A. PENDAHULUAN
Pada era Reformasi sekarang ini, pengawasan intern pada instansi
pemerintah memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance di
Indonesia. Konsep good governance menurut World Conference on Governance
UNDP Tahun 1999 diartikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang
baik, dengan melibatkan stakeholders terhadap berbagai kegiatan perekonomian,
sosial politik, dan pemanfaatan berbagai sumber daya seperti sumber daya alam,
keuangan, dan manusia bagi kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan
menganut asas keadilan, pemerataan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
Penerapan good governance tersebut diharapkan dapat meningkatkan
iklim keterbukaan, integritas, dan akuntabilitas yang sejalan dengan prinsip dasar
good governance. Adapun prinsip dasar good governance tersebut adalah
Kesatu Keterbukaan, dimana iklim keterbukaan yang diciptakan melalui proses
komunikasi yang jelas, akurat, dan efektif dengan pihak stakeholders dapat
membantu proses pelaksanaan suatu kegiatan secara tepat waktu dan efektif,
Kedua Integritas, yang tercermin pada prosedur pengambilan keputusan dan
kualitas pelaporan keuangan dan kinerja yang dihasilkan dalam suatu periode
tertentu, dan Ketiga Akuntabilitas, yang merupakan bentuk pertanggungjawaban
setiap individu maupun secara organisatoris pada institusi publik kepada pihak-
pihak luar yang berkepentingan atas pengelolaan sumber daya, dana, dan seluruh
unsur kinerja yang diamanatkan kepada mereka. Ketiga prinsip good governance
tersebut tercermin secara jelas dalam proses penganggaran, pelaporan keuangan,
1
Disampaikan pada Diklat Teknis Administrasi Kejaksaan (TAK) Angkatan I dan Angkatan II
Tahun 2018, Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia.
1
dan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
memerlukan peran aparatur pengawasan intern 2.
Sebagai upaya mewujudkan good governance di Kejaksaan Republik
Indonesia (Kejaksaan), Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan selaku aparat
pengawasan intern di lingkungan Kejaksaan memegang peranan penting dalam
mendukung tercapainya akuntabilitas kinerja, akuntabilitas keuangan, dan
integritas Aparatur Kejaksaan. Hal tersebut dilaksanakan melalui pengawasan
melekat, pengawasan fungsional, implementasi peran Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP), dan penegakan disiplin Pegawai Kejaksaan, yang secara
operasional telah dirumuskan dalam Rencana Strategis Jaksa Agung Muda Bidang
Pengawasan Tahun 2015-2019.
B. PENGERTIAN PENGAWASAN
Pengertian pengawasan telah banyak dirumuskan oleh para ahli dalam
berbagai literatur. Sujamto mengartikan pengawasan sebagai suatu usaha atau
kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai
pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak 3.
Bagir Manan mengartikan pengawasan sebagai fungsi sekaligus hak sehingga
lazim disebut fungsi kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan
pengendalian. Pengawasan yang bertalian dengan pembatasan dan pengendalian
bertalian dengan arahan4. Manullang menyebutkan pengawasan sebagai proses
untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan peneilaiannya dan
mengkoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai
rencana semula5. Siagian mengartikan pengawasan sebagai proses pengamatan
terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya
semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang
2
Wakhyudi, Pemberdayaan Peran Audit Internal dalam Mewujudkan Good Governance Pada
Sektor Publik, 2005.
3
Sujamto, 1986, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta,
halaman 19..
4
Bagir Manan, 2000, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat Terhadap Lembaga Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif, makalah disampaikan pada Forum Orientasi dan Tatap Muka Tingkat Nasional
Kosgoro di Cianjur, tanggal 26 Juli 2000, halaman 1-2.
5
Manullang, 1997, Dasar-Dasar Manajemen, Monara, Medan, halaman 10.
2
telah ditentukan sebelumnya6. Dari beberapa pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengawasan merupakan kegiatan menilai suatu pekerjaan
apakah telah dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Paulus Effendi Lotulung membedakan pengawasan menjadi kontrol
intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu
dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk
dalam lingkungan pemerintah sendiri, seperti pengawasan yang dilakukan oleh
pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis. Kontrol ekstern
merupakan pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang
secara organisatoris/struktural berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif,
seperti Badan Pemeriksa Pengawas Keuangan (BPK), media massa, dan
pengawasan politik7.
Menurut Muchsan, pengawasan yang baik harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas;
b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap pelaksanaan
suatu tugas yang akan diawasi;
c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang
sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut;
d. Tindakan pengawasan berakhir dengan disusunnya evaluasi akhir terhadap
kegiatan yang dilaksanakan serta pencocokkan hasil yang dicapai dengan
rencana tolok ukurnya;
e. Untuk selanjutnya tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut
secara administratif maupun secara yuridis 8.
6
Sondang P. Siagian, 1989, Filsafat Administrasi, Haji Mas Agung, Jakarta, halaman 107.
7
Paulus Effendi Lotulung, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah, Citra Aditya Bhakti, Bandung, halaman xv-xvii.
8
Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia, halaman 39.
3
C. DASAR YURIDIS PENGAWASAN APARATUR PEMERINTAH
Untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam pelaksanaan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa, telah diterbitkan Instruksi Presiden
Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan yang memuat
garis besar tata kerja pengawasan sebagai pedoman pelaksanaan pengawasan di
lingkungan instansi pemerintah. Dalam Instruksi Presiden tersebut digariskan 2
(dua) bentuk pengawasan, yaitu :
2. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah, dimana pimpinan semua satuan organisasi
pemerintahan dan proyek pembangunan menciptakan pengawasan melekat
yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. melalui penggarisan struktur organisasi yang jelas dengan pembagian tugas
dan fungsi beserta uraiannya yang jelas pula;
b. melalui perincian kebijaksanaan pelaksanaannya yang dituangkan secara
tertulis yang dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaannya oleh bawahan
yang menerima pelimpahan wewenang dari atasan;
c. melalui rencana kerja yang menggambarkan kegiatan yang harus
dilaksanakan, bentuk hubungan kerja antar kegiatan tersebut, dan hubungan
antara berbagai kegiatan beserta sasaran yang harus dicapainya;
d. melalui prosedur kerja yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang jelas
dari atasan kepada bawahan;
e. melalui pencatatan hasil kerja serta pelaporannya yang merupakan alat bagi
atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi pengambilan
keputusan serta penyusunan pertanggungjawaban, baik mengenai
pelaksanaan tugas maupun mengenai pengelolaan keuangan;
f. melalui pembinaan personil yang terus menerus agar para pelaksana
menjadi unsur yang mampu melaksanakan dengan baik tugas yang menjadi
4
tanggung jawabnya dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan
dengan maksud serta kepentingan tugasnya9.
3. Bentuk Pengawasan
Pengawasan di lingkungan Kejaksaan dilaksanakan dengan bentuk pengawasan
melekat dan pengawasan fungsional, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Pengawasan Melekat
Pengawasan Melekat dilaksanakan oleh Pejabat Pengawasan Melekat yang
terdiri dari :
Tingkat Kejaksaan Agung :
1) Jaksa Agung R.I.;
2) Pejabat struktural eselon I;
3) Pejabat struktural eselon II;
4) Pejabat struktural eselon III;
5) Pejabat struktural eselon IV.
Tingkat Kejaksaan Tinggi :
1) Kepala Kejaksaan Tinggi dan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi;
2) Pejabat struktural eselon III;
3) Pejabat struktural eselon IV;
4) Pejabat struktural eselon V.
6
Tingkat Kejaksaan Negeri :
1) Kepala Kejaksaan Negeri;
2) Pejabat stuktural eselon IV;
3) Pejabat struktural eselon V.
Pengawasan Melekat dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut :
a) Dilaksanakan secara terus menerus dengan memperhatikan sistem
pengendalian manajemen, ditempat satuan kerja sampai dua tingkat ke
bawah;
b) Terhadap Jaksa juga dilaksanakan menggunakan Instrumen Penilaian
Kinerja Jaksa dengan menilai unsur Penanganan Perkara dan Administrasi
Perkara;
c) Pimpinan satuan kerja yang melaksanakan Pengawasan Melekat dan
memperoleh temuan yang ada kaitannya dengan satuan kerja lain, wajib
menyampaikan temuan tersebut kepada pimpinan satuan kerja yang
bersangkutan;
d) Pimpinan satuan kerja yang melaksanakan Pengawasan Melekat dan
menemukan adanya pelanggaran disiplin wajib melakukan pemeriksaan
dan/atau menyerahkan hasil temuannya kepada Pejabat Pengawasan
Fungsional (PPF);
e) Pimpinan satuan kerja wajib mengusulkan pemberian penghargaan dalam
bentuk rekomendasi tertulis secara berjenjang terhadap temuan prestasi
kerja dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh bawahan.
b. Pengawasan Fungsional
Pengawasan Fungsional merupakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas semua unsur Kejaksaan serta sikap, perilaku, dan tutur kata pegawai
Kejaksaan yang dilaksanakan oleh PPF sebagai berikut :
Tingkat Kejaksaan Agung:
1) Jaksa Agung R.I.;
2) Jaksa Agung Muda Pengawasan;
3) Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan;
7
4) Inspektur;
5) Inspektur Muda;
6) Kepala Bagian pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan;
7) Pemeriksa;
8) Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.
Tingkat Kejaksaan Tinggi:
1) Kepala Kejaksaan Tinggi;
2) Asisten Pengawasan;
3) Pemeriksa;
4) Jaksa Fungsional pada Asisten Bidang Pengawasan.
Tingkat Kejaksaan Negeri (memiliki Cabang Kejaksaan Negeri) :
1) Kepala Kejaksaan Negeri;
2) Pemeriksa.
Pengawasan fungsional dilaksanakan dengan fungsi sebagai berikut :
a) Melakukan pencegahan dan penindakan agar tugas rutin dan
pembangunan serta sikap, perilaku dan tutur kata Pegawai Kejaksaan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana
kerja dan program kerja serta kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa
Agung R.I.;
b) Mengambil langkah-langkah berupa pemeriksaan, penertiban dan
penindakan terhadap penyimpangan yang ditemukan;
c) Menindaklanjuti laporan pengawasan melekat sebagai salah satu dasar
pelaksanaan pengawasan fungsional.
Pengawasan fungsional terdiri dari:
a) Pengawasan di Belakang Meja;
b) Inspeksi Pimpinan;
c) Inspeksi Umum;
d) Pemantauan;
e) Inspeksi Khusus;
f) Inspeksi Kasus.
8
Pengawasan di Belakang Meja
Pengawasan di Belakang Meja dilaksanakan dengan melakukan penelitian,
pengujian, bimbingan, penertiban, serta pemberian saran dan pertimbangan
atas surat-surat dari satuan kerja, laporan pengaduan atau sumber
informasi lainnya yang diterima.
Inspeksi Pimpinan
Inspeksi Pimpinan merupakan inspeksi terhadap kepemimpinan yang terkait
dengan manajerial dan teknis dari pejabat struktural eselon II ke bawah,
yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan atau Sekretaris
Jaksa Agung Muda Pengawasan atas perintah Jaksa Agung Muda
Pengawasan. Inspeksi Pimpinan diakhiri dengan memberikan pengarahan,
petunjuk penertiban atas hasil temuan inspeksi.
Inspeksi Umum
Inspeksi Umum dilaksanakan berdasarkan Program Kerja Pengawasan
Tahunan (PKPT) dan Program Kerja Pemeriksaan (PKP) oleh PPF
berdasarkan surat perintah Jaksa Agung R.I. atau Jaksa Agung Muda
Pengawasan atau Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri.
Inspeksi Umum diakhiri dengan penyampaian hasil temuan inspeksi dan
memberikan pokok-pokok petunjuk penertiban.
Pemantauan dilaksanakan oleh PPF berdasarkan surat perintah Jaksa Agung
R.I. atau Jaksa Agung Muda Pengawasan atau Kepala Kejaksaan Tinggi atau
Kepala Kejaksaan Negeri. Pemantauan bertujuan untuk mencapai hasil
optimal dalam rangka mencapai sasaran yang tepat dan memberikan
penilaian terhadap kemajuan suatu program atau kegiatan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Inspeksi Khusus
9
Inspeksi Khusus dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan dan atau
PPF atas perintah Jaksa Agung Muda Pengawasan, Asisten Pengawasan dan
atau PPF atas perintah Kepala Kejaksaan Tinggi terhadap seluruh kegiatan
dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi Kejaksaan yang didanai
dengan APBN, pengamanan aset negara, keandalan pelaporan keuangan
dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pelaksana inspeksi
berwenang melakukan Audit, Reviu, dan Evaluasi.
Audit terdiri dari Kesatu Audit Kinerja yang dilakukan terhadap pengelolaan
keuangan negara, antara lain audit atas penyusunan dan pelaksanaan
anggaran, audit atas penerimaan, penyaluran, dan penggunaan dana, audit
atas pengelolaan aset dan kewajiban, dan pelaksanaan tugas dan fungsi
kegiatan untuk pencapaian sasaran dan tujuan atas aspek kehematan,
efisiensi, dan efektivitas, Kedua Audit Dengan Tujuan Tertentu yang
dilakukan terhadap pengelolaan keuangan negara, antara lain audit atas
penyusunan dan pelaksanaan anggaran, audit atas penerimaan, penyaluran,
dan penggunaan dana, audit atas pengelolaan aset dan kewajiban, dan
pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan untuk pencapaian sasaran dan
tujuan atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas. Audit Dengan
Tujuan tertentu meliputi audit investigatif, audit atas penyelenggaraan
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, dan audit atas hal-hal lain di
bidang keuangan.
Reviu dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan terhadap laporan
keuangan Kejaksaan sebelum disampaikan Jaksa Agung R.I. kepada Menteri
Keuangan, dan dilaksanakan oleh Asisten Pengawasan berdasarkan perintah
Kepala Kejaksaan Tinggi terhadap laporan keuangan Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri didaerah hukumnya sebelum disampaikan ke Kejaksaan
Agung. Reviu juga dilakukan pada saat perencanaan, penganggaran dan
pelaksanaan kegiatan.
Evaluasi dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan terhadap
implementasi sistem akuntabilitas kinerja pada unit/satuan kerja di
10
Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi, dan Asisten Pengawasan
berdasarkan perintah Kepala Kejaksaan Tinggi terhadap implementasi
sistem akuntabilitas kinerja pada unit/satuan kerja pada Kejaksaan Negeri
dan Cabang Kejaksaan Negeri di daerah hukumnya yang hasilnya dilaporkan
kepada Jaksa Agung R.I. melalui Jaksa Agung Muda Pengawasan sesuai
hierarki.
Inspeksi Kasus
Inspeksi Kasus dilaksanakan berdasarkan adanya dugaan pelanggaran
disiplin yang diperoleh dari Temuan Pengawasan Melekat, Temuan Inspeksi
atau Hasil Pemantauan, Laporan Pengaduan, atau Hasil Klarifikasi. Terhadap
laporan pengaduan dilaksanakan inspeksi kasus apabila ditemukan bukti
awal telah terjadi perbuatan pelanggaran disiplin, atau atas pertimbangan
Pimpinan. Inspeksi Kasus dilaksanakan oleh Atasan Langsung atau Tim yang
ditunjuk atasan langsung di lingkungan kerjanya; atau Tim Pemeriksa.
Inspeksi kasus yang dilaksanakan oleh atasan langsung atau Tim yang
ditunjuk atasan langsung di lingkungan kerjanya didasarkan pada surat
perintah pimpinan satuan kerja atau setidak-tidaknya pejabat struktural
eselon III di lingkungannya. Apabila Jaksa Agung R.I. selaku atasan
langsung maka inspeksi kasus dapat dilakukan oleh Jaksa Agung Muda
Pengawasan berdasarkan surat perintah Jaksa Agung R.I.
Tim Pemeriksa terdiri dari unsur PPF, Atasan Langsung dan Pejabat di
bidang kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan surat
perintah Jaksa Agung R.I. atau Jaksa Agung Muda Pengawasan (tingkat
Kejaksaan Agung), atau surat perintah Kepala Kejaksaan Tinggi (tingkat
Kejaksaan Tinggi), atau surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri (tingkat
Kejaksaan Negeri).
Inspeksi kasus terhadap laporan pengaduan yang menarik perhatian
masyarakat baik pada tingkat daerah maupun nasional, selambat-lambatnya
11
dalam waktu 10 hari kerja harus sudah ada penjatuhan hukuman disiplin
atau penghentian pemeriksaan dari pejabat yang berwenang. 10
13
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
14
Pasal 1 angka 3 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
15
5) melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan
penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
6) menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS;
7) mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan sendiri,
seseorang, dan atau golongan;
8) memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah
harus dirahasiakan;
9) bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
negara;
10) melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal
yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah
terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil;
11) masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;
12) mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan;
13) menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-
baiknya;
14) memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
15) membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas;
16) memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier;
dan
17) menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang.
2. Larangan
Setiap PNS dilarang untuk :
1) menyalahgunakan wewenang;
2) menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang
lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3) tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain
dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
16
4) bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya
masyarakat asing;
5) memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen
atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
6) melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan,
atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan
tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan negara;
7) memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik
secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk
diangkat dalam jabatan;
8) menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang
berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9) bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10) melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11) menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
atribut PNS;
c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13) memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
17
b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan,
seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14) memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan
surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat
Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
15) memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
dengan cara:
a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan
kampanye;
c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan,
seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat15.
16
Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
19
Pemeriksaan
- Sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa
terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.
- Tujuan pemeriksaan adalah untuk mengetahui apakah PNS yang
bersangkutan benar atau tidak melakukan pelanggaran disiplin, serta
faktor apa saja yang mendorong/menyebabkan Ia melakukannya.
- Pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam
bentuk berita acara pemeriksaan.
- Pemeriksaan secara tertutup adalah pemeriksaan yang hanya dihadiri oleh PNS
yang diduga melakukan pelanggaran disiplin dan Pemeriksanya.
- Apabila menurut hasil pemeriksaan kewenangan untuk menjatuhkan hukuman
disiplin kepada PNS tersebut merupakan kewenangan atasan langsung yang
bersangkutan maka atasan langsung tersebut wajib menjatuhkan hukuman
disiplin, atau kewenangan pejabat yang lebih tinggi maka atasan langsung
tersebut wajib melaporkan secara hierarki disertai berita acara pemeriksaan.
- Khusus untuk pelanggaran disiplin dengan ancaman hukuman disiplin sedang
dan berat dapat dibentuk Tim Pemeriksa yang terdiri dari atasan langsung,
unsur pengawasan, dan unsur kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk
yang dibentuk oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang
ditunjuk.
- Apabila diperlukan, atasan langsung, Tim Pemeriksa atau pejabat yang
berwenang menghukum dapat meminta keterangan dari orang lain.
- Dalam rangka kelancaran pemeriksaan, PNS yang diduga melakukan
pelanggaran disiplin dan kemungkinan akan dijatuhi hukuman disiplin tingkat
berat, dapat dibebaskan sementara dari tugas jabatannya oleh atasan langsung
sejak yang bersangkutan diperiksa sampai dengan dengan ditetapkannya
keputusan hukuman disiplin.
- Berita acara pemeriksaan harus ditandatangani oleh pejabat yang
memeriksa dan PNS yang diperiksa yang dalam hal PNS yang diperiksa
tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan maka berita acara
20
pemeriksaan tersebut tetap dijadikan sebagai dasar untuk menjatuhkan
hukuman disiplin.
21
- Dalam hal PNS yang dijatuhi hukuman disiplin tidak hadir pada saat
penyampaian keputusan hukuman disiplin, keputusan dikirim kepada yang
bersangkutan17.
Penanganan dugaan pelanggaran disiplin Pegawai Kejaksaan secara
khusus dilaksanakan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung R.I. Nomor : PER-
022/A/JA/03/2011 tanggal 18 Maret 2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan
Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Jaksa
Agung R.I. Nomor : PER-015/A/JA/07/2013 tanggal 2 Juli 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung R.I. Nomor : PER-022/A/JA/03/2011
tanggal 18 Maret 2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik
Indonesia. Di dalam peraturan tersebut diatur bab mengenai penanganan laporan
pengaduan dan penjatuhan hukuman disiplin.
Laporan Pengaduan diartikan sebagai informasi tertulis maupun lisan yang
berisi adanya dugaan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pegawai Kejaksaan
yang bersumber dari masyarakat, lembaga negara, instansi pemerintah, media
massa dan sumber-sumber lain. Pelanggaran disiplin diartikan sebagai setiap
ucapan, tulisan atau perbuatan pegawai Kejaksaan yang tidak mentaati kewajiban
dan/atau melanggar larangan, baik yang dilakukan didalam maupun diluar jam
kerja18.
Setiap laporan pengaduan dibuatkan telaahan oleh PPF dalam waktu
paling lama 1 (satu) hari kerja dan dilaporkan kepada pimpinan satuan kerja yang
hasilnya dapat berupa tidak ditemukan bukti awal dugaan pelanggaran disiplin
sehingga tidak ditindaklanjuti, telah ditemukan bukti awal dugaan pelanggaran
disiplin sehingga ditindaklanjuti dengan melakukan klarifikasi atau Inspeksi Kasus,
atau substansi permasalahannya merupakan lingkup bidang teknis sehingga
ditindaklanjuti dengan melakukan Eksaminasi Khusus atau diteruskan kepada
bidang teknis terkait.
Pasal 23-31 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
17
23
b) Pasal 3 dan/atau Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil; atau
c) Peraturan Perundang undangan lainnya.
Pasal 2 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tersebut,
mengatur pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri terhadap
seorang Jaksa dengan alasan tidak cakap dalam menjalankan tugas yang
diusulkan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan kepada Jaksa Agung R.I. setelah
dilakukan pemeriksaan terhadap Jaksa yang bersangkutan oleh PPF.
Dan pada Pasal 5 -nya mengatur pemberhentian tidak dengan hormat dari
jabatannya terhadap seorang Jaksa dengan alasan dipidana karena bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, atau terus-menerus melalaikan kewajiban
dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, melanggar larangan perangkapan
jabatan/pekerjaan, melanggar sumpah atau janji jabatan, atau melakukan
perbuatan tercela.
Sedangkan Pegawai Kejaksaan yang diduga telah melakukan pelanggaran
disiplin terhadap Pasal 3 dan/atau Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun
2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketentuan diatas berlaku sebagai hukum materiil yang harus dibuktikan
oleh Pemeriksa untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin oleh
Pegawai Kejaksaan yang lebih luas dari Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun
2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Permintaan keterangan terhadap saksi atau terlapor dilaksanakan secara
tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara permintaan
keterangan. Pegawai Kejaksaan yang dimintai keterangan sebagai saksi wajib
hadir dan memberikan keterangan yang benar. Permintaan keterangan terhadap
saksi yang bukan pegawai Kejaksaan dituangkan dalam bentuk berita acara
permintaan keterangan, kecuali apabila yang bersangkutan keberatan dapat
dituangkan dalam bentuk surat pernyataan tertulis.
24
Permintaan keterangan terhadap dugaan pelanggaran disiplin dilakukan
oleh Tim Pemeriksa dari unsur PPF yang dilaksanakan di kantor Kejaksaan, kecuali
dalam keadaan tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan, dapat dilaksanakan
di tempat lain. Dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan permintaan
keterangan secara konfrontir. Berita acara permintaan keterangan harus ditanda
tangani oleh pejabat yang meminta keterangan dan yang diminta
keterangan.Dalam hal terlapor tidak bersedia menandatangani berita acara
permintaan keterangan, dibuat berita acara penolakan dan berita acara
permintaan keterangan tersebut tetap dijadikan sebagai dasar untuk menjatuhkan
hukuman disiplin. Terlapor berhak memperoleh copy berita acara permintaan
keterangannya.
Inspeksi kasus terhadap pelanggaran disiplin Pasal 3 dan/atau Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Pegawai Negeri Sipil dengan
ancaman hukuman disiplin ringan dilaksanakan oleh atasan langsung. Sedangkan
Inspeksi kasus terhadap pelanggaran disiplin Pasal 2 huruf e atau Pasal 5
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian
Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian
Sementara, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa Yang Terkena Pemberhentian
dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, atau
pelanggaran disiplin Pasal 3 dan/atau Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 tentang Pegawai Negeri Sipil dengan ancaman hukuman disiplin
sedang dan berat dilaksanakan oleh Tim Pemeriksa.
Inspeksi kasus terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pejabat
stuktural eselon II atau eselon III atau berdasarkan pertimbangan lain sesuai
petunjuk pimpinan, dilaksanakan oleh Tim Pemeriksa Kejaksaan Agung. Untuk
kepentingan inspeksi kasus, Tim Pemeriksa dapat melakukan Eksaminasi Khusus
terhadap perkara pidana maupun perdata, apabila pemeriksaan tersebut terkait
dengan penyalahgunaan dalam penanganan perkara. Hasil Inspeksi Kasus
dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Inspeksi Kasus.
25
Hasil inspeksi kasus yang dilaksanakan oleh atasan langsung apabila
terbukti adanya pelanggaran disiplin dan kewenangan untuk menjatuhkan
hukuman disiplin terhadap terlapor merupakan kewenangan :
a) atasan langsung, maka atasan langsung tersebut wajib menjatuhkan hukuman
disiplin;
b) pejabat yang lebih tinggi, maka atasan langsung tersebut wajib menyampaikan
berkas laporan hasil inspeksi kasus sesuai hierarki.
c) Jaksa Agung R.I., maka atasan langsung tersebut wajib menyampaikan berkas
laporan hasil inspeksi kasus kepada Jaksa Agung R.I. melalui Jaksa Agung
Muda Pengawasan sesuai hierarki.
Apabila tidak terbukti adanya pelanggaran disiplin, maka inspeksi kasus
dihentikan setelah mendapat persetujuan pejabat yang memberi perintah yang
hal tersebut diberitahukan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan dan terlapor
sesuai hierarki. Apabila inspeksi kasus yang telah dihentikan tersebut diperoleh
bukti baru, maka inspeksi kasus dilanjutkan kembali.
Untuk menentukan terbukti atau tidaknya terlapor melakukan pelanggaran
disiplin dari Inspeksi Kasus yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa, maka hasil
permintaan keterangan dan bukti lain yang diperoleh, dipaparkan terlebih dahulu
oleh Tim Pemeriksa dan atau dapat dihadiri oleh pejabat lain yang ditunjuk.
Apabila hasil pemaparan memutuskan hasil Inspeksi Kasus terbukti adanya
pelanggaran disiplin, maka berkas laporan hasil inspeksi kasus disampaikan sesuai
hierarki kepada :
a) Pejabat yang berwenang menghukum; atau
b) Jaksa Agung Muda Pengawasan, apabila Jaksa Agung R.I. selaku pejabat yang
berwenang menghukum.
Berkas laporan hasil Inspeksi Kasus disampaikan setelah mendapat
persetujuan Jaksa Agung Muda Pengawasan, dalam hal :
a) Inspeksi Kasus dilakukan oleh Tim Pemeriksa Kejaksaan Agung;
b) Pejabat struktural eselon I selaku pejabat yang berwenang menghukum.
26
Berkas laporan hasil Inspeksi Kasus diteruskan kepada Jaksa Agung R.I.
disertai saran dan pendapat Jaksa Agung Muda Pengawasan. Apabila keputusan
pemaparan hasil inspeksi kasus menyatakan tidak terbukti adanya pelanggaran
disiplin, maka inspeksi kasus dihentikan setelah mendapat persetujuan pejabat
yang memberi perintah yang diberitahukan kepada Jaksa Agung Muda
Pengawasan dan terlapor sesuai hierarki dengan ketentuan apabila diperoleh bukti
baru, maka inspeksi kasus dilanjutkan kembali.
Terhadap hasil inspeksi kasus diduga kuat terlapor dan atau bersama-
sama orang lain telah melakukan tindak pidana, maka penyidikannya dapat
diserahkan kepada Penyidik setelah mendapat persetujuan Jaksa Agung R.I..
Apabila tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana korupsi, maka
penyidikannya dilakukan oleh Jaksa pada Bidang Pengawasan atas perintah Jaksa
Agung Muda Pengawasan atau Inspektur atau Kepala Kejaksaan Tinggi setelah
mendapat persetujuan Jaksa Agung R.I. berdasarkan hukum acara pidana.
Untuk memperlancar pemeriksaan, terlapor yang akan dijatuhi hukuman
disiplin berat dapat dibebaskan sementara dari tugas jabatannya oleh atasan
langsung sejak yang bersangkutan dimintai keterangan. Apabila atasan langsung
tidak ada, maka pembebasan sementara dari tugas jabatan dilakukan oleh
pejabat yang lebih tinggi yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Jaksa
Agung R.I. atas usul Jaksa Agung Muda Pengawasan. Pembebasan sementara
dari tugas jabatan berlaku sampai dengan ditetapkannya keputusan hukuman
disiplin atau dihentikan pemeriksaannya. Terlapor yang dibebaskan sementara
dari tugas jabatannya tetap diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pemberhentian sementara dilakukan terhadap pegawai Kejaksaan yang
dikenakan penahanan oleh pejabat yang berwenang karena disangka atau
didakwa melakukan tindak pidana kejahatan sampai mendapat putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Surat keputusan pemberhentian
sementara ditetapkan oleh Jaksa Agung R.I. segera setelah menerima lembaran
27
asli atau salinan otentik surat perintah penangkapan dan surat perintah
penahanan dari pejabat yang berwenang.
Pemberhentian sementara juga dapat dilakukan terhadap Jaksa, dalam hal
: diperoleh bukti yang cukup untuk diberhentikan tidak dengan hormat, karena
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf
e Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008, atau dituntut di muka pengadilan
dalam perkara pidana tanpa ditahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum
Acara Pidana. Pemberhentian sementara diusulkan oleh Jaksa Agung Muda
Pengawasan kepada Jaksa Agung R.I. dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak diterimanya surat pelimpahan perkara atau sejak diperoleh bukti yang
cukup. Dalam hal Jaksa Agung R.I. sependapat dengan usulan Jaksa Agung Muda
Pengawasan, maka Jaksa Agung R.I. segera menetapkan keputusan
pemberhentian sementara.
Dalam hal pemberhentian sementara karena alasan penahanan dan
dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana, maka pimpinan satuan kerja
wajib menyampaikan lembaran asli atau salinan otentik surat perintah
penangkapan dan atau surat perintah penahanan atau surat pelimpahan perkara
tindak pidana ke pengadilan dari pejabat yang berwenang kepada Jaksa Agung
R.I. melalui Jaksa Agung Muda Pengawasan sesuai hierarki, segera setelah
dilakukan penangkapan yang diikuti penahanan atau dilakukan penuntutan di
muka pengadilan dalam perkara pidana tanpa ditahan.
Pemberhentian sementara dapat diikuti dengan pemberhentian tidak
dengan hormat, apabila dinyatakan terbukti bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
kejahatan, berdasarkan Keputusan Majelis Kehormatan Jaksa dinyatakan bersalah
melakukan pelanggaran disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b,
huruf c, huruf d, atau huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 dan
direkomendasikan untuk diberhentikan tidak dengan hormat, atau tidak
mempergunakan kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan
Jaksa.
28
Dalam hal pemberhentian sementara karena penahanan tidak terbukti,
maka Jaksa Agung Muda Pengawasan mengusulkan kepada Jaksa Agung R.I.
untuk mencabut keputusan pemberhentian sementara baik atas permohonan
maupun tanpa permohonan yang bersangkutan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak alasan pemberhentian sementara dinyatakan tidak terbukti atau
sejak permohonan dari yang bersangkutan diterima. Jaksa Agung R.I.
menetapkan pencabutan keputusan pemberhentian sementara dan memulihkan
jabatan serta hak-hak yang bersangkutan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah usul pencabutan dari Jaksa Agung Muda Pengawasan diterima.
Jaksa yang diusulkan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan kepada Jaksa
Agung R.I. untuk dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri karena alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 atau Pasal 7 ayat 4 huruf d
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 dan Pemberhentian tidak dengan
hormat karena alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b, huruf c, huruf
d, atau huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 atau Pasal 7 ayat 4
huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 diberikan kesempatan
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa dengan
mengajukan pernyataan secara tertulis kepada Jaksa Agung R.I. melalui Jaksa
Agung Muda Pengawasan. Jaksa Agung R.I. selanjutnya membentuk Majelis
Kehormatan Jaksa paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
menerima pernyataan menggunakan kesempatan untuk membela diri. Apabila
Jaksa tidak menggunakan kesempatan untuk membela diri, atau dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah diterimanya pemberitahuan tidak menyatakan sikap
untuk menggunakan kesempatan membela diri, maka Jaksa Agung R.I.
menerbitkan keputusan pemberhentian tanpa rekomendasi Majelis Kehormatan
Jaksa.
29
G.KETELADANAN APARATUR PENGAWASAN KEJAKSAAN
Pentingnya peranan Bidang Pengawasan dalam mewujudkan good
governance di Kejaksaan memerlukan Aparatur Pengawasan Kejaksaan yang
memiliki prestasi, dedikasi, loyalitas, dan integritas yang tinggi. Aparatur
Pengawasan Kejaksaan harus dapat menjadi teladan bagi segenap Aparatur
Kejaksaan. Untuk mewujudkannya, Aparatur Pengawasan Kejaksaan harus
memahami, menghayati, dan mengamalkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa mengandung nilai sebagai niat, tekad dan
semangat segenap Insan Adhyaksa untuk menjunjung tinggi keutamaan,
kejujuran dan keikhlasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan
disertai landasan-landasan guna memperkokoh eksistensi Kejaksaan. Segenap
Insan Adhyaksa diharapkan dapat menghayati ciri dan hakekat Kejaksaan yang :
- Tunggal, berarti setiap warga Kejaksaan harus menyadari bahwa dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya, dirinya adalah satu dan tidak dapat
dipisah-pisahkan (een en ondelbaar).
- Mandiri, berarti setiap warga Kejaksaan harus menyadari bahwa Kejaksaan
adalah satu-satunya lembaga negara di bidang penuntutan dan kewenangan
lain menurut undang-undang yang mewajibkan kepada setiap warganya agar
senantiasa meningkatkan mutu pengetahuan dan kemampuannya.
- Mumpuni, berarti setiap warga Kejaksaan harus menyadari bahwa di dalam
melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya wajib melakukannya
dengan penuh prakarsa seraya mampu membangun dan mengembangkan
kerjasama dengan semua pihak dilandasi semangat kebersamaan dan
keterbukaan guna mencapai keberhasilan penegakan hukum yang baik dan
benar.
Adapun bunyi Doktrin Tri Krama Adhyaksa selengkapnya sebagai berikut :
1. SATYA
Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia.
30
2. ADHI
Kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa
tanggung jawab, bertanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia.
3. WICAKSANA
Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam pengetrapan
tugas dan kewenangannya19.
Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor : KEP-030/J.A./3/1988 tanggal 23 Maret 1988 tentang
19
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pengawasan Republik
Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Melekat.
32
Peraturan Jaksa Agung R.I. Nomor : PER-022/A/JA/03/2011 tanggal 18 Maret 2011
tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia.
Peraturan Jaksa Agung R.I. Nomor : PER-015/A/JA/07/2013 tanggal 2 Juli 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung R.I. Nomor : PER-
022/A/JA/03/2011 tanggal 18 Maret 2011 tentang Penyelenggaraan
Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia.
Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor : KEP-030/J.A./3/1988 tanggal 23 Maret 1988
tentang Penyempurnaan Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa.
33