Pada teori belajar behavioristik seseorang dianggap belajar jika ia telah mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, kegiatan
belajar ditekankan sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut peserta didik untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Menurut teori belajar kognitif
belajar dianggap terjadi jika terdapat perubahan persepsi dan pemahaman. Asumsi teori ini
adalah bahwa setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata
dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, keterlibatan peserta didik secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik
minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan
setruktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik.
1. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun): Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan,
dan dilakukan langkah demi langkah. Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dria (sensori)
dan gerak (motor), artinya dalam tahap ini, anak hanya mampu melakukan pengenalan
lingkungan dengan melalui alat drianya dan pergerakannya.
2. Tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun): Pada usia ini anak cenderung berfokus pada satu
aspek situasi dengan mengesampingkan aspek lainnya, proses ini disebut dengan pemusatan
(centering) (Hill, 2009).
3. Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun): Ciri pokok perkembangan pada
tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan
ditandai adanya reversible dan kekekalan.
4. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun): ciri pokok perkembangan pada tahap ini
adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir
“kemungkinan”.
Dengan memahami perkembangan kognitif anak, guru akan mudah memahami apa-apa yang
dibutuhkan oleh siswa dan perlakuan apa yang harus dilakukan dalam setiap kegiatan
pembelajaran. jika perlakuan yang diberikan sesuai dengan tahap perkembangan siswa, maka
pembelajaran yang direncanakan dapat berlangsung dengan baik.
Terdapat empat tahap perkembangan kognitif piaget, yaitu:
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu
apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Selain stimulus dan respon, terdapat faktor lain yang menjadi pengaruh dalam toeri
Thorndike yaitu penguatan yang dapat memperkuat timbulnya respon. Penguatan ini berupa penguatan
positif dan pengatan negatif.
Hukum Belajar Menurut Thorndike (Gredler & Margaret, 2009):
Penerapan Teori Belajar Thorndike yang saya simpulkan berdasarkan hal diatas dan dari
sumber yang membahas tentang Teori Belajar Thondike adalah sebagai berikut :
1. Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang
diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan
pedidikan harus dirumuskan dengan jelas.
2. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi
dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacaam-
macam situasi.
3. Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang
sederhana sampai yang kompleks.
4. Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon
yang benar terhadap stimulus.
5. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus
segera diperbaiki.
6. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat.
7. Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah
keluar dari sekolah.
8. Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan
penalarannya.
Menurut Thorndike belajar merupakan proses interaksi antar stimulus dan respon, akan tetapi stimulus
dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Asumsi dasar
mengenai tingkah laku menurut teori ini bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan aturaan yang
diramalkan dan dikendalilkan.
Toeri yang dikembangkan oleh Watson ialah Conditioning. Toeri ini merupakan perkembangan lebih
lanjut dari koneksionisme. Teori conditioning berkesimpulan bahwa perilaku inidividu dapat dikondisikan.
Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan (perangsang) yang berupa pembentukan suatu perilaku
atau respons terhadap sesuatu. Watson juga percaya bahwa kepribadian seseorang manusia yang terbentuk
melalui berbagai macam condotioning dan berbagai macam refleks. Hill (2009) menyatakan tentang
penjelasan Watson lainnya mengenai pembelajaran ini bersandar pada dua prinsip: frekuensi
(frequency) dan resensi (recency). Prinsip frekuensi menyatakan bahwa semakin sering kita melakukan suatu
respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita menjadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi.
Begitu pula prinsip resensi menyatakan bahwa semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap
stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi.
Skinner di lahirkan di Susquehanna, Pennylvania. Hal menarik dari teori yang dihasilkan oleh
Skinner adalah pandangannya terkait Hukuman atau punishment. Hukuman terjadi ketika suatu
respon menghilangkan sesuatu yang positif dari situasi atau menambahkan sesuatu yang negatif.
Atau bahasa mudahnya adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan atau memberi
Skinner memiliki kesamaan pandangnan dengan Thorndike mengenai efektivitas hukuman, bahwa
hukuman tidak menurunkan probabilitas respon. Walaupun hukuman bisa menekan sesuatu respon
selama hukuman itu diterapkan, namun hukuman tidak akan melemahkan kebiasaan. Kesimpulan
ini dihasilkan dari serangkaian percobaannya terhadap dua kelompok tikus yang dilatih untuk
Argumen Skinner yang menentang penggunaan hukuman adalah bahwa hukuman dalam jangka
panjang tidak akan efektif. Tampak bahwa hukuman hanya akan menekan menekan perilaku dan
ketika ancaman hukuman dihilangkan maka tingkat perilaku akan kembali ke level semua. Jadi
hukuman sering kelihatannya sangat berhasil padahal sebenarnya hanya menghasilkan efek yang
sementara.
Argumen lain Skinner yang menentang suatu Hukuman adalah sebagai berikut :
1. Hukuman menyebabkan efek samping emosional yang buruk. Organisme yang dihukum
menjadi takut dan ketakutan ini digeneralisasikan ke sejumlah stimuli yang terkait
2. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan bukan apa yang seharusnya
3. Hukuman menjustifikasi tindakan menyakiti pihak lain.Hal ini tentu saja berlaku untuk
penggunaan hukuman dalam pengasuhan anak. Ketika dipukul, satu-satunya hal yang
mereka pelajari adalah bahwa dalam situasi tertentu diperbolehkan untuk menyakiti
orang lain.
4. Berada dalam situasi dimana perilaku yang dahulu dihukum kini dapat dilakukan lagi
5. hukuman akan menimbulkan agresi terhadap pelaku penghukum dan pihak lain.
6. Hukuman sering mengganti respon yang tidak diinginkan dengan respon yang tidak
diinginkan lainnya.