BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Abdul Wahid (2013), Tulang terdiri dari sel-sel yang berada
pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage
yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini
dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya
tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh
manusia, tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok
berdasarkan bentuknya :
2.1.1.1 Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal
panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang
disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat
daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng
epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh
karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang
rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan
oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh
jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone
(cancellous atau trabecular).
2.1.1.2 Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang
padat.
2.1.1.3 Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang
padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas.
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan
matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi
dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan).
Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas
adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
2.1.1.1 Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2.1.1.2 Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru
paru) dan jaringan lunak.
2.1.1.3 Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan
kontraksi dan pergerakan).
2.1.1.4 Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum
tulang belakang (hema topoiesis).
2.1.1.5 Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.
2.1.2 Pengertian
Fraktur collum femur merupakan fraktur yang paling sering. Hal ini
sering terjadi pada orang tua akibat jatuh. Fraktur tidak sembuh dengan
cepat sehingga mengakibatkan berkurangnya sebagian besar suplay
darah pada caput femoris (Gibson, J., 2003)
Fraktur femur tertutup atau patah tulang paha tertutup adalah adalah
hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan
kulit yang disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang dapat
menyebabkan fraktur patologis (Arif Muttaqin, 2013).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur
secara klinis biasanya berupa fraktur femur terbuka yang disertai
dengan adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan, saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur Menurut Brunner & Suddarth (2014) yaitu sebagai
berikut :
2.1.3.1 Fraktur remuk (comminuted) yaitu patah dengan beberapa
fragmen tulang.
2.1.3.2 Fraktur juga dideskripsikan menurut penempatan fragmen
secara anatomic, terutama jika fraktur tergeser atau tidak
tergeser.
2.1.3.3 Fraktur intra-artikular meluas ke permukaan sendi tulang.
b. Fraktur Terbuka
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Fraktur Inkomplit
1) Hair Line Fraktur
Salah satu fraktur tidak lengkap pada tulang.
2) Buckle atau Torus Fraktur
Bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur
Mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang (Brunner & Suddarth,
2014).
b. Fraktur Oblik
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi.
c. Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garispatahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya tulang.
c. Fraktur Multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
2.1.4 Etiologi
Menurut Rosyidi (2013) etiologi fraktur terbagi menjadi 3, yaitu :
2.1.4.1 Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan.
2.1.4.2 Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
2.1.4.3 Kekerasan akibat tarikan otot sangat jarang terjadi kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
2.1.5 Patofisiologi
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan
batang femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada
priaa muda yang mengalami kecelakaan bermotor atau jatuh dari
ketinggian, biasanya klien mengalami trauma multiple yang
menyertainya. Kondisi degenerasi tulang (osteoporosis) atau keganasan
tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis tanpa riwayat trauma,
memadai untuk mematahkan tulang femur.
Kerusakan neurovascular menimbulkan manifestasi peningkatan risiko
syok, baik syok hipovolemik karena kehilangan darah banyak ke dalam
jaringan maupun syok neurogenik karena nyeri yang sangat hebat yang
dialami klien (Arif Muttaqin, 2013).
Kerusakan fragmen tulang femur diikuti dengan spasme otot paha yang
menimbulkan deformitas khas pada paha, yaitu pemendekan tungkai
bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang
optimal, akan menimbulkan risiko terjadinya malunion pada tulang
femur (Rosyidi, 2013).
Terapi imobilisasi
Ketidakmamptraksi terapi bedah fiksasi interna dan fiksasi eksterna
Kerusakan saraf spasme otot
-uan melakukan pergerakan
kaki
Kerusakan
Nyeri Akut
Vaskular
Pembengka
Hambatan mobilitas fisik
Risiko tinggi trauma -kan lokal
Risiko
sindrom
Respons Ketidaktahuan Pasca-bedah
komparte
psikologis teknik mobilisasi
- men
Port de entry
Ansientas Risiko malunion,
kontraktur sendi
Risiko Tinggi
Infeksi
Pemenuhan
informasi
Bagan 2.1
Sumber : (Arif Muttaqin, 2013)
2.1.7 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis fraktur mencakup nyeri akut, kehilangan fungsi,
deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus dan edema local serta
ekimosis. Tidak semua manifestasi ini terdapat dalam setiap fraktur
(Brunner & Suddarth, 2014).
2.1.8 Penataksanaan
Penatalaksanaan kegawadaruratan menurut Menurut Brunner &
Suddarth (2014) yaitu :
2.1.8.1 Segera setelah cedera, imobilisasi bagian tubuh sebelum pasien
dipindahkan.
2.1.8.2 Bebat fraktur, termasuk sendi yang berada di dekat fraktur,
untuk mencegah pergerakan fragemen fraktur.
2.1.8.3 Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah dapat dilakukan
dengan mengikat kedua tungkai bersama-sama.
2.1.8.4 Pada cedera ekstrimitas atas, lengan dapat dibebat kedada atau
lengan bawah yang cedera dapat digendong dengan mitela.
2.1.8.5 Kaji status neurovascular disisi distal area cedera sebelum dan
setelah pembebatan untuk menentukan keadekuatan perfusi
jaringan perifer dan fungsi saraf.
2.1.8.6 Tutupi luka fraktur terbuka dengan balutan steril untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam.
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi menurut Menurut Brunner & Suddarth (2014) yaitu Jika
sindrom embolisme lemak terjadi, yang menyumbat pembuluh darah
keci1 ang menyuplai otak, paru, ginjal, dan organ lain (awitan
mendadak, biasanya terjadi dalam 12 sampai 48 jam tetapi dapat terjadi
sampai dengan 10 hari setclah cedera), manifestasi berikut dapat
terlihat: Hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia; dispnea, krakel,
mengi, nyeri dada prekordium, batuk, sputum kental berwarna putih dan
banyak; hipoksia dan nilai gas darah dengan PaO 2 kurang dari 60
mmHg, dengan diawali oleh alkalosis respiratorik dan selanjutnya
menjadi asidosis respiratorik; perubahan status mental beragam dari
sakit kepala dan agitasi ringan sampai delirium dan koma. Radiograf
dada menunjukkan infiltrat “badai salju (snowstorm)” yang khas. Pada
akhirnya, edema pulmonal akut, sindrom gawat napas akut (ARDS),
dan gagal jantung dapat terjadi.
Terjadi sianosis (warna biru) pada bantalan kuku; dan jari tangan atau
jari kaki pucat atau kusam dan dingin; waktu pengisian kapiler bantalan
kuku memanjang (lebih dari 3 detik); denyut nadi mungkin berkurang
(Doppler) atau tidak ada; dan kelemahan, paraljsis, dan parestesia
motorik dapat terjadi. Manifestasi koagulasi intravaskular diseminata
(DIC) mencakup perdarahan yang tidak terduga setelah pernbedahan
dan perdarahan dari membran mukosa, lokasi punksi vena, dan saluran
gastrointestinal dan perkemihan.
2.1.9.4 Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial)
dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan sepert pin dan plat.
2.1.9.5 Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis(AVN) terjadi karena aliran darah ketulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
2.1.9.6 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur Femur
adalah rasa nyeri yang hebat. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien,
perawat dapat menggunakan PQRST.
1) Provoking incident: Hal yang menjadi factor presipitasi
nyeri trauma pada bagian pergelangn kaki.
2) Quantitas of pain: Klien merasakan nyeri yang bersifat
menusuk.
3) Region, radiating, relief: Nyeri terjadi dibagian yang
mengalami patah tulang.
4) Scale of pain: Secara subjektif, nyeri yang dirasakan
klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran 0-4.
5) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam atau siang hari.
f. Riwayat psikososial
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat,
serta respondan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran, biasanya compos metis.
1) Kepala: simetris, tidak ada gangguan dan benjolan.
2) Leher: tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
3) Wajah: wajah terlihat menahan sakit, tidak ada
perubahan fungsi dan bentuk pada wajah, tidak ada lesi,
simetris tidak edem.
4) Mata: tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (apabila klien dengan patah tulang tertutup,
karena tidak ada perdarahan).
d. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan krakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien fraktur
Fibula tidak ada kelainan pada sistem ini.
e. B5 (Bowel)
Abdomen. Inpeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi: tugor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: suara
timpani. Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20 kali/menit.
Inguinal genetalia-anus. Tak ada hernia, tak ada
pembesaran iymphe, tak ada kesulitan BAB.
f. B6 (Bone/ Musculoskeletal)
Adanya fraktur pada Fibula akan mengganggu secara lokal
baik fungsi motorik, sensorik dan peredaran darah.
b. Feel (palpasi)
2.2.10 Diagnosis
Diagnosis keperawatan yang sering muncul pada klien fraktur femur
tertutup pra- dan pasca bedah, meliputi :
2.2.10.1 Nyeri akut berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromoskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
2.2.10.2 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan repos
nyeri, kerusakan neuromoskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
2.2.10.3 Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan pemasangan
traksi kulit atau traksi tulang, penurunan kemampuan
pergerakan dan mobilisasi, kelemahan fisik, atrofi otot dan
ketidaktahuan cara mobilisasi adekuat.
2.2.10.4 Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entrée
luka fraktur terbuka, luka pasca-nedah, pemasangan traksi
tulang dan fiksasi interna.
2.2.10.5 Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan
kemampuan pergerakan, keterbatasan pergerakan sekunder
akibat pemasangan traksi.
2.2.10.6 Ansietas yang berhubungan dengan rencana pembedahan,
kondisi sakit, perubahan peran keluarga, kondisi status sosial
ekonomi.
2.2.11 Perencanaan
Menurut Buku Nurarif (2015) perencanaan kegiatan pada klien fraktur
Femur tertutup adalah:
2.2.11.1 Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: Nyeri berkurang atau teradaptasi
Kriteria hasil: Secara subjektif, klien melaporkan nyeri
berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi
aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak
gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.
Intervensi:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi.
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
d. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
e. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
Rasional :
a. Nyeri merupakan respon subjektip yang didapat dikaji
menggunakan skala nyeri.
b. Imobilitas fisik klien dapat dilihat dari reaksi nonverbal.
c. Melaporkan bahwa nyeri telah berkurang.
d. Mampu mengontrol nyeri.
e. Mengobservasi keadaan klien.
2.2.11.2 Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan respon
nyeri kerusakan neoromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
Tujuan: klien mampu melakukan aktifitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan,
tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot,
klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi peningkatan
kerusakan.
b. Atur posisi imobilitas pada klien.
c. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerakan aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit.
d. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri
sesuai toleransi.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterafi untuk latihan fisik klien.
Rasional:
a. Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktifitas.
b. Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri
pada klien.
c. Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot
serta memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.
d. Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
e. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas
dapat dicapai dengan latihan fisik dari tim ahli fisioterapi.
2.2.11.3 Risiko tinggi trauma berhubungan dengan penurunan sensasi,
kelemahan.
Tujuan: risiko trauma tidak terjadi
Kriteria hasil: Pasien terbebas dari trauma, fisik linggungan
rumah aman, prilaku pencegahan jatuh, dapat mendeteksi resiko
Intervensi:
a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.
b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien.
c. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
d. Membatasi pengunjung.
e. Memindahkan barang barang yang dapat membahayakan.
Rasional :
a. Untuk mencegah kejadian yang dapat menimbulkan trauma
pada pasien.
b. Meningkatkan rasa aman pasien.
c. Agar pasien merasa nyaman.
d. Mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
e. Menjamin keselamatan pasien.
2.2.12 Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dari proses keperawatan
dimana pada tahap ini tindakan yang telah direncarakan oleh perawat di
laksanakan dalam membantu pasien mencegah, mengurangi dan
menghilangkan dampak atau respon yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan.
2.2.13 Evaluasi
hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah nyeri teratasi,
terpenuhinya pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari resiko infeksi
pascaoperasi
2.3.1.2 Tujuan
Tujuan Muttaqin (2012) menyatakan bahwa tujuan teknik
relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi
alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru,
meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress
fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan
menurunkan kecemasan.
2.3.1.3 Prosedur
Prosedur relaksasi nafas dalam menurut Rosyidi, K. (2013) :
a. Menjelaskan maksud, tujuan, dan cara dilakukannya teknik
relaksasi pernapasan.
b. Persiapan sebelum pelaksanaan :
1) Persiapan ruangan: ruangan yang nyaman dan minimalkan
kebisingan dan gangguan.
2) Persiapan pasien : Minta pasien untuk berbaring dengan
rileks.
c. Langkah-langkah tindakan keperawatan Teknik Relaksasi
Napas Dalam :
1) Mencari posisi yang paling nyaman
2) Pasien meletakkan lengan disamping pasien
3) Kaki jangan di silangkan
4) Tarik napas dalam, rasakan perut dan dada anda terangkat
perlahan rileks, keluarkan napas dengan perlahan-lahan
5) Hitung sampai 4, tarik napas pada hitungan 1 dan 2,
keluarkan napas pada hitungan 3 dan 4.
6) Lanjutkan bernapas dengan perlahan, rilekskan tubuh,
perhatikan setiap ketegangan pada otot.
7) Lanjutkan untuk bernapas dan rileks.
8) Konsentrasi pada wajah, rahang, leher, perhatikansetiap
kesulitan.
9) Napas dalam kehangatan dan relaksasi kosentrasi setiap
ketegangan ditangan, perhatikan bagaimana rasanya
10) Buat kepalan-kepalan tangan yang kuat, saat mulai
mengeluarkan napas, relaksasikan kepala dan tangan.
11) Perhatikan apa yang dirasakan tangan , pikir “rileks”
tangan terasa hangat, berat atau ringan.
12) Upayakan untuk lebih rileks dan lebih rileks lagi.
13) Sekarang fokus pada lengan atas, perhatikan setiap
ketegangan, relaksasikan lengan, biarkan perasaan
relaksasi menyebar dari jari-jari dan tangan melalui otot
lengan.
2.3.2.2 Tujuan
Tujuan perawatan menurut Rosyidi, K. (2013) :
a. Melindungi luka dari trauma mekanik
b. Mengimobilisasi luka
c. Mengabsorpsi drainase
d. Mencegah kontaminasi kotoran-kotoran
e. Menghambat atau membunuh mikroorganisme
f. Memberikan lingkungan fisiologis yang sesuai untuk
penyembuhan luka
g. Menjaga kebersihan dan kenyamanan pasien
2.3.2.3 Prosedur
Prosedur perawatan luka menurut Rosyidi, K. (2013) :
a. Tahap preinteraksi
1) Cek catatan keperawatan dan catatan medis klien
terhadap indikasi tindakkan.
2) Siapkan peralatan:
a) Bak intrumen
- Pinset anatomi
- Gunting verband
- Kassa steril.
b) Sarung tangan steril l pasang
c) Sarung tangan on steril l pasang
d) Cairan NACL
e) Alkohol
f) Bengkok
g) Kom steril
h) Perlak
i) Plester
j) Cuci tangan dan pasang sarung tangan bersih.
b. Tahap orientasi
1) Beri salam, panggil klien dengan nama
2) Jelaskan tujuan dan pmsedur tindakan yang akan
dilakukan kepada klien dan keluarga.
3) Beri kesempatan klien untuk bertanya
c. Tahap kerja
1) Mendekatkan alat-alat dan bahan yang diperlukan
kedekat tempat tidur/klien.
2) Gunakan sampiran untuk mcnjaga privacy klien.
3) Mengatur posisi pasien scnyaman mungkin.
4) Memasang perlak.
5) Menyiapkan cairan NACL / memasukkan kc dalam com
steril. Memasukkan kasa steril kedalam kom steril yang
berisi cairan NACL.
6) Melepas kasa/balutan dengan kapas alcohol
menggunakan pinset/sarung tangan bersih (lebih bagus
menggunakan pinset/sarung tangan bersih (lebih bagus
menggunakan pinset) dan buang kc bengkok.
7) Lepas sarung tangan bersih ganti dengan yang steril.
8) Gunakan pinset barn untuk membersihkan luka, tapi bila
sudah menggunakan sarung tangan steril tidak perlu lagi
memakai pinset, bisa langsung membersihkan luka
dengan tangan yang sudah dilapisi sarung tangan steril
tapi bila ditambah dengan pinset akan lebih baik lagi.
9) Gunakan sam kassa untuk membersihkan luka dengan
cairan NACL (usapkan luka satu arah) catatan: lakukan
dengan lembut tctapi mantap.
10) Luka kemudian di tutup dengan kassa steril dan ditutup
plester hypapik.
11) Bereskan peralatan, lapaskan sarung tangan dan rapikan
klien.
d. Tahap terminasi
1) Evaluasi respon klien
2) Kontrak selanjutnya
3) Mengucapkan salam
4) Cuci tangan
e. Dokumentasi