pada aqidah yang benar merupakan kewajiban dari manusia seumur
hidup. Allah SWT berfirman :”sesungguhnya orang – orang yang mengatakan tuhan
kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah (teguh di dalam pendirian mereka)
maka para malaikat akan turun kepada mereka seraya berkata “janganlah kamu
merasatakut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) surge yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fushilat : 30).
4. Aqidah yang benar dibenarkan kepada setiap mukallaf.

Nabi Muhammad SAW bersabda :”aku diperintahkan untuk memerangi manusia


hingga mereka bersaksi bahwasannya tiada sesembahan yang sebenarnya selain Allah
dan bahwasannya Muhammad ialah rasul utusan Allah”. (muttafaq ‘alaih).

5. Aqidah merupakan suatu akhir kewajiban seseorang sebelum ia meninggalkan dunia


yang fana ini. Nabi Muhammad SAW bersabda : “barang siapa yang akhir ucapannya
“Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah niscaya dia akan masuk
surga”. (HSR. Al-Hakim dan lainnya).
6. Kebutuhan manusia akan aqidah yang benar melebihi segala kebutuhan lainnya
karena aqidah merupakan suatu sumber kehidupan, ketenangan dan merupakan suatu
kenikmatan hati seseorang. Dan semakin dalam serta sempurna pengenalan dan
pengetahuan seorang hamba terhadap Allah, maka semakin sempurna pula dalam
mangagungkan Allah dan mengikuti syari’at nya.
7. Aqidah yang benar dapat mampu menciptakan generasi terbaik dalam sejarah umat
manusia, yaitu generasi sahabat dan dua generasi setelah mereka.

Allah SWT berfirman : “Kamu adalah merupakan umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan
berfirman kepada Allah”. (QS. Ali-Imran : 110).
PEMBAHASAN TAUHID

Pengertian Tauhid

Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan
huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu
menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru
menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari
makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk
Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan saja.

1. Konsep KeTauhidan

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu
hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

 Tauhid Rububiyyah

adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah,
serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua
makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab
Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan
mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh
Allah, Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah
menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:

ّ ِ‫م ل ل لق لل دََِّْل لا‬


‫ه ل دْمَ ل‬
ْ‫ح‬ ‫ه ل َل‬
‫داَْ ل‬ ‫د َْ لو َا لا ّ َ ّ دَْ ُّّل ل َّل ل‬
ّ ‫ع دْ َ لاِ ل د‬

“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan
terang” (QS. Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin,
maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah
kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

َ ‫ل ْل ّ َن لوق ل َْللْل َُ لق َن ل َّلألْل َُ ْلللألحْل َن‬


‫َل‬

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang
telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf:
87)

َ ‫ا ل د َْأل لا لم ْلللألحْل َن‬


‫َل ل ْل‬ ‫ه ل َدالَْ ل‬
‫م ل لو َِ لم دْ َم َا ل‬ ‫ّ َن لوق ل َْللْل َُ لق َن ل َّل ل‬
ّ ‫ع دْ َ لاِ ل د‬

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang
telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya
mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama
Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan.
Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang
kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak
dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka
berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin?
Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid
uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

 Tauhid Uluhiyyah

adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin
(Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:

‫د ْل َق ل لا ل إّوَِدل ْل َ لل ّقلنل‬
‫إّوَِ ل‬

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan
bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga
berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah
hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain.
Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon,
berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga
inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah
Ta’ala berfirman:

‫َ ل د َ للمّ لحد دْ َِ لَ ل‬
‫حه‬ ‫ل ْلأل َا لل لق َوملِ ّتج لَ َل أ ل َق دُ لْو ن‬
‫لحِ أل ّا د َس ل لا د َ ل‬

“Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan:
‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan
adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya
kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya
Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat
Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).

 Tauhid Al Asma’ was Sifat

adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai
dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan
nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat
yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat
Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

‫لَّّ َ ل‬
ِْ‫دا َو لاِ ل د َْ لو َ ملُ تلِ َْسلحال لّ ل‬

“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna
zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya
‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian
orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di
mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa
dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat
wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk
wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah
berfirman yang artinya:

ّ ‫َا لَ ّا َوَّّ ِّ لس َج و ل و للح دْ َ ّال لل د َْ ل‬


‫َل لم‬ ‫ْلل ل‬

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi
Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan
maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas
‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’.
Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam
Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya
dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh maka sama
dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah
sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

2. Hakikat Tauhid

Prinsip tauhid atau monoteisme Islam yang terumus dalam untaian laa ilaaha illallah bersifat
komprehensif dan oleh karenanya mencakup banyak pengertian. Di antara pengertian-
pengertian itu, sebagaimana dijelaskan Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Aqidah Islam
adalah:

1. Laa khaliqa illallah, tidak ada yang maha menciptakan kecuali Allah.

2. Laa raziqa illallah, tidak ada yang maha memberi rezeki kecuali Allah.

3. Laa hafidza illallah, tidak ada yang maha memelihara kecuali Allah.

4. Laa mudabbira illallah, tidak ada yang maha mengelola kecuali Allah.
5. Laa malika illallah, tidak ada yang maha memiliki kecuali Allah.

6. Laa waliya illallah, tidak ada yang maha memimpin kecuali Allah.

7. Laa hakima illallah, tidak ada yang maha menentukan kecuali Allah.

8. Laa ghayata illallah, tidak ada yang maha menjadi tujuan kecuali Allah.

9. Laa ma’buda illallah, tidak ada yang maha disembah kecuali Allah.

Laa pada awal kalimat tauhid di atas adalah la nafiyata lijinsi, yaitu huruf nafi yang
menafikan segala macam jenis ilah (tuhan). Illa adalah huruf istitsna (pengecualian) yang
mengecualikan Allah Swt dari segala macam jenis ilah yang dinafikan. Bentuk kalimat
seperti itu dinamakan kalimat manfi. Dalam kaidah bahasa Arab itsbat sesudah nafi itu
mempunyai maksud al-hashru (membatasi) dan taukid (menguatkan). Dengan demikian
kalimat tauhid ini mengandung pengertian sesungguhnya bahwa tiada Tuhan yang benar-
benar berhak disebut Tuhan selain Allah Swt.5 Pengertian tersebut terlukis dalam untaian
kata-kata laa ilaaha illallah, yang berarti bahwa Allah Swt-lah sebagai satu-satunya Tuhan
(The only God). Rumusan atau penyataan monoteisme laa ilaaha illallah diungkapkan
terlebih dahulu dengan al-nafyu atau negasi (laa ilaaha) kemudian al-istbat atau konfirmasi
(illallah), yakni penolakan Tuhan terlebih dahulu kemudian meneguhkan-Nya. Timbul
pertanyaan, mengapa rumusan ketauhidan (pengesaan Allah Swt) harus didahului oleh negasi
(nafyu) terlebih dahulu, kemudian baru diikuti oleh konfirmasi (al-itsbat). Pernyataan negasi
atau al-nafyu dalam untaian laa ilaaha (tiada Tuhan), merupakan sebuah starting point dan
proses liberasi (pembebasan) keimanan seseorang terlebih dahulu dari segala bentuk
ketuhanan selain Allah atau belenggu ke-syirik-an yang dapat merusak keimanannya kepada
Allah. Negasi sebelum konfirmasi ini mutlak dilakukan sebab problem utama manusia untuk
bertauhid sebenarnya bukanlah ketidakpercayaan mereka kepada Allah, sebab percaya pada-
Nya merupakan keadaan yang paling alamiah atau fitrah manusia–sebagaimana dijelaskan di
pendahuluan tulisan ini. Tentang problem ini, Alquran telah mengilustrasikannya dengan
baik bahwa sebab kekufuran orang-orang Mekah Jahiliyah pada zaman Rasulullan bukanlah
karena mereka tidak percaya pada Tuhan (ateis), akan tetapi karena adanya kepercayaan lain
yang mengotori dan merusak kepercayaan mereka kepada Allah Swt.6 Oleh karena itu,
langkah negasi (al-nafyu) merupakan prasyarat yang menjadi mutlak ketauhidan dalam
Islam. 5 Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, 31.6

“Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum musyrik), siapa yang
menciptakan langit dan bumi. Pastilah mereka akan menjawab: Allah. Maka bagaimana
mereka dapat terpalingkan (akan kebenaran)” Q.S. az-Zukhruf (43): 87 Setelah langkah
negasi (al-nafyu) barulah kemudian dilanjutkan dengan langkah konfirmasi (al-itsbat).
Langkah kedua ini menetapkan (illallah) hanya Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan. Istbat
merupakan penetapan, peneguhan dan aktualisasi fitrah bawaan yang mendasar tadi hanya
tertuju kepada Allah Swt tanpa sekutu, kesamaan, tandingan, atau hal lain yang memiliki
sifat ilahiyah (ketuhanan), kecuali Allah semata. Prasyarat negasi kemudian dilanjutkan
dengan konfirmasi ini menegaskan bahwa iman sesungguhnya memerlukan kemurnian sejati
tanpa reserve agar terhindar dari gejala syirik yang rentan mengganggu kemurnian iman
seseorang. Syirik merupakan sikap dan perilaku di mana seseorang mempercayai Allah Swt
sebagai Tuhannya namun ia juga memiliki kepercayaan lain kepada selain Allah. Seseorang
yang musyrik dengan demikian mengimani Allah sebagai Tuhannya, akan tetapi menjadikan
“sesuatu” atau “seseorang” sebagai “tuhan tandingan” selain Allah yang diyakininya
memiliki salah satu, dua atau lebih sifat Allah. Seperti, keyakinan terhadap sesuatu atau
seseorang selain Allah yang mampu memberi rezeki, mencipta sesuatu, melindungi, atau
menentukan kehidupan. Padahal semua itu hanya bisa dilakukan

oleh Allah semata, tidak ada yang mampu melakukannya selain Allah. Sesuatu atau
seseorang yang dijadikan tandingan Allah itu bisa berwujud keris, azimat, tongkat, batu aji,
dukun, “orang pinter”, dan lain-lain. 7.Kepercayaan kepemilikian sifat-sifat ketuhanan
kepada selain Allah demikian jelas-jelas menjadi belenggu dan penghalang menuju
kebenaran iman atau tauhid ini. Selain itu, dalam pemahaman lebih jauh hal itu sekaligus
menjadi penyebab gagalnya pencapaian kesempurnaan manusia sebagai makhluk Allah
tertinggi (ahsanu taqwim) sebagaimana ditegaskan Alquran surat at-Thin (95) ayat 4.8 Dalam
ayat tersebut manusia dijelaskan sebagai sebaik-baik atau puncak ciptaan Allah Swt (ahsanu
taqwim) atau mahkota ciptaan-Nya. Pandangan manusia sebagai puncak dan mahkota
ciptaan Allah bagi beberapa pemikir Muslim memunculkan doktrin taskhir, yakni bahwa
alam beserta isinya memiliki posisi lebih rendah atau di bawah manusia karena Allah telah
menundukkan seluruh alam ini untuk mereka. Taskhir yang dimaksud bersumber dari
pemahaman ayat berikut ini, Dan Dia telah menundukkan (sakhara) untukmu apa yang di
langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berpikir.97 Roni Ismail, Menuju Hidup Islami, 13.8

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya” (Q.S.
at-Thin (95): 4) 9 Q.S. al-Jatsiyah (45):13.
Daftar Pustaka

Zuhdi, Ahmad. MA. 2016. Bandung. “penyelerasan keberhasilan belajar dengan pendekatan
teologi (akidah) dan moral. Tarbawi : Jurnal Ilmu Pendidikan, [S.l.], v. 1, n. Hal 1-30.
https://ejournal.iainkerinci.ac.id/index.php/tarbawi/article/view/78/. Di akses 1 April 2021.

Oktarianti,Desi. 2019. “Concept of Aqeedah Islamic Education Perspective”. Islamic High


School Batu Raja. Vol 1. Hal 105-129.
http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/insis/article/view/4170/. Di akses 1 April 2021.

Ismail, Roni. Juli 2014. “Hakikat monoteisme islam (kajian atas konsep tauhid “laa ilaaha
illallah”)”. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Vol. X, No. 2. Hal : 172-
183. https://uin-suka.ac.id/id/page/detil_dosen/198002282011011003-Roni-Ismail. Di akses
2 April 2021.

Anda mungkin juga menyukai