Anda di halaman 1dari 6

Anda pasti sudah sering mendengar mengenai istilah teori belajar.

 Teori belajar sendiri


didefinisikan sebagai metode yang menggambarkan bagaimana seseorang melakukan
proses belajar. Pada bahan belajar ini, akan dibahas 4 jenis teori belajar, meliputi: teori
belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivistik, dan teori belajar
humanistik.

Pada teori belajar behavioristik seseorang dianggap belajar jika ia telah mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, kegiatan
belajar ditekankan sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut peserta didik untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Menurut teori belajar kognitif
belajar dianggap terjadi jika terdapat perubahan persepsi dan pemahaman. Asumsi teori ini
adalah bahwa setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata
dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, keterlibatan peserta didik secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik
minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan
setruktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. 

Menurut pandangan konstruktivistik pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan


kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri peserta didik.
Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya secara
luas. Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Dan menurut teori
humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap
berhasil jika siswa telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Aplikasi teori humanistik
dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini
juga amat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam
belajar. 

Terdapat empat tahap perkembangan kognitif piaget, yaitu:

1. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun): Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan,
dan dilakukan langkah demi langkah. Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dria (sensori)
dan gerak (motor), artinya dalam tahap ini, anak hanya mampu melakukan pengenalan
lingkungan dengan melalui alat drianya dan pergerakannya.
2. Tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun): Pada usia ini anak cenderung berfokus pada satu
aspek situasi dengan mengesampingkan aspek lainnya, proses ini disebut dengan pemusatan
(centering) (Hill, 2009).
3. Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun): Ciri pokok perkembangan pada
tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan
ditandai adanya reversible dan kekekalan.
4. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun): ciri pokok perkembangan pada tahap ini
adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir
“kemungkinan”.

Dengan memahami perkembangan kognitif anak, guru akan mudah memahami apa-apa yang
dibutuhkan oleh siswa dan perlakuan apa yang harus dilakukan dalam setiap kegiatan
pembelajaran. jika perlakuan yang diberikan sesuai dengan tahap perkembangan siswa, maka
pembelajaran yang direncanakan dapat berlangsung dengan baik.
Terdapat empat tahap perkembangan kognitif piaget, yaitu:

1. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)


   Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi lahir hingga umur 2 tahun.
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana.
Pada tahap ini, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap
lingkungannya, seperti meraba, menjamah, mendengar, membau, dan lain lain. Ciri pokok
perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah. Aktivitas kognitif
terpusat pada aspek alat dria (sensori) dan gerak (motor), artinya dalam tahap ini, anak hanya
mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat drianya dan pergerakannya.
Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas sensorimotor
terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai bentuk interaksi dengan lingkungan.

2. Tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun)


   Saudara mahasiswa, tahap praoperasional merupakan tahap ke dua dalam perkembangan
kognitif menurut Piaget. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan
symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Ciri-ciri lain anak
praoperasional adalah 1) berfikirnya bersifat irrevesibel, 2) bersifat egosentris dalam bahasa
komunikasi, artinya dalam bermain bersama anak-anak cenderuung saling bicara tanpa
mengharapkan saling mendengar atau saling menjawab, dan 3) lebih memfokuskan diri pada
aspek statis tentang suatu peristiwa daripada transformasi dari satu keadaan kepada keadaan
lain (Hergenhahn & Olson, 2001). Pada usia ini anak cenderung berfokus pada satu aspek situasi
dengan mengesampingkan aspek lainnya, proses ini disebut dengan pemusatan (centering) (Hill,
2009). Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu pralogis dan intuitif. 
    Pralogis (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam
mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan
dalam memahami obyek. Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat
memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik
kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah
dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki
pengalaman yang luas. 

3. Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)


   Saudara mahasiswa, tahap ini merupakan tingkat permulaan anak berpikir rasional. Pada usia
ini anak sudah masuk persekolahan di tingkat Sekolah Dasar. Maksudnya, anak memiliki
operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bilamana mereka
menghadapi seuatu pertentangan antar pikiran dan persepsi, maka anak akan lebih memilih
pengambilan keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak praoprasional
(Nurjan, 2016).
   Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan
yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki
kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit. Selama
tahap ini bahasa juga berubah. Anak-anak menjadi kurang egosentris dan lebih sosiosentris
dalam berkomunikasi (Dahar, 2006). Mereka berusaha untuk mengerti orang lain dan
mengemukakan perasaan dan gagasan-gagasan mereka pada orang dewasa dan teman-teman.
Proses berpikir pun menjadi kurang egosentris dan mereka sekarang dapat menerima orang lain.

4. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)


   Saudara mahasiswa, ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu
berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Anak-anak sudah
mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu
disebut operasional formal (Ibda, 2015). Beberapa karakteristik berpikir operasional formal
(Nurjan, 2016) yaitu: 1) berpikir adolesensi ialah berpikir hipotetis-dedukatif. Ia dapat
merumuskan banyak alternatif hipotesis dalam menanggapi masalah, dan mengecek data
terhadap setiap hipotesis untuk mendapat keputusan layak. Tetapi ia belum mempunyai
kemampuan untuk menerima atau menolak hipotesis. 2) tahap ini ditandai dengan berpikir
proposisional, yaitu kemampuan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan konkret dan pertanyaan
yang berlawanan dengan fakta. 3) berpikir kombinatorial, yaitu berpikir meliputi semua
kombinasi benda-benda, gagasan atau proposis-proposisi yang mungkin. 4) berpikir refleksif,
artinya anak mampu berfikir kembali pada satu seri operasioal mental.
   Semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda, jadi mungkin
saja seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat operasional konkrit, sedangkan ada
seorang anak yang berumur 8 tahun pada tingkat pra-operasional dalam cara berfikir. Namun
urutan perkembangan intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk tingkat sebelumnya
terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat berikutnya (Wilis, 2011).

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu
apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Selain stimulus dan respon, terdapat faktor lain yang menjadi pengaruh dalam toeri
Thorndike yaitu penguatan yang dapat memperkuat timbulnya respon. Penguatan ini berupa penguatan
positif dan pengatan negatif.
Hukum Belajar Menurut Thorndike (Gredler & Margaret, 2009):

1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness): Jika seseorang siap melakukan sesuatu, ketika ia


melakukannya maka ia puas. Sebaliknya, bila ia tidak jadi melakukannya, maka ia tidak
puas. Contohnya, peserta didik yang siap untuk ujian, ketika dilakukan ujian, maka ia akan
puas, tetapi apabila ujiannya ditunda, maka ia tidak puas.  
2. Hukum Latihan (Law of Excercise): Jika respon terhadap stimulus diulang-ulang, maka akan
memperkuat hubungan antara respons dengan stimulus. Sebaliknya jika respons tidak
digunakan, hubunga dengan stimulus akan semakin lemah. Contohya, peserta didik yang
belajar bahasa inggris, semakin sering digunakan bahasa inggrisnya maka akan semakin
terampil dalam berbahasa inggris. Tetapi jika tidak digunakan maka ia tidak akan terampil
dalam berbahasa inggris. 
3. Hukum Akibat (Law of Effect): Bila hubungan antara respon dan stimulus menimbulkan
kepuasan maka tingkatan penguatannya semakin besar. Sebaliknya bila hubungan respons
dan stimulus menimbulkan ketidakpuasan maka tingkat penguatan semakin lemah. Dengan
kata lain, apabila stimulus diberikan diikuti oleh respon dan juga diikuti oleh pemuas maka
koneksi stimulus-respon akan menguat. Namun, jika diikuti oleh pengganggu maka koneksi
tersebut akan melemah. Contohnya, peserta didik yang mendapatkan nilai tinggi akan
menyukai pelajaran tersebut, sebaliknya peserta didik yang mendapat nilai rendah akan
membenci mata pelajaran tersebut.

Penerapan Teori Belajar Thorndike yang saya simpulkan berdasarkan hal diatas dan dari
sumber yang membahas tentang Teori Belajar Thondike adalah sebagai berikut :
1. Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang
diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan
pedidikan harus dirumuskan dengan jelas.
2. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi
dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacaam-
macam situasi.
3. Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang
sederhana sampai yang kompleks.
4. Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon
yang benar terhadap stimulus.
5. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus
segera diperbaiki.
6. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat.
7. Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah
keluar dari sekolah.
8. Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan
penalarannya.

Menurut Thorndike belajar merupakan proses interaksi antar stimulus dan respon, akan tetapi stimulus
dan respon harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Asumsi dasar
mengenai tingkah laku menurut teori ini bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan aturaan yang
diramalkan dan dikendalilkan.
Toeri yang dikembangkan oleh Watson ialah Conditioning.  Toeri ini merupakan perkembangan lebih
lanjut dari koneksionisme. Teori conditioning berkesimpulan bahwa perilaku inidividu dapat dikondisikan.
Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan (perangsang) yang berupa pembentukan suatu perilaku
atau respons terhadap sesuatu. Watson juga percaya bahwa kepribadian seseorang manusia yang terbentuk
melalui berbagai macam condotioning  dan berbagai macam refleks. Hill (2009) menyatakan tentang
penjelasan Watson lainnya mengenai pembelajaran ini bersandar pada dua prinsip: frekuensi
(frequency)  dan resensi (recency).  Prinsip frekuensi menyatakan bahwa semakin sering kita melakukan suatu
respon terhadap stimulus tertentu, semakin cenderung kita menjadikan respon tersebut sebagai stimulus lagi.
Begitu pula prinsip resensi menyatakan bahwa semakin baru atau terkini kita melakukan respon terhadap
stimulus tertentu, semakin cenderung kita melakukannya lagi.

Skinner di lahirkan di Susquehanna, Pennylvania. Hal menarik dari teori yang dihasilkan oleh

Skinner adalah pandangannya terkait Hukuman atau  punishment. Hukuman terjadi ketika suatu

respon menghilangkan sesuatu yang positif dari situasi atau menambahkan sesuatu yang negatif.

Atau bahasa mudahnya adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan atau memberi

sesuatu yang tidak diinginkan.

Skinner memiliki kesamaan pandangnan dengan Thorndike mengenai efektivitas hukuman, bahwa

hukuman tidak menurunkan probabilitas respon. Walaupun hukuman bisa menekan sesuatu respon

selama hukuman itu diterapkan, namun hukuman tidak akan melemahkan kebiasaan. Kesimpulan
ini dihasilkan dari serangkaian percobaannya terhadap dua kelompok tikus yang dilatih untuk

menekan tuas dalam kotak skinner.

Argumen Skinner yang menentang penggunaan hukuman  adalah bahwa hukuman dalam jangka

panjang tidak akan efektif. Tampak bahwa hukuman hanya akan menekan menekan perilaku dan

ketika ancaman hukuman dihilangkan maka tingkat perilaku akan kembali ke level semua. Jadi

hukuman sering kelihatannya sangat berhasil padahal sebenarnya hanya menghasilkan efek yang

sementara.

Argumen lain Skinner yang menentang suatu Hukuman adalah sebagai berikut :

1. Hukuman menyebabkan efek samping emosional yang buruk. Organisme yang dihukum

menjadi takut dan ketakutan ini digeneralisasikan ke sejumlah stimuli yang terkait

dengan stimuli yang ada saat hukuman diterapkan.

2. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan bukan apa yang seharusnya

dilakukan. Dibandingkan dengan penguatan, hukuman tidak memberikan informasi

apapun kepada organisme yang dihukum.

3. Hukuman menjustifikasi tindakan menyakiti pihak lain.Hal ini tentu saja berlaku untuk

penggunaan hukuman dalam pengasuhan anak. Ketika dipukul, satu-satunya hal yang

mereka pelajari adalah bahwa dalam situasi tertentu diperbolehkan untuk menyakiti

orang lain.

4. Berada dalam situasi dimana perilaku yang dahulu dihukum kini dapat dilakukan lagi

tanpa mendapatkan hukuman lagi mungkin akan menyebabkan anak merasa

diperbolehkan melakukannya lagi.

5. hukuman akan menimbulkan agresi terhadap pelaku penghukum dan pihak lain. 

Hukuman menyebabkan organisme yang dihukum menjadi sgresif.

6. Hukuman sering mengganti respon yang tidak diinginkan dengan respon yang tidak

diinginkan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai