Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika
ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam
sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat
kapitalistis seperti :
Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan
pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah.
Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah
dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika
dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah.
Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang
tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah
Negara.
The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina
sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian
oleh WN Filipina dan AS.
Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang
berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan
urusan birokrasi, untuk melegalisasi kalim-klaim atas tanah.
Ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum
Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara
yang menguntungkan para kapitalis.
Pertama, pemerintah masih memegang pandangan kolonial yaitu “Moro yang baik,
adalah Moro yang mati.
Kedua, kaum Muslim adalah warga kelas dua di Filipina.
Ketiga, kaum Muslim adalah penghambat pembangunan.
Keempat, masalah Moron adalah masalah integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan
mereka dalam arus utama (main stream) tubuh politik nasional.
Sementara bagian terbesar kaum Muslim filipina tidak memiliki rasa identitas nasional
disebabkan oleh :
Sebaliknya pandangan pemerintah bahwa masalah Moro tidak lain hanyalah masalah
integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalam arus utama di tubuh nasional. Dalam
kerangka itu, maka dalam menyelesaikan masalah Moro, Manila mengambil kebijakan strategis
antara lain :
Pertama, militerisasi. Kebijakan ini biasanya diterapkan dalam kasus-kasus kriminal yang
dilaporkan dilakukan oleh orang Islam, dan ini dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak
sipil warga negara dan batasbatas konstitusional.
Kedua, kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang Kristen dari Luzon, dan
Propinsi Visayan ke daerah Muslim, serta mengubah komposisi dan demografi di wilayah
Muslim tersebut.326.
Ketiga, Kebijakan pemerintah untuk mencap kegiatan kaum Muslim sebagai
“Fundamentalis Muslim”.
Keempat, kebijakan pemusnahan, seperti pembunuhan membabi buta dan pembantaian
penduduk sipil sebagaimana yang terjadi dalam pembantaian Kawit, Jabidah, Masjid
Mannila, Pembakaran kota Jolo, dan lain sebagainya.
Catatan : diperlukan kejujuran dan sikap adil bagi kedua belah pihak agar sehala kebijakan yang
dibuat dapat berjalan dengan baik.