Anda di halaman 1dari 4

https://azizahifahhh.blogspot.com/2016/12/objek-material-dan-objek-formal-filsafat.

html
https://www.coursehero.com/file/p378hvu/PERANAN-FILSAFAT-1-Pendobrak-Berabad-abad-manusia-
tertawan-dalam-penjara/
http://mahasiswauntirtapgsd.blogspot.com/2016/12/peranan-filsafat.html
https://www.slideshare.net/sambimbo/objek-kajian-filsafat-pendidikan
https://www.uin-malang.ac.id/blog/post/read/131101/sekilas-tentang-filsafat-ilmu.html

Zaman Yunani kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan,
atau antara + 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal
filsafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat
digantikan dengan logos (baca: rasio) setelah mitos-mitos tersebut tidak dapat lagi menjawab
dan memecahkan problema-problema kosmologis. Pada tahap ini bangsa Yunani mulai
berpikir sedalam-dalamnya tentang berbagai fenomena alam yang begitu beragam,
meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasarkan reasoning
power.           Contoh yang paling populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang-
orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap
sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain. Tetapi bagi mereka yang
sudah berpikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes,
atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang diktakan oleh Pytagoras (499-420
SM). Demikianlah apa yang  menjadi perhatian para ahli pikir Miletos --sebuah kota di
Yunani-- pertama kali adalah alam (problema kosmologis). Zaman ini melahirkan pakar-pakar
filsafat yang berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, Thales
(+ 625-545 S.M), Anaximandors (+ 610-540 S.M), Anaximanes (+ 538-480 S.M), Pythagoras
(+580-500 S.M), Xenophanes (+570-480 S.M) Heraklistos (+ 540-475 S.M) dan seterusnya.
Thales misalnya yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia
mengatakan, bahwa asal mula dari segala sesuatu adalah air. Sedangkan menurut
Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak terbatas) yang
disebabkan oleh penceraian (ekskrisis). Lain lagi dengan Anaximanes, dia berpendapat
bahwa asal segala sesuatu adalah hawa atau udara. Pendapat Thales dan kawan-kawan
sezamannya itu hingga sekarang masih aktual dan menarik sebagai inspirasi bagi munculnya
teori tentang proses kejadian sesuatu (evolusionisme). Dalam hal berpikir logika deduktif,
nama Aristoteles (384-322 S.M) tidak bisa dilupakan. Dasar-dasar berpikirnya tetap
mendominasi para ilmuwan di Eropa hingga dewasa ini. Aristoteles adalah murid Plato (427-
347 S.M) dan Plato adalah murid Sokrates (469-399 S.M). Perbedaan pendapat pada masa ini
sudah timbul meski dengan gurunya, seperti Plato dengan Aristoteles, juga filosuf-filosuf  yang
lain. Hingga kini logika Aristoteles tetap terpakai, sebab logika tersebut dapat diaplikasikan
pada perkembangan muttakhir berbagai ilmu dan teknologi. Mula-mula logika Aristoteles
menjelma dalam prinsip kausalitas ilmu alam (natural science), kemudian menjelma menjadi
logika ekonomi di dalam industri (Cony R. Semiawan et.al, 1988 :10). Pasca Aristoteles, kira-
kira lima abad kemudian, muncul lagi pemikir-pemikir jenius seperti Plotinus (284-269 S.M).
Zaman ini adalah zaman filsafat Hellenisme di bawah pemerintah Alexander Agung. Hanya
zaman ini berbeda sekali dengan zaman Aristoteles, dimana perkembangan ilmu tidak
mengalami kemajuan yang pesat hingga abad pertengahan. Pada masa ini pemikiran  filsafat
yang teoretis menjadi praktis dan hanya menjadi kiat hidup saja. Muncul pula aliran yang
bercorak relijius, misalnya: filsafat neo-Pythagoras, Platonis Tengah, Yahudi dan Platonisme,
termasuk aliran yang bersifat etis, Epikuros dan Stoa (Harun Hadiwijono, 1989 : 54). Pasca
Yunani, bangsa yang berbudaya tinggi adalah Romawi. Dapat dikatakan, bahwa dalam
kegiatan keilmuan bangsa Romawi pada umunya hanya berpegang pada karya-karya tokoh
Yunani, terutama Aristoteles yang tanpa banyak mengadakan perubahan (Cony, et.al., 1988 :
14). Sejak runtuhnya kerajaan Romawi non-Katolik dan mulai berkembangnya agama Katolik
Roma, kerajaan-kerajaan di Eropa masuk dalam abad kegelapan, abad kemandekan kegiatan
keilmuan yang disebabkan antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa
tidak concern terhadap perkembangan keilmuan disamping terlalu kuatnya pengaruh otoritas
agama (Cony, at.al, 1988: 14). Sangat beruntung, selama kurun waktu ini di Timur Tengah,
kerajaan-kerajaan bangsa Arab yang diwarnai oleh Islam berkembang pesat dalam kegiatan
keilmuan. Dengan didudukinya daerah-daerah Yunani dan Romawi secara berangsur-angsur
oleh bangsa Arab, maka para ilmuwan mereka dapat memiliki khazanah pengetahuan yang
sudah maju saat itu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan
memberikan ciri-ciri khas penalaran dan penemuan mereka sendiri. Jadi merekalah (baca:
kaum muslimin) yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan ilmu dan
pengetahuan saat Eropa dilanda “kegelapan” (Cony, et.al., 1988:15). Pasca Hellenisme dan
Romawi kemudian disusul dengan masa patristik, baik Patristik Timur maupun Barat. (Disebut
demikian karena masa ini adalah masa bapak-bapak gereja, kira-kira pada abad ke-8). Para
pemikir Kristen pada zaman ini mengambil sikap yang berbeda-beda, ada yang menerima
filsafat Yunani dan ada yang menolak mentah-mentah, karena filsafat dianggap berbahaya
bagi iman Kristen (Harun Hadiwijono, 1989 : 70). Setelah ini kemudian muncul zaman
pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan Skolastik
menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan abad ini diajarkan oleh sekolah-sekolah gereja
(Harun, 1989: 87). Pada zaman pertengahan ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar
kepentingan agama (Kristen) dan baru memperoleh kemandiriannya semenjak adanya
gerakan Renaissance dan Aufklarung abad ke-15 dan 18. Semenjak itu pula manusia merasa
bebas, tidak terikat oleh agama, tradisi, sistem, otoritas politik dan sebagainya (Koento
Wibisono, 1988: 4). Sejak saat inilah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, manusia
bebas “mengadili” dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup dan
kehidupannya. Pada saat ini pulalah filsafat dan agama menjadi mencair tidak manunggal lagi.
Agama mendasarkan diri atas iman dan kepercayaan, kebenaran wahyu dan firman Tuhan,
sementara filsafat dengan mengembangkan rasio dan pengalamannya mencoba menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan semangat “kebebasan” dan
“pembebasan” manusia dalam hidup dan kehidupannya (Koento Wibisono, 1985 : 7-8).
Diawali oleh metode berpikir ala Bacon (1561-1626 M) disamping tampilnya “anak-anak”
renaissance, seperti: Copernicus (1473-1630 M), Galileo (1564-1642 M), Kepler (1571-1630
M) dengan hasil-hasil penelitiannya yang spektakuler, maka tibalah gilirannya kini filsafat
ditinggalkan oleh ilmu-ilmu alam (natural sciences). Para filosuf sendiri sangat terpukau oleh
keberhasilan metode ilmu pasti dan ilmu alam, sehingga timbullah gagasan di antara mereka
untuk menerapkan metode tersebut dalam filsafat, misalnya Newton (1643-1727 M)
dengan Philsopohae Naturalis Principia Mathematica-nya, Descartes (1596-1650 M)
dengan Discours de la Methode-nya, Spinoza (1632-1677 M) dengan karya Ethic-nya dan
seterusnya, yang dengan pengembangan teori-teori tersebut mereka dipandang sebagai
“Bapak” filsafat modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8). Hampir dua abad lamanya, filsafat
modern yang dimulai sejak abad ke-16 diisi oleh pergumulan hebat
antara rasionalisme dan empirisme, sehingga seorang pakar besar Immanuel Kant (1724-
1804 M) dengan karyanya yang masyhur, Kritik der reinen Vernunft berhasil “memugar”
objektivitas ilmu pengetahuan modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8). Demikianlah kemajuan
berpikir manusia dari kurun ke kurun mengalami perkembangannya, mulai dari zaman Yunani
Kuno, zaman renaissance (abad ke-15), Aufklarung (abad 18) hingga abad ke-19 dan abad
ke-20, mulai dari dari J.C. Fichte (1762-1814 M) hingga Gabriel Marcel (1889-1973 M),
bahkan hingga sekarang ini.  
https://www.uin-malang.ac.id/blog/post/read/131101/sekilas-tentang-filsafat-ilmu.html
persepsi orang-orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi
dianggap sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain.

Anda mungkin juga menyukai