Anda di halaman 1dari 8

Mengkritisi Peta Pendidikan RI Di Masa Pandemi

Oleh Abu Syauqy


Sudah setahun lebih pandemic covid 19 melanda negeri. Namun sampai saat
ini tak ada tanda-tanda akan berhenti. Justru yang ada malah tambah parah, kasus
positif bertambah, kasus kematian tembusa 1000 orang dalam sehari. Sehingga
Indonesia menempati posisi teratas dunia terparah kasus positif covid dalam
beberapa hari ini.
Pada awalnya, tak ada elit penguasa di negeri ini yang mampu menduga
Pandemic covid 19 akan separah ini. Sejak dari awal penguasa di negeri ini justru
menganggap sepele masalah covid19, dengan berbagai kelakar dan guyonan mereka
seakan tak percaya akan adanya wabah ini. Peringatan dari berbagai ahli kesehatan
dan epidemologi dianggap angina lalu. Bahkan penguasa lebih asyik dengan
menggelontorkan 72 milyar untuk membayar influencer sosmed dan ratusan milyar
untuk subsidi tiket pesawat, sebagai stimulus di sector pariwisata. Karena yang
pertama kena dampak corona adalah industri pariwisata yang semakin sepi.
Perlahan namun pasti dampak covid menjalar ke berbagai sector, ekonomi,
sosial, politik dan yang pasti pendidikan. Setelah pemerintah resmi mengumumkan
bahwa covid 19 sebagai bencana nasional pada pertengahan Maret 2020. Maka
resmi sudah proses belajar tatap muka langsung dilarang.
Di tengah kualitas pendidikan RI yang memang sudah tertinggal jauh
dibanding negara-negara di dunia, bahkan untuk Asia Tenggara pun, kualitas
pendidikan kita tidak lebih baik dari Vietnam. Eh, ditambah kondisi pandemic, ya
sudahlah tambah lengkap ketertinggalan kualitas pendidikan di negeri ini. Dalam
situasi normal saja rangking kualitas pendidikan di negeri ini jauh tertiinggal, apalagi
di masa pandemic ini. Prose belajar pendidikan yang konvesional tatap muka
langsung di kelas-kelas tak bisa dilaksanakan. Tatap maya (online) baik dengan video
conference atau data internet lainnya terkendala jaringan dan kemampuan akses
data mengalami banyak kendala. Akhirnya sudah dipastikan akan mengalami
kehilangan kesempatan belajar dalam 2 tahun terakhir ini.
Dua tahun kehilangan kesempatan belajar bukan merupakan hal yang remeh.
Bisa jadi ini merupakan awal dari menurunnya kualitas suatu generasi. Karena itu
dalam situasi seperti ini pemerintah dan melalui Kementerian Pendidikan mencoba
merumuskan Peta Pendidikan 2035 yang diluncurkan pada Juni 2020.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pemerintah meluncurkan peta
pendidikan 2035?
1. Tren global masyarakat dunia, berkaitan dengan tren global ada beberapa hal
yang perlu kita ketahui, seperti :
a. Perlu diketahui pada tahun 2030 Indonesia akan mengalami bonus
demografi atau pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi dengan
populasi sekitar 300 juta jiwa. Komposisi jumlah penduduk RI akan diisi 64
persen oleh usia produktif 15-64 tahun. Jika Ketersediaan lapangan kerja tak
ada, karena ekonomi tak maju, atau karena masuknya TKA tak terbendung,
atau karena kualitas pendidikan yang rendah sehingga tak bisa diserap
lapangan pekerjaan, maka sudah dipastikan akan terjadi kekacauan sosial.
b. Tren keterampilan yang perlu dikuasai. Ternyata keterampilan yang perlu
dikuasai masyarakat dunia di masa pendatang yang paling dibutuhkan (36
persen) justru keterampilan bagaimana “memecahkan masalah” dibanding
dengan keterampilan lainnya.

c. Sektor yang banyak membutuhkan SDM unggul di masa yang akan datang

2. Kondisi Kualitas Pendidikan Indonesia


Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi pendidikan Indonesia, seperti
1) Angka partisipasi Sekolah. Angka anak yang sekolah di Indonesia semakin
meningkat terutama di pendidikan dasar dan menengah. Namun masih
rendah di Perguruan Tinggi dan PAUD. Angka partisipasi di PT baru 36
persen dan PAUD 37 persen.
2) Angka hasil belajar, menurut PISA angka hasil belajar Indonesia masih
rendah, 70 persen masih dibawah kompetensi minimum. Itu artinya baru
30 persen hasil belajar anak sekolah di negeri ini dianggap lulus dari
standar minimum ketercapaian hasil belajar dunia yang diterapkan PISA.

3) kualitas Guru, Rata-rata kompetensi guru baru mencapai nilai 57 dari 100.
4) Infrastruktur Pendidikan yang masih rendah, baik itu ruang kelas,
teknologi pendidikan yang masih jauh dari harapan. Terbukti ketika
pandemic hari ini, nyaris warga sekolah mayoritas tak mampu mengakses
teknologi informasi untuk proses pembelajaran terutama di daerah-
daerah luar Jawa.

5) Anggaran Pendidikan. Walaupun sudah diamanatkan dalam UUD bahwa


anggaran pendidikan itu 20 persen dari APBN dan APBD. Akan tetapi
anggaran itu habis 60 persen untuk membayar gaji Guru ASN dan
Sertifikasi. Sisa hanya 40 persen dipakai untuk belanja infrastruktur dan
penunjang lainnya untuk seperti pengembangan kualitas guru jelas tak
akan memadai.

Berdasarkan beberapa hal di atas, maka pemerintah memetakan pendidikan


untuk 10 15 tahun kedepan. Namun pemetaan tadi bukan tanpa masalah. Itulah
sebabnya ketika peta pendidikan RI tahun 2030 ini dikritisi oleh PP Muhammadiyyah.
Alasannya peta pendidikan tersebut tidak secara tersurat menyebutkan pendidikan
agama sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi carut marutnya bangsa ini.
Sebagaimana umumnya pendidikan sekuler di negeri ini, maka sudah menjadi
tabiatnya aslinya pendidikan agama hanya sebagai pelengkap. Andai saja Indonesia
ini pendudukanya bukan mayoritas muslim. Mungkin pendidikan agama sudah hilang
di negeri ini.
Dalam Peta pendidikan 2030 memang nyata jelas tak ada bahasa agama.
Untuk melaksanakan peta pendidikan ini, pemerintah kemudian mengeluarkan PP no
57 tahun 2021. Ini juga diprotes karena di PP ini tidak memuat wajibnya pendidikan
Pancasila. Sebagaimana amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 memang tidak ada
pasal yang mengharuskan sekolah untuk mengajarkan mata pelajaran Pancasila.
Itulah sebabnya banyak pihak yang meminta merevisi peraturan perundang-
undangan ini.
Kekisruhan ini menambah panjang permasalahan pendidikan di negeri ini.
Akhirnya kementrian mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan Kepemdikbud
No. 162 tahun 2021 yang menjadi payung hukum untuk mengajarakan materi
Pancasila di satuan pendidakan. Dalam peraturan tersebut ada yang disebut dengan
Profil Pelajar Pancasila (P3). Ke depannya dalam struktur kurikulum sekolah P3 ini
merupakan rujukan dari materi-materi yang akan diajarkan pada setiap pelajaran.
Jadi struktur kurikulumnya seperti ini :
Artinya semua ranah belajar, seperti pengetahuan, sikap dan keterampilan
harus di turunkan dari Profil Pelajar Pancasila (P3). Ada 6 Profil Pelajar Pancasila
seperti :

Misal, seorang guru Agama Islam akan mengajarakan tentang akhlak, maka
guru tersebut harus mengambil beberapa P3 tadi yang kemudian disesuaikan dengan
mata pelajarannya, dan kemudian dijabarkan dalam proses pembelajarannya. Begitu
pun pelajaran yang lain.
Memang di peta pendidikan 2030 pendidikan agama masih dijadikan sebagai
pelajaran wajib. Bahkan materinya pun tidak banyak berubah, masih tetap ada
materi Quran, Hadits, Fiqih, Akidah, Akhlak dan Sejarah. Tetapi semua materi
tersebut harus di moderasi. Sebetulnya inilah masalahnya, artinya materi-materi
tersebut bukan diposisikan sebagaimana mestinya secara Islam kaffah. Tapi lebih
pada mengikuti cara pandang sekulerisme. Islam hanya dipandang secara normative
dan sekedar untuk dipelajari (islamolog). Sejak Era Jokowi moderasi pendidikan
agama Islam untuk guru-guru PAI sangat gencar dilakukan. Selain merevisi beberapa
materi di mata pejalaran fikih terutama bab khilafah, materi tentang sejarah Islam
pun mereka coba untuk diposisikan sebagai catatan saja. Artinya dalam moderasi PAI
guru-guru diubah persepsinya tentang Islam sesuai dengan persepsi sekuler.

Pendidikan dalam Islam


Hak pendidikan dalam Islam merupakan hak dasar yang harus dipenuhi.
Pemenuhannnya wajib dilakukan oleh Negara. Individu atau kelompok yang mau
berwakaf diperbolehkan dengan tetap mengacu pada aturan daulah.
Negara wajib menyediakan infrastruktur termasuk juga gaji guru. Namun dalam
kurikulum memang tidak diseragamkan dalam arti tidak ada kurikulum yang
‘nasional’ seperti gambaran saat ini. Kurikulum seperti ini sebetulnya sudah umum
diterapkan di negera-negara maju, seperti Eropa dan Amerika. Kurikulum mereka
mengacu kepada lembaga pendidikan tertentu di sebuah daerah provinsi atau
Negara bagian.
Contoh kurikulum Al-Azhar Mesir. Pada masanya kejayaan Islam kurikulum ini
diadopsi oleh negeri-negeri muslim di dunia, bahkan sampai sekarang. Kurikulum
Baghdad juga pernah berjaya, sehingga kita masih inget belajar Quran dengan
betode Baghdadiyyah.
Selama masa Kekhalifahan Islam itu, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam
yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Kendati beberapa di antaranya
hanya tinggal nama, nama-nama lembaga pendidikan Islam itu pernah mengalami
puncak kejayaan dan menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam. Beberapa
lembaga pendidikan itu, antara lain, Nizhamiyah (1067 -1401 M) di Baghdad, Al-
Azhar (975 M-sekarang) di Mesir, al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, Maroko dan
Sankore (989 M-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Model kurikulum seperti ini
juga masih berlaku di Eropa dan juga Amerika. Seperti hari ini ada sekitar 140 negera
di dunia yang mengadopsi kurikulum Cambridge, Oxford, dll.
Beda dengan kurkulum di kita, kita tak pernah mendengar kurikulum UI, IPB,
UI, UGM yang kemudian diadopsi oleh lembaga pendidikan di bawahnya. Karena
apa? Karena sistem dan struktur kurikulum pendidikan kita itu warisan penjahan
Belanda. Di mana sekolah yang didirkan oleh Belanda di bangun atau adakan hanya
untuk memenuhi kebutuhan lowongan pekerjaan yang dibutuhkan oleh Belanda.
Contoh perguruan tinggi School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA)
merupakan sekolah dokter bagi orang orang pribumi. STOVIA merupakan cikal bakal
dari Fakultas Kedokteran UI. Opleiding School Voor Inladsche Ambtenaren (OSVIA)
merupakan sekolah bagi calon pegawai ASN bumiputra. Atau Landbouw School di
Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Di bidang teknik ada
Technik Hoge School di Bandung yang sekarang adalah Institut Teknologi Bandung
(ITB).
Semua lembaga pendidikan yang tersebut memang awalnya dibangun untuk
memenuhi kebutuhan Belanda, maka kurikulum pun disetting sesuai dengan
kepentingan penjajah. Parahnya pola pikir pendidikan penjajah itu masih tertanam di
benak bangsa ini sampai sekarang. Itulah makanya pendidikan Islam seperti
pesantren pada masa penjajahan dipinggirkan bahkan dilarang. Bahkan di masa
sekarang ketika Umat mempelajari Islam mulai tumbuh kesadarannya akan
pentingnya pemahaman Islam yang kaffah kaum sekuler mencoba menghalanginya
dengan istilah moderasi agama.
Ada Peluang
Selalu ada peluang bagi guru dan orang tua untuk berjuang mendidik anaknya
terhindar dari pengaruh sekulerisme.
Pertama, dihapusnya Ujian Nasional. Dengan dihapusnya ujian nasional, maka orang
tua, guru, serta lembaga pendidikan tidak lagi disibukan atau menyita waktunya
untuk mengajarkan anak mata pelajaran yang bersifat keduniaan. Di masa anak-anak
dan remaja orang tua terutama bisa memberi porsi yang lebih kepada anaknya
untuk memahami dasar-dasar agama (aqidah dan syariah).
Kedua, Guru dan lembaga pendidikan di kurikulum yang baru diberikan keleluasaan
untuk mengembangkan materi. Karena pemerintah hanya memberi batasan yang
disebut dengan Capaian Pembelajaran. Guru atau sekolah tidak dikejar target harus
menyelesaikan materi-materi yang berupa KD seperti di kurikulum 2013. Materi-
materi diserahkan untuk dikembangkan oleh sekolah dan guru dan sekolah. Yang
penting tetap mengacu ke Capaian Pembelajaran yang masih bersifat umum.
Kedepanya saya optimis bahwa kurikulum pendidikan Islam akan maju,
apalagi kalau didukung dengan berdirinya daulah khilafah. Tapi setidaknya saya
melihat model kurikulum pendidikan Islam di Ponpes Darussalam Gontor yang
diadopsi oleh ratusan pesantren di Indoneisa bahkan di luar negeri (ponpes di
Jerman dan Amerika). Jadi nanti kurikulum pendidikan akan merujuk pada lembaga-
lembaga pendidikan yang terpercaya, lulusan-lulusannya akan diberikan ijazah
melalui talaqi ke syeikh termasyhur dibidangnya.
Wallahu mustaan ila sabililhaq

Anda mungkin juga menyukai