Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN GULLAINE BARRE SYNDROM(GBS)
DI RUANG ICU LT 2 GBPT RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Tugas Praktik Klinik Keperawatan Kritis


Dosen Pembimbing : Hepta Nur A., S.Kep.Ns.,M.Kep.

Disusun Oleh:
Dhian Tiara Sari
NIM. P27820820013

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Diagnosa Medis Gullaine


Barre Syndrom(GBS) di Ruang ICU LT 2 GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya
dilakukan pada tanggal 19 Juli 2021 – 31 Juli 2021 telah dilaksanakan sebagai laporan
praktik klinik Keperawatan Kritis Profesi Ners semester 2 oleh:

Nama Mahasiswa : Dhian Tiara Sari

NIM : P27820820013

Surabaya, 19 Juli 2021


Pembimbing Akademik Mahasiswa

Hepta Nur Anugrahini, S.Kep, Ns. M.Kep Dhian Tiara Sari


NIP. 19800325 200501 2 004 NIM. P27820820037
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh
autoimun,di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis
dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang
bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga
penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya
tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3
minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua
berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4
– 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan
komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa
dapat menetap (Japardi, 2002).
Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis (Parry dalam Japardi, 2002).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang
penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari
gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial
(Smeltzer, 2002).
Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS)
adalah suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama
lain yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati
inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara
primer dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron
motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk
gerakan motorik juga (Sylvia A. Price, 2006).
Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga
merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat
diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses
infeksi diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya
adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari
bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan
berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah
sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all,
dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007).
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar
antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS
masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi
terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada
perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian
di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan
usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak
terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun
tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang
sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang
dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan
antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi
pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau
(Japardi, 2002)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer dan nervus kranialis.

2. Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome
(GBS) adalah sebagai berikut :

a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)


Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan
perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan
dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah
degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat
dengan sedikir demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini
memiliki

gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi
dengan asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil
studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik.
Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi
limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama
lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus
GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia.
Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang
meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna
terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan
gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik
lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

3. Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune
response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan
gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang
terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer.
Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat
gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) Infeksi virus
atau bakteri

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.


Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut
yang berhubungan dengan GBS :

a. Vaksinasi
b. Pembedahan, anestesi
c. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,
tiroiditis, dan penyakit Addison
d. Kehamilan atau dalam masa nifas
e. Gangguan endokrin

4. Manifestasi Klinis
a. Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang
mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten
ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini
belum ada gejala klinis yang timbul.
b. Gejala Klinis
1) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-
kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai
dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen
ke badan,

anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa


keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke
badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti
oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-
otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga
sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga
bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki
dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari
pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti
rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3) Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot- otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera
menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.
Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa
terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena
akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada
kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis
nervus laringeus.
4) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom
ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5) Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan
ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot
pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita

6) Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot
yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang.
5. Patofisiologi
Etiologi

Proses autoimun (merangsang reaksi kekebalan sekunder


pada saraf tepi / aktivasi limfosit T dan makrofag)

Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epinural
Makrofag mensekresi protease
Penimbunan komplek antigen, antibodi pada pembuluh darah saraf tepi

Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson

Proses demyelinasi akut syaraf perifer

Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf

Gangguan fungsi syaraf perifer dan kranial Ansietas

Guillain Barre Syndrome (GBS) Prognosis penyakit kurang baik


Gangguan fungsi Gangguan syaraf perifer dan neuromuskular Disfungsi otonom

Syaraf kranial :
N III, IV, VI N VII, IX, XI Parastesia (kesemutan) dan Paralise lengkap, otot perna- Kurang beraksinya sistem
kelemahan otot kaki, yang nafasan terkena mengakibat- syaraf simpatis dan parasimpatis
Diplopia Gg. Refleks gag/ dapat berkembang ke kan insufisiensi pernafasan perubahan sensori
Menelan ekstremitas atas, batang
Gg. Penglihatan tubuh, dan otot wajah Penurunan kemampuan batuk Hipotensi Kerusakan
Intake nutrisi kurang peningkatan sekresi mukus /hipertensi rangsang
Risiko jatuh / Kelemahan fisik umum, berkemih
cidera Gg. Nutrisi Kurang paralisis otot wajah Ketidakefektifan Takikardi/

dari Kebutuhan Pola Nafas Bradikardi Retensi Urin

Tubuh Penurunan tonus otot Ketidakefektifan Kerusakan


seluruh tubuh, perubahan Bersihan Jalan Nafas rangsang defekasi
estetika wajah

Hipoksemia Sekresi mukus Gg. Eliminasi Fekal


Hambatan Mobilitas Fisik, masuk lebih ke (Kontipasi/diare)

Defisit Perawatan Diri Asidosis bawah jalan napas

respiratorik
resiko tinggi infeksi saluran Pneumonia
Gagal nafasnapas bawah dan parenkim paru
Kematian Koma
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot
yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau
bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal
seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar
protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian
jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.
Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2
dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah
sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor
retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,
menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di
samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga
berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial
denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak
sembuh sempurna.
d. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1
– 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain
(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil
apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).

e. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini
dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.
Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

7. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan
secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan.
Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan
gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap
ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu
dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan
diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi
dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan
timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan
irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya
diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol.
Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan
endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara
pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada
serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada
pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu
pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga
sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus
diganti dengan suatu substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium
karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi
disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga
parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi
tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada
kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring
dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous
menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon
dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang
tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam
setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat
ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara
subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned
LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens
terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan
salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat
dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient
compression hose/ anti embolic stockings/ anti- thromboembolic
disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian
immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti
halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan
perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya
mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai
untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan
Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama
5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi
IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi
IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
b) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin
(6-MP).

8. Komplikasi
a. Paralysis yang persisten
b. Kegagalan pernafasan
c. Hipotensi atau hipertensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia kardial
g. Aspirasi
h. Retensi urinae
i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
I. Konsep Dasar Ventilator
I. Pengertian
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.

II. Indikasi Pemasangan Ventilator


1. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)
2. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.
3. Post Trepanasi dengan black out.
1. Penyebab sentral
a. Trauma kepala : Contusio cerebri.
b. Radang otak : Encepalitis.
c. Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak.
d. Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi.
2. Penyebab perifer
4. Respiratory Arrest.
III. Penyebab Gagal Napas
a. Kelaian Neuromuskuler :
- Guillian Bare symdrom
- Tetanus
- Trauma servikal
- Obat pelemas otot.
b. Kelainan jalan napas.
- Obstruksi jalan napas
- Asma broncheal.
c. Kelainan di paru
- Edema paru, atlektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak
- Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e. Kelainan jantung
- Kegagalan jantung kiri.
IV. Kriteria Pemasangan Ventilator
Menurut Pontopidan seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik
(ventilator) bila :
- Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit
- Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg
- PaCO2 lebih dari 60 mmHg
- AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg
- Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.
V. Macam-macam Ventilator.
Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
1. Volume Cycled Ventilator.
Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang
ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada
komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
2. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang
telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi
terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain
paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien
yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak
dianjurkan.

3. Time Cycled Ventilator


Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit)
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2

VI. Mode-Mode Ventilator.


Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi
tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol
pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang
telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri
bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan
dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi
pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled
Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten
Positive Pressure Ventilation).
2. Mode IMV / SIMV (Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation).
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling
dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory
diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien
pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan
segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode
IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan
sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien
yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih
memerlukan bantuan.
3. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien
yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena
nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk
bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara
pernafasan tidak diberikan.
4. CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada
pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih
otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
VII. Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume
rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.

VIII. Pelembaban dan suhu.


Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan
mekanisme pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua
proses ini harus digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier.
Semua udara yang dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier
dihangatkan dan dijenuhkan. Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan
suhu tubuh. Pada kasus hipotermi berat, pengaturan suhu udara dapat
ditingkatkan. Suhu yang terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada
trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan
nafas dan sekresi menjadi kental sehingga sulit dilakukan penghisapan.

IX. Fisiologi Pernapasan Ventilasi Mekanik


Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan
negatif sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi
berjalan secara pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara
dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi
adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada
akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif.
X. Efek Ventilasi mekanik
Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke
jantung terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga
menurun. Bila kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena
hipovolemia, obat dan usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi.
Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler
akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang,
akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa
terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu
lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan lebih besar dari 40 CmH2O, tidak
hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung) tetapi juga resiko
terjadinya pneumothorax.
XI. Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator)
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli
udara vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran
balik vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian
ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah
normal akibat dari hiperventilasi.
b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat
dari hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan psikologi
XII. Prosedur Pemberian Ventilator
Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada ventilator
untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan
awal adalah sebagai berikut:

1. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%


2. Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
3. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
4. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
5. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru
dan untuk mencegah atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh
tujuan terapi dan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang
ditujunkan oleh hasil analisa gas darah (Blood Gas).
XIII. Kriteria Penyapihan
Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan
bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
- Volume tidal 4-5 ml/kg BB
- Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
- Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORI GULLAINE BARRE SYNDROM

(GBS)

1) Pengkajian

a. Identitas

Menurut (Wahyu Rima A , 2011).

Umur : Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74

tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang

pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.

Jenis kelamin : Semua orang baik wanita maupun laki-laki dapat

mengalaminyaKeluhan utama: kelemahan otot dan juga otot

pernapasan (tiba-tiba seluruh tubuh tidak bisa bergerak)

b. Keluhan Utama

Pasien dengan GBS datang dengan mengeluhkan parastesia (kesemutan dan kebas)
pada otot kaki, sesak napas. (Sylvia A. Price, 2006).
c. Riwayat Penyakit Sekarang

Gejala yang sering dirasakan pasien yaitu kesemutan dan kebas (parestesia),
kelemahan pada otot kaki yang berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot
wajah. (Japardi, 2002)
d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengalami infeksi pada saluran pernapasan, gastroinstentinal yang lama, bedah
saraf, penggunaan obat-obat seperti kortisteroid dan berbagai jenis antibiotic.
e. Riwayat Psikososial dan Spiritual
Umumnya pasien cepat marah, merasa takut, cemas akan kemungkinan paralisis yang
permanen, sehingga pasien menjadi pendiam dan malas berkomunikasi dengan orang
disekitarnya. Terkadang pasien merasa Tuhan tidak adil dengannya akibat penyakit
yang diderita, hubungan spiritualnya kurang baik. (Japardi, 2002)
f. Riwayat kesehatan meliputi riwayat penyakit sekarang, dahulu dan keluarga yang
diderita pasien seperti DM, hipertensi, atau penyakit yang di derita sekarang.
Pengkajian fisik
1) Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, kesemutan kebas, disfagia, kesadaranpasien dari compos
mentis sampai coma.
2) Tanda-tanda vital.
Tekanan darah (hipotensi atau hipertensi), respirasi riet naik, dan terjadi dispnea,
nadimeningkat dan reguler.
3) Pemeriksaan B6
Menurut (Wahyu Rima A , 2011).

a. B1 Pernafasan (Breath)
Pasien tidak dapat batuk efektif, pengeluaran sputum, ronkhi, dispneu, adanya
penggunaan otot-otot bantu pernapasan, apneu.

b. B2 Kardiovaskuler/ Sirkulasi (Blood)


Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.akral dingin, CRT
>3 detik, palpitasi, penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah
jantung.

c. B3 Persyarafan (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan
ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara
turun), fluktuasi suhu badan.
d. B4 Perkemihan/ Eliminasi Urin (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
e. B5 Percernaan/ Eliminasi Alvi (Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun,
konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.

f. B6 Tulang-Otot-Integumen (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.

B. Diagnosis Keperawatan

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) menjadi panduan dalam


penegakan diagnosis keperawatan. Dari diagnosis ini kemudian akan dibuat
perencanaan berdasarkan tingkat ketergantungan pasien.
Diagnosis pada pasien GBS yaitu:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif behubungan dengan hipersekresi jalan napas
ditandai dengan sputum berlebih
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
3. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung
4. Defisist nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
5. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
6. Resiko aspirasi b.d penurunan refleks muntah dan/atau batuk
C. Intervensi

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) menjadi panduan dalam tindakan


keperawatan. Dalam tindakan terdapat observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi.
D. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil
1. Bersihan jalan Tujuan: Setelah Manajemen Jalan Napas I.01011 Hal 186 1. Takipnea, pernapasan dangkal, dan
napas tidak efektif diberikan asuhan gerakan dada tak simetris terjadi karena
keperawatan selama Observasi peningkatan tekanan dalam paru dan
behubungan
3x15 menit klien 1. Monitor pola napas (kedalaman, frekensi, penyempitan bronkus. Semakin sempit
dengan menunjukkan bersihan usaha napas) dan tinggi tekanan semakin meningkat
hipersekresi jalan jalan nafas meningkat,  2. Monitor bunyi napas tambahan (mis: frekuensi pernapasan.
dengan kriteria hasil: gutgling, mengi, wheexing, ronkhi) 2. Suara ronkhi mengindikasikan
napas ditandai
(SMART) terdapatnya sputum pada paru-paru
dengan sputum • Produksi sputum Terapeutik 3. Merangsang gerakan mekanik lewat
berlebih menurun dari kental 3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu vibrasi dinding dada supaya sputum
4. lakukan Suction penghisapan lendir mudah bergerak keluar
D.0001 Hal 18 menjadi encer, dari
kurang dari 15 detik, sesuai indikasi. 4. Mengeluarkan sputum secara mekanik
keruh menjadi jernih, 5. Berikan oksigenasi, jika perlu dan mencegah obstruksi jalan napas.
dari berbau menjadi 5. Untuk menaggulangi terjadinya hipoksia
Edukasi 6. Pemberian minum hanya melalui selang
tidak berbau
6. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika NGT pada pasien terpasang ventilator
• Suara nafas tambahan tidak ada kontraindikasi 7. Obat mukolitik dapat mengencerkan
menurun ( sura nafas sekret yang kental sehingga
Kolaborasi mempermudah pengeluaran dan
ronkhi menjadi samar
7. Kolaborasi pemberian obat bronkodilator memcegah kekentalan
dan hilang) dan mukolitik melalui inhalasi (nebulizer).
• Frekuensi nafas
membaik ( 16-20x/
menit )
SLKI L.01001 Hal 18
2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi I.05173
1. Membantu menentukan derajat kerusakan
mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam dan kesulitan terhadap keadaan yang
berhubungan dialami.
diharapkan klien 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
dengan mampu lainnya.
penurunan mempertahankan 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan 2. Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan
mobilitas fisik tanpa pergerakan. dapat memberikan informasi mengenai
kekuatan otot pemulihan
ada komplikasi dengan 3. Monitor frekuensi dan tekanan darah sebelum
ditandai dengan kriteria hasil memulai mobilisasi
Kekuatan otot (SMART): 4. Monitor kondisi umum selama melakukan 3. Mengidentifikasikan adanya perubahan
 Pergerakan mobilisasi. tekanan darah dan frekuensi jantung
klien menurun
sebelum dan sesudah dilakukan ambulasi.
ekstremitas
4 4
meningkat (dapat Terapeutik
4 4 4. Mengetahui kecenderungan tingkat
merubah posisi 5. Fasiltasi melakukan pergerakan jika perlu kesadaran dan potensial peningkatan
D.0054 Hal 124 ekstremitas dari tekanan darah
Edukasi
membolak balik kan
5. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan
posisi hingga 6. Jelaskan tujuan dan produser mobilisasi sirkulasi, mencegah terjadinya kontraktur.
mengangkat)
6. Memberikan pemahaman mengenai manfaat
 Kekuatan otot
tindakan yang didahulukan.
meningkat
(ekstremitas atas
dari 4 bisa menjadi 3
ataupun 2 hingga
kemandirian dengan
nilai 0)
 Rentang gerak
(ROM) Meningkat
( peningkatan ROM
aktif hingga ke
ROM pasif)
 Tidak ada laporan
kontraktur,dekubitus

SLKI L.05042 Hal 65


3. Risiko Aspirasi Setelah dilakukan Pencegahan Aspirasi I.01018
tindakan keperawatan 1. klien dengan risiko tinggi aspirasi adalah
dibuktikan
selama 3 x 15 menit Observasi klien dengan penururnan kesadaran
dengan penurunan diharapkan tingkat berkurangnya refleks menelan atau batuk
1. Monitor tingkat kesadaran,batuk,muntah
refleks batuk atau aspirasi menurun 2. untuk mengetahui bunyi nafas
dan kemampuan menelan
muntah Kriteria Hasil : tambahan, pada saat setelah memasukan
2. Monitor status pernapasan
nutrisi cair di takutkan terjadi aspirasi
D.0006 Hal 28 • Tingkat kesadaran 3. Monitor bunyi napas tambahan,terutama
meningkat (suara nafas tamabahn seperti gargling/
setelah makan/minum.
(composmentis whezing)
4. Periksa residu gaster sebelum memberi
E4,M5,V6) 3. Meminimalisir jika gaster penuh dapat
asupan oral
• Kebersihan mulut mengakibatkan cairan naik mnyebabkan
5. Periksa kepatenan selang nasogastrik
meningkat (bau aspirasi
sebelum memberikan asupan oral.
mulut hilang, tidak 4. Auskultasi untuk mengetahui bahwa
terdapat sputum selang NGT masuk pada gaster
Terapeutik
pada mulut) mencegah terjadinya aspirasi
• Kemampuan 6. Lakukan penghisapan jalan napas, jika 5.
menelan meningkat produksi secret meningkat 6. Meminimalisir gaster penuh dan
7. Hindari memberikan melalui NGT ,jika mengakibatkan cairan naik menjadi
• Frekuensi napas
residu banyak aspirasi
membaik(16- 8. Berikan obat oral dalam bentuk cair
7. Pemberian obat oral untuk memudahkan
20x/menit) klien mendapatkan terapi pengobatan
SLKI L.01006 Hal 133 Edukasi
9. Ajarkan strategi mencegah aspirasi
DAFTAR PUSTAKA

Aprisunadi.2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Aprisunadi.2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Aprisunadi.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC.

Inawati. 2010. Sindrom Guillan Barre (GBS). (http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/


archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010/SINDROM
%20GUILLAIN%20BARRE.pdf), diakses pada 15-07-2021

Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre. Fakultas
Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.

Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara.

Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre Syndrome. Jakarta :
Ikatan Fisioterapi Indonesia.

Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from


: URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. [diakses
tanggal 15-07-2021Pukul 16.00 WIB].

Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologi:Konsep. Klinik Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Ed. 8. Jakarta: EGC.

Wahyu Rima A , 2011 Asuhan Keperawatan Pada Klien Guillain Barre Syndrome Dengan
Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik DI RSUD dr. Slamet Garut
diakses pada 15-07-2021 jam 11.3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GBS

Nama mahasiswa : Dhian Tiara Sari


NIM : P27820820013
Ruangan : ICU Lt 2 GBPT RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Pengkajian Keperawatan
Tanggal masuk Rumah Sakit : 14Februari 2020pukul 22.00 WIB (IGD)
15 Februari 2020 pukul 24.00 WIB (HCU A)
16 Februari 2020(ICU GBPT)
Tanggal pengkajian : 27 Februari 2020 pukul 09.00 WIB

I. Identitas penderita
Nama : Ny. M
Nomor Register : 12.80.xx.xx
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Katholik
Pekerjaan : Perawat
Pendidikan : SMA
Alamat : Kupang-NTT
Diagnosa : GBS Type miller fisher +ESBL
Keluhan utama : Tidak dapat dikaji karen klien terpasang ventilator
Upaya yang telah dilakukan :Pasien dibawa ke RSU Prof yohannes kupang
kemudian di rujuk ke RSUD Dr. Soetomo untuk
diberikan tindakan lebih lanjut.
Terapi/ operasi yang pernah dilakukan: November tahun 2019 (operasi SC)
II. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Awal pertama kali (2 minggu sebelumnya) pasien merasa matanya sulit
digerakkan (kelopak mata kanan menutup sejak 7 hari SMRS) pandangan ganda
sejak 6 hari dan diare selama 1 hari SMRS serta tangan dan kaki kesemutan lalu
muncul batuk, pilek, dan sakit tenggorokan/sulit menelan selama 5 hari SMRS
(makanan bisa masuk sedikit dan setiap minum (benda cair) selalu keluar dari
hidung) serta sesak.
 Tanggal 13Februari 2020Pasien di bawa ke RSU Prof yohannes Kupang
 Tanggal 14Februari 2020pukul 22.00 WIB di rujuk ke IGD RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, pasien datang dengan penurunan kesadaran, dengan
diagnosa tumor otak dan suspek multicranial nerve palsy
 Tanggal 15 Februari 2020 pukul 24.00 WIB pasien di pindah ke ruangan
HCU A
 Tanggal 16 Februari 2020 pukul 21.00 WIB pindah ICU GBPT dengan
diagnosa GBS tipe miller fisher + gagal nafas. TD: 141/97 mmHg, N: 86
x/menit, RR: 34 x/menit, SpO2: 85-90 % (NRM 10 Lpm), T: 36,5 OC, GCS:
325, terpasang infuse dan dower kateter.
Tanggal 28Februari 2020 pukul 09.00 WIB , GCS: 4X6, Terpasang ETT dan
napas dibantu dengan ventilator, sudah dilakukan suction pada jam 08.00 dan
11.00 WIB (setiap 3 jam sekali atau sesuai kebutuhan pasien), pasien tidak
kejang, konjungtiva anemis, anemia ( HB 8,8 g/dl), TD:110/64 mmHg, N:96
x/menit, T: 36,4 OC, RR: 24 x/menit, SpO2: 98 % dan rencana postaneus
dilatation tracheostomy (PDT).
2. Riwayat penyakit sebelumnya
Keluarga pasien mengatakan tidak pernah sakit sampai rawat inap seperti sekarang.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat
penyakit jantung, hipertensi, DM atau riwayat penyakit keturunan lainnya dan tidak
memiliki penyakit yang sama dengan klien.
4. Keadaan kesehatan lingkungan
Keluarga klien mengatakan di lingkungan klien tidak ada yang memiliki penyakit
GBS yang sama dengan klien.Klien mengatakan tinggal didaerah lingkungan yang
cukup bersih.
5. Genogram

35
tahu

Keterangan :
X : Meninggal : Garis pernikahan
: Klien : Garis keturunan
: Laki-laki ----- : Tinggal serumah
: Perempuan

III. Observasi dan pemeriksaan fisik


1. Keadaan umum : GCS:4X6
2. Berat badan : 65 kg
3. Tinggi badan : 168 kg
4. Tanda tanda vital :
Tekanan darah :110/64 mmHg MAP: 74
Suhu :36,4 OC
Nadi :96 x/menit
Pernapasan :24 x/menit
SpO2 : 98 %.
5. Pernapasan (Breathing : B1)
Klien bernapas di bantu dengan ventilator: mode CPAP, MV/EMV: 6.5,
TV/ETV: 265, total rate: 24 x/menit, Peep/express: 5, FiO2: 30 %, SO 2: 98%.
Terdapat suara napas tambahan ronchi di seluruh lapang paru, retraksi dada ada.
6. Cardiovasculer (Bleeding : B2)
Tekanan darah:110/64 mmHg, Nadi:96 x/menit, S1 S2 tunggal. Irama jantung
regular normal, akral dingin, kering dan pucat, konjungtiva anemis, turgor kulit
cukup, tidak ada perdarahan, CRT <3 detik, suhu 36,4 OC.
7. Persyarafan (Brain : B3)
GCS 4 X 6, pupil bulat isokor (+3/+3). Mata tidak bisa digerakkan (tertutup).

8. Perkemihan eliminasi urin (Bladder : B4)


Produksi urin kurang lebih 1300 ml/24 jam sedangkan intake 1475 ml/24 jam,
warna kuning ke orange, bau menyengat. Klien terpasang kateter urine.
9. Pencernaan – eliminasi alvi (Bowel – B5)
Pasien terpasang NGT (sonde susu hepatosol 6x200 ml), pada mulut tidak
terdapat karies gigi, bibir kering dan terdapat luka pada mulut, tidak terdapat
pembesaran tonsil pada tenggorokan. Pada abdomen terdapat kelainan (ada
cairan bebas (darah) dalam abdomen, bising usus 14-16 x/menit (+), soepl. Klien
BAB satu kali sehari pada pagi hari.
10. Tulang – otot – integumen (Bone – B6)
Mengalami parase tetapi tidak paralise, hemiparase. Tidak mengalami kelainan
pada ekstremitas atas dan ekstremitasbawah. Tidak terdapat memar dan patah
tulang belakang, Tidak ada luka, fraktur, dislokasi, edema, dan nyeri pada
ekstremitas
.
4 4
4 4

IV. Pemeriksaan penunjang


- Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28 Februari 2020
No Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
1. HB 8,8 g/dl L: 13,3– 16,6
P: 11,0 – 14,7
2. PH 7,457 7,35-7,45
3. PCO2 30,7 mmHg 35-45
4. PO2 88,4 mmHg 80-100
5. HCO3- 21,9 mmol/l 22,0-26,0
6. TCO2 22,8 mmol/l 23-30
7. SO2 96,9 % 97-100
8. AaDo2 93,8 mmHg 0,00-0,00
9. HCT 26 % L: 41,3– 52,1
P: 35,2 – 46,7
10. Clorida 106 mmol/l 97-107
11. Kalium 3,40 mmol/l 3,5 – 5,1
12. Natrium 140 mmol/l 136 – 145

- Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 29 Februari 2020


No Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan
1. RBC 3,23 10&6/uL 3,69-5,46
2. RDW 12,9 % 12,2-14,8
3. MPV 9,3 fL 9,2-12,0
4. MCHC 35,2 g/dL 29,7-33,1
5. MCH 28,5 pg 27,1-32,4
6. MCV 80,8 fL 86,7-102-3
7. WBC 0,3 10&3/uL 3,37-10,0
8. HB 9,2 g/dl L: 13,3– 16,6
P: 11,0 – 14,7
9. HCT 26,1 % L: 41,3– 52,1
P: 35,2 – 46,7
10. PLT 417 10^3/uL 150-450
11. GDA 193 Mg/dL Dewasa:
Normal: <100
DM:>= 126
12. Natrium 120 mmol/l 136-145
13. kalium 3,7 mmol/l 3,5-5,1
14. klorida 98,0 mmol/l 98-107
15. Kalsium 8,9 Mg/dL 8,5- 10,1
16. SGOT 101,0 U/L L: 0-50 P: 0-35
17. SGPT 575,0 U/L L: 0-50 P: 0-35

No Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan


1. PH 7,57 7,35-7,45
2. PCO2 22 mmHg 35-45
3. PO2 169 mmHg 80-100
4. HCO3- 20,2 mmol/l 22,0-26,0
5. TCO2 20,9 mmol/l 23-30
6. SO2 100 % 97-100
7. AaDo2 -47 mmHg 0,00-0,00
8. Beecf -1,8 mmol/l -3,50-2,00
9. FiO2 21,0 0,00-0,00
10. Temp 37

- Hasil pemeriksaan CT Scan Kepala (pakai kontras) pada tanggal 26/02/2020


1. Tak tampak lesi hipo/ hiperdense pada brain pharencym yang dengan
pemberian kontras tak tampak abnormal kontras enhancement
2. Sulci dan gyri normal
3. System ventrikel dan cysterna normal
4. Pons dan cerebellum normal
5. Tak tampak kalsifikasi abnormal
6. Tak tampak deviasi midline
7. Orbita, mastoid dan sinus paranasalis kanan dan kiri tak tampak kelainan
8. Calvaria normal
9. Tak tampak proses osteolitik /osteoblastik
10. KESAN: saat ini tak tampak massa, proses infeksi, metastase, maupun
perdarahan di brain pharencym
V. Terapi
- Mecobalamin 1 amp/12 jam IV
- Omeprazole 40 mg/ 12 jam
- Ciprofloxacin 200 mg/12 jam
- Cairan clinimix 500 ml/24 jam
- Suction tiap 3 jam sekali
- Enteral (sonde) Hepatosol 200 ml/3 jam
- Mobilisasi /12 jam
- Oral hygiene 2X /24 jam
ANALISA DATA
Pengelompokan data Penyebab Masalah Keperawatan

DS : tidak dapat dikaji GBS Bersihan jalan napas tidak


efektif (D.0001) Hal 18
DO :
 klien tampak tidak mampu batuk Paralis lengkap, otot
 terdapat sputum berlebih berwarna pernafasan terkena,
kekuningan kental. mengakibatkan insufisiensi
 Terdengar suara napas tambahan pernafasan
Ronchi di seluruh lapang paru
 Klien terpasang trakeostomy
 Frekuensi pernapasan 24 x/menit
 Pasien terpasang trakeostomi
dengan bantuan alat ventilator Risiko tinggi gagal
Spo2 : 98% pernafasan (ARDS),
Fio2 : 30 % penurunan kemampuan
batuk, peningkatan
sekresimukus

Gagal fungsi pernafasan

Terpasang trakeostomy
Produksi secret meningkat

Bersihan jalan napas tidak


efektif

DS : Tidak Dapat Dikaji GBS Gangguan mobilitas fisik


(D.0054)Hal 124
DO :
Parastesia (kesemutan
 Kekuatan otot klien menurun kebas) dan kelemahan otot
4 4
kaki, yang berkembang ke
4 4
ekstrimitas atas, batang
 Gerakan klien terbatas tubuh, dan otot wajah
 Fisik klien tampak lemah
 Klien mengaami parase tetapi
tidak paralise, hemiparase pada Penurunan tonus otot
ekstremitas atas dan bawah seluruh tubuh, perubahan
estetika wajah

Gangguan mobilitas fisik

DS : Tidak dapat dikaji GBS Deficit perawatan diri


(D.0109)Hal 240
DO :
Parastesia (kesemutan
 Klien tidak mampu mandi, kebas) dan kelemahan otot
mengenakan pakaian/makanan kaki, yang berkembang ke
secara mandiri ekstrimitas atas, batang
 Klien bedrest tubuh, dan otot wajah

Penurunan tonus otot


seluruh tubuh

Kelemahan fisik umum

Kelemahan fisik umum

Deficit perawatan diri

Ds : - GBS Risiko Aspirasi (D.0006)


Hal 28
DO :
Paralisis pada okular,
- Pasien bedrest
wajah dan otot orofaring,
- Penurunan refleks muntah dan
batuk kesulitan berbicara,
- Gangguan menelan mengunyah, dan menelan.
- Terpasang NGT
- Terpasang tracheostomy
Terpasang NGT dan ETT

Risiko Aspirasi
DIAGNOSA KEPERAWATAN

No Diagnosis keperawatan/Masalah Ditemukan Masalah Masalah Teratasi


. Kolaboratif Tanggal Paraf Tanggal Paraf

1. Bersihan jalan napas tidak efektif Rabu,


behubungan dengan hipersekresi jalan 21/07/21

napas ditandai dengan sputum berlebih

2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan Rabu,


kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien 21/07/21
menurun
4 4

4 4

3. Defisit perawatan diri b.d kelemahan d.d Rabu,


Tidak mampu mandi/mengenakan 21/07/21
pakaian/makan/ke toilet secara mandiri

4. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan Rabu,


penurunan refleks batuk atau muntah 21/07/21
INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Hasil
1. Bersihan jalan Tujuan: Setelah Manajemen Jalan Napas I.01011 Hal 186 1. Takipnea, pernapasan dangkal, dan
gerakan dada tak simetris terjadi karena
napas tidak efektif diberikan asuhan
keperawatan selama Observasi peningkatan tekanan dalam paru dan
behubungan penyempitan bronkus. Semakin sempit
3x15 menit klien 1. Monitor pola napas (kedalaman, frekensi,
dan tinggi tekanan semakin meningkat
dengan menunjukkan bersihan usaha napas)
frekuensi pernapasan.
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis:
hipersekresi jalan jalan nafas meningkat,  2. Suara ronkhi mengindikasikan
gutgling, mengi, wheexing, ronkhi)
dengan kriteria hasil: terdapatnya sputum pada paru-paru
napas ditandai
(SMART) 3. Merangsang gerakan mekanik lewat
dengan sputum Terapeutik vibrasi dinding dada supaya sputum
• Produksi sputum
3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu mudah bergerak keluar
berlebih menurun dari kental 4. lakukan Suction penghisapan lendir 4. Mengeluarkan sputum secara mekanik
D.0001 Hal 18 kurang dari 15 detik, sesuai indikasi. dan mencegah obstruksi jalan napas.
menjadi encer, dari
5. Berikan oksigenasi, jika perlu 5. Untuk menaggulangi terjadinya
keruh menjadi jernih, hipoksia
dari berbau menjadi Edukasi 6. Pemberian minum hanya melalui
6. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika selang NGT pada pasien terpasang
tidak berbau tidak ada kontraindikasi ventilator
• Suara nafas tambahan 7. Obat mukolitik dapat mengencerkan
Kolaborasi sekret yang kental sehingga
menurun ( sura nafas mempermudah pengeluaran dan
7. Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
ronkhi menjadi samar dan mukolitik melalui inhalasi memcegah kekentalan
dan hilang) (nebulizer).

• Frekuensi nafas
membaik ( 16-20x/
menit )
• Mampu melakukan
batuk efektif
• Sianosis menurun
( akral hangat kering
kemerahan, CRT <2
detik)
SLKI L.01001 Hal 18
2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi I.05173
1. Membantu menentukan derajat kerusakan
mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi
selama 3x24 jam dan kesulitan terhadap keadaan yang
berhubungan dialami.
diharapkan klien 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
dengan mampu lainnya.
penurunan mempertahankan 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan 2. Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan
mobilitas fisik tanpa pergerakan. dapat memberikan informasi mengenai
kekuatan otot pemulihan
ada komplikasi dengan 3. Monitor frekuensi dan tekanan darah
ditandai dengan kriteria hasil sebelum memulai mobilisasi
Kekuatan otot (SMART): 4. Monitor kondisi umum selama melakukan 3. Mengidentifikasikan adanya perubahan
 Pergerakan mobilisasi. tekanan darah dan frekuensi jantung
klien menurun
sebelum dan sesudah dilakukan ambulasi.
ekstremitas
4 4
meningkat (dapat Terapeutik
4 4 4. Mengetahui kecenderungan tingkat
merubah posisi 5. Fasiltasi melakukan pergerakan jika perlu kesadaran dan potensial peningkatan
D.0054 Hal 124 ekstremitas dari tekanan darah
Edukasi
membolak balik kan
5. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan
posisi hingga 6. Jelaskan tujuan dan produser mobilisasi sirkulasi, mencegah terjadinya kontraktur.
mengangkat)
6. Memberikan pemahaman mengenai manfaat
 Kekuatan otot
tindakan yang didahulukan.
meningkat
(ekstremitas atas
dari 4 bisa menjadi 3
ataupun 2 hingga
kemandirian dengan
nilai 0)
 Rentang gerak
(ROM) Meningkat
( peningkatan ROM
aktif hingga ke
ROM pasif)
 Tidak ada laporan
kontraktur,dekubitus

SLKI L.05042 Hal 65


3. Risiko Aspirasi Setelah dilakukan Pencegahan Aspirasi I.01018
tindakan keperawatan 8. klien dengan risiko tinggi aspirasi adalah
dibuktikan
selama 3 x 15 menit Observasi klien dengan penururnan kesadaran
dengan penurunan diharapkan tingkat berkurangnya refleks menelan atau batuk
1. Monitor tingkat kesadaran,batuk,muntah dan
refleks batuk atau aspirasi menurun 9. untuk mengetahui bunyi nafas
kemampuan menelan
muntah Kriteria Hasil : tambahan, pada saat setelah memasukan
2. Monitor bunyi napas tambahan,terutama
nutrisi cair di takutkan terjadi aspirasi
D.0006 Hal 28 • Tingkat kesadaran setelah makan/minum.
meningkat (suara nafas tamabahn seperti gargling/
3. Periksa residu gaster sebelum memberi
(composmentis whezing)
asupan oral
E4,M5,V6) 10. Meminimalisir jika gaster penuh
4. Periksa kepatenan selang nasogastrik
• Kebersihan mulut dapat mengakibatkan cairan naik
sebelum memberikan asupan oral.
meningkat (bau mnyebabkan aspirasi
mulut hilang, tidak 11. Auskultasi untuk mengetahui bahwa
Terapeutik
terdapat sputum selang NGT masuk pada gaster
pada mulut) 5. Lakukan penghisapan jalan napas, jika mencegah terjadinya aspirasi
• Kemampuan produksi secret meningkat 12.
menelan meningkat 6. Hindari memberikan melalui NGT ,jika 13. Meminimalisir gaster penuh dan
residu banyak mengakibatkan cairan naik menjadi
• Frekuensi napas 7. Berikan obat oral dalam bentuk cair
aspirasi
membaik(16-
Edukasi 14. Pemberian obat oral untuk
20x/menit) memudahkan klien mendapatkan terapi
SLKI L.01006 Hal 133 8. Ajarkan strategi mencegah aspirasi pengobatan
PELAKSANAAN KEPERAWATAN
No. Hari / Tgl / Tindakan Keperawatan Tanda
Diagnos Jam Tangan /
Paraf
a
Kamis, 22/07/21
DX3 08.00 WIB 1) Memonitor tingkat
kesadaran,batuk,muntah dan
kemampuan menelan
R/ : GCS 4X6, pasien batuk
apabila di suction, pasien
terpasang tracheostomy

2) Monitor status pernapasan


DX3 08.03 WIB R/ : RR: 24 x/menit, SpO2: 98
%

DX1 08.03 WIB 3) Memonitor pola napas


R/ : RR: 24 x/menit, SpO2: 98
%

4) Monitor bunyi napas tambahan


DX1 08.05 WIB R/ :Terdengar suara napas
tambahan ronchi

DX1 dan 3 08.06 WIB 5) Memposisikan klien semi fowler


atau fowler
R/ : klien kooperatif dan dalam
posisi semi fowler
DX1 08.15 WIB 6) Melakukan fisioterapi dada
R/ : Klien kooperatif

DX 3 08.18 WIB 7) Menyediakan suction di ruangan.


R/ :suction sudah tersedia di
dekat klien

8) Melakukan hiperoksigenasi
DX1 08.19 WIB sebelum penghisapan
R/ : SpO2 : 100 % dan klien
kooperatif

DX1 dan 3 08.20 WIB 9) Melakukan penghisapan lendir


kurang dari 15 detik (suction)
R/ : Klien kooperatif
DX1 08.21 WIB
10) Memonitor sputum
R/ : warna putih ke kuningan
kental dan banyak

11) Mempertahankan kepatenan


DX1 dan 3 08.22 WIB jalan napas
R/ : Klien kooperatif

12) Memonitor pasien yang


menggunakan alat bantu
DX1 09.00 WIB ventilator (setiap 1 jam).
Hasil: Mode: CPAP, MV: 6,5,
TV: 265, Total Rate: 24, PEEP:
5, FiO2/O2: 30%, SpO2: 98%

13) Mengidentifikasi adanya nyeri


DX2 09.00 WIB atau keluhan fisik lainnya
R/ : Klien mengatakan tidak ada
nyeri hanya merasa sedikit kaku
pada ekstremitas

14) Mengidentifikasi toleransi fisik


DX2 09.05 WIB melakukan pergerakan.
R/: dilakukan dengan kolaborasi
fisioterapi dan klien kooperatif
mampu menggerakan
ekstremitas dengan lemah

15) Memonitor kondisi umum


DX2 09.15 WIB selama melakukan mobilisasi.
R/ : klien tampak tenang dan
kooperatif

16) Memonitor frekuensi dan


DX2 09.16 WIB
tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
R/ : klien kooperatif dan TD:
110/64, N: 96, S: 36,4 OC

17) Memeriksa residu gaster


DX3 12.00 WIB sebelum memberikan asupan
oral
R/ : tidak ada retensi

18) Memposisikan semi fowler(30-


DX3 12.01 WIB
45 derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral
R/ :Klien dalam posisi semi
fowler

19) Memberikan makanan dengan


DX3 12.02 WIB ukuran kecil atau lunak.
R/ : Nutrisi diberikan dalam
bentuk cairan yaitu susu
hepatosol 200 ml melalui NGT
Jum’at,23/07/21
DX3 08.00 WIB
20) Memonitor tingkat
kesadaran,batuk,muntah dan
kemampuan menelan
R/ : GCS 4X6, pasien batuk
apabila di suction, pasien
terpasang tracheostomy

DX3 08.03 WIB 21) Monitor status pernapasan


R/ : RR: 22 x/menit, SpO2: 98
%%

22) Memonitor pola napas


DX1 08.03 WIB R/ : RR: 22 x/menit, SpO2: 98
%

DX1 08.05 WIB 23) Monitor bunyi napas


tambahan
R/ :Terdengar suara napas
tambahan ronchi

DX1 dan 3 08.06 WIB 24) Memposisikan klien semi


fowler atau fowler
R/ : klien kooperatif dan dalam
posisi semi fowler

DX1 08.15 WIB 25) Melakukan fisioterapi dada


R/ : Klien kooperatif

DX 3 08.18 WIB 26) Menyediakan suction di


ruangan.
R/ :suction sudah tersedia di
dekat klien
DX1 08.19 WIB 27) Melakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
R/ : SpO2 : 100 % dan klien
kooperatif
DX1 dan 3 08.20 WIB
28) Melakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
(suction)
R/ : Klien kooperatif

29) Memonitor sputum


DX1 08.21 WIB R/ : warna putih ke kuningan
kental dan banyak

DX1 dan 3 08.22 WIB 30) Mempertahankan kepatenan


jalan napas
R/ : Klien kooperatif

31) Memonitor pasien yang


DX1 09.00 WIB menggunakan alat bantu
ventilator (setiap 1 jam).
Hasil: Mode: CPAP, MV: 5,5,
TV: 258, Total Rate: 23, PEEP:
5, FiO2/O2: 30%, SpO2: 99%

32) Mengidentifikasi adanya nyeri


DX2 09.00 WIB
atau keluhan fisik lainnya
R/ : Klien mengatakan tidak ada
nyeri hanya merasa sedikit kaku
pada ekstremitas

33) Mengidentifikasi toleransi fisik


DX2 09.05 WIB melakukan pergerakan.
R/: dilakukan dengan kolaborasi
fisioterapi dan klien kooperatif

34) Memonitor kondisi umum


DX2 09.15 WIB
selama melakukan mobilisasi.
R/ : klien tampak tenang dan
kooperatif

DX2 09.16 WIB 35) Memonitor frekuensi dan


tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
R/ : klien kooperatif dan TD:
119/70, N: 91, S: 36 OC

DX3 12.00 WIB 36) Memeriksa residu gaster


sebelum memberikan asupan
oral
R/ : tidak ada retensi
DX3 12.01 WIB
37) Memposisikan semi fowler(30-
45 derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral
R/ :Klien dalam posisi semi
fowler
DX3 12.02 WIB 38) Memberikan makanan dengan
ukuran kecil atau lunak.
R/ : Nutrisi diberikan dalam
bentuk cairan yaitu susu
hepatosol 200 ml melalui NGT
Sabtu, 24/07/21
DX3 08.00 WIB 39) Memonitor tingkat
kesadaran,batuk,muntah dan
kemampuan menelan
R/ : GCS 4X6, pasien batuk
apabila di suction, pasien
terpasang tracheostomy

40) Monitor status pernapasan


DX3 08.03 WIB R/ : RR: 25x/menit, SpO2: 98
%

DX1 08.03 WIB 41) Memonitor pola napas


R/ : RR: 25 x/menit, SpO2: 98
%

42) Monitor bunyi napas tambahan


DX1 08.05 WIB R/ :Terdengar suara napas
tambahan ronchi

DX1 dan 3 08.06 WIB 43) Memposisikan klien semi fowler


atau fowler
R/ : klien kooperatif dan dalam
posisi semi fowler
DX1 08.15 WIB 44) Melakukan fisioterapi dada
R/ : Melakukan clapping dan
vibrating,Klien kooperatif

DX 3 08.18 WIB 45) Menyediakan suction di ruangan.


R/ :suction sudah tersedia di
dekat klien
DX1 08.19 WIB 46) Melakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
R/ : SpO2 : 100 % dan klien
kooperatif
DX1 dan 3 08.20 WIB
47) Melakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik (suction)
R/ : Klien kooperatif

DX1 08.21 WIB 48) Memonitor sputum


R/ : warna putih ke kuningan
kental dan banyak
DX1 dan 3 08.22 WIB
49) Mempertahankan kepatenan
jalan napas
R/ : Klien kooperatif

DX1 09.00 WIB 50) Memonitor pasien yang


menggunakan alat bantu
ventilator (setiap 1 jam).
Hasil: Mode: CPAP, MV: 5,5,
TV: 258, Total Rate: 23, PEEP:
5, FiO2/O2: 30%, SpO2: 99%

DX2 09.00 WIB 51) Mengidentifikasi adanya nyeri


atau keluhan fisik lainnya
R/ : Klien mengatakan tidak ada
nyeri
DX2 09.05 WIB
52) Mengidentifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan.
R/: dilakukan dengan kolaborasi
fisioterapi dan klien kooperatif
09.15 WIB
53) Memonitor kondisi umum
DX2 selama melakukan mobilisasi.
R/ : klien tampak tenang dan
kooperatif
09.16 WIB
54) Memonitor frekuensi dan
DX2
tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
R/ : klien kooperatif dan TD:
107/65, N: 103, S: 37,9 OC
12.00 WIB
55) Memeriksa residu gaster
DX3 sebelum memberikan asupan
oral
R/ : tidak ada retensi
12.01 WIB
56) Memposisikan semi fowler(30-
DX3 45 derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral
R/ :Klien dalam posisi semi
12.02 WIB fowler
DX3
57) Memberikan makanan dengan
ukuran kecil atau lunak.
R/ : Nutrisi diberikan dalam
bentuk cairan yaitu susu
hepatosol 200 ml melalui NGT

EVALUASI KEPERAWATAN
Tanggal dan Tanda
Diagnosis
jam Catatan Perkembangan Tangan/
Keperawatan
Paraf
Kamis, Bersihan jalan S:-
22/07/21 napas tidak efektif
b.d benda asing O:
Pukul dalam jalan napas  Klien terpasang
tracheostomy
14.00 WIB
 Produksi sputum kental
berwarna kuning
kehijauan bau amis
 Klien tidak sianosis crt <3
menit
 Masih terdapat suara
nafas tambahan ronkhi di
seluruh lapang paru
 Frekusensi napas klien
cukup membaik RR: 23
x/menit
 Mode: CPAP,
FiO2/O2: 30%, SpO2:
99%
A : masalah bersihan jalan
napas tidak efektif teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
Kamis, Gangguan S:-
22/07/21
mobilitas fisik b.d O :
Pukul penurunan  Pergerakan ekstremitas
14.00 WIB kekuatan otot d.d sedang dapat membolak
balikan telapak tangan
Kekuatan otot  Kekuatan otot klien
klien menurun 4 4
4 4 4 4
4 4  Rentang gerak ROM
aktif
 Tidak terdapat
kontraktur atau
dekubitus
A : masalah gangguan
mobilitas fisik belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
Kamis, Risiko Aspirasi S:-
22/07/21 b.d penurunan
refleks batuk dan O:
Pukul muntah.  Tingkat kesadaran
meningkat, GCS: 4X6
14.00 WIB
 Klien terpasng
tracheostomy
 Akumulasi sekret cukup
menurun mulut bersih
 Frekuensi napas klien
cukup membaik RR:
23x/menit.
 Kemamuan menelan
meningkat
A : masalah resiko aspirasi
belum terjadi
P : intervensi dipertahankan
Jum’at,23/07/2 Bersihan jalan S:-
napas tidak efektif
1 O:
b.d benda asing
dalam jalan napas  Klien terpasang
Pukul 14.00 tracheostomy
WIB  Produksi sputum kental
berwarna kuning
kehijauan
 Klien tidak sianosis crt <3
menit
 Masih terdapat suara nafas
tambahan ronkhi di lobus
superior dextra dan
inferior dextra
 Frekusensi napas klien
cukup membaik RR: 25
x/menit
 Hasil: Mode: CPAP,
FiO2/O2: 30%, SpO2:
100%

A : masalah Bersihan jalan


napas tidak efektif teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
manajemen jalan napas
Jum’at,23/07/2 Gangguan S:-
mobilitas fisik b.d
1 O:
penurunan
kekuatan otot  Pergerakan ekstremitas
Pukul 14.00
WIB sedang dapat membolak
balikan telapak tangan
 Kekuatan otot klien
4 4

4 4

 Rentang gerak ROM


aktif
 Tidak terdapat
kontraktur atau
dekubitus

A : masalah Gangguan
mobilitas fisik teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
Jum’at,23/07/2 Risiko Aspirasi S:-
b.d penurunan
1 O:
refleks batuk dan
muntah.  Tingkat kesadaran
Pukul 14.00 meningkat, GCS: 4X6
WIB  Klien terpasng
tracheostomy
 Akumulasi sekret cukup
menurun mulut bersih
 Frekuensi napas klien
cukup membaik RR:
25x/menit.
 Kemamuan menelan
meningkat
A : masalah Risiko Aspirasi
belum terjadi
P : intervensi dipertahankan
Sabtu, 24/07/21 Bersihan jalan S : -
napas tidak efektif
Pukul b.d benda asing O :
14.00 WIB dalam jalan napas  Klien terpasang
tracheostomy
 Produksi sputum kental
berwarna kuning
kehijauan berbau amis
 Masih terdapat suara nafas
tambahan ronkhi di lobus
superior dextra dan
inferior dextra
 Klien tidak sianosis crt <3
menit
 Frekusensi napas klien
cukup membaik RR: 20
x/menit SPO2100%
A : masalah Bersihan jalan
napas tidak efektif teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan

Sabtu, 24/07/21 Gangguan S:-


mobilitas fisik b.d
Pukul penurunan O:
14.00 WIB kekuatan otot  Pergerakan ekstremitas
meningkat dapat
mengangkat tangan
sebelah kanan
 Kekuatan otot klien
4 4

4 4

 Rentang gerak ROM


aktif
 Tidak terdapat
kontraktur atau
dekubitus
A : masalah Gangguan
mobilitas fisik teratasi
sebagian
P : intervensi dilanjutkan
Sabtu, 24/07/21 Risiko Aspirasi S:-
b.d penurunan
Pukul refleks batuk dan O:
muntah.  Tingkat kesadaran
14.00 WIB
meningkat, GCS: 4X6
 Klien terpasng
tracheostomy
 Akumulasi sekret cukup
menurun mulut bersih
 Frekuensi napas klien
cukup membaik RR:
25x/menit.
 Kemamuan menelan
meningkat
A : masalah Risiko Aspirasi
belum terjadi
P : intervensi dipertahankan

PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini, mahasiswa melaporkan pembahasan asuhan keperawatan pada


Ny.M dengan Guillain Barre Syndrome (GBS) yang dilaksanakan selama 3 hari, mulai
tanggal 22 Juli 2021 sampai dengan 24 Juli 2021 di ruang ICU GBPT Lt.2 RSUD
Dr.Soetomo Surabaya sesuai tiap fase dalam proses keperawatan yang meliputi pengkajian,
diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta dilengkapi pembahasan
dokumentasi keperawatan.

A. Pembahasan Pengkajian
Pada tahap pembahasan pengkajian ini penulis membandingkan antara teori
pengkajian menurut Doengoes (2002) dengan data hasil pengkajian pada Ny.M
dengan Guillain Barre Syndrome (GBS). Untuk memperoleh data tersebut, penulis
melakukan pengkajian kepada klien, keluarga, melakukan pemeriksaan fisik observasi
serta dari mempelajari status klien.Didapatkan klien dengan diagnose Guillain Barre
Syndrome (GBS) dengan identitas Ny.M usia 35 tahun MRS pada tanggal 14 Februari
2020 pukul 22.00 WIB (IGD). Klien masuk melalui IGD RSUD Dr.Soetomo pada
tanggal 14 Februari 2020 pukul 22.00 WIB, dengan penurunan kesadaran, dengan
diagnosa tumor otak dan suspek multicranial nerve palsy.Tanggal 15 Februari 2020
pukul 24.00 WIB pasien di pindah ke ruangan HCU A.Tanggal 16 Februari 2020pukul
21.00 WIB pindah ICU GBPT dengan diagnosa GBS tipe miller fisher + gagal nafas.
TD: 141/97 mmHg, N: 86 x/menit, RR: 34 x/menit, SpO2: 85-90 % (NRM 10 Lpm), T:
36,5OC, GCS: 325, terpasang infuse dan dower kateter.
Tanggal 28 Februari 2020 pukul 09.00 WIB , GCS: 4X6, Terpasang ETT dan
napas dibantu dengan ventilator, sudah dilakukan suction pada jam 08.00 dan 11.00
WIB (setiap 3 jam sekali atau sesuai kebutuhan pasien), pasien tidak kejang,
konjungtiva anemis, anemia ( HB 8,8 g/dl), TD:110/64 mmHg, N:96 x/menit, T: 36,4
O
C, RR: 24 x/menit, SpO2: 98 %.

B. Diagnosa Keperawatan
Dalam penyusunan diagnosa keperawatan penulis mengacu pada rumusan
diagnosa SDKI 2017. penulis menemukan 4 diagnosa keperawatan yang muncul pada
klien Ny.M dengan diagnosa utama yaitu:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan
napas ditandai dengan sputum berlebih
Menurut SDKI 2017, bersihan jalan napas tidak efektif adalah
ketidakmampuan secret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan
napas tetap paten. Diagnosa ini muncul karena pada saat pengkajian tanda dan
gejala pada Ny.M yaitu klien tidak mampu batuk dan terdapat sputum berlebh
dikarenakan adanya benda asing dalam jalan napas
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
Menurut SDKI 2017,gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Diagnosa ini muncul
karena pada saat pengkajian tanda dan gejala pada Ny.M yaitu klien mengalami
penurunan kekuatan otot dan sendi kaku
3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah
Menurut SDKI 2017,resiko aspirasi beresiko mengalami masuknya sekresi ke
gastrointestinal,sekresi orofaring,benda cair atau padat ke dalam saluran
trakeobronkhial akibat disfungsi mekanisme protektif saluran napas. Diagnosa ini
muncul karena pada saat pengkajian tanda dan gejala pada Ny.M yaitu klien
mengalami penurunan refleks batuk atau muntah

C. Intervensi Keperawatan
Dalam kegiatan tahap perencanaan ini adalah penentuan prioritas masalah.
Penetuan prioritas dilakukan karena tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu
yang bersamaan. Perencanaan pada masing-masing diagnosa untuk tujuan disesuaikan
dengan teori yang ada, dan lebih banyak melihat dari kondisi klien, keadaan
tempat/ruangan dan sumberdaya dari tim kesehatan. Pada penentuan kriteria waktu,
penulis juga menetapkan berdasarkan kondisi klien, ruangan sehingga penulis berharap
tujuan yang sudah disusun dan telah ditetapkan dapat tercapai. Adapaun pembahasan
perencanaan kepada klien Ny.M dengan GBS, sesuai prioritas diagnosa keperawatan
sebagai berikut :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan napas
ditandai dengan sputum berlebih
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan
napas meningkat, dengan kriteria hasil batuk efektif meningkat, produksi sputum
menurun, ronchi menurun, dispnea menurun, frekuensi napas membaik. (SLKI
2019,L.01001)
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas fsik
meningkat, dengan kriteria hasil pergerakan ekstremitas meningkat,kekuatan otot
meningkat,kaku sendi menurun,kelemahan fisik menurun. (SLKI 2019,L.05042)
3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah
Tujuan utama setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat aspirasi
menurun, dengan kriteria hasil tingkat kesadaran meningkat,kemampuan menelan
meningkat,kebersihan mulut meningkat,kelemahan otot menurun. (SLKI 2019,L.01006)
D. Implementasi Keperawatan
Pada tahap pelaksanaan ini, pada dasarnya disesuaikan dengan susunan
perencanaan, dengan maksud agar semua kebutuhan klien dapat terpenuhi secara
optimal. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan ini, penulis melibatkan klien,
keluarga, dan tim kesehatan lain sehingga dapat bekerja sama dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien. Dalam pelaksanaan penulis juga melakukan tindakan
secara mandiri, melakukan kolaborasi dengan dokter, dan tim kesehatan lainya. Dalam
hal hubungan baik antara klien, keluarga, dan tim kesehatan lain mempermudah untuk
penyembuhan klien. Adapun pembahasan pelaksanaan dari diagnosa utama yang telah
tersusun adalah sebagai berikut :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas
ditandai dengan akumulasi sekret berlebih
Implementasi yang diberikan kepada klien sesuai dengan SIKI 2019 pada
Intervensi keperawatan yaitu monitor pola napas, monitor bunyi napas tambahan
terdengar suara ronchi, monitor sputum berwarna putih kental dan banyak,
pertahankan kepatenan jalan napas, posisikan semi fowler atau fowler, melakukan
fisioterapi dada, melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik, melakukan
hiperoksigenasi sebelum penghisapan. Melakukan penghisapan lendir kurang dari
15 detik merupakan hal yang tepat dilakukan pada klien yang mengalami jalan
napas tidak efektif.

No. Peneliti(jurn Judul penelitian Metode (design, Hasil penelitian


al dan edisi) sampel, variabel,
dan instrumen)
1. Tati Murni The Effect Of Menggunakan desain Berdasarkan hasil
Karokaro, Lia Endotracheal penelitian kuantitatif penelitian terhadap
Hasrawi Tube (Ett) dengan rancangan 20 sampel Diruang
Suction adalah Quasi ICU Rumah Sakit
Jurnal
Measures On Experiment Grandmed Lubuk
Keperawatan
Our Saturation (experimen semu) Pakam Tahun 2019
dan
Levels In Failed dengan model dapat disimpulkan
Fisioterapi
Patients In Icu rancangan one group bahwa: Karakteristik
(JKF)
e-ISSN 2655-
Grandmed pretest-posttest, yaitu responden terbanyak
0830 Hospital sebelum di berdasarkan jenis
Vol. 2 No.1 laksanakannya maka kelamin yaitu laki-
Edisi Mei- dilakukan observasi laki sebesar 12
Oktober 2019 pada sample dan responden (60,0%),
sesudah perlakuan hasil analisis uji
dilakukan observasi Wilcoxon terdapat
kembali. Teknik perbedaan yang
pengumpulan data signifikan sebelum
dilakukan dengan dan sesudah dengan
teknik accidental hasil Nilai sebelum
sampling dimana dilakukan tindakan
hanya pasien yang suction meliputi
bertemu dengan nilai mean adalah
peneliti yang menjadi 86,90%, nilai
sampel penelitian, standar deviation
menggunakan adalah 4.553%,
Intrument lembar Maka ditarik
observasi. kesimpulan Ada
pengaruh sebelum
dan sesudah
tindakan suction
terhadap nilai
saturasi oksigen (p
< 0.005), sehingga
Ha diterima.
2. Peneliti : Pengaruh Desain penelitian
Terdapat pengaruh
Tindakan yang digunakan antara tindakan
Zahrah
Maulidia Penghisapan dalam penelitian ini suction dengan
Lendir (Suction) adalah pra pasca test kadar saturasi
Septimar,
Arki Rosina Terhadap (onegroup pra – post oksigen pada pasien
Novita Perubahan Kadar test design). kritis yang dirawat
di ruang ICU Rumah
Saturasi Oksigen Penelitian ini
Jurnal : Sakit An-Nisa
Pada Pasien melibatkan 40
Tangerang.
Jurnal Ilmu Kritis di ICU responden. Teknik
Kesehatan sampling yang Diketahui bahwa
Masyarakat, digunakan adalah rata-rata saturasi O2
Vol.07, teknik total sampling. pasien sebelum
No.01, Maret Alat pengumpulan dilakukan suction
2018. data menggunakan adalah 95,78%
lembar observasi. Sedangkan rata-rata
saturasi O2 pasien
setelah dilakukan
suction adalah
97,25%.
3. Widia Astuti Hubungan Jenis penelitian ini Hasil analisis
Aw, Fajar Intensitas adalah kuantitatif, bivariat didapatkan
Adhie Tindakan dengan mengunakan ada perbedaan
Sulistyo Suction Dengan pendekatan deskriptif bermakna antara
Perubahan Kadar analitik. Teknik Heart Rate (HR),
Saturasi Oksigen analisa yang Respiratory Rate
Jurnal Ilmiah
Pada Pasien digunakan penelitian (RR), saturasi
Wijaya
Yang Terpasang ini adalah oksigen (Sa ),
Volume 11
Nomor 2, Ventilator Di menggunakan metode Tekanan Darah (BP)
Juli- Ruang Icu Rsud cross sectional. Cara dan Mean Arterial
Desember Kota Bogor pengambilan sampel Pressure (MAP)
2019 Hal 134 penelitian ini dengan sebelum dan sesudah
- 142; teknik total mobilisasi progresif
website : samplingdengan dengan dengan p
www.jurnalw jumlah 42 responden value 0,000 dan
ijaya.com; yang terpasang 0,037 (p < 0,05).
ISSN : 2301- ventilator di ruang Hasil penelitian ini
4113 Intensive Care Unit. menyarankan
Pengumpulan data di mobilisasi progresif
peroleh melalui tetap diberikan pada
lembar observasi pasien kritis untuk
yang dibantu oleh 5 meningkatkan
perawat yang kualitas hidup pasien
bertugas. Analisa data dengan
yang digunakan memperhatikan
adalah univariat dan status hemodinamika
bivariat (Chi Square). pasien. Terjadi
peningkatan status
hemodinamik
setelah dilakukan
mobilisasi progresif
dalam batas normal.

2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun

No. Peneliti(jurn Metode (design,


al dan edisi) Judul penelitian sampel, variabel, Hasil penelitian
dan instrumen)
1. Tiurmauli Efektivitas Desain penelitian Menurut peneliti
Rotua Mobilisasi yang digunakan pemberian
Simanjuntak, Miring Kiri adalah penelitian mobilisasi miring
Agus Miring Kanan eksperimen dengan kiri miring kanan
Purnama Dalam Upaya kelompok kontrol baik itu dengan
Pencegahan intervensi. Data yang posisi 30 derajat atau
Jurnal Pressure Injury dikumpulkan berupa 90 derajat ada
Keperawatan Pada Pasien data kuantitatif dan pengaruh atau
Komprehensif Sepsis Di Ruang juga data kualitatif efektif dalam
Vol. 6 No.1, Instalasi yang di angkakan. penurunan kejadian
Januari 2020: Pelayanan peneliti mengambil pressure injury/luka
35-44 Intensif jumlah sampel tekan pada pasien
standar minimum sepsis di Ruang
penelitian eksperimen Instalasi Pelayanan
yaitu 15 pasien tiap Intensif terlebih
kelompok penelitian. pasien sepsis
Total sampel di kedua mengalami ganguan
kelompok adalah 30 koagulasi
orang dan sesuai dikarenakan
dengan kriteria komplikasi salah
inklusi dan eksklusi satunya adalah
dalam penelitian ini. pressure injury/luka
Analisa bivariat tekan. Dalam
penelitian ini mempertahankan
menggunakan uji kondisi dan posisi
statistik Chi Square. pasien dengan sepsis
ditempat tidur agar
dalam keadaan aman
untuk tidak
terjadinya pressure
injury/luka tekan,
maka perawat
dianjurkan untuk
melakukan
mobilisasi miring
kiri miring kanan
dengan
memposisikan
pasien 90 derajat
dalam waktu setiap 2
jam sekali guna
menghindari
terjadinya kerusakan
syaraf dan pembuluh
darah. Mobilisasi
miring kiri miring
kanan dapat berguna
dalam
mempertahankan
tonus otot dan
refleks pasien.
Selain itu mobilisasi
miring kiri miring
kanan juga bisa
meningkatkan
hubungan saling
percaya antara
perawat, pasien dan
keluarga pasien.
2. Wahyu Rima Pengaruh Desain penelitian Hasil analisis
Agustin1, Mobilisasi menggunakan metode bivariat didapatkan
Gatot Progresif quasi eksperimen ada perbedaan
Suparmanto, Terhadap Status dengan pre-post bermakna antara
Wahyuningsih Hemodinamik without control Heart Rate (HR),
Safitri Pada Pasien design. Pengukuran Respiratory Rate
Kritis Di dengan lembar (RR), saturasi
Journal of Intensive Care observasi untuk oksigen (Sa ),
Health Unit menilai Heart Rate Tekanan Darah (BP)
Research, Vol (HR), Respiratory dan Mean Arterial
3 No 1. Maret Rate (RR), saturasi Pressure (MAP)
2020 (20-27) oksigen (Sa ), sebelum dan sesudah
Available Tekanan Darah dan mobilisasi progresif
online at Mean Arterial dengan dengan p
https://jurnal.s Pressure (MAP) value 0,000 dan
tikesmus.ac.id sebelum dan sesudah 0,037 (p < 0,05).
/index.php/avi diberikan mobilisasi Hasil penelitian ini
cenna progresif. menyarankan
Avicenna : Pengambilan sampel mobilisasi progresif
dengan cara tetap diberikan pada
purposive sampling, pasien kritis untuk
sejumlah 19 meningkatkan
responden. Penelitian kualitas hidup pasien
ini dilaksanakan dengan
selama 1 bulan pada memperhatikan
bulan oktober 2018 status hemodinamika
pasien. Terjadi
peningkatan status
hemodinamik
setelah dilakukan
mobilisasi progresif
dalam batas normal.
3. Stefanus Pengaruh Penelitian ini Berdasarkan hasil
Mendes Kiik Mobilisasi Dini menggunakan tersebut maka dapat
Terhadap Waktu rancangan penelitian dikatakan bahwa
Jurnal Pemulihan Pre-eksperimental mobilisasi dini
Kesehatan Peristaltik Usus (One group pretest- dapat
(Health Pada Pasien posttest design). mempengaruhi
Journal) 8 Vol Pasca Operasi Penelitian ini waktu pemulihan
1. No.1 Abdomen Di melibatkan satu peristaltik usus.
November Ruang Icu kelompok subjek. Yang artinya bahwa
2012 - Bprsud Labuang Kelompok subjek proses pemulihan
Februari 2013 Baji Makassar diobservasi sebelum organ tubuh bagian
dilakukan intervensi, dalam lebih cepat.
kemudian diobservasi bahwa mobilisasi
lagi setelah dini mempercepat
intervensi. Populasi stadium proliferasi
dalam penelitian ini dengan merangsang
adalah pasien pasca makrofag untuk
operasi abdomen di menghasilkan
BPRSUD Labuang angiogenesis
Baji Makassar selama sehingga fibroplasia
30 Maret-13 April meletakkan
2009. Jumlah substansi dasar dan
populasi dalam serabut kolagen
penelitian ini adalah serta pembuluh
24 orang. Sampel darah mulai
dalam penelitian ini menginfiltrasi luka.
adalah pasien pasca Dengan mobilisasi
operasi abdomen dini secara teratur
yang menjalani maka sirkulasi di
pembedahan di daerah insisi
BPRSUD Labuang menjadi lancar
Baji tanggal 30 Maret sehingga jaringan
- 13 April 2009. insisi yang
Jumlah sampel dalam mengalami cedera
penelitian ini adalah akan mendapatkan
18 orang. zat-zat esensial
Pengambilan sampel untuk penyembuhan
pada penelitian ini seperti oksigen,
menggunakan metode asam amino,
Nonprobability vitamin dan
Sampling dengan mineral.
teknik Purposive
Sampling

3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah

No. Peneliti(jurn Metode (design,


al dan edisi) Judul penelitian sampel, variabel, Hasil penelitian
dan instrumen)
1. Muhammad Strategi Menelan Studi kasus ini Hasil studi kasus
Ardi dan Oral Motor menggunakan desain laki-laki berusia 50
Exercise Untuk deskriptif pada satu tahun tiba-tiba
Mencegah orang pasien stroke mengalami
Jurnal Media Aspirasi Pada yang mengalami kelemahan pada
Keperawatan: Pasien Stroke gangguan menelan. tubuh sisi kiri
Politeknik
Kesehatan Studi difokuskan sehingga tidak bisa
Makassar pada penerapan berjalan disertai
strategi menelan dan mulut mencong dan
Vol. 10 No.
oral motor exercise kesulitan menelan.
01 2019
untuk mencegah Tindakan
e-issn : 2622- aspirasi pada pasien keperawatan untuk
0148, p-issn : stroke yang mencegah terjadinya
2087-0035 mengalami gangguan aspirasi dengan
menelan. mengatur posisi
semi fowler saat
makan dan tetap
mempertahankan
posisi selama 30-45
menit setelah makan,
mengatur posisi
kepala (head turn)
saat makan/minum,
menganjurkan
keluarga untuk
memberi
kesempatan kepada
pasien untuk
menelan dan
memotong kecil
makanan,
mengajarkan oral
motor exercise.
Setelah lima hari
perawatan pasien
masih batuk,
keluarga sudah
memperhatikan
pengaturan posisi
saat makan dan
minum sehingga
pasien tidak
tersedak, namun
belum bisa
mengikuti seluruh
rangkaian oral
exercise yang baru
diajarkan satu kali.
Berdasarkan hal
tersebut, perawat
sebaiknya
melakukan screening
menelan pada pasien
stroke, menerapkan
strategi menelan dan
oral motor exercise
pada pasien stroke
yang mengalami
gangguan menelan
untuk mencegah
aspirasi.

2. Dyah Untari, I Efektivitas Desain penelitian Penelitian


made Kariasa, Perawatan Mulut menggunakan metode kuantitatif ini
Muhammad Menggunakan menggunakan
quasi eksperimen metode kuasi
Adam Madu Terhadap dengan pre-post eksperimen dengan
Risiko without control desain Pre dan
Journal Pneumonia design. Pengukuran Post test control
Educational Aspirasi Pada untuk membuktikan
dengan lembar efektifitas
of Nursing Pasien Stroke
observasi untuk perawatan mulut
(JEN) Vol.2 Yang Mengalami
No.2 – Juli – Penurunan menilai Heart Rate menggunakan madu
(HR), Respiratory dengan risiko
Desember Kesadaran Dan pneumonia aspirasi
2019; hal. 24- Disfagia Rate (RR), saturasi
pada pasien stroke
36 p-ISSN : oksigen (Sa ), yang mengalami
2655-2418; e- Tekanan Darah dan penurunan
ISSN : 2655- Mean Arterial kesadaran dan
7630 Pressure (MAP) disfagia. Penelitian
journal ini dilakukan di
sebelum dan sesudah RSPAD Gatot
homepage: diberikan mobilisasi Soebroto Puskesad
https://ejourna progresif. pada bulan Oktober-
l.akperrspadja November 2016.
Pengambilan sampel
karta.ac.id
dengan cara
purposive sampling,
sejumlah 19
responden. Penelitian
ini dilaksanakan
selama 1 bulan pada
bulan oktober 2018
3. Sukesi, Swallowing Metode dalam Dari 10 artikel yang
Untung Therapy literature review ini dianalisis, terdapat 6
Sujianto, artikel yang
Terhadap dimulai dari meneliti tentang
Muhamad pencarian artikel di swallowing therapy.
Disfagia Pada
Thohar Arifin beberapa jurnal, yaitu Swallowing therapy
Pasien Stroke:
Google scholar, adalah salah satu
Literature tindakan atau usaha
Review ResearchGate, latihan secara
Jurnal
Sciencedirect, langsung dengan
Keperawatan
Volume 13 pubmed, dan proquest memberikan terapi
dengan menggunakan diet secara bertahap
Nomor 2, Juni
2021 e-ISSN kata kunci, kemudian sesuai yang
2549-8118; menyeleksi artikel dianjurkan oleh ahli
p-ISSN 2085- diet. 6 artikel yang
sesuai dengan kriteria meneliti tentang
1049 inklusi. Artikel yang swallowing therapy
http://journal.s sudah diseleksi semua menunjukkan
tikeskendal.ac dilakukan analisis bahwa terapi ini
.id/index.php/ mempunyai dampak
atau dibuat sintesis positif yaitu adanya
Keperawatan
data dalam bentuk peningkatan fungsi
tabel Artikel menelan atau pasien
diperoleh dengan yang mengalami
disfagia.
menggunakan cara
akses internet atau
online, seperti Google
scholar,
ResearchGate,
Sciencedirect,
pubmed, proquest
dengan rentang waktu
penerbitan 5 tahun
terakhir (2016-2020).

E. Evaluasi Keperawatan
Pada evaluasi penulis mengukur tindakan yang telah dilaksanakan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Evaluasi disesuaikan dengan kriteria penilaian yang telah
ditetapkan dan waktu yang telah ditentukan pada tujuan keperawatan. Evaluasi adalah
tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
keberhasilan dari diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya. Adapun
evaluasi hasil dari diagnosa keperawatan utama adalah sebagai berikut :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d benda asing dalam jalan napas d.d sputum
berlebih
Evaluasi terakhir di lakukan pada tanggal 29 Februari 2020 pukul 14.00, dengan klien
masih terpasang tracheostomy dan alat bantu napas dibantu dengan ventilator,
produksi sputum cukup membaik,klien tidak sianosis,klien tidak gelisah,frekusensi
napas klien cukup membaik rr: 20 x/menit spo2100%,pola napas klien cukup
membaik. RR 26x/menit, masih terdengar suara ronchi pada lapang paru
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d Kekuatan otot klien
menurun
Evaluasi terakhir di lakukan pada tanggal 29 Februari 2020 pukul 14.00, dengan klien
pergerakan ekstremitas sedang,skala nyeri pada klien 0,kaku sendi pada klien
sedang,kelemahan fisik klien cukup meningkat,klien mampu mengangkat tangan
dan kaki walaupun belum maksimal,klien tampak melakukan latihan menggerakkan
sendi.
3. Risiko Aspirasi dibuktikan dengan penurunan refleks batuk atau muntah
Evaluasi terakhir di lakukan pada tanggal 29 Februari 2020 pukul 14.00, dengan
tingkat klien kesadaran meningkat, gcs: 4x6,klien terpasng tracheostomy,kelemahan
otot klien cukup membaik,akumulasi sekret cukup menurun,frekuensi napas klien
cukup membaik rr: 20x/menit.
F. Dokumentasi
Penulis melaksanakan asuhan keperawatan  dengan meggunakan pendekatan proses
keperawatan pada klien Ny.M dalam studi kasus ini penulis telah mendokumentasikan
secara lengkap mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai