Disusun Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
1. Blefaritis
Blefaritis adalah radang pada kelopak mata. Radang yang sering terjadi pada
kelopak merupakan radang kelopak dan tepi kelopak. Radang bertukak atau tidak
pada tepi kelopak biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut. Blefaritis ditandai
dengan pembentukan minyak berlebihan di dalam kelenjar didekat kelopak mata yang
merupakan lingkungan yang disukai oleh bakteri yang dalam keadaan normal
ditemukan di kulit.
Gambaran Klinik
A. Blefaritis stafilokokus
sisik keras dan pengerasan kulit terutama berlokasi di antara dasar bulu mata .
hiperemia konjungtiva ringan dan umumnya terjadi konjungtivitis papiler kronis.
Kasus lama dapat berkembang menjadi jaringan parut dan bentukan (tylosis) dari
tepi kelopak mata. Madarosis, trichiasis dan poliosis.
Perubahan sekunder termasuk pembentukan tembel, keratitis tepi kelopak mata dan
sesekali terjadi phlyctenulosis.
Berhubungan dengan ketidakstabilan tearfilm dan sindrom mata kering yang
umumnya terjadi.
B. Blefaritis seboroik
Hiperaemik tepi kelopak mata anterior dan tampak berminyak dengan menempel
bersama-sama pada bulu mata
Sisik yang lembut dan terletak di mana saja pada tepi kelopak mata dan bulu mata.
C. Blefaritis posterior
Sekresi berlebihan dan tidak normal kelenjar meibomian sebagai menyumbat
lubang kelenjar meibomian dengan tetesan minyak
Berkerut, resesi, atau penyumbatan lubang kelenjar meibomian
Hiperemi dan telangiectasis dari tepi kelopak posterior.
Tekanan pada tepi kelopak mengakibatkan cairan meibomian keruh atau seperti
pasta gigi.
Transiluminasi kelopak dapat menunjukkan hilangnya kelenjar dan dilatasi kistik
duktus meibomian.
Tear film berminyak dan berbusa, buih dapat menumpuk di tei kelopak atau dalam
kantus.
perubahan sekunder termasuk konjungtivitis papiler dan erosi kornea epitel
inferior.
Diagnosis
Blefaritis dapat didiagnosis melalui pemeriksaan mata yang komprehensif.
Pengujian, dengan penekanan khusus pada evaluasi kelopak mata dan permukaan
depan bola mata, termasuk:
Riwayat pasien untuk menentukan apakah gejala yang dialami pasien dan adanya
masalah kesehatan umum yang mungkin berkontribusi terhadap masalah mata.
Pemeriksaan mata luar, termasuk struktur kelopak mata, tekstur kulit dan
penampilan bulu mata.
Evaluasi tepi kelopak mata, dasar bulu mata dan pembukaan kelenjar meibomian
menggunakan cahaya terang dan pembesaran.
Evaluasi kuantitas dan kualitas air mata untuk setiap kelainan.
Gambar 9. Algoritma untuk mendiagnosis pasien dengan kelopak mata merah
(Differential Diagnosis of the Swollen Red Eyelid, 2007)
Kondisi yang berkaitan dengan blefaritis kronis:
1. Ketidakstabilan tear film ditemukan pada 30-50% pasien, mungkin sebagai
akibat dari ketidakseimbangan antara komponen cair dan lipid dari tear film
memungkinkan peningkatan penguapan. Waktu pemecahan tear film biasanya
berkurang.
2. Chalazion, yang mungkin multipel dan berulang, umumnya terjadi terutama
pada pasien dengan blefaritis posterior.
3. Penyakit membran epitel basal dan erosi epitel berulang dapat diperburuk oleh
blepharitis posterior.
4. Kulit: A. Jerawat rosacea sering dikaitkan dengan disfungsi kelenjar
meibomian.
B. dermatitis seboroik terdapat pada>90% dari pasien dengan blefaritis seboroik.
C. Pengobatan acne vulgaris dengan isotretinoin dikaitkan dengan perkembangan
blepharitis pada sekitar 25% dari pasien; hal itu mereda ketika pengobatan dihentikan.
5. Keratitis bakteri dikaitkan dengan penyakit sekunder permukaan okular untuk
blefaritis kronis.
6. Atopik keratokonjungtivitis sering dikaitkan dengan blefaritis stafilokokus.
Pengobatan blefaritis sering membantu gejala konjungtivitis alergi dan sebaliknya.
7. Intoleransi lensa kontak. Pemakaian jangka panjang lensa kontak berhubungan
dengan penyakit tepi pelupuk mata posterior. Penghambatan gerakan tutup dan
ekspresi normal dari minyak meibomian bisa menjadi penyebabnya. Ada juga
mungkin terkait konjungtivitis giant papil membuat pemakaian lensa tidak nyaman.
Blefaritis juga merupakan faktor risiko untuk keratitis bakteriterkait lensa kontak.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari blefaritis adalah:
1. Sel skuamosa, sel basal, atau karsinoma sel sebasea pada kelopak mata
Penatalaksanaan
Tatalaksana Non-farmako
1. Aplikasi panas untuk menghangatkan sekresi kelenjar kelopak mata dan untuk
memicu evakuasi dan pembersihan dari bagian sekretorik sangat penting. Pasien
umumnya diarahkan untuk menggunakan kompres hangat basah dan menerapkannya
pada kelopak berulang kali. Air hangat di handuk, kain kassa direndam, atau dimasak
dengan microwave, kain yang telah direndam dapat digunakan. Pasien harus
diinstruksikan untuk menghindari penggunaan panas yang berlebihan.
2. Tepi kelopak mata dicuci secara mekanis untuk menghilangkan bahan yang
menempel, seperti ketombe, dan sisik, juga untuk membersihkan lubang kelenjar. Hal
ini dapat dilakukan dengan handuk hangat atau dengan kain kasa. Air biasa sering
digunakan, meskipun beberapa dokter lebih suka bahwa beberapa tetes shampo bayi
dicampur dalam satu tutup botol penuh air hangat untuk membentuk larutan
pembersih. Harus diperhatikan untuk menggosok-gosok lembut atau scrubbing dari
tepi kelopak mata itu sendiri, bukan kulit kelopak atau permukaan konjungtiva bulbi.
Menggosok kuat tidak diperlukan dan mungkin berbahaya.
Terapi Farmakologi
Pada blefaritis seborik, kelopak harus dibersihkan dengan kapas lidi hangat,
soda bikarbonat, atau nitras argenti 1%. Dapat digunakan salep sulfonamid untuk aksi
keratolitiknya. Kompres hangats elama 5-10 menit, tekan kelenjar meibom dan
bersihkan dengan shampo bayi. Diberikan juga antibiotik sistemik, tetrasiklin 2x250
mg atau eritromisin 3x250mg atau sesuai dengan hasil kultur.
Pengobatan pada infeksi virus bersifat simtomatik, antibiotik diberikan bila
etrdapat infeksi sekunder. Bila disebabkan jamur, infeksi superfisial diobati dengan
griseofulvin 0,5-1mg gram sehari dengan dosis tunggal atau dibagi dan diteruskan
sampai 1-2 minggu setelah gejala menurun. Bila disebabkan kandida diberikan
nistatin topikal 100.000 unit per gram. Pada infeksi jamur sistemik, bila disebabkan
aktinomises atau nokarida diobati dengan sulfonamid, penisilin, atau antibiotik
spektrum luas. Amfoterisin B diberikan untuk histoplasmosis, sporotrikosis,
aspergilosis dan lainnya. Dimulai dengan 0,05-0,1 mg/kg BB secara intravena lambat
selama 6-8 jam dalam dekstrosa 5%. Dosis dinaikan sampai 1mg/kg BB, namun total
tidak lebih dari 2gram. Pengobatan diberikan setiap hari selama 2-3 minggu atau
sampai gejala berkurang. Hati-hati karena toksik terhadap ginjal. Pada blefaritis akibat
alergi dapat diberikan steroid lokal atau sistemik, namun harus dengan pemakaian
lama.untuk mengurangi gatal, berikan antihistamin..Perawatan bedah untuk blefaritis
diperlukan hanya untuk komplikasi seperti pembentukan kalazion, trichiasis,
ektropion, entropion, atau penyakit kornea.
R/ Gentamisin 0,3 % eye oinment tube No. I
S 2 dd ue OD
Edukasi
pasien yang memiliki beberapa episode blefaritis, kondisi ini jarang sembuh
2. Konjuntivitis
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear, namun jika
pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari
tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan kornea,
jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan
pulasan Giemsa. Ditemukannya sel-sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai
nilai diagnostic.Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator
berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke
jaringan biakan.
Terapi
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus
local maupun sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk
ulkus kornea mungkin diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati yakni
dengan mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan obat antivirus, dan
menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7 – 10
hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali
sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap
2 jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir
3% lima kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali
sehari selama 7 hari.
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih jarang
adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus topical harus dipakai 7-10
hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin memperburuk
infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses sembuh sendiri yang
singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat.
3) Konjungtivitis Alergi
a). Konjungtivitis Vernalis
Suatu inflamasi mata bagian luar yang bersifat musiman dan dianggap sebagai
suatu alergi. Konjungtiva banyak sekali mengandung sel dari sistem kekebalan
(mast sel) yang melepaskan senyawa kimia (mediator) dalam merespon terhadap
berbagai rangsangan (seperti serbuk sari atau debu tungau) . Mediator ini
menyebabkan radang pada mata, yang mungkin sebentar atau bertahan lama.
Sekitar 20% dari orang memiliki tingkat mata merah alergi.
Diagnosis
Ditemukan adanya tanda-tanda radang konjungtiva
Ditemukan adanya giant papil pada konjungtiva palpebra superior
Ditemukan adanya tantras dot pada limbus kornea
Kadang disertai shield ulcer
Bersifat kumat-kumatan
Gejal dan Tanda :
Mata merah (biasanya rekuren)
Kadang disertai rasa gatal yang hebat
Adanya riwayat alergi
Adanya hipertrofi papil difus pada konjungtiva tersal terutama superior
Adanya penebalan limbus dengan tantras dot
Discharge mukoid dan menjadi mukopurulen apabila terdapat infeksi
sekunder.
Terapi
Kasus ringan : terapi edukasi (menghindari allergen, kompres dingin, ruangan
sejuk, lubrikasi, salep mata), pemberian antihistamin (topical levokabastin,
emestadine), vasokonstriktor (phenileprine, tetrahidrolozine), mast cell stabilizer
(cromolin sodium 4% alomide).
Kasus sedang-berat : mast cell stabilizer (cromolin sodium 4% alomide),
antiinflamasi steroid topika (ketorolac 0,5%), kortikosteroid topical atau agen
modulator siklosporin. Pada pasien denga sheld ulcer bias diberikan sikloplegik
yang agresif (atropine 1%, homatropin 5%, atau skopolamin 0,25%) dan antibiotic
topical Dapat diberikan antihistamin sistemik.
b). Konjungtivitis Atopik
Diagnosis
Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian
palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla
halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis
vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa
pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda
kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi
konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang
diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan
bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. 1,3
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien
atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopic sejak
bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan pergelangan tangan dan
lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic
berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti
keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah
berusia 50 tahun.
Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang
terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. 1
Terapi
Atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari), astemizole (10
mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai
200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru,
seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-
pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada
kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi
kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya.
4) Konjungtivitis Neonatorum
Oftalmia Neonatorum (Konjungtivitis Neonatorum) adalah suatu infeksi mata
pada bayi baru lahir yang didapat ketika bayi melewati jalan lahir.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. Untuk
mengetahui organisme penyebabnya, dilakukan pembiakan terhadap kotoran
mata.
Terapi
Antibiotik dalam bentuk topikal (salep dan tetes mata), per-oral (melalui
mulut) maupun intravena (melalui pembuluh darah), semua bisa digunakan
tergantung kepada beratnya infeksi dan organisme penyebabnya. Kadang
antibiotik oral dan topikal digunakan secara bersamaan. Irigasi mata dengan
larutan garam normal dilakukan untuk membuang kotoran purulen yang
terkumpul.8
Pencegahan
Konjungtivitis neonatorum bisa dicegah dengan cara:
1. Mengobati penyakit menular seksual pada ibu hamil
2. Memberikan tetes mata perak nitrat atau antibiotik (misalnya eritromisin)
kepada setiap bayi yang baru lahir.
5) Konjungtivitis kimia atau iritasi
Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans
Asam, alkali, asap, angin, dan hamper setiap substansi iritan yang masuk ke
saccus conjungtiva dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa iritan umum
adalah pupuk, sabun, deodorant, spray rambut, tembakau, bahan-bahan make-
up, dan berbagai asam dan alkali. Di daerah tertentu,asbut (campuran asap dan
kabut) menjadi penyebab utama konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik
dalam asbut belum dapat ditetapkan secara positif, dan pengobatannya non-
spesifik. Tidak ada efek pada mata yang permanen, namun mata yang terkena
seringkali merah dan terasa mengganggu secara menahun.
Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein jaringan dan efek
langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung cepat menyusup
kedalam jaringan dan menetap di dalam jaringan konjungtiva. Disini mereka
terus menerus merusak selama berjam-jam atau berhari-hari lamanya,
tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan jumlah yang masuk.
Perlekatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra dan leokoma kornea lebih
besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya adalah alkali. Pada kejadian
manapun, gejala utama luka bahan kimia adalah sakit, pelebaran pembuluh
darah, fotofobia, dan blefarospasme. Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat
diungkapkan.
Pembilasan segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan air atau
larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat harus disingkirkan
secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi. Tindakan simtomatik
umum adalah kompres dingin selama 20 menit setiap jam, teteskan atropine
1% dua kali sehari, dan beri analgetika sistemik bila perlu. Konjungtivitis
bacterial dapat diobati dengan agen antibakteri yang cocok. Parut kornea
mungkin memerlukan transplantasi kornea, dan symblepharon mungkin
memerlukan bedah plastic terhadap konjungtiva. Luka bakar berat pada
kojungtiva dan kornea prognosisnya buruk meskipun dibedah. Namun jika
pengobatan memadai dimulai segera, parut yang terbentuk akan minim dan
prognosisnya lebih baik.
Diagnosis Banding Konjungtivitis
Uveitis
Episkleritis
Iritasi Akut
Ulkus korne
Glaukoma akut
RESEP:
R/ Dexamethason 0,1 % eye drops Fls No. I
S 4 dd gtt II ODS
3. Skleritis
Skleritis adalah penyakit inflamasi yang mengenai sklera, inflamasi dapat
terlokalisasi, berupa nodul atau difus, Skleritis dapat mengenai segmen anterior dan
segmen posterior mata yang bermanifestasi sebagai adanya kemerahan pada mata dan
nyeri yang berat pada malam hari.
Diagnosis
1. Anamnesis
Skleritis dapat terjadi dalam beberapa hari. Sebagian besar skleritis merasakan
nyeri yang biasanya bersifat konstan dan tumpul serta memburuk ketika malam hari
hingga terkadang terbangun dari tidur. Rasa nyeri dapat merambat ke bagian kepala
atau wajah yang lain, terutama sisi wajah yang sama. Ketajaman penglihatan biasanya
sedikit berkurang. Penurunan penglihatan yang lebih mencolok terjadi apabila timbul
peradangan kamera anterior, skleritis anterior akibat invasi mikroba langsung, dan
pada skleritis posterior. Bola mata sering terasa nyeri. Tanda klinis kunci adalah bola
mata berwarna ungu gelap akibat dilatasi pleksus vascular dalam sclera dan episklera.
Pada skleritis, pembuluh darah sclera menunjukkan pola bersilangan yang menempel
pada sklera dan tidak dapat digerakkan. Sklera juga membengkak, disertai edema
episklera dan kapsul tenon diatasnya.6,1,7
Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan
mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan
dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa
nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat
menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada
malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
2. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan
tajam penglihatan.
Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru-paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan Sklera
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan,
akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan
aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area
tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih
di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap
Pemeriksaan slit – lamp
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental.
Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis.(Gambar 3).
Gambar 3. penebalan dan edema sklera dan injeksi yang meluas pada skleritis.
Gambar 4. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
Gambar 6. Hasil USG : Terlihat lipatan koroid (Panah) dan penonjolan diskus nervus
optikus (panah)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa
pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
4. Diagnosa Banding
o Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik,
alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.
Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan
dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis
(Gambar 8). Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi
pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis
mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan
skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.1,7
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kemerahan, nyeri, fotofobia, nyeri
tekan dan rasa mengganjal. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran
benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva.
Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan,
maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah
satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva.
Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.
Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil
bila diberi fenilefrin 2,5% topical (Gambar 9).1,7
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bervariasi tergantung jenis skleritis. Skleritis nodular anterior
lebih sering respon terhadap NSAID, sedangkan skleritis nekrotikan lebih berespon
terhadap immunosupresan. Obat pilihan untuk skleritis non-nekrotikan adalah
flubiprofen 100 mg tiga kali sehari dan indometasin 25-50 mg 3 kali sehari. Jika
penggunaan satu NSAID tidak mengurangi nyeri, maka yang lain bisa dicoba. 8
Penggunaan tumor necrosis factor (TNF) seperti remicade pada penderita skleritis yang
berhubungan dengan rheumatoid arthritis memberikan hasil yang menjanjikan dalam
pengobatan penyakit ini.
Glukokortikoid sistemik digunakan pada tiga keadaan yaitu ketika penggunaan
NSAID tidak efektif, pada kasus skleritis nekrotikan anterior dan pada kasus skleritis
posterior. Dosis prednisone dimulai sebanyak 1 mg/kgBB perhari ( maksimal 60
mg/hari) dan kemudian di tapering off sesuai dengan respon klinis. Pada pasien dengan
gejala yang progresif, bisa dilakukan terapi kejut secara intravena sebanyak 1 gram
perhari selama 3 hari diikuti pemberian prednisone 60mg/hari. Namun, Metode ini
masih kontroversi, karena metode ini berisiko menyebabkan perforasi sclera.
Obat imunosupresi diberikan pada keadaan; skleritis nekrotikan yang mendapat
terapi siklofosfamid dan glukokortikoid; tipe skleritis yang lain yang tidak terkontrol
dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 1 bulan; penggunaan prednisone
lebih dari 10mg/hari sebagai dosis maintenance untuk mengontrol skleritis; dan isu
hubungan glukokortikoid dengan efek samping yang mungkin terjadi.
Penggunaan siklofosfamid (sampai 2 mg/kgBB/hari) menjadi terapi pilihan
untuk pasien dengan skleritis nekrotikan dan pada pasien dengan penyakit vaskulitis
sistemik seperti granulomatosis Wegener. Pembenaran penggunaan alkylating agent
dalam kasus tersebut adalah tingginya risiko kerusakan okuli yang progresif, lesi
vaskulitis ekstraokuli, dan kematian.
Pasien dengan skleritis non-nekrotikan yang membutuhkan agen
glukokortikoid-sparing, pengobatan baris pertama terdiri dari methotrexate (sampai 25
mg / minggu), azathioprine (sampai 200 mg / hari), atau mycophenolate mofetil (1
gram dua kali sehari). Dalam sebuah penelitian retrospektif yang diperiksa hasil klinis
dari 50 pasien yang diobati dengan agen ini, 46% mencapai ketenangan dan mampu
menurunkan penggunaan prednison ≤ 10 mg / hari. Tergantung pada beratnya penyakit,
pengobatan biasanya dilanjutkan selama satu sampai dua tahun setelah peradangan
terkontrol. Agen lini kedua untuk skleritis termasuk kalsineurin inhibitor (siklosporin
atau tacrolimus), infliximab, atau rituximab.
Beberapa kasus skleritis anterior nekrotikan atau scleromalacia perforans,
diperlukan Terapi bedah untuk mengatasi perluasan penipisan sclera dan mencegah
pecahnya bola mata. Operasi pencangkokan sklera dapat dilakukan dengan donor
sklera, periostium, atau fasia lata. Upaya simultan untuk mengontrol peradangan yang
mendasari dengan terapi medis sangat penting ketika operasi diperlukan.
Resep :
R/ Prednison tab 80 mg No. VII
S 1 dd tab I
3. Prognosis
Skleritis nekrotikans merupakan jenis skleritis yang paling merusak. Skleritis
dengan penipisan sclera yang luas atau perforasi memiliki prognosis yang kurang baik
dibandingkan jenis skleritis yang lain.9 Prognosis skleritis yang didasari penyakit
autoimun bervariasi, tergantung pada penyakit autoimun tertentu.
Skleritis di spondyloarthropathies atau lupus eritematosus sistemik, biasanya kondisi
yang relatif jinak dan self-limiting, adalah skleritis difus atau skleritis nodular tanpa
komplikasi okular.
skleritis pada penyakit granulomatosis Wegener adalah penyakit parah yang dapat
menyebabkan kebutaan permanen yang biasanya berupa skleritis nekrotikan dengan
komplikasi okular.
Skleritis pada rheumatoid arthritis atau polychondritis relaps adalah penyakit dengan
keparahan sedang, yang mungkin menyebar, nodular, atau berupa skleritis nekrotikan
dengan atau tanpa komplikasi okular.
Prognosis Skleritis tanpa berhubungan dengan penyakit sistemik seringkali
lebih baik dibandingkan skleritis disertai infeksi atau penyakit autoimun. Kasus-kasus
dari skleritis idiopatik mungkin ringan, lebih pendek dan memberikan respon terhadap
penggunaan tetes mata steroid.