Anda di halaman 1dari 24

Nama : Nadhia Indah Lestari ( 19056)

TK II A

Influence Of Smoking On Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Banyak penyakit dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok, dan salah satu yang
harus diwaspadai ialah PPOK. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan
etiologi dari PPOK. Faktorfaktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel,
pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran
nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan
pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan
anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator
mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan


spirometri. The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan spirometri
untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas,
batuk, mengi, atau dahak persisten. Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK,
namun beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut
 Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri :
normal.
 Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum. Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
 Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
 Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian.
Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50% .
 Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas
kronik. Disertai komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri
:FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

Penatalaksanaan

 Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan


merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi.
 Terapi farmakologis, obatobatan yang paling sering digunakan dan merupakan
pilihan utama adalah bronchodilator

Referensi :

Susati P. 2015. Influence of Smoking on Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(COPD).Jurnal Majority. Vol 4. No 5.

Titer Antibodi Ayam Petelur Pascavaksinasi Avian Influenza Pada Peternakan Komersial Di
Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan

Ayam petelur merupakan komoditas peternakan yang banyak diminati di Indonesia


termasuk di Provinsi Bali. Ayam petelur rentan terserang berbagai penyakit salah satunya
adalah penyakit Avian Influenza (AI). Penyakit Avian Influenza (AI) adalah penyakit virus
pada unggas yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A subtipe H5N1. Penyakit AI
merupakan penyakit virus menular stategis yang bersifat endemis di Indonesia. Ayam petelur
sangat peka terhadap virus flu burung dengan gejala klinis berupa gangguan pernafasan atas
dan gangguan reproduksi serta dapat menimbulkan kematian hingga 100% . Penyakit ini
dapat menimbulkan keresahan pada industri perunggasan karena dapat mengakibatkan
kerugian ekonomi yang tinggi.

Program vaksinasi AI pada ayam petelur di lapangan dilakukan dengan memberikan


lebih dari satu kali vaksinasi. Respons imun yang terbentuk pascavaksinasi kedua disebut
respons imun sekunder. Respon imun sekunder adalah peristiwa pengenalan kembali
terhadap imunogen yang sama. Vaksinasi kedua diharapkan terbentuk antibodi sekunder
dalam tubuh ayam. Antibodi sekunder memiliki titer antibodi dan afinitas yang lebih tinggi
serta fase lag yang lebih pendek dibanding respon imun primer. Hal tersebut disebabkan sel
memori yang terbentuk pada respon imun primer, akan cepat mengalami transformasi
dandiferensiasi menjadi sel penghasil antibodi. Apabila kelak mendapat paparan antigen
yang sama dapat memberikan respon yang lebih kuat dan lebih cepat.

Infeksi AI pada peternakan yang menerapkan vaksinasi biasanya tidak menimbulkan


kematian dan gejala klinis sehingga infeksi subklinis atau silent infection bisa berlangsung
terus tanpa diketahui. Peternakan dengan infeksi subklinis seperti ini merupakan sumber
infeksi bagi daerah sekitarnya dan dapat menimbulkan kerugian bagi peternak . Sehingga
tindakan yang dapat dilakukan yaitu monitoring titer antibodi untuk mendeteksi infeksi
penyakit secara dini

Penelitian ini menggunakan sampel serum dari darah ayam petelur yang di vaksin ND-AI
kedua pada umur 18 minggu pada peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan
Tabanan

 Pembuatan suspensi eritrosit 1 %


 Uji Hemaglutinasi (HA)
 Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI)

Referensi :
Suartha N, Bhakty Z W, Kencana G A Y.2018. Titer Antibodi Ayam Petelur Pascavaksinasi
Avian Influenza Pada Peternakan Komersial Di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan.
Indonesia Medicus Veterinus. Vol 7. No 2. DOI: 10.19087/imv.2018.7.2.123
Program Pemerintah dalam Penanganan Penyakit Malaria

Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program
pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis dini, pengobatan
cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang kesemuanya ditujukan untuk
memutus mata rantai penularan malaria.

Upaya pengendalian yang dilaporkan melalui Laporan Rutin Program

Terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam program pencegahan malaria seperti

 Pemakaian kelambu
 Pengendalian vektor.

Upaya pemerintah dalam program pengendalian malaria yaitu Diagnosa Malaria harus
terkonfirmasi mikroskop atau Rapid Diagnostic Test; Pengobatan menggunakan Artemisinin
Combination Therapy; Pencegahan penularan malaria melalui: distribusi kelambu (Long
Lasting Insecticidal Net), Penyemprotan rumah, repellent, dan lain-lain; Kerjasama Lintas
Sektor dalam Forum Gebrak Malaria; dan Memperkuat Desa Siaga dengan pembentukan Pos
Malaria Desa (Posmaldes).

Cara mencegah malaria yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk malaria diantaranya
dengan tidur di dalam kelambu, mengolesi badan dengan obat anti gigitan nyamuk
(Repelent); membersihkan tempat-tempat hinggap/istirahat nyamuk dan memberantas sarang
nyamuk; membunuh nyamuk dewasa dengan menyemprot rumah-rumah dengan racun
serangga; membunuh jentik-jentik nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik;
membunuh jentik nyamuk dengan menyempot obat anti larva (jentik) pada genangan air dan
melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai

Referensi :

Epidemiologi Malaria di Indonesia. 2011. KEMENKES


INFLUENCE OF SMOKING ON CHRONIC OBSTRUCTIVE
PULMONARY DISEASE (COPD)

Putri Fitriana Eka Susanti


Faculty Medicine, Lampung University

Abstract

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a chronic lung disease which characterized by airflow resistance in
the respiratory tract that not fully reversible and progressive. Cigarette smoke is the only one of the most important
reason that caused COPD, far more important than another causative factor. Smoking habit can make the
progressivity of COPD become poorer. Morbidity and mortality of COPD in Indonesia is very high. This condition is
very worrying especially COPD is releated to smoking. The fact that the increasing prevalence of COPD is a disease
where the disease is a lotgoing on around us and is strongly associated with smoking. The number of pain sufferers
of COPD man reaching 4%, the mortality rate reached 6% and the number of pain women 2% mortality rate 4%.
Classification of COPD patients with degree 0 have normal spirometri, COPD patients with degree I have median
FEV FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%, COPD patients with degree II have FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%, COPD
patients with degree III have FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%, COPD patients with degree IV have
FEV1/FVC<70%; FEV1 <30% or <50%. Some examination for diagnose CWP are anamesis, Phycical Examination,
Laboratorium Examination, Sprirometry test, and Radiography test, Although spirometry should be undertaken in all
patients who may have COPD, in many areas practitioners lack access to spirometry.

Keywords: chronic obstructive pulmonary disease, COPD stage, diagnose, prevalency

Abstrak

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran
udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif. Asap rokok merupakan satu-satunya
penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lain. Kebiasaan merokok dapat memperburuk
progresivitas PPOK. Morbiditas dan mortalitas PPOK di Indonesia sangat tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan
terutama PPOK berhubungan dengan merokok. Fakta bahwa peningkatan prevalensi PPOK adalah penyakit di mana
penyakit ini adalah penyakit masyarakat di sekitar kita dan sangat terkait dengan merokok. Angka kesakitan
penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% , angka
kematian 4%. Klasifikasi pasien PPOK yaitu derajat 0 mempunyai hasil spirometri yang normal, PPOK derajat I
mempunyai nilai FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%, PPOK derajat II mempunyai nilai FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 <
80%, pasien PPOK derajat III mempunyai nilai FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%, dan pasien PPOK derajat IV
mempunyai nilai FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%. Beberapa pemeriksaan dalam mendiagnosis pasien
dengan PPOK adalah anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, tes spirometri dan pemeriksaan
radiografi, tetapi pemeriksaan spirometri wajib dilakukan kepada setiap orang yang mengidap PPOK, namun
kalangan praktisi kesehatan seringkali kesulitan mengakses spirometri.

Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
(PPOK) adalah penyakit paru kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
yang ditandai oleh hambatan aliran Bronkitis kronik adalah kelainan saluran
udara di saluran napas yang bersifat napas yang ditandai oleh batuk kronik
progressif nonreversibel atau reversibel berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema suatu
kelainan anatomis paru yang ditandai pajanan partikel atau gas beracun yang
oleh pelebaran rongga udara distal terjadi dalam kurun waktu yang cukup
bronkiolus terminal, disertai kerusakan lama dengan gejala utama sesak nafas,
dinding alveoli. Banyak penyakit batuk dan produksi sputum. Sehingga
dikaitkan secara langsung dengan PPOK berkorelasi dengan jumlah total
kebiasaan merokok, dan salah satu yang partikel yang telah dihirup oleh
harus diwaspadai ialah PPOK. Angka seseorang selama hidupnya. Merokok
kesakitan penderita PPOK laki-laki merupakan faktor risiko utama dalam
mencapai 4%, angka kematian mencapai menyebabkan perkembangan dan
6% dan angka kesakitan wanita 2% , peningkatan PPOK. Di Indonesia
angka kematian 4%, umur di atas 45 diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta
tahun. 1,2,3 penderita PPOK. Angka ini bisa
Data badan kesehatan dunia meningkat dengan semakin banyaknya
World Health Organization (WHO) dari jumlah perokok karena 90% penderita
seluruh perokok di dunia, 84% (1,09 PPOK adalah perokok atau bekas
milyar orang) berada di negara perokok.6
berkembang. Depkes RI (2004)
melaporkan bahwa penduduk Indonesia DISKUSI
hampir 70% telah mulai merokok di usia Pengertian PPOK (Penyakit paru
anak-anak dan remaja. Kondisi ini obstruktif kronik )
menyebabkan mereka akan sulit
berhenti merokok dan membuat mereka
mempunyai risiko yang tinggi Penyakit Paru Obstruktif Kronik
mendapatkan penyakit yang (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit
berhubungan dengan rokok pada usia atau gangguan paru yang memberikan
pertengahan. Di Amerika Serikat, PPOK kelainan ventilasi berupa ostruksi
mengenai lebih dari 16 juta orang, lebih saluran pernapasan yang bersifat
dari 2,5 juta orang Italia, lebih dari 30 progresif dan tidak sepenuhnya
juta di seluruh dunia dan menyebabkan reversible. Obstruksi ini berkaitan
2,74 juta kematian pada tahun 2000. Di dengan respon inflamasi abnormal paru
Indonesia, PPOK menempati urutan terhadap partikel asing atau gas yang
kelima sebagai penyakit penyebab berbahaya.Pada PPOK, bronkitis kronik
kematian dan diperkirakan akan dan emfisema sering ditemukan
menduduki peringkat ke-3 pada tahun bersama, meskipun keduanya memiliki
2020 mendatang.4,5 proses yang berbeda. 3
Penyakit Paru Obstruksi Kronik Akan tetapi menurut PDPI 2010,
yang biasa disebut sebagai PPOK bronkitis kronik dan emfisema tidak
merupakan penyakit kronik yang dimasukkan definisi PPOK, karena
ditandai dengan keterbatasan aliran bronkitis kronik merupakan diagnosis
udara di dalam saluran napas yang tidak klinis, sedangkan emfisema merupakan
sepenuhnya reversibel. Gangguan yang diagnosis patologi. Bronkitis kronik
bersifat progresif ini disebabkan karena merupakan suatu gangguan klinis yang
terjadinya inflamasi kronik akibat ditandai oleh pembentukan mukus yang
meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan
suatu perubahan anatomis parenkim
paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta
destruksi dinding alveolar.3, 4 dengan hipersekresi mukus dan
sumbatan aliran udara yang persisten.
Epidemiologi Gambaran ini muncul dikarenakan
adanya pembesaran kelenjar di bronkus
Pada studi populasi selama 40 pada perokok dan membaik saat
tahun, didapati bahwa hipersekresi merokok di hentikan. Terdapat banyak
mukus merupakan suatu gejala yang faktor risiko yang diduga kuat
paling sering terjadi pada PPOK, merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-
penelitian ini menunjukkan bahwa batuk faktor risiko yang ada adalah genetik,
kronis, sebagai mekanisme pertahanan paparan partikel, pertumbuhan dan
akan hipersekresi mukus di dapati perkembangan paru, stres oksidatif,
sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, jenis kelamin, umur, infeksi saluran
dengan prevalensi yang lebih rendah nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan
pada wanita sebanyak 8-22%.1, 6 komorbiditas.7, 8
Badan Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun Patologi, patogenesis dan patofisiologi
2020 prevalensi PPOK akan meningkat
sehingga sebagai penyebab penyakit ` Perubahan patologi pada PPOK
tersering peringkatnya meningkat dari mencakup saluran nafas yang besar dan
ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai kecil bahkan unit respiratori terminal.
penyebab kematian tersering Secara gamblang, terdapat 2 kondisi
peringkatnya juga meningkat dari ke-6 pada PPOK yang menjadi dasar patologi
menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia yaitu bronkitis kronis dengan
Pasifik, WHO menyatakan angka hipersekresi mukusnya dan emfisema
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia paru yang ditandai dengan pembesaran
30 tahun keatas, dengan rata-rata permanen dari ruang udara yang ada,
sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan mulai dari distal bronkiolus terminalis,
Singapura dengan angka prevalensi diikuti destruksi dindingnya tanpa
terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran
6,7%.1 nafas tampak pada saluran nafas yang
Indonesia sendiri belumlah besar dan kecil yang disebabkan oleh
memiliki data pasti mengenai PPOK ini perubahan konstituen normal saluran
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah nafas terhadap respon inflamasi yang
Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan persisten. 6
bahwa PPOK bersama-sama dengan Epitel saluran nafas yang
asma bronkhial menduduki peringkat ke- dibentuk oleh sel skuamousa akan
6 dari penyebab kematian terbanyak di mengalami metaplasia, sel-sel silia
Indonesia. mengalami atropi dan kelenjar mukus
menjadi hipertropi. Proses ini akan
Faktor resiko direspon dengan terjadinya remodeling
saluran nafas tersebut, hanya saja
PPOK yang merupakan inflamasi proses remodeling ini justru akan
lokal saluran nafas paru, akan ditandai merangsang dan mempertahankan
inflamasi yang terjadi dimana T CD8+
dan limfosit B menginfiltrasi lesi
tersebut. Saluran nafas yang kecil akan pada saluran nafasnya, termasuk
memberikan beragam lesi penyempitan hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, Selain itu ketidakseimbangan
peningkatan otot polos.1 aktifitas protease atau inaktifitas
antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu
proses inflamasi seperti produksi netrofil
dan makrofagserta aktivasi faktor
transkripsi seperti nuclear factor κß
sehingga terjadi lagi pemacuan dari
faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada
telah ada. Hipersekresi mukus
PPOK dan orang sehat.6
menyebabkan batuk produktif yang
kronik serta disfungsi silier mempersulit
Inflamasi pada saluran nafas proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
pasien PPOK merupakan suatu respon menyebabkan obstruksi saluran nafas
inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi pada saluran nafas yang kecil dengan
kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini diameter < 2 mm dan air trapping pada
yang rutin dibicarakan pada bronkitis emfisema paru.3
kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidakseimbangan pada protease dan Penegakan diagnosis
anti protease serta defisiensi α 1
antitripsin menjadi dasar patogenesis Gejala dan tanda PPOK sangat
PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
netrofil, makrofag dan limfosit akan ringan hingga berat. Pada pemeriksaan
melepaskan mediator mediator inflamasi fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
dan akan berinteraksi dengan struktur tanda inflasi paru diagnosis PPOK di
sel pada saluran nafas dan parenkim. tegakkan berdasarkan :2
Secara umum, perubahan struktur dan 1. Gambaran klinis
inflamasi saluran nafas ini meningkat a. Anamnesis
seiring derajat keparahan penyakit dan 1. Riwayat merokok atau bekas
menetap meskipun setelah berhenti perokok dengan atau tanpa
merokok. 1 gejala pernapasan
Peningkatan netrofil, makrofag 2. Riwayat terpajan zat iritan
dan limfosit T di paru-paru akan yang bermakna di tempat
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel kerja
inflamasi ini akan melepaskan beragam 3. Riwayat penyakit emfisema
sitokin dan mediator yang berperan pada keluarga
dalam proses penyakit, diantaranya 4. Terdapat faktor predisposisi
adalah leucotrien B4, chemotactic pada masa bayi atau anak,
factors seperti CXC chemokines, misalnya berat badan lahir
interlukin 8 dan growth related rendah (BBLR), infeksi
oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.1 saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan
polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau
tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa b. Pemeriksaan fisis
bunyi mengi PPOK dini umumnya tidak ada
kelainan Pasien yang dicurigai PPOK
1. Inspeksi harus ditegakkan
a. Purse-lips breathing diagnosisnya menggunakan
(mulut setengah spirometri. The National
terkatup mencucu) Heart, Lung, dan Darah
b. Barrel chest (diameter Institute merekomendasikan
antero - posterior dan spirometri untuk semua
transversal sebanding) perokok 45 tahun atau lebih
c. Penggunaan otot tua, terutama mereka yang
bantu napas. dengan sesak napas, batuk,
d. Hipertropi otot bantu mengi, atau dahak persisten.
napas b. Pemeriksaan Penunjang lain
e. Pelebaran sela iga Spirometri adalah tes
f. Bila telah terjadi gagal utama untuk mendiagnosis
jantung kanan terlihat PPOK, namun beberapa tes
denyut vena jugularis i tambahan berguna untuk
leher dan edema menyingkirkan penyakit
tungkai Penampilan bersamaan. Radiografi dada
pink puffer atau blue harus dilakukan untuk mencari
bloater bukti nodul paru, massa, atau
2. Palpasi perubahan fibrosis.
Pada emfisema fremitus Hitung darah lengkap
melemah, sela iga melebar. harus dilakukan untuk
3. Perkusi menyingkirkan anemia atau
Pada emfisema hipersonor polisitemia.Hal ini wajar untuk
dan batas jantung mengecil, melakukan elektrokardiografi
letak diafragma rendah, dan ekokardiografi pada
hepar terdorong ke bawah. pasien dengan tanda-tanda
4. Auskultasi corpulmonale untuk
a. suara napas vesikuler mengevaluasi tekanan
normal, atau melemah sirkulasi paru. Pulse oksimetri
b. terdapat ronki dan atau saat istirahat, dengan
mengi pada waktu pengerahan tenaga, dan
bernapas biasa atau pada selama tidur harus dilakukan
ekspirasi paksa untuk mengevaluasi
c. ekspirasi memanjang hipoksemia dan kebutuhan
d. bunyi jantung terdengar oksigen tambahan.
jauh
c. Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan Global Initiative for
a. Pemeriksaan Spirometri Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan
derajat berikut :8

a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau
lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor
resiko. Terapi non farmakologi dapat
Spirometri : Normal. dilakukan dengan cara menghentikan
b. Derajat I (PPOK ringan) kebiasaan merokok, meningkatkan
Gejala klinis : Dengan atau tanpa toleransi paru dengan olahraga dan
batuk. Dengan atau tanpa latihan pernapasan serta memperbaiki
produksi sputum. nutrisi. Edukasi merupakan hal penting
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, dalam pengelolaan jangkan panjang
FEV1 ≥ 80%. pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK
c. Derajat II (PPOK sedang) berbeda dengan edukasi pada asma.
Gejala klinis : Dengan atau tanpa Karena PPOK adalah penyakit kronik
batuk. Dengan atau tanpa yang bersifat irreversible dan progresif,
produksi sputum. Sesak napas inti dari edukasi adalah menyesuaikan
derajat sesak 2 (sesak timbul keterbatasan aktivitas dan mencegah
pada saat aktivitas). kecepatan perburukan penyakit.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% Pada terapi farmakologis, obat-
< FEV1 < 80%. obatan yang paling sering digunakan dan
d. Derajat III (PPOK berat) merupakan pilihan utama adalah
Gejala klinis : Sesak napas ketika bronchodilator. Penggunaan obat lain
berjalan dan berpakaian. seperti kortikoteroid, antibiotic dan
Eksaserbasi lebih sering terjadi antiinflamasi diberikan pada beberapa
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan
< FEV1 < 50% . secara tunggal atau kombinasi dari
e. Derajat IV (PPOK sangat berat) ketiga jenis bronkodilator dan
Gejala klinis : Pasien derajat III disesuaikan denganklasifikasi derajat
dengan gagal napas kronik. berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
Disertai komplikasi korpulmonale diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
atau gagal jantung kanan. dianjurkan pada penggunaan jangka
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; panjang. Pada derajat berat diutamakan
FEV1 < 30% atau < 50%. pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long
Penatalaksanaan acting). 9
Macam-macam bronkodilator :
Penatalaksanaan pada PPOK a. Golongan antikolinergik.
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Digunakan pada derajat ringan
terapi non farmakologis dan terapi sampai berat, disamping
farmakologis. Tujuan terapi tersebut sebagaibronkodilator juga
adalah mengurangi gejala, mencegah mengurangi sekresi lendir
progresivitas penyakit, mencegah dan (maksimal 4 kaliperhari).
mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, b. Golonganβ– 2 agonis.
menaikkan keadaan fisik dan psikologis Bentuk inhaler digunakan untuk
pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengatasi sesak, peningkatan
mengurangi angka kematian.2 jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak jangka panjang. Bentuk injeksi
dianjurkan untuk penggunaan subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat. a. Berat (menghisap dalam) : cara
c. Kombinasi antikolinergik dan β–2 menghisap rokok yang dibakar
agonis. dan dirasakan sampai masuk ke
Kombinasi kedua golongan obat saluran napas bawah.
ini akan memperkuat efek b. Ringan (menghisap dangkal) :
bronkodilatasi, karena keduanya cara menghisap rokok yan
mempunyai tempat kerja yang dibakar dan hanya dirasakan di
berbeda. mulut saja kemudian
d. Golongan xantin. dikeluarkan. 10

pengobatan pemeliharaan jangka


panjang, terutama pada derajat Bahan bahan yang terkandung di dalam
sedang dan berat. Bentuk tablet rokok
biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), Bahan-bahan yang terkandung
bentuk suntikan bolus atau drip dalam rokok Komposisi kimia dan asap
untuk mengatasi eksaserbasi rokok tergantung pada jenis tembakau,
akut. Penggunaan jangka panjang desain rokok (seperti ada tidaknya filter
diperlukan pemeriksaan kadar atau bahan tambahan), dan pola
aminofilin darah. merokok individu. Asap rokok
merupakan aerosol heterogen yang
Derajat merokok dihasilkan oleh pembakaran tembakau
kurang sempurna. Terdiri dari gas dan
Menurut PDPI (2000), derajat uap yang berkondensasi dan tersebar
merokok seseorang dapat diukur dengan dalam mulut. Asap yang dihirup
Indeks Brinkman, dimana perkalian mengandung komponen gas dan
antara jumlah batang rokok yang dihisap partikel. Komponen gas yakni CO, CO2,
dalam sehari dikalikan dengan lama O2, hidrogen sianida, amoniak, nitrogen,
merokok dalam satu tahun, akan senyawa hidrokarbon. Sebagian besar
menghasilkan pengelompokan sebagai fase gas adalah CO2, O2, dan nitroen.
berikut :7 Komponen partikel antara lain tar,
a. Perokok ringan : 0-200 nikotin, benzopiren, fenol, dan
batang per tahun kadmium.11
b. Perokok sedang : 200-600 Tar merupakan komponen padat
batang per tahun dalam asap rokok setelah dikurangi
c. Perokok berat : lebih dari 600 nikotin dan uap air terdiri dari zat kimia,
batang per tahun di antaranya golongan nitrosamin, amin
aromatik, senyawa alkan, asam
Derajat hisapan merokok karboksilat, logam (Ni, As, Ra, Pb) selain
itu juga sisa insektisida dan bambu-
Berdasarkan derajat hisapan rokok bambu tembakau, zat- zat di atas
dibagi menjadi dua yaitu: bersifat karsinogenik.11, 12
Nikotin adalah partikel padat
yang mudah diserap oleh selaput lendir
mulut, hidung dan jaringan paru. Zat ini
merupakan zat psikosktif yang dapat
meningkatkan aktivitas motorik, dikandung oleh ibu yang merokok serta
menurunkan intelegensi anak yang dapat meningkatkan resiko infeksi
saluran napas, serangan asma, penyakit Terdapat beberapa faktor risiko
jantung koroner dan penyakit paru-paru. yang dapat meningkatkan peluang
Nikotin merupakan bahan adiktif yang terjadinya PPOK seperti kebiasaan
menimbulkan ketergantungan atau merokok, polusi udara, lingkungan yang
kecanduan. Besar pajanan asap rokok tidak baik, genetik, hiperaktifitas
bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh bronkus, daya tahan saluran nafas yang
kuantitas rokok yang dihisap dan pola kurang, dan defisiensi alfa-antitripsin.
penghisapan rokok antara lain usia mulai Diyakini bahwa merokok merupakan
merokok, lama merokok, dalamnya faktor yang paling berkontribusi
hisapan dan lain-lain. Pajanan asap terhadap berkembangnya PPOK.
rokok menyebabkan kelainan pada Separuh dari semua orang yang merokok
mukosa saluran nafas, kapasitas ventilasi berpeluang terjadi kerusakan atau
maupun fungsi sawar alveolar atau obstruksi saluran nafas dan 10-20 persen
kapiler.13 nya berkembang secara signifikan
menjadi PPOK. Sumber lain
Hubungan merokok dengan kejadian menambahkan bahwa seseorang yang
PPOK merokok dalam kurun waktu 20-25
tahun berpeluang terkena PPOK.7
Hubungan merokok dengan Gambaran secara umum
gangguan kesehatan atau penyakit bagaimana rokok dapat menyebabkan
merupakan hubungan dose response, kerusakan saluran pernafasan adalah
lebih lama kebiasaan merokok dijalani, bahwa di dalam asap rokok terdapat
lebih banyak batang rokok setiap ribuan radikal bebas dan bahan-bahan
harinya, lebih dalam menghisap asap iritan yang merugikan kesehatan. Bahan
rokoknya, maka lebih tinggi risiko untuk iritan tersebut masuk saluran pernafasan
mendapatkan penyakit akibat merokok. selanjutnya menempel pada silia
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) (rambut getar) yang selalu berlendir. Di
merupakan suatu kelainan saluran napas samping itu bahan iritan tersebut
yang bersifat irreversible dalam paru. mampu membakar silia sehingga lambat
Pendapat serupa dikemukakan oleh laun terjadi penumpukan bahan iritan
Global Initiative for Chronic Obstrictive yang dapat mengakibatkan infeksi.
Lung Disease (GOLD) mendefinisikan Sementara itu produksi mucus makin
PPOK sebagai penyakit kronik yang bertambah banyak dan kondisi ini Sangat
ditandai oleh adanya hambatan aliran kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila
udara di saluran nafas bawah yang tidak kondisi tersebut berlanjut maka akan
sepenuhnya reversible. Hambatan aliran terjadi radang dan penyempitan saluran
udara pernafasan tersebut bersifat nafas serta berkurangnya elastisitas.11
progresif dan dihubungkan dengan Besar kecilnya intensitas dan waktu
respon inflamasi yang abnormal dari paparan bahan-bahan iritan dalam asap
paru karena rangsangan gas dan partikel rokok akan berpengaru terhadap kondisi
yang merusak.8, 12 saluran pernafasan. Semakin besar
intensitas, dosis, serta waktu paparan,
akan mempercepat terjadinya kerusakan
atau ketidak normalan pada saluran
pernafasan. Dengan kata lain bahwa
kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan pada saluran nafas, antara
lain berupa penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian PPOK. 12

SIMPULAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru
yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif
dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru
terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema
sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda.
Setiap tahunnya prevalensi PPOK cenderung meningkat , dan didapatkan terbanyak pada
laki laki yang mempunyai kebiasaan merokok. Data di indonesia sendiri belumlah memiliki data
pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992
menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6
dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan :
a) Gambaran klinis
1. Anamnesis
a. Keluhan
b. Riwayat penyakit
c. Faktor predisposisi
2. Pemeriksaan fisis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis dan penatalaksanaan.
Jakarta: PDPI; 2011.
2. Alsagaff H, Mukty A. Penyakit obstruksi saluran napas. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press; 2008: 231
3. Camargo LA, Pereira CA. Dyspnea in COPD: Beyond the modified medical research council scale. J Bras
Pneumol. 2010; 36 (5): 571-8.
4. Senior RM, Atkinson JJ. Chronic obstructive pulmonary disease: Epidemiology, pathofisiology and
pathogenesis. Fishman`s pulmonary disease and disorders. 4th eds. New York: The McGraw Hill
Companies; 2008: 707-28.
5. Clinical respiratory medicine. 3rd eds. London: Mosby Elsevier; 2008: 491-515.
6. Mac Nee W. Chronic obstructive pulmonary disease: Epidemiology, physiologi and clinical evaluation.
7. Amin M. Faktor risiko ppok. Konker X PDPI. Padang.2004: 223-234.
8. Devereux G. 2006. ABC of chronic obstructive pulmonary disease. Definition, epidemiology, and risk
factors. BMJ 332:1142–4.
9. Wegner RE, Jorres RA, Kirsten DK, Magnussen A. Factor analysis of exercise capacity, dyspnea ratings and
lung function in patients with severe chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J. 1994; (7): 725-9.
10. Leffrondre, et al. Modeling Smoking History: A Comparison of Different approachs. American Journal of
Epidemiology. 2002; (156): 813-23.
11. Bangun, A. P. Panduan Untuk Perokok: Solusi Tuntas Untuk Mengurangi Rokok dan Berhenti Merokok.
Jakarta: Milenia Populer, 2003.
12. Aditama T.Y. 2001. Penyakit Akibat Merokok. Dalam: Masalah Perokok dan Penanggulangannya. Jakarta:
Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia (YPIDI).
13. Syahdrajad, T. Merokok dan masalahnya: Dexa Media, Jurnal Kedokteran dan Farmasi. 2007; (20): 184-7.

Titer Antibodi Ayam Petelur Pascavaksinasi Avian Influenza Pada Peternakan


Komersial Di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan

( ANTIBODY TITER OF POST VACCINATED AGAINST AVIAN INFLUENZA IN A COMMERCIAL FARM


IN THE VILLAGE OF DENBANTAS, REGENCY OF TABANAN)

Zatya Wira Bhakty1, Gusti Ayu Yuniati Kencana2, I Nyoman Suartha3

1Mahasiswa Profesi Dokter Hewan,


2Laboratorium Virologi Veteriner,
3Laboratorium Penyakit Dalam
Veteriner,

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana


Jl.P.B. Sudirman Denpasar Bali, Telp: 0361-223791
e-mail: zatyawira@student.unud.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon imun sekunder pascavaksinasi kedua AI pada
peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan. Sampel penelitian dipilih secara acak
terhadap 10 ekor ayam petelur dari total 200 ekor. Sampel diambil sebanyak tiga kali yakni sekali
pravaksinasi dan dua kali pascavaksinasi pada peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan
Tabanan. Pemeriksaan titer antibodi AI dilakukan dengan uji serologi Haemaglutination Inhibition (HI).
Nilai titer antibodi selanjutnya dianalisis menggunakan uji sidik ragam univariate dilanjutkan dengan uji
Beda Nyata Terkecil (BNT), uji Duncan, dan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
peningkatan titer antibodi yang signifikan setiap minggu pascavaksinasi. Rerata titer antibodi
pravaksinasi sebesar 0 HI log 2. Rerata titer antibodi ayam petelur pascavaksinasi kedua pada minggu ke-
2 yaitu 4,6 HI log 2 dan 8,3 HI log 2 pada minggu ke-3. Periode pengambilan serum berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap peningkatan titer antibodi AI pascavaksinasi setiap minggunya. Disarankan
untuk memperhatikan waktu vaksinasi kedua dilakukan sebelum titer antibodi primer mencapai 0 HI log
2.

Kata kunci: Avian influenza (AI); pascavaksinasi; titer antibodi; vaksin ND-AI

ABSTRACK

This study aim was to determine the secondary immune response post-second vaccination on a
commercial farm in the village of Denbantas, regency of Tabanan. The research’s sample were chosen
randomly on 10 laying hens from the total population of 200. Sample taken three times, one pre-
vaccination and two post vaccination. Examination was done with serological test Haemaglutination
Inhibition. Antibody titers were then analyzed using univariate analysis of variance test followed by a
test of least Significant Difference (LSD), Duncan test, and regression analysis. The result was there was
significantly increase in antibody titer every week post-vaccination. The average antibody titers pre-
vaccination was 0 HI log 2. The average antibody titer laying hens post-second vaccination was 4,6 HI log
2 and 8,3 HI log 2 in two and three weeks post-vaccination respectively. The period of taking the serum
affect significantly (P<0,01) against antibody titers of AI post-vaccination every week. The time of the
second vaccination should be noticed before the primer antibody titer reaches 0 HI log 2.

Keywords: antibody titer; avian influenza (AI); post-vaccination; vaccine ND-AI


PENDAHULUAN
Ayam petelur merupakan komoditas peternakan yang banyak diminati di Indonesia termasuk di
Provinsi Bali. Perkembangan ternak ayam petelur di Provinsi Bali tersebar di seluruh kabupaten dan kota
di Bali dengan populasi terbesar berada di Kabupaten Tabanan (51,79%) (Kurniawan et al., 2013). Ayam
petelur rentan terserang berbagai penyakit salah satunya adalah penyakit Avian Influenza (AI). Penyakit
Avian Influenza (AI) adalah penyakit virus pada unggas yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A
subtipe H5N1. Penyakit AI merupakan penyakit virus menular stategis yang bersifat endemis di
Indonesia (Kencana et al., 2016). Ayam petelur sangat peka terhadap virus flu burung dengan gejala
klinis berupa gangguan pernafasan atas dan gangguan reproduksi serta dapat menimbulkan kematian
hingga 100% (Sharif et al., 2014). Penyakit ini dapat menimbulkan keresahan pada industri perunggasan
karena dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi.
Penyakit AI pernah ditemukan hampir di seluruh belahan dunia (kecuali di benua Antartika)
termasuk pula di Indonesia (Kandun et al., 2008). Kejadian luar biasa (KLB) kasus AI juga pernah
melanda Indonesia pada tahun 2003–2006, dan Indonesia merupakan negara dengan angka kematian
manusia akibat AI yang tertinggi di dunia (Kencana et al., 2016). Tahun 2012 ratusan ayam milik
pengusaha ternak ayam mati mendadak di Kecamatan Penebel dan Kecamatan Marga Kabupaten
Tabanan (Karmaniasih et al., 2014), sehingga, kecamatan tersebut termasuk daerah terular penyakit AI.
Kecamatan lain di Kabupaten Tabanan seperti Kecamatan Tabanan merupakan daerah terancam
penularan penyakit AI sehingga perlu dilakukan program vaksinasi untuk mencegah penyebaran
penyakit tersebut.
Program vaksinasi AI pada ayam petelur di lapangan dilakukan dengan memberikan lebih dari
satu kali vaksinasi. Respons imun yang terbentuk pascavaksinasi kedua disebut respons imun sekunder.
Respon imun sekunder adalah peristiwa pengenalan kembali terhadap imunogen yang sama (Suardana
et al., 2009). Vaksinasi kedua diharapkan terbentuk antibodi sekunder dalam tubuh ayam. Antibodi
sekunder memiliki titer antibodi dan afinitas yang lebih tinggi serta fase lag yang lebih pendek dibanding
respon imun primer. Hal tersebut disebabkan sel memori yang terbentuk pada respon imun primer,
akan cepat mengalami transformasi dan
diferensiasi menjadi sel penghasil antibodi. Apabila kelak mendapat paparan antigen yang sama dapat
memberikan respon yang lebih kuat dan lebih cepat (Banu et al., 2009).
Meskipun program pemerintah tentang vaksinasi pada ternak unggas telah digalakkan namun

penyakit AI masih tetap dijumpai di Indonesia (Kencana et al., 2012a; Kencana et al., 2012b.). Infeksi AI
pada peternakan yang menerapkan vaksinasi biasanya tidak menimbulkan kematian dan gejala klinis
sehingga infeksi subklinis atau silent infection bisa berlangsung terus tanpa diketahui. Peternakan
dengan infeksi subklinis seperti ini merupakan sumber infeksi bagi daerah sekitarnya dan dapat
menimbulkan kerugian bagi peternak (Taringan, 2015). Sehingga tindakan yang dapat dilakukan yaitu
monitoring titer antibodi untuk mendeteksi infeksi penyakit secara dini. Monitoring sangat penting
dalam perannya sebagai pendukung dari sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) terutama
dalam kaitannya dengan pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonosis termasuk penyakit AI
(Naipospos, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon imun sekunder pascavaksinasi
kedua AI pada peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan sebagai upaya untuk
pencegahan penyakit AI pada daerah terancam.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sampel serum dari darah ayam petelur yang di vaksin ND-AI kedua
pada umur 18 minggu pada peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan. Sampel
diambil berjumlah 10 serum ayam petelur satu minggu sebelum vaksinasi dan 10 serum pada minggu ke-
2 dan ke-3 atau pada umur 20 dan 21 minggu setelah vaksinasi ulangan.
Sebanyak 200 ekor ayam petelur dipelihara sejak Day Old Chick (DOC) oleh peternak pada
peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan. Pada umur satu minggu ayam divaksin
mengunakan vaksin ND-AI pertama dengan volume 0,2 mL/ekor. Pada umur 18 minggu ayam divaksin
dengan vaksin ND-AI kedua. Vaksin diinjeksikan secara intramuscular dengan volume 0,5 ml/ekor (virus
inaktif AI subtipe H5N1 strain lokal ≥ 108,5 EID 50).
Pengambilan darah dilakukan pada vena sayap (vena axillaris) menggunakan spuit 3 ml.
Setelah darah masuk ke spuit, sisakan ruang kosong pada spuit dan ditempatkan pada posisi datar
kemudian didiamkan pada suhu ruangan selama 30 menit sampai dengan 1 jam hingga serum keluar.
Serum yang telah terbentuk dipisahkan pada tabung microtube. Serum disimpan pada freezer suhu

-18oC sebelum digunakan kembali.

Pembuatan suspensi eritrosit 1 %


Suspensi eritrosit 1% dibuat sesuai prosedur OIE (2012) yang telah dimodifikasi dengan teknik
sebagai berikut: sebanyak 2,5 mL darah ayam diambil melalui vena. Darah ayam diambil sebanyak 2,5
mL menggunakan spuit 3 cc yang telah diisi alsever sebanyak 2,5 mL. Darah dicuci dengan cara
menambahkan 5 ml PBS, lalu dihomogenkan perlahan-lahan agar tidak rusak. kemudian dimasukkan
kedalam sentrifugator selama 10 menit. Setelah itu, pisahkan buffy coat dan supernatant dari endapan
eritrosit. Dilakukan pencucian dan pemisahan eritrosit hingga tiga kali. Selanjutnya endapan eritrosit
diencerkan hingga 1% dalam larutan PBS.
Uji Hemaglutinasi (HA)
Sebanyak 0,025 mL PBS diisi pada masing-masing lubang plat mikro dengan menggunakan pipet
mikro atau microdroper. Tambahkan pada lubang pertama dan lubang kedua suspensi antigen yang akan
diuji dan selanjutnya buat pengenceran seri kelipatan dua mulai dari lubang kedua sampai lubang
kesebelas dengan menggunakan pengencer mikro. Kemudian tambahkan 0,025 ml PBS ke dalam tiap-
tiap lubang (1-12) dan selanjutnya di aduk dengan pengocok mikro. Kemudian di tambahkan ke dalam
setiap lubang masing-masing 0,05 mL suspensi sel darah merah 1% dan ayak kembali selama 3 detik. Plat
mikro dieramkan pada suhu kamar selama 1 jam dan diamati timbul atau tidaknya reaksi sel darah
merah setiap 15 menit. Reaksi positif ditandai dengan adanya bentukan kristal pada sumuran plat mikro

akibat reaksi hemaglutinasi. Pembacaan titer HA dilakukan dengan memiringkan plat mikro ≥ 45 o. Titer
HA virus dinyatakan sebagai kebalikan dari pengenceran tertinggi virus yang masih mampu
menimbulkan reaksi aglutinasi secara sempurna. Pada umumnya titer HA yang digunakan pada uji HI
adalah 4 unit HI.
Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI)
Uji hambatan hemaglutinasi (Haemaglutination Inhibition) sesuai dengan prosedur OIE (2012)
yang telah dimodifikasi, tekniknya adalah sebagai berikut: Sebanyak 0,025 mL PBS dimasukkan ke
setiap sumuran plat mikro. Sumuran 1 dan 2 diisi dengan 0,025 mL serum
kemudian diencerkan secara berseri kelipatan dua mulai dari sumuran 2 sampai sumuran 10 dengan
pengencer mikro lalu dari sumuran 10 suspensi dibuang sebanyak 0,025 mL. Pada sumuran 1 sampai
dengan 11 ditambahkan 0,025 mL suspensi virus standar (4 HAU) sedangkan pada sumuran 12 hanya
diisi 0,025 mL PBS. Plat mikro diayak selama 30 detik dengan mikroshaker kemudian dibiarkan selama 30
menit pada suhu ruang. Suspensi eritrosit 1% ditambahkan kedalam sumuran 1 sampai 12 sebanyak
0,025 mL lalu diayak selama 30 detik. Kemudian biarkan plat mikro selama satu jam pada suhu ruang dan
diamati setiap 15 menit. Pembacaan hasil uji HI dilakukan apabila pada sumuran nomor 11 sudah
tampak adanya aglutinasi eritrosit dan pada sumuran 12 terlihat endapan eritrosit. Titer HI dibaca
dengan memiringkan plat mikro dan melihat ada atau tidaknya sel darah merah yang turun ( lear-
shaped). Titer HI ditentukan dengan melihat pengenceran serum tertinggi yang masih mampu
menghambat aglutinasi eritrosit. Titer antibodi yang diperoleh setelah vaksinasi ulangan dihitung
reratanya dari minggu ke-0 sampai minggu ke-3.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi kedua ayam petelur pada peternakan komersial
di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan berpengaruh terhadap respon imun sekunder Avian influenza.
Respon imun yang terbentuk pascavaksinasi kedua memperlihatkan tingkat titer antibodi yang berbeda
pada tiap periode pengambilan serum. Rerata titer antibodi AI dan waktu pengambilan sampel dimuat
pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata titer antibodi ayam petelur yang divaksinasi dengan vaksin ND-AI pada
peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan
Waktu Pengambilan Sampel (Minggu) Rerata Titer Antibodi AI
(HI Unit Log 2)

0 0

2 4,6

3 8,3
Pada minggu ke-0 (pravaksinasi), rerata titer antibodi AI adalah nol (0 HI log 2). Pada
minggu ke-2 pascavaksinasi, rerata titer antibodi AI ayam petelur adalah 4,6 HI log 2. Pada
minggu ke-3 rerata titer antibodinya adalah 8,3 HI log 2. Peningkatan rerata titer antibodi AI
ayam petelur yang divaksinasi dengan vaksin ND-AI setiap minggunya dimuat pada Gambar 1.

1. Grafik peningkatan rerata titer antibodi AI pada


ayam

Gambar 1. Grafik peningkatan rerata titer antibodi AI pada ayam

Hasil analisis sidik ragam univariate menunjukkan bahwa waktu pengambilan serum
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap titer antibodi AI pada ayam petelur pascavaksinasi kedua.

Hal ini dapat dilihat dari nilai F pada perlakuan yang lebih besar dari nilai F tabel (Tabel F(0,01) db 2; 27)
atau dilihat dari nilai Sig yaitu 0,00 (P<0,01).

Hasil uji BNT dan uji Duncan menunjukkan terjadi peningkatan titer antibodi AI ayam petelur
pascavaksinasi kedua yang sangat nyata (P<0,01) dari minggu ke-0 sampai dengan minggu ke-3. Hal ini
dapat dilihat dari nilai signifikansi (Sig) pada uji LSD yaitu 0,00 (P<0,01) dan pada uji Duncan dimana nilai
rata-rata setiap perlakuan terletak pada subset yang berbeda.
Hasil analisis regresi menunjukkan garis regresi dari persamaan Y= -0,08882 + 1,367W +

0,467W2 sangat nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai R yaitu 0,954 (mendekati 1) yang berarti periode
pengambilan serum setiap minggunya memiliki hubungan erat terhadap titer antibodi AI ayam petelur
yang terbentuk pascavaksinasi kedua. Nilai Y dalam persamaan di atas merupakan
rerata titer antibodi AI ayam petelur dan W merupakan variabel regresi yang menyatakan waktu
(minggu) sebelum dan setelah vaksinasi.
Hasil pemerikasaan titer antibodi sebelum vaksinasi menunjukkan tidak ada titer antibodi AI
yang terdeteksi (0 HI log 2). Hal ini menunjukkan bahwa pada ayam petelur sudah tidak memiliki titer
antibodi AI pada repon imun primer. Tidak adanya respon imun pravaksinasi sehingga memerlukan
vaksinasi ulangan (booster) untuk merangsang respon imun protektif pada ayam petelur.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan titer antibodi pada minggu ke-1 pascavaksinasi
karena pada pemberian vaksin inaktif umumnya menghasilkan respons imun yang lambat. Respons imun
ayam petelur vaksin inaktif lebih lambat jika dibandingkan dengan menggunakan vaksin aktif. Hal ini
disebabkan karena vaksin inaktif mengandung oil adjuvant yang berfungsi sebagai depo antigen
sehingga antigen vaksin akan dilepaskan secara perlahan- lahan (Aiyer-Harini et al., 2013). Namun
berdasarkan hasil penelitian dengan menggambarkan persamaan garis regresi titer antibodi pada
minggu ke-1 pascavaksinasi diperoleh titer protektif sebesar 1,90 HI log 2.
Hasil pemeriksaan pada minggu ke-2 pascavaksinasi kedua, rerata titer antibodi AI mengalami
peningkatan yang signifikan yaitu 4,6 HI log 2. Pada minggu ke-2 pascavaksinasi kedua telah mampu
merangsang terbentuknya titer antibodi ayam petelur yang protektif terhadap penyakit AI. Namun, pada
minggu ke-2 terdapat dua sampel yang menunjukkan hasil titer antibodi di bawah titer antibodi protektif

terhadap AI (4 HI unut log 2 atau 24) yaitu sebesar 2 HI unit log 2 atau 2 2. Perbedaan tingkat respons
imun ayam petelur pascavaksinasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah
kemungkinan karena perbedaan respons individu, perbedaan kemampuan antigenik dari antigen vaksin
yang digunakan serta komposisi adjuvant (Kencana et al., 2016).
Hasil pemeriksaan pada minggu ke-3 pascavaksinasi kedua, rerata titer antibodi AI mengalami
peningkatan yang signifikan sebesar 8,3 HI log 2. Pada minggu ke-3 pascavaksinasi kedua vaksin yang
digunakan mampu merangsang terbentuknya titer antibodi ayam petelur yang protektif terhadap
penyakit AI pada peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan. Tingginya respons imun
pascavaksinasi kedua ini karena adanya sel memori yang tetap
aktif setelah diberikan vaksinasi ulangan. Antibodi sekunder memiliki titer dan afinitas yang lebih tinggi
serta fase lag yang lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal tersebut disebabkan sel memori
yang terbentuk pada respons imun primer, akan cepat mengalami transformasi dan diferensiasi menjadi
sel penghasil antibodi (Kurnianto et al., 2017).

SIMPULAN
Titer antibodi AI ayam petelur pada peternakan komersial di Desa Denbantas, Kecamatan
Tabanan meningkat setelah dilakukan vaksinasi kedua. Rerata titer antibodi ayam petelur pascavaksinasi
ulangan pada minggu ke-0 yaitu 0 HI log 2, minggu ke-2 yaitu 4,6 HI log 2 dan 8,3 HI log 2 pada minggu
ke-3.

SARAN
Titer antibodi pravaksinasi (0 HI log 2) tidak protektif, menandakan sudah tidak adanya respon
antibodi sehingga perlu segera divaksinasi ulang (boster) dan mengatur jadwal vaksinasi dengan
baik.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT. Sanbio Laboratories, Bogor atas kerjasama
penelitian lapang vaksin ND-AI di Tabanan, Bali.

DAFTAR PUSTAKA
Aiyer-Harini P, Ashok-Kumar HG, Kumar GP, Shivakumar N. 2013. An Overview of Immunologic
Adjuvants-A Review. J Vaccines Vaccine 4(1): 1-4.
Banu NA, Islam MS, Chowdhury MMH, Islam MS. 2009. Determination of Immune Response of
Newcastle Disease Virus. J Bangladesh Agril Univ 7(2): 329-334.
Kandun IN, Tresnaningsih E, Purba WH, Lee V, Samaan G, Harun S, Soni E, Septiawati C,
Setiawati T, Sariwati E, and Wandra T, 2008. Factors associated with case fatality of
human H5N1 virus infections in Indonesia: a case series. The Lancet 372: 744-749.
Karmaniasih NLP, Marwati NM, Asmara IWS. 2014. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Pekerjaan Ternak Unggas dengan Keadaan Sanitasi Kandang Dalam Upaya Pencegahan
Penyakit Flu Burung. Jurnal Kesehatan Lingkungan 4(1): 50-56.
Kencana GAY, Kardena IM, Mahardika IGNK. 2012 a. Peneguhan Diagnosis Penyakit Newcastle
Disease Lapang pada Ayam Buras di Bali Menggunakan Teknik RTPCR. J Kedokteran
Hewan 6(1):28-31.
Kencana GAY, Mahardika IGNK, Suardana IBK, Astawa INM, Dewi NMK, Putra GNN. 2012 b.
Detection of Avian Influenza in Chickens by Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction. Jurnal Veteriner 13(3): 303-308.
Kencana GAY, Suartha IN, Paramita NMAS, Handayani AN. 2016. Vaksin Kombinasi Newcastle
Disease dengan Avian Influenza Memicu Imunitas Protektif pada Ayam Petelur
terhadap Penyakit Tetelo dan Flu Burung. Jurnal Veteriner 17(2): 257-264.
Kurnianto AB, Kencana GAY, Astawa INM. 2017. Respon Antibodi Sekunder Terhadap
Penyakit Tetelo pada Ayam Petelur Pascavaksinasi Ulangan dengan Vaksin Tetelo
Aktif. Jurnal Veteriner 17(3): 331-336.
Kurniawan MFT, Darmawan DP, Astiti NS. 2013. Strategi Pengembangan Agribisnis
Peternakan Ayam Petelur Di Kabupaten Tabanan. Jurnal Manajemen Agribisnis 1(2):
54-66.
Naipospos TSP. 2005. Kebijakan Penanggulangan Penyakit Zoonosis Berdasarkan Prioritas
Departemen Pertanian. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Pp.23-27.
Office International Des Epizooties (OIE). 2012. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for
Terresterial Animal Chapter. Capter 2.3.14. Newcastle Disease. Hlm.1-9 www.oie.int.
Diakses tgl 2 Mei 2016.

Sharif A, Umer M, Ahmad T. 2014. Prevention and Control of Avian Influenza in Poultry
Production. International Journal of Agriculture Innovations and Research 2(6): 976-
981.

Suardana IBK, Dewi IMRK, Mahardika IGNK. 2009. Respons Imun Itik Bali terhadap Berbagai
Dosis Vaksin Avian Influenza H5N1. Jurnal Veteriner 10(3): 150-155.
Taringan S. 2015. Infeksi Subklinis Avian Influenza H5N1 pada Peternakan Ayam Petelur Yang
Menerapkan Program Vaksinasi. Wartazoa 25(2): 075-084.

Anda mungkin juga menyukai