ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN GULLAINE BARRE SYNDROM(GBS)
DI RUANG ICU LT 2 GBPT RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
Disusun Oleh:
Dhian Tiara Sari
NIM. P27820820013
NIM : P27820820013
1. Definisi
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh
autoimun,di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis
dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang
bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga
penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya
tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3
minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua
berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4
– 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan
komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa
dapat menetap (Japardi, 2002).
Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis (Parry dalam Japardi, 2002).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang
penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari
gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial
(Smeltzer, 2002).
Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS)
adalah suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama
lain yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati
inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara
primer dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk
gerakan motorik juga (Sylvia A. Price, 2006).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat
diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses
infeksi diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya
adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari
bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan
berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah
sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all,
dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007).
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar
antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS
masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi
terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada
perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian
di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan
usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak
terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun
tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang
sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang
dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan
antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi
pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau
(Japardi, 2002)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer dan nervus kranialis.
2. Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome
(GBS) adalah sebagai berikut :
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi
dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil
studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik.
Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi
limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama
lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus
GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia.
Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang
meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna
terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan
gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik
lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
3. Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune
response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan
gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang
terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer.
Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat
gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) Infeksi virus
atau bakteri
a. Vaksinasi
b. Pembedahan, anestesi
c. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
d. Kehamilan atau dalam masa nifas
e. Gangguan endokrin
4. Manifestasi Klinis
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang
mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten
ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini
belum ada gejala klinis yang timbul.
b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-
kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai
dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen
ke badan,
6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot
yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang.
5. Patofisiologi
Etiologi
Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epinural
Makrofag mensekresi protease
Penimbunan komplek antigen, antibodi pada pembuluh darah saraf tepi
Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf
Syaraf kranial :
N III, IV, VI N VII, IX, XI Parastesia (kesemutan) dan Paralise lengkap, otot perna- Kurang beraksinya sistem
kelemahan otot kaki, yang nafasan terkena mengakibat- syaraf simpatis dan parasimpatis
Diplopia Gg. Refleks gag/ dapat berkembang ke kan insufisiensi pernafasan perubahan sensori
Menelan ekstremitas atas, batang
Gg. Penglihatan tubuh, dan otot wajah Penurunan kemampuan batuk Hipotensi Kerusakan
Intake nutrisi kurang peningkatan sekresi mukus /hipertensi rangsang
Risiko jatuh / Kelemahan fisik umum, berkemih
cidera Gg. Nutrisi Kurang paralisis otot wajah Ketidakefektifan Takikardi/
respiratorik
resiko tinggi infeksi saluran Pneumonia
Gagal nafasnapas bawah dan parenkim paru
Kematian Koma
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot
yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau
bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal
seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar
protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian
jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.
Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2
dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah
sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor
retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga
berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial
denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak
sembuh sempurna.
d. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1
– 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain
(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil
apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).
e. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini
dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.
Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
7. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan
secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan.
Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan
gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap
ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu
dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan
diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan
timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan
irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya
diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol.
Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara
pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu
pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga
sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus
diganti dengan suatu substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga
parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi
tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring
dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous
menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon
dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang
tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam
setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat
ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara
subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned
LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens
terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan
salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat
dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient
compression hose/ anti embolic stockings/ anti- thromboembolic
disease (TED) hose).
3) Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian
immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti
halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan
perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya
mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai
untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan
Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama
5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi
IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi
IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
b) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin
(6-MP).
8. Komplikasi
a. Paralysis yang persisten
b. Kegagalan pernafasan
c. Hipotensi atau hipertensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia kardial
g. Aspirasi
h. Retensi urinae
i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
I. Konsep Dasar Ventilator
I. Pengertian
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
(GBS)
1) Pengkajian
a. Identitas
Umur : Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
b. Keluhan Utama
Pasien dengan GBS datang dengan mengeluhkan parastesia (kesemutan dan kebas)
pada otot kaki, sesak napas. (Sylvia A. Price, 2006).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Gejala yang sering dirasakan pasien yaitu kesemutan dan kebas (parestesia),
kelemahan pada otot kaki yang berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot
wajah. (Japardi, 2002)
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengalami infeksi pada saluran pernapasan, gastroinstentinal yang lama, bedah
saraf, penggunaan obat-obat seperti kortisteroid dan berbagai jenis antibiotic.
e. Riwayat Psikososial dan Spiritual
Umumnya pasien cepat marah, merasa takut, cemas akan kemungkinan paralisis yang
permanen, sehingga pasien menjadi pendiam dan malas berkomunikasi dengan orang
disekitarnya. Terkadang pasien merasa Tuhan tidak adil dengannya akibat penyakit
yang diderita, hubungan spiritualnya kurang baik. (Japardi, 2002)
f. Riwayat kesehatan meliputi riwayat penyakit sekarang, dahulu dan keluarga yang
diderita pasien seperti DM, hipertensi, atau penyakit yang di derita sekarang.
Pengkajian fisik
1) Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, kesemutan kebas, disfagia, kesadaranpasien dari compos
mentis sampai coma.
2) Tanda-tanda vital.
Tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), respirasi riet naik, dan terjadi dispnea,
nadimeningkat dan reguler.
3) Pemeriksaan B6
Menurut (Wahyu Rima A , 2011).
a. B1 Pernafasan (Breath)
Pasien tidak dapat batuk efektif, pengeluaran sputum, ronkhi, dispneu, adanya
penggunaan otot-otot bantu pernapasan, apneu.
c. B3 Persyarafan (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan
ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara
turun), fluktuasi suhu badan.
d. B4 Perkemihan/ Eliminasi Urin (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
e. B5 Percernaan/ Eliminasi Alvi (Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun,
konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
f. B6 Tulang-Otot-Integumen (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.
B. Diagnosis Keperawatan
Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre. Fakultas
Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.
Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara.
Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre Syndrome. Jakarta :
Ikatan Fisioterapi Indonesia.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Ed. 8. Jakarta: EGC.
Wahyu Rima A , 2011 Asuhan Keperawatan Pada Klien Guillain Barre Syndrome Dengan
Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik DI RSUD dr. Slamet Garut
diakses pada 15-07-2021 jam 11.3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GBS
Pengkajian Keperawatan
Tanggal masuk Rumah Sakit : 14Februari 2020pukul 22.00 WIB (IGD)
15 Februari 2020 pukul 24.00 WIB (HCU A)
16 Februari 2020(ICU GBPT)
Tanggal pengkajian : 27 Februari 2020 pukul 09.00 WIB
I. Identitas penderita
Nama : Ny. M
Nomor Register : 12.80.xx.xx
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Katholik
Pekerjaan : Perawat
Pendidikan : SMA
Alamat : Kupang-NTT
Diagnosa : GBS Type miller fisher +ESBL
Keluhan utama : Tidak dapat dikaji karen klien terpasang ventilator
Upaya yang telah dilakukan :Pasien dibawa ke RSU Prof yohannes kupang
kemudian di rujuk ke RSUD Dr. Soetomo untuk
diberikan tindakan lebih lanjut.
Terapi/ operasi yang pernah dilakukan: November tahun 2019 (operasi SC)
II. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Awal pertama kali (2 minggu sebelumnya) pasien merasa matanya sulit
digerakkan (kelopak mata kanan menutup sejak 7 hari SMRS) pandangan ganda
sejak 6 hari dan diare selama 1 hari SMRS serta tangan dan kaki kesemutan lalu
muncul batuk, pilek, dan sakit tenggorokan/sulit menelan selama 5 hari SMRS
(makanan bisa masuk sedikit dan setiap minum (benda cair) selalu keluar dari
hidung) serta sesak.
Tanggal 13Februari 2020Pasien di bawa ke RSU Prof yohannes Kupang
Tanggal 14Februari 2020pukul 22.00 WIB di rujuk ke IGD RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, pasien datang dengan penurunan kesadaran, dengan
diagnosa tumor otak dan suspek multicranial nerve palsy
Tanggal 15 Februari 2020 pukul 24.00 WIB pasien di pindah ke ruangan
HCU A
Tanggal 16 Februari 2020 pukul 21.00 WIB pindah ICU GBPT dengan
diagnosa GBS tipe miller fisher + gagal nafas. TD: 141/97 mmHg, N: 86
x/menit, RR: 34 x/menit, SpO2: 85-90 % (NRM 10 Lpm), T: 36,5 OC, GCS:
325, terpasang infuse dan dower kateter.
Tanggal 28Februari 2020 pukul 09.00 WIB , GCS: 4X6, Terpasang ETT dan
napas dibantu dengan ventilator, sudah dilakukan suction pada jam 08.00 dan
11.00 WIB (setiap 3 jam sekali atau sesuai kebutuhan pasien), pasien tidak
kejang, konjungtiva anemis, anemia ( HB 8,8 g/dl), TD:110/64 mmHg, N:96
x/menit, T: 36,4 OC, RR: 24 x/menit, SpO2: 98 % dan rencana postaneus
dilatation tracheostomy (PDT).
2. Riwayat penyakit sebelumnya
Keluarga pasien mengatakan tidak pernah sakit sampai rawat inap seperti sekarang.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat
penyakit jantung, hipertensi, DM atau riwayat penyakit keturunan lainnya dan tidak
memiliki penyakit yang sama dengan klien.
4. Keadaan kesehatan lingkungan
Keluarga klien mengatakan di lingkungan klien tidak ada yang memiliki penyakit
GBS yang sama dengan klien.Klien mengatakan tinggal didaerah lingkungan yang
cukup bersih.
5. Genogram
35
tahu
Keterangan :
X : Meninggal : Garis pernikahan
: Klien : Garis keturunan
: Laki-laki ----- : Tinggal serumah
: Perempuan
Terpasang trakeostomy
Produksi secret meningkat
Risiko Aspirasi
DIAGNOSA KEPERAWATAN
4 4
• Frekuensi nafas
membaik ( 16-20x/
menit )
• Mampu melakukan
batuk efektif
• Sianosis menurun
( akral hangat kering
kemerahan, CRT <2
detik)
SLKI L.01001 Hal 18
2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi I.05173
1. Membantu menentukan derajat kerusakan
mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam dan kesulitan terhadap keadaan yang
berhubungan dialami.
diharapkan klien 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
dengan mampu lainnya.
penurunan mempertahankan 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan 2. Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan
mobilitas fisik tanpa pergerakan. dapat memberikan informasi mengenai
kekuatan otot pemulihan
ada komplikasi dengan 3. Monitor frekuensi dan tekanan darah
ditandai dengan kriteria hasil sebelum memulai mobilisasi
Kekuatan otot (SMART): 4. Monitor kondisi umum selama melakukan 3. Mengidentifikasikan adanya perubahan
Pergerakan mobilisasi. tekanan darah dan frekuensi jantung
klien menurun
sebelum dan sesudah dilakukan ambulasi.
ekstremitas
4 4
meningkat (dapat Terapeutik
4 4 4. Mengetahui kecenderungan tingkat
merubah posisi 5. Fasiltasi melakukan pergerakan jika perlu kesadaran dan potensial peningkatan
D.0054 Hal 124 ekstremitas dari tekanan darah
Edukasi
membolak balik kan
5. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan
posisi hingga 6. Jelaskan tujuan dan produser mobilisasi sirkulasi, mencegah terjadinya kontraktur.
mengangkat)
6. Memberikan pemahaman mengenai manfaat
Kekuatan otot
tindakan yang didahulukan.
meningkat
(ekstremitas atas
dari 4 bisa menjadi 3
ataupun 2 hingga
kemandirian dengan
nilai 0)
Rentang gerak
(ROM) Meningkat
( peningkatan ROM
aktif hingga ke
ROM pasif)
Tidak ada laporan
kontraktur,dekubitus
8) Melakukan hiperoksigenasi
DX1 08.19 WIB sebelum penghisapan
R/ : SpO2 : 100 % dan klien
kooperatif
EVALUASI KEPERAWATAN
Tanggal dan Tanda
Diagnosis
jam Catatan Perkembangan Tangan/
Keperawatan
Paraf
Kamis, Bersihan jalan S:-
22/07/21 napas tidak efektif
b.d benda asing O:
Pukul dalam jalan napas Klien terpasang
tracheostomy
14.00 WIB
Produksi sputum kental
berwarna kuning
kehijauan bau amis
Klien tidak sianosis crt <3
menit
Masih terdapat suara
nafas tambahan ronkhi di
seluruh lapang paru
Frekusensi napas klien
cukup membaik RR: 23
x/menit
Mode: CPAP,
FiO2/O2: 30%, SpO2:
99%
A : masalah bersihan jalan
napas tidak efektif teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
Kamis, Gangguan S:-
22/07/21
mobilitas fisik b.d O :
Pukul penurunan Pergerakan ekstremitas
14.00 WIB kekuatan otot d.d sedang dapat membolak
balikan telapak tangan
Kekuatan otot Kekuatan otot klien
klien menurun 4 4
4 4 4 4
4 4 Rentang gerak ROM
aktif
Tidak terdapat
kontraktur atau
dekubitus
A : masalah gangguan
mobilitas fisik belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
Kamis, Risiko Aspirasi S:-
22/07/21 b.d penurunan
refleks batuk dan O:
Pukul muntah. Tingkat kesadaran
meningkat, GCS: 4X6
14.00 WIB
Klien terpasng
tracheostomy
Akumulasi sekret cukup
menurun mulut bersih
Frekuensi napas klien
cukup membaik RR:
23x/menit.
Kemamuan menelan
meningkat
A : masalah resiko aspirasi
belum terjadi
P : intervensi dipertahankan
Jum’at,23/07/2 Bersihan jalan S:-
napas tidak efektif
1 O:
b.d benda asing
dalam jalan napas Klien terpasang
Pukul 14.00 tracheostomy
WIB Produksi sputum kental
berwarna kuning
kehijauan
Klien tidak sianosis crt <3
menit
Masih terdapat suara nafas
tambahan ronkhi di lobus
superior dextra dan
inferior dextra
Frekusensi napas klien
cukup membaik RR: 25
x/menit
Hasil: Mode: CPAP,
FiO2/O2: 30%, SpO2:
100%
4 4
A : masalah Gangguan
mobilitas fisik teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
Jum’at,23/07/2 Risiko Aspirasi S:-
b.d penurunan
1 O:
refleks batuk dan
muntah. Tingkat kesadaran
Pukul 14.00 meningkat, GCS: 4X6
WIB Klien terpasng
tracheostomy
Akumulasi sekret cukup
menurun mulut bersih
Frekuensi napas klien
cukup membaik RR:
25x/menit.
Kemamuan menelan
meningkat
A : masalah Risiko Aspirasi
belum terjadi
P : intervensi dipertahankan
Sabtu, 24/07/21 Bersihan jalan S : -
napas tidak efektif
Pukul b.d benda asing O :
14.00 WIB dalam jalan napas Klien terpasang
tracheostomy
Produksi sputum kental
berwarna kuning
kehijauan berbau amis
Masih terdapat suara nafas
tambahan ronkhi di lobus
superior dextra dan
inferior dextra
Klien tidak sianosis crt <3
menit
Frekusensi napas klien
cukup membaik RR: 20
x/menit SPO2100%
A : masalah Bersihan jalan
napas tidak efektif teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
4 4
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Pengkajian
Pada tahap pembahasan pengkajian ini penulis membandingkan antara teori
pengkajian menurut Doengoes (2002) dengan data hasil pengkajian pada Ny.M
dengan Guillain Barre Syndrome (GBS). Untuk memperoleh data tersebut, penulis
melakukan pengkajian kepada klien, keluarga, melakukan pemeriksaan fisik observasi
serta dari mempelajari status klien.Didapatkan klien dengan diagnose Guillain Barre
Syndrome (GBS) dengan identitas Ny.M usia 35 tahun MRS pada tanggal 14 Februari
2020 pukul 22.00 WIB (IGD). Klien masuk melalui IGD RSUD Dr.Soetomo pada
tanggal 14 Februari 2020 pukul 22.00 WIB, dengan penurunan kesadaran, dengan
diagnosa tumor otak dan suspek multicranial nerve palsy.Tanggal 15 Februari 2020
pukul 24.00 WIB pasien di pindah ke ruangan HCU A.Tanggal 16 Februari 2020pukul
21.00 WIB pindah ICU GBPT dengan diagnosa GBS tipe miller fisher + gagal nafas.
TD: 141/97 mmHg, N: 86 x/menit, RR: 34 x/menit, SpO2: 85-90 % (NRM 10 Lpm), T:
36,5OC, GCS: 325, terpasang infuse dan dower kateter.
Tanggal 28 Februari 2020 pukul 09.00 WIB , GCS: 4X6, Terpasang ETT dan
napas dibantu dengan ventilator, sudah dilakukan suction pada jam 08.00 dan 11.00
WIB (setiap 3 jam sekali atau sesuai kebutuhan pasien), pasien tidak kejang,
konjungtiva anemis, anemia ( HB 8,8 g/dl), TD:110/64 mmHg, N:96 x/menit, T: 36,4
O
C, RR: 24 x/menit, SpO2: 98 %.
B. Diagnosa Keperawatan
Dalam penyusunan diagnosa keperawatan penulis mengacu pada rumusan
diagnosa SDKI 2017. penulis menemukan 4 diagnosa keperawatan yang muncul pada
klien Ny.M dengan diagnosa utama yaitu:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan
napas ditandai dengan sputum berlebih
Menurut SDKI 2017, bersihan jalan napas tidak efektif adalah
ketidakmampuan secret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan
napas tetap paten. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian tanda dan
gejala pada Ny.M yaitu klien tidak mampu batuk dan terdapat sputum berlebh
dikarenakan adanya benda asing dalam jalan napas
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
Menurut SDKI 2017,gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Diagnosa ini muncul
karena pada saat pengkajian tanda dan gejala pada Ny.M yaitu klien mengalami
penurunan kekuatan otot dan sendi kaku
3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah
Menurut SDKI 2017,resiko aspirasi beresiko mengalami masuknya sekresi ke
gastrointestinal,sekresi orofaring,benda cair atau padat ke dalam saluran
trakeobronkhial akibat disfungsi mekanisme protektif saluran napas. Diagnosa ini
muncul karena pada saat pengkajian tanda dan gejala pada Ny.M yaitu klien
mengalami penurunan refleks batuk atau muntah
C. Intervensi Keperawatan
Dalam kegiatan tahap perencanaan ini adalah penentuan prioritas masalah.
Penetuan prioritas dilakukan karena tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu
yang bersamaan. Perencanaan pada masing-masing diagnosa untuk tujuan disesuaikan
dengan teori yang ada, dan lebih banyak melihat dari kondisi klien, keadaan
tempat/ruangan dan sumberdaya dari tim kesehatan. Pada penentuan kriteria waktu,
penulis juga menetapkan berdasarkan kondisi klien, ruangan sehingga penulis berharap
tujuan yang sudah disusun dan telah ditetapkan dapat tercapai. Adapaun pembahasan
perencanaan kepada klien Ny.M dengan GBS, sesuai prioritas diagnosa keperawatan
sebagai berikut :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan napas
ditandai dengan sputum berlebih
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan
napas meningkat, dengan kriteria hasil batuk efektif meningkat, produksi sputum
menurun, ronchi menurun, dispnea menurun, frekuensi napas membaik. (SLKI
2019,L.01001)
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas fsik
meningkat, dengan kriteria hasil pergerakan ekstremitas meningkat,kekuatan otot
meningkat,kaku sendi menurun,kelemahan fisik menurun. (SLKI 2019,L.05042)
3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat aspirasi
menurun, dengan kriteria hasil tingkat kesadaran meningkat,kemampuan menelan
meningkat,kebersihan mulut meningkat,kelemahan otot menurun. (SLKI 2019,L.01006)
D. Implementasi Keperawatan
Pada tahap pelaksanaan ini, pada dasarnya disesuaikan dengan susunan
perencanaan, dengan maksud agar semua kebutuhan klien dapat terpenuhi secara
optimal. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan ini, penulis melibatkan klien,
keluarga, dan tim kesehatan lain sehingga dapat bekerja sama dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien. Dalam pelaksanaan penulis juga melakukan tindakan
secara mandiri, melakukan kolaborasi dengan dokter, dan tim kesehatan lainya. Dalam
hal hubungan baik antara klien, keluarga, dan tim kesehatan lain mempermudah untuk
penyembuhan klien. Adapun pembahasan pelaksanaan dari diagnosa utama yang telah
tersusun adalah sebagai berikut :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
ditandai dengan akumulasi sekret berlebih
Implementasi yang diberikan kepada klien sesuai dengan SIKI 2019 pada
Intervensi keperawatan yaitu monitor pola napas, monitor bunyi napas tambahan
terdengar suara ronchi, monitor sputum berwarna putih kental dan banyak,
pertahankan kepatenan jalan napas, posisikan semi fowler atau fowler, melakukan
fisioterapi dada, melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik, melakukan
hiperoksigenasi sebelum penghisapan. Melakukan penghisapan lendir kurang dari
15 detik merupakan hal yang tepat dilakukan pada klien yang mengalami jalan
napas tidak efektif.
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
E. Evaluasi Keperawatan
Pada evaluasi penulis mengukur tindakan yang telah dilaksanakan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Evaluasi disesuaikan dengan kriteria penilaian yang telah
ditetapkan dan waktu yang telah ditentukan pada tujuan keperawatan. Evaluasi adalah
tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
keberhasilan dari diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya. Adapun
evaluasi hasil dari diagnosa keperawatan utama adalah sebagai berikut :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d benda asing dalam jalan napas d.d sputum
berlebih
Evaluasi terakhir di lakukan pada tanggal 29 Februari 2020 pukul 14.00, dengan klien
masih terpasang tracheostomy dan alat bantu napas dibantu dengan ventilator,
produksi sputum cukup membaik,klien tidak sianosis,klien tidak gelisah,frekusensi
napas klien cukup membaik rr: 20 x/menit spo2100%,pola napas klien cukup
membaik. RR 26x/menit, masih terdengar suara ronchi pada lapang paru
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
Evaluasi terakhir di lakukan pada tanggal 29 Februari 2020 pukul 14.00, dengan klien
pergerakan ekstremitas sedang,skala nyeri pada klien 0,kaku sendi pada klien
sedang,kelemahan fisik klien cukup meningkat,klien mampu mengangkat tangan
dan kaki walaupun belum maksimal,klien tampak melakukan latihan menggerakkan
sendi.
3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah
Evaluasi terakhir di lakukan pada tanggal 29 Februari 2020 pukul 14.00, dengan
tingkat klien kesadaran meningkat, gcs: 4x6,klien terpasng tracheostomy,kelemahan
otot klien cukup membaik,akumulasi sekret cukup menurun,frekuensi napas klien
cukup membaik rr: 20x/menit.
F. Dokumentasi
Penulis melaksanakan asuhan keperawatan dengan meggunakan pendekatan proses
keperawatan pada klien Ny.M dalam studi kasus ini penulis telah mendokumentasikan
secara lengkap mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, pelaksanaan, dan evaluasi.