Anda di halaman 1dari 41

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis Fraktur Femur


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Tulang Femur


Sumber: Paulsen F. & J. Waschke, 2013.

Menurut Abdul Wahid (2013), Tulang terdiri dari sel-sel yang berada
pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage
yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini
dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya
tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh
manusia, tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok
berdasarkan bentuknya :
2.1.1.1 Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal
panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang
disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat
daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng
epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh
karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang
rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan
oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh
jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone
(cancellous atau trabecular).

2.1.1.2 Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang
padat.

2.1.1.3 Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang
padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.

2.1.1.4 Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan


tulang pendek.Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang
terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan
dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella
(kap lutut).

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas.
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan
matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi
dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan).
Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas
adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.

Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa.


Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut
merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella
terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang
berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan
dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).

Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat


dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon
dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan
limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung
osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.

Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga


sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang
kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga
sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship
(cekungan pada permukaan tulang).

Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
2.1.1.1 Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2.1.1.2 Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru
paru) dan jaringan lunak.
2.1.1.3 Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan
kontraksi dan pergerakan).
2.1.1.4 Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum
tulang belakang (hema topoiesis).
2.1.1.5 Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

Menurut Helmi 2012, tulang bukan saja merupakan kerangka penguat


tubuh, tetapi juga merupakan bagian untuk susunan sendi dan di
samping itu pada tulang melekat origo dan insertio dari otot-otot yang
menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga mempunyai fungsi sebagai
tempat mengatur dan menyimpan kalsium, fosfat, magnesium dan
garam. Bagian ruang di tengah tulang-tulang tertentu memiliki jaringan
hemopoietik yang berfungsi untuk memproduksi sel darah merah, sel
darah putih, trombosit.

Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang)


yang membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Walaupun rangka
utama tersusun dari tulang, rangka di sebagian tempat dilengkapi
dengan kartilago.
2.1.1.1 Tungkai Bawah
Secara anatomis, bagian proksimal dari tungkai bawah antara
girdel pelvis dan lutut adalah paha, bagian antara lutut dan
pergelangan kaki adalah tungkai.
a. Femur
Bahasa latin yang berarti paha adalah tulang terpanjang,
terkuat dan terberat dari semua tulang pada rangka tubuh.
Ujung proksimal femur memiliki kepala yang membulat
untuk beartikulasi dengan asetabulum. Permukaan lembut
dari bagian kepala mengalami depresi dan fovea kapitis
untuk tempat perlekatan ligamen yang menyanggah kepala
tulang agar tetap di tempatnya dan membawa pembuluh
darah ke kepala tersebut. Femur tidak berada pada garis
vertikal tubuh. Kepala femur masuk dengan pas ke
asetabulum untuk membentuk sudut sekitar 125˚ dari bagian
leher femur. Dengan demikian, batang tulang paha dapat
bergerak bebas tanpa terhalang pelvis saat paha bergerak.
Sudut femoral pada wanita biasanya lebih miring (kurang
dari 125˚) karena pelvis lebih lebar dan femur lebih pendek.

b. Di bawah bagian kepala yang tirus adalah bagian leher yang


tebal, yang terus memanjang sebagai batang. Garis
intertrokanter pada permukaan anterior dan krista
intertrokanter di permukaan posterior tulang membatasi
bagian leher dan bagian batang.

c. Ujung atas batang memiliki dua prosesus yang menonjol.


Trokanter besar dan trokanter kecil, sebagai tempat
perlekatan otot untuk menggerakan persendian panggul.

d. Bagian batang permukaannya halus dan memiliki satu tanda


saja. Linea aspera, yaitu lekak kasar untuk perlekatan
beberapa otot.

e. Ujung bawah batang melebar ke dalam kondilus medial dan


kondilus lateral. Pada permukaan posterior, dua kondilus
tersebut membesar dengan fosa interkondiler yang terletak
di antara keduanya. Area triangular di atas fosa
interkondiler disebut permukaan popliteal. Pada permukaan
anterior, epikondilus medial dan lateral berada di atas dua
kondilus besar. Permukaan artikular halus yang terdapat di
antara kedua kondilus adalah permukaan patellar. Yang
berbentuk konkaf untuk menerima patella (tempurung
lutut).

2.1.1.2 Komponen Jaringan Tulang


a. Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah
mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen dan
proteoglikan).

b. Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam


(hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan
proteoglikan.

c. Matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid.


Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku
dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang.

d. Materi organik lain yang juga menyusun tulang berupa


proteoglikan.

2.1.2 Pengertian
Fraktur collum femur merupakan fraktur yang paling sering. Hal ini
sering terjadi pada orang tua akibat jatuh. Fraktur tidak sembuh dengan
cepat sehingga mengakibatkan berkurangnya sebagian besar suplay
darah pada caput femoris (Gibson, J., 2003)

Fraktur femur tertutup atau patah tulang paha tertutup adalah adalah
hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan
kulit yang disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang dapat
menyebabkan fraktur patologis (Arif Muttaqin, 2013).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur
secara klinis biasanya berupa fraktur femur terbuka yang disertai
dengan adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan, saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).

Fraktur adalah gangguan komplet atau tak-komplet pada kontinuitas


struktur tulang dan didefinisikan sesuai dengan jenis dan keluasannya.
Fraktur terjadi ketika tulang menjadi subjek tekanan yang lebih besar
dari yang diserapnya. Fraktur dapat disebabkan oleh hantaman
langsung, kekuatan yang meremukkan, gerakkan memuntir yang
mendadak atau bahkan karena kontraksi otot yang ekstrim. Ketika
tulang patah, struktur di sekitarnya juga terganggu, menyebabkan
edema jaringan lunak, hemoragi ke otot dan sendi, dislokasi sendi,
reptur tendon, gangguan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ
tubuh dapat terluka akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau oleh
fragmen fraktur (Brunner & Suddarth, 2014).

Femoral shaft fracture is a commun injury occuring particularly in


young adults. severe direct force is required to produce this injury,
since the femur can bend slightly before actual fracture occurs (Lewis
et al, 2011).

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur Menurut Brunner & Suddarth (2014) yaitu sebagai
berikut :
2.1.3.1 Fraktur remuk (comminuted) yaitu patah dengan beberapa
fragmen tulang.
2.1.3.2 Fraktur juga dideskripsikan menurut penempatan fragmen
secara anatomic, terutama jika fraktur tergeser atau tidak
tergeser.
2.1.3.3 Fraktur intra-artikular meluas ke permukaan sendi tulang.

Menurut Abdul Wahid (2013) klasifikasi fraktur adalah sebagai


berikut :
2.1.3.4 Berdasarkan Sifat Fraktur (Luka Yang Ditimbulkan)
a. Fraktur Tertutup
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.

b. Fraktur Terbuka
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar karena adanya perlukaan kulit.

2.1.3.5 Berdasarkan Komplit atau Ketidakkomplitan Fraktur


a. Fraktur Komplit
Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.

b. Fraktur Inkomplit
1) Hair Line Fraktur
Salah satu fraktur tidak lengkap pada tulang.
2) Buckle atau Torus Fraktur
Bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur
Mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang (Brunner & Suddarth,
2014).

2.1.3.6 Berdasarkan Bentuk Garis Patah dan Hubungannya Dengan


Mekanisme Trauma
a. Fraktur Transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi.

c. Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garispatahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.

d. Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.

e. Fraktur Avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya tulang.

2.1.3.7 Berdasarkan Jumlah Garis Patah


a. Fraktur Komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.

c. Fraktur Multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.

2.1.3.8 Berdasarkan Pergeseran Fragmen Tulang


a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap tapi kedua fragmen tulang tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser)


Terjadi pergeseran fragmen tulang yang disebut lokasi
fragmen.

2.1.3.9 Berdasarkan Posisi Fraktur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. 1/3 proksimal.
b. 1/3 medial.
c. 1/3 distal.

2.1.3.10 Fraktur Kelelahan


Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

2.1.3.11 Fraktur Patologis


Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Menurut Helmi (2012) klasifikasi jenis fraktur dibedakan atas jenis-
jenis fraktur tersebut adalah simple fracture (fraktur tertutup),
compound fracture (fraktur tertutup), fracture compresi (secara tegak
lurus terjadi dorong ke tulang kearah permukaan lain) greenstick
fracture (salah satu tulang patah, sedangkan sisi lainnya membengkok),
fracture kominutif (tulang pecah menjadi beberapa fragmen), fracture
impaksi (sebagian tulang masuk ke dalam tulang lainnya), fracture
transversal (fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang), fracture stress dan fracture avulsi (fraktur akibat
tarikan atau traksi otot pada tulang).

Beberapa klasifikasi fraktur menurut ahli frakturfemur tertutup (fraktur


simpel) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau
kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang. Sedangkan fraktur femur
terbuka (fraktur komplikasi/kompleks/compound) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patah tulang.
Konsep penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka adalah
apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya
fraktur tersebut.
Berdasarkan jenis fraktur ada beberapa macam :

2.1.3.1 Fraktur tidak komplit (incomplete), patah hanya terjadi


pada sebagian dari baris tengah tulang, seperti :

a. Hair line Frakktur (patah retak rambut)

b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu


korteks dengan kompresi tulang spongiosa.

2.1.3.2 Fraktur green stick, mengenai satu korteks dengan


angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.

2.1.3.3 Fraktur komplit (complete), patah pada seluruh garis


tulang dan biasanya mengalami pergeseran (dari yang
normal).

2.1.3.4 Fraktur tertutup, patah tulang, tidak menyebabkan


robekannya kulit.

2.1.3.5 Fraktur terbuka patah yang menembus kulit dan tulang


berhubung dengan dunia luar.

2.1.3.6 Fraktur komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi


beberapa gragmen.

2.1.3.7 Fraktur kompresi: fraktur dengan tulang mengalami


kompresi (tulang belakang).

2.1.3.8 Fraktur depresi, fraktur yang fragmen tulangnya


terdorong ke dalam (tulang tengkorak dan wajah).

2.1.3.9 Fraktur transversal, fraktur yang arahnya melintang pada


tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung.

2.1.3.10 Fraktur oblik, fraktur yang arah garis patahnya


membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi juga.

2.1.3.11 Fraktur spiral, fraktur yang arah garis patahnya berbentuk


spiral yang disebabkan trauma rotasi.

2.1.3.12 Fraktur avusi, fraktur yang diakibatkan karena trauma


tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

2.1.4 Etiologi
Menurut Rosyidi (2013) etiologi fraktur terbagi menjadi 3, yaitu :
2.1.4.1 Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan.
2.1.4.2 Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
2.1.4.3 Kekerasan akibat tarikan otot sangat jarang terjadi kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

Menurut Helmi (2012), etiologi fraktur femur antara lain :


2.1.4.1 Fraktur trauma tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan,
penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring,
pemontiran atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung
tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya penghancuran kemungkinan akan menyebabkan
fraktur kominutif yang disertai kerusakan jaringan lunak yang
luas. Bila terkena kekuatan tak langsung dapat mengalami
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena
kekuatan tersebut, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
Kekuatan dapat berupa :
a. Fraktur avusi, fraktur yang diakibatkan karena trauma
tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang
Pemontiran (rotasi), yang dapat menyebabkan fraktur
spiral.
b. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang
menyeabbkan fraktur melintang.
c. Penekukan dan penekanan yang mengakibatkan fraktur
sebagian melintang tetapi disertai fragmen kupu-kupu
berbentuk segitiga yang terpisah.
d. Kombinasi dari pemontiran dan penekukan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek.
e. Penarikan dimana tendon atau ligament benar-benar
menarik tulang sampai terpisah.
2.1.4.2 Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh
(misalnya penyakit paget).

Menurut Lukman & Nurna (2012), etiologi fraktur femur, yaitu :


Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
punter mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi
pada umur 45 tahun kebawah dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor. Sedangka pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami
fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada
menopause.

2.1.5 Patofisiologi
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan
batang femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada
priaa muda yang mengalami kecelakaan bermotor atau jatuh dari
ketinggian, biasanya klien mengalami trauma multiple yang
menyertainya. Kondisi degenerasi tulang (osteoporosis) atau keganasan
tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis tanpa riwayat trauma,
memadai untuk mematahkan tulang femur.
Kerusakan neurovascular menimbulkan manifestasi peningkatan risiko
syok, baik syok hipovolemik karena kehilangan darah banyak ke dalam
jaringan maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat hebat yang
dialami klien (Arif Muttaqin, 2013).

Kerusakan fragmen tulang femur diikuti dengan spasme otot paha yang
menimbulkan deformitas khas pada paha, yaitu pemendekan tungkai
bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang
optimal, akan menimbulkan risiko terjadinya malunion pada tulang
femur (Rosyidi, 2013).

Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasanangan fiksasi interna


dan fiksasi eksterna memberikan implikasi pada masalah risiko tinggi
infeksi pasca-bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak, risiko tinggi
trauma sekunder akibat pemasangan fiksasi eksterna, dampak
psikologis absietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis
penyakit dan pemenuhan informasi (Helmi, 2012).

Dapat disimpulkan bahwa pada kondisi trauma kebanyakan fraktur ini


terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor
atau jatuh dari ketinggian. Kondisi ini bisa ditandai dengan kehilangan
banyak darah kedalam jaringan yang bisa mengakibatkan kerusakan
neurovaskular, degenerasi tulang (osteoporosis) dan kerusakan fragmen
tulang femur. Apabila terjadi masalah tersebut maka dapat dilakukan
intervensi yaitu pemasangan fiksasi interna, fiksasi eksterna
danpemenuhan informasi tentang prognosis penyakit.
2.1.6 Pathway

Trauma pada paha, osteoporosis tulang femur, tumor


dan keganasan pada paha

Ketidakmampuan tulang femur dalam menahan beban

Fraktur Femur Tertutup

Terputusnya hubungan tulang


Malunion, non-union, Kerusakan jaringan lunak
dan delayed uniun

Terapi imobilisasi
Ketidakmamptraksi terapi bedah fiksasi interna dan fiksasi eksterna
Kerusakan saraf spasme otot
-uan melakukan pergerakan
kaki

Kerusakan
Nyeri Akut
Vaskular

Pembengka
Hambatan mobilitas fisik
Risiko tinggi trauma -kan lokal

Risiko
sindrom
Respons Ketidaktahuan Pasca-bedah
komparte
psikologis teknik mobilisasi
- men
Port de entry
Ansientas Risiko malunion,
kontraktur sendi
Risiko Tinggi
Infeksi
Pemenuhan
informasi

Bagan 2.1
Sumber : (Arif Muttaqin, 2013)
2.1.7 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis fraktur mencakup nyeri akut, kehilangan fungsi,
deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus dan edema local serta
ekimosis. Tidak semua manifestasi ini terdapat dalam setiap fraktur
(Brunner & Suddarth, 2014).

Manifestasi klinis fraktur menurut Lukman & Nurna (2012), yaitu :


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local dan perubahan
warna.
2.1.7.1 Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.

2.1.7.2 Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan


dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar
biasa) bukannya tetap ridig seperti normalnya. Pergeseran
fragmen pada fraktur lenga atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstrimitas yang bias
diketahui dengan membandingkan ekstrimitas normal.
Ektrimitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot tergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.

2.1.7.3 Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang


sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
bawah tempat fraktur. Fragmen serig saling melingkupi satu
sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).

2.1.7.4 Saat ekstrimitas diperiksa ditangan, teraba adanya deri tulang


dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

2.1.7.5 Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi


sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini bias baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cedera.

Manifestasi klinis fraktur menurut M. Asikin (2016), yaitu :


2.1.7.1 Deformitas
2.1.7.2 Bengkak/edema
2.1.7.3 Ekimosis (memar)
2.1.7.4 Spasme otot
2.1.7.5 Nyeri
2.1.7.6 Kurang/hilang sensasi
2.1.7.7 Krepitasi
2.1.7.8 Pergerakan abnormal

2.1.8 Penataksanaan
Penatalaksanaan kegawadaruratan menurut Menurut Brunner &
Suddarth (2014) yaitu :
2.1.8.1 Segera setelah cedera, imobilisasi bagian tubuh sebelum pasien
dipindahkan.
2.1.8.2 Bebat fraktur, termasuk sendi yang berada di dekat fraktur,
untuk mencegah pergerakan fragemen fraktur.
2.1.8.3 Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah dapat dilakukan
dengan mengikat kedua tungkai bersama-sama.
2.1.8.4 Pada cedera ekstrimitas atas, lengan dapat dibebat kedada atau
lengan bawah yang cedera dapat digendong dengan mitela.
2.1.8.5 Kaji status neurovascular disisi distal area cedera sebelum dan
setelah pembebatan untuk menentukan keadekuatan perfusi
jaringan perifer dan fungsi saraf.
2.1.8.6 Tutupi luka fraktur terbuka dengan balutan steril untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam.

Penatalaksanaan fraktur menurut Arif Muttaqin, 2013 :


2.1.8.7 Fraktur trokanter dan sub-trokanter femur, meliputi :
a. Pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu yang
dilanjutkan dengan gips pinggul selama 7 minggu
merupakan alternative pelaksanaan pada klien dengan usia
muda.
b. Reduksi terbuka dan fiksasi interna merupakan pengobatan
pilihan dengan mempergunakan plate dan screw.

2.1.8.8 Penatalaksanaan Fraktur diafisis femur, meliputi :


a. Terapi konservatif.
b. Traksi kulit merupakan pengoatan sementara sebelum
dilakukan terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
c. Traksi tulang berimbang dengan bagian Pearson pada sendi
tulang lutut.
d. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah terjadi
union fraktur secara klinis.

2.1.8.9 Terapi operatif, meliputi :


a. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis
atau distal femur.
b. Mempergunakan K-nail, AO-nail atau jenis lain, baik
dengan operasi tertutup maupun terbuka.
c. Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, komunitif,
infected pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak yang hebat.

2.1.8.10 Penatalaksanaan fraktur suprakondiler femur, meliputi :


a. Traksi berimbang dengan mempergunakan bidai Thomas
dan penahan lutut Pearson, cast bracing dan spika pinggul.
b. Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau
pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif.

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi menurut Menurut Brunner & Suddarth (2014) yaitu Jika
sindrom embolisme lemak terjadi, yang menyumbat pembuluh darah
keci1 ang menyuplai otak, paru, ginjal, dan organ lain (awitan
mendadak, biasanya terjadi dalam 12 sampai 48 jam tetapi dapat terjadi
sampai dengan 10 hari setclah cedera), manifestasi berikut dapat
terlihat: Hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia; dispnea, krakel,
mengi, nyeri dada prekordium, batuk, sputum kental berwarna putih dan
banyak; hipoksia dan nilai gas darah dengan PaO 2 kurang dari 60
mmHg, dengan diawali oleh alkalosis respiratorik dan selanjutnya
menjadi asidosis respiratorik; perubahan status mental beragam dari
sakit kepala dan agitasi ringan sampai delirium dan koma. Radiograf
dada menunjukkan infiltrat “badai salju (snowstorm)” yang khas. Pada
akhirnya, edema pulmonal akut, sindrom gawat napas akut (ARDS),
dan gagal jantung dapat terjadi.

Pada embolisasi sistemik, pasien tampak pucat. Petekie muncul di


membran bukal dan kantung konjungtiva, di palatum durum, dan di atas
dada serta lipatan aksila anterior. Demam (suhu lebih dari 39,5°C)
terjadi. Lemak bebas dapat ditemukan di dalam urine ketika emboli
mencapai ginjal. Nekrosis tubular akut dan gagal ginjal dapat terjadi.

Sindrom kompartemen (terjadi ketika tekanan perhsi turun di bawah


tekanan jaringan di dalam kompartemen anatomi yang tertutup).
Sindrom kompartemen akut dapat menyebabkan nyeri yang dalam,
berdenyut, tidak reda yang tidak dapat dikontrol oleh opioid (dapat
disebabkan oleh gips yang terlalu ketat atau balutan konstriktif atau
peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau hemoragi).

Terjadi sianosis (warna biru) pada bantalan kuku; dan jari tangan atau
jari kaki pucat atau kusam dan dingin; waktu pengisian kapiler bantalan
kuku memanjang (lebih dari 3 detik); denyut nadi mungkin berkurang
(Doppler) atau tidak ada; dan kelemahan, paraljsis, dan parestesia
motorik dapat terjadi. Manifestasi koagulasi intravaskular diseminata
(DIC) mencakup perdarahan yang tidak terduga setelah pernbedahan
dan perdarahan dari membran mukosa, lokasi punksi vena, dan saluran
gastrointestinal dan perkemihan.

Gejala infeksi dapat mencakup nyeri tekan, nyeri, kemerahan,


pembengkakan, kehangatan lokal, peningkatan suhu tubuh, dan drainase
purulen. Tidak menyatu (nonunion) dimanifestasikan dengan
ketidaknyamanan persisten dan abnormalitas pergerakan di lokasi
fraktur. Beberapa faktor risiko mencakup infeksi ditempat fraktur,
interposisi jaringan di antara ujung tulang, imobilisasi yang tidak
adekuat atau menipulasi yang mengganggu pembentukkan kalus, ruang
berlebihan diantara fragmen tulang, keterbatasan kontak tulang dan
gangguan suplay darah yang menyebabkan nekrosis avascular.
Mungkin akan terlibat (DVT, tromboembolisme, embolus pulmonal).
Menurut Abdul Wahid (2013) komplikasi yang biasa terjadi pada klien
fraktur femur adalah sebagai berikut:
2.1.9.1 Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma
yang leabr, dan dingin pasa ekstrimits yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

2.1.9.2 Kompartement Sindrom


Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh
darah dalam jaringan. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan
yang terlalu kuat.

2.1.9.3 Fat Embolism Syndrom


Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan nafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

2.1.9.4 Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial)
dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan sepert pin dan plat.
2.1.9.5 Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis(AVN) terjadi karena aliran darah ketulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

2.1.9.6 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.Ini biasanya terjadi pada fraktur.

Komplikasi Dalam Waktu Lama, M. Asikin (2016), yaitu :


2.1.9.1 Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur perkonsolidasi
(bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang
untuk menyambung.Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang.

2.1.9.2 Non Union


Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebihan pada sisi fraktur yang membentuk
sensi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.

2.1.9.3 Mal Union


Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
remobilitas yang baik.
2.1.10 Proses Penyembuhan Tulang
Menurut Abdul Wahid (2013), fraktur merangsang tubuh untuk
menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-
sel tulang, ada lima stadium penyembuhan tulang yaitu :
2.1.10.1 Stadium Satu-Fase Inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan
dalam jaringan yang cedera dan pembentukan hematoma
ditempat patah tulang. Uung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia
dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat
fraktur untuk memulai penyembuhan. Berkumpulnya darah
pada fase hamatom awalnya diduga akibat robekan pembuluh
darah lokal yang terfokus pada tempat tertentu. Namun pada
perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan
robekan pembuluh darah tetapi juga berperan faktor-faktor
inflamasi yang menimbulakan kondisi pembengkakan lokal.
Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur sampai 2-3
minggu.

2.1.10.2 Stadium Dua-Fase Proliferasi


Pada stadium ini terjadi proliferin dan differensiasi sel
menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,
endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam
lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast bergenerasi
dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari
terbentuk tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2-3
setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4-8.

2.1.10.3 Stadium Tiga-Pembentukan Kallus


Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Sementara
tulang yang imatur anyaman tulang menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.

2.1.10.4 Stadium Empat-Konsolodasi


Dengan aktivitas osteoklast dan osteoblast yang terus
menerus, tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi
mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi lebih kuat
sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris pada
daerah fraktur dan diikuti oleh osteoblast yang akan mengisi
celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini
berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang
cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

2.1.10.5 Stadium Lima-Remodelling


Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat
dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses
pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus
lamella yang tebal akan berbentuk pada sisi dengan tekanan
yang tinggi. Rongga medulla akan membentuk kembali dan
diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya tulang
akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada
ana-anak. Pada keadaaan ini tulang telah sembuh secara klinis
dan radiologi.

2.1.11 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Lukman & Nurna (2012), pemeriksaan penunjang yang
dilakukan sebagai berikut :
2.1.11.1 Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma, dan jenis fraktur.
2.1.11.2 Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI : memperlihatkan
tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
2.1.11.3 Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan
vascular.
2.1.11.4 Menghitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna sisi
fraktur atau organ jauh pada multiple trauma). Peningkatan
jumlah SDP adalah proses stress normal setelah trauma.
2.1.11.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
2.1.11.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, trasfusi multiple atau cedera hati.

Menurut M. Asikin (2016), pemeriksaan penunjang yang dilakukan


sebagai berikut :
Pemeriksaan radiologi terdiri dari rontgen, CT Scan atau MRI.
Pemeriksaan yang penting untuk dijadikan sebagai penunjang yaitu
pencintraan menggunakan foto Rontgen. Untuk mendapakan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu,
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) jika terdapat indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi.

2.2 Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan Fraktur


2.2.9 Pengkajian
2.2.9.1 Pengumpulan Data
a. Identitas klien
meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, setatus
perkawinan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor
registrasi dan tanggal masuk rumah sakit.

b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur Femur
adalah rasa nyeri yang hebat. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien,
perawat dapat menggunakan PQRST.
1) Provoking incident: Hal yang menjadi factor presipitasi
nyeri trauma pada bagian pergelangn kaki.
2) Quantitas of pain: Klien merasakan nyeri yang bersifat
menusuk.
3) Region, radiating, relief: Nyeri terjadi dibagian yang
mengalami patah tulang.
4) Scale of pain: Secara subjektif, nyeri yang dirasakan
klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran 0-4.
5) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam atau siang hari.

c. Riwayat penyakit sekarang


Dikaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan
patah tulang, pertolongan apa saja yang telah didapat dan
apakah sudah berobat kedukun, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakan, perawat dapat mengetahui
luka kecelakaan yang lain.

d. Riwayat penyakit dahulu


Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung dan selain itu penyakit diabetes dengan luka
dikaki sangat beresiko mengalami osteomilitis akut dan
kronis dan penyakit ini menghambat penyembuhan tulang.

e. Riwayat penyakit keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang
adalah factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan
dan kanker tulang dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.

f. Riwayat psikososial
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat,
serta respondan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

2.2.9.2 Pemeriksaan Fisik pada Fraktur Femur


a. B1 (Breathing)
Pada klien dengan fraktur Femurpemeriksaan pada
pernapasan infeksi pernafasan tidak ada kelainan.
b. B2 (Blood)
Inspeksi: tidak tampak iktus cordis jantung. Palpasi: nadi
meningkat, iktus tidak teraba. Auskultasi: suara S1 dan S2
tunggal. Tak ada mur-mur.

c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran, biasanya compos metis.
1) Kepala: simetris, tidak ada gangguan dan benjolan.
2) Leher: tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
3) Wajah: wajah terlihat menahan sakit, tidak ada
perubahan fungsi dan bentuk pada wajah, tidak ada lesi,
simetris tidak edem.
4) Mata: tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (apabila klien dengan patah tulang tertutup,
karena tidak ada perdarahan).

d. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan krakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien fraktur
Fibula tidak ada kelainan pada sistem ini.

e. B5 (Bowel)
Abdomen. Inpeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi: tugor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: suara
timpani. Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20 kali/menit.
Inguinal genetalia-anus. Tak ada hernia, tak ada
pembesaran iymphe, tak ada kesulitan BAB.
f. B6 (Bone/ Musculoskeletal)
Adanya fraktur pada Fibula akan mengganggu secara lokal
baik fungsi motorik, sensorik dan peredaran darah.

2.2.9.3 Pengkajian Fokus


a. Look (inspeksi)
Pada fase awal cedera, perlu dikaji adanya keluhan
nyeri lokal hebat disertai perubhan nadi, perufsi yang
tidak baik (akral dingin pada sisi lesi), dan CRT >3
detik pada bagian proksimal betis. Hal ini merupakan
tanda-tanda penting terjadinya sindrom kompartement
yang harus dihindari perawat. Apabila tidak segera
dilakukan intervensi lebih dari 6 jam dalam batas
waktu kemampuan jaringan perifer, akan terjadi
nekrosis jaringan distal.

Klien fraktur femur mengalami komplikasi delayed


union, nonunion, dan malunion. Kondisi yang paling
sering ditemukan di klinik adalah malunion terutama
pada klien fraktur fremur yang telah lama dan
mendapat intervensi dari dukun patah. Pada
pemeriksaan look, akan ditemukan adanya
pemendekan ekstremitas dan derajat pemendekan
akan lebih jelas jelas dengan cara mengukur kedua sis
tungkai dari spina iliaka malleolus (Muttaqin, 2009).

b. Feel (palpasi)

Adanya nyeri tekan (tendermess) dan krepitasi pada


daerah paha (Muttaqin, 2009).
c. Move (Pergerakan trauma lingkup gerak)
Hasil pemeriksaan yang didapat adalah adanya
gangguan/keterbatasan gerak tungkai. Didapatkan
ketidakmampuan menggerakkan kaki dan penurunan
kekuatan otot ekstremitas bawah dalam melakukan
pergerakan. Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan
gerak, semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain
(Muttaqin, 2009).

2.2.10 Diagnosis
Diagnosis keperawatan yang sering muncul pada klien fraktur femur
tertutup pra- dan pasca bedah, meliputi :
2.2.10.1 Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromoskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
2.2.10.2 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan repos
nyeri, kerusakan neuromoskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
2.2.10.3 Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan pemasangan
traksi kulit atau traksi tulang, penurunan kemampuan
pergerakan dan mobilisasi, kelemahan fisik, atrofi otot dan
ketidaktahuan cara mobilisasi adekuat.
2.2.10.4 Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entrée
luka fraktur terbuka, luka pasca-nedah, pemasangan traksi
tulang dan fiksasi interna.
2.2.10.5 Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan
kemampuan pergerakan, keterbatasan pergerakan sekunder
akibat pemasangan traksi.
2.2.10.6 Ansietas yang berhubungan dengan rencana pembedahan,
kondisi sakit, perubahan peran keluarga, kondisi status sosial
ekonomi.
2.2.11 Perencanaan
Menurut Buku Nurarif (2015) perencanaan kegiatan pada klien fraktur
Femur tertutup adalah:
2.2.11.1 Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: Nyeri berkurang atau teradaptasi
Kriteria hasil: Secara subjektif, klien melaporkan nyeri
berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi
aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak
gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.
Intervensi:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi.
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
d. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
e. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
Rasional :
a. Nyeri merupakan respon subjektip yang didapat dikaji
menggunakan skala nyeri.
b. Imobilitas fisik klien dapat dilihat dari reaksi nonverbal.
c. Melaporkan bahwa nyeri telah berkurang.
d. Mampu mengontrol nyeri.
e. Mengobservasi keadaan klien.
2.2.11.2 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respon
nyeri kerusakan neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
Tujuan: klien mampu melakukan aktifitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan,
tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot,
klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi peningkatan
kerusakan.
b. Atur posisi imobilitas pada klien.
c. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerakan aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit.
d. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri
sesuai toleransi.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterafi untuk latihan fisik klien.
Rasional:
a. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktifitas.
b. Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri
pada klien.
c. Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot
serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
d. Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
e. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas
dapat dicapai dengan latihan fisik dari tim ahli fisioterapi.
2.2.11.3 Risiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan sensasi,
kelemahan.
Tujuan: risiko trauma tidak terjadi
Kriteria hasil: Pasien terbebas dari trauma, fisik linggungan
rumah aman, prilaku pencegahan jatuh, dapat mendeteksi resiko
Intervensi:
a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien.
c. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
d. Membatasi pengunjung.
e. Memindahkan barang barang yang dapat membahayakan.
Rasional :
a. Untuk mencegah kejadian yang dapat menimbulkan trauma
pada pasien.
b. Meningkatkan rasa aman pasien.
c. Agar pasien merasa nyaman.
d. Mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
e. Menjamin keselamatan pasien.

2.2.11.4 Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree


luka fraktur terbuka, luka pasca-bedah, pemasangan traksi
tulang dan fiksasi eksternal.
Tujuan : tidak terjadi infaksi.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah luka
operasi, pada sekitar traksi tulang, dan fiksasi eksternal.
Intervensi :
a. Kaji faktor-faktor yang mmemungkinkan terjadinya
infeksi yang masuk ke port de entree.
b. Lakukan perawatan luka secara steril.
c. Pantau atau batasi kunjungan.
d. Tingkatkan asuhan nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein.
e. Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktifitas sesuai
toleransi.
f. Kolaborasi : beri antibiotik sesuai indikasi.
Rasional :
a. Faktor-faktor ini harus dipantau oleh perawatan dan
dilakukan perawatan luka steril.
b. Teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
c. Mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
d. Meningkatkan meningkatkan imunitas tubuh secara
umum dan membantu menurunkan resiko infeksi.
e. Menunjukan kemampuan secara umum dan kekuatan otot
dan merangsang pengembalian system imun.
f. Satu atau beberapa agen diberikan yang bergantung pada
sifat pathogen dan infeksi yang terjadi.

2.2.11.5 Defisit perawatan diri berhubungan dengan


gangguan muskuloskeletal.
Tujuan: Klien dapat menujunjukan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri.
Kriteria hasil: Pasien mampu untuk melakukan aktivitas
keperawatan fisik dan pribadi secara mandiri atau dengan alat
bantu.
Intervensi :

a. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalm skala 0-4 untuk


melakukan ADL.
b. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu jika
perlu.
c. Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien.

d. Identifikasi kebiasaan defekasi anjurkan minum dan


tingkatkan aktivitas.
e. Kolaborasi: konsul kedokter terapi okupasi
Rasional :
a. Membantu dalam mengidentifikasi dan merencanakan
pertemuan kebutuhan individual.
b. Klien dalam keadaan cemas dan bergantung. Hal ini
dilakukan untuk mencegah frustrasi dan meningkatkan
kemandirian klien.
c. Memudahkan klien dan meningkatkan kemandirian
klien.
d. Meningkatkan latihan dan menolong mencegah
konsipasi.
e. Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi
kebutuhan khusus.

2.2.11.6 Ansietas yang berhubungan dengan rencana pembedahan,


kondisi sakit, perubahan peran keluarga, kondisi status social
ekonomi.
Tujuan : cemas tidak terjadi.
Kriteria hasil : Kontrol kecemasan individu, penurunan tingkat
kecemasan dan koping.
Intervensi :
a. Gunakan pendekatan yang menyenangkan.
b. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
prosedur.
c. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
takut.
d. Dengarkan dengan penuh perhatian.
e. Identifikasi tingkat kecemasan
Rasional :
a. Agar pasien merasa nyaman.
b. Untuk mengetahui perasaan klien saat dilakukan prosedur.
c. Agar klien meras lebih tenang.
d. Mengetahui perasaan klien.
e. Memudahkan intervensi selanjutnya.

2.2.12 Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dari proses keperawatan
dimana pada tahap ini tindakan yang telah direncarakan oleh perawat di
laksanakan dalam membantu pasien mencegah, mengurangi dan
menghilangkan dampak atau respon yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan.

2.2.13 Evaluasi
hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah nyeri teratasi,
terpenuhinya pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari resiko infeksi
pascaoperasi

2.3 Terapi Relaksasi Nafas Dalam dan Perawatan Luka


2.3.1 Relaksasi Nafas Dalam
2.3.1.1 Pengertian
Relaksasi nafas dalam merupakan latihan pernafasan yang
menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi
jantung, dan ketegangan otot. Teknik relaksasi perlu diajarkan
beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal dan perlunya
intruksi menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau
mencegah meningkatnya nyeri (Muttaqin, 2012).

2.3.1.2 Tujuan
Tujuan Muttaqin (2012) menyatakan bahwa tujuan teknik
relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi
alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru,
meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress
fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan
menurunkan kecemasan.

2.3.1.3 Prosedur
Prosedur relaksasi nafas dalam menurut Rosyidi, K. (2013) :
a. Menjelaskan maksud, tujuan, dan cara dilakukannya teknik
relaksasi pernapasan.
b. Persiapan sebelum pelaksanaan :
1) Persiapan ruangan: ruangan yang nyaman dan minimalkan
kebisingan dan gangguan.
2) Persiapan pasien : Minta pasien untuk berbaring dengan
rileks.
c. Langkah-langkah tindakan keperawatan Teknik Relaksasi
Napas Dalam :
1) Mencari posisi yang paling nyaman
2) Pasien meletakkan lengan disamping pasien
3) Kaki jangan di silangkan
4) Tarik napas dalam, rasakan perut dan dada anda terangkat
perlahan rileks, keluarkan napas dengan perlahan-lahan
5) Hitung sampai 4, tarik napas pada hitungan 1 dan 2,
keluarkan napas pada hitungan 3 dan 4.
6) Lanjutkan bernapas dengan perlahan, rilekskan tubuh,
perhatikan setiap ketegangan pada otot.
7) Lanjutkan untuk bernapas dan rileks.
8) Konsentrasi pada wajah, rahang, leher, perhatikansetiap
kesulitan.
9) Napas dalam kehangatan dan relaksasi kosentrasi setiap
ketegangan ditangan, perhatikan bagaimana rasanya
10) Buat kepalan-kepalan tangan yang kuat, saat mulai
mengeluarkan napas, relaksasikan kepala dan tangan.
11) Perhatikan apa yang dirasakan tangan , pikir “rileks”
tangan terasa hangat, berat atau ringan.
12) Upayakan untuk lebih rileks dan lebih rileks lagi.
13) Sekarang fokus pada lengan atas, perhatikan setiap
ketegangan, relaksasikan lengan, biarkan perasaan
relaksasi menyebar dari jari-jari dan tangan melalui otot
lengan.

2.3.2 Perawatan Luka


2.3.2.1 Pengertian
penanganan luka yang terdiri atas membersihkan luka, menutup
dan membalut luka sehingga dapat membantu proses
penyembuhan luka (Harnanto, 2013).

2.3.2.2 Tujuan
Tujuan perawatan menurut Rosyidi, K. (2013) :
a. Melindungi luka dari trauma mekanik
b. Mengimobilisasi luka
c. Mengabsorpsi drainase
d. Mencegah kontaminasi kotoran-kotoran
e. Menghambat atau membunuh mikroorganisme
f. Memberikan lingkungan fisiologis yang sesuai untuk
penyembuhan luka
g. Menjaga kebersihan dan kenyamanan pasien

2.3.2.3 Prosedur
Prosedur perawatan luka menurut Rosyidi, K. (2013) :
a. Tahap preinteraksi
1) Cek catatan keperawatan dan catatan medis klien
terhadap indikasi tindakkan.
2) Siapkan peralatan:
a) Bak intrumen
- Pinset anatomi
- Gunting verband
- Kassa steril.
b) Sarung tangan steril l pasang
c) Sarung tangan on steril l pasang
d) Cairan NACL
e) Alkohol
f) Bengkok
g) Kom steril
h) Perlak
i) Plester
j) Cuci tangan dan pasang sarung tangan bersih.
b. Tahap orientasi
1) Beri salam, panggil klien dengan nama
2) Jelaskan tujuan dan pmsedur tindakan yang akan
dilakukan kepada klien dan keluarga.
3) Beri kesempatan klien untuk bertanya
c. Tahap kerja
1) Mendekatkan alat-alat dan bahan yang diperlukan
kedekat tempat tidur/klien.
2) Gunakan sampiran untuk mcnjaga privacy klien.
3) Mengatur posisi pasien scnyaman mungkin.
4) Memasang perlak.
5) Menyiapkan cairan NACL / memasukkan kc dalam com
steril. Memasukkan kasa steril kedalam kom steril yang
berisi cairan NACL.
6) Melepas kasa/balutan dengan kapas alcohol
menggunakan pinset/sarung tangan bersih (lebih bagus
menggunakan pinset/sarung tangan bersih (lebih bagus
menggunakan pinset) dan buang kc bengkok.
7) Lepas sarung tangan bersih ganti dengan yang steril.
8) Gunakan pinset barn untuk membersihkan luka, tapi bila
sudah menggunakan sarung tangan steril tidak perlu lagi
memakai pinset, bisa langsung membersihkan luka
dengan tangan yang sudah dilapisi sarung tangan steril
tapi bila ditambah dengan pinset akan lebih baik lagi.
9) Gunakan sam kassa untuk membersihkan luka dengan
cairan NACL (usapkan luka satu arah) catatan: lakukan
dengan lembut tctapi mantap.
10) Luka kemudian di tutup dengan kassa steril dan ditutup
plester hypapik.
11) Bereskan peralatan, lapaskan sarung tangan dan rapikan
klien.
d. Tahap terminasi
1) Evaluasi respon klien
2) Kontrak selanjutnya
3) Mengucapkan salam
4) Cuci tangan
e. Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai