Anda di halaman 1dari 24

METODE ISTINBATH HUKUM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Ilmu Fiqih”

Disusun Oleh :

Fauziah Azzahra (60100119011)

Nur Humairah (60100119024)

Nur Syeila Naida (60100119018)

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN PELAJARAN 2019/2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimmpahkan rahmat, karuniah sertah Hidayah-Nya yang sangat besar sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Rasa terima kasih jug kami ucapkan kepada dosen yang selalu memberikan dukungan
serta bimbingannya sehingg makalah ini dapat dapat disusun dengan baik.

Semoga makalah yang telah kami susun ini turut memperkaya khazanah ilmu serta bisa
menambah pengetahuan dan pengalan para pembaca.

Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kami
juga menyadari bahwa makalah ini juga masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu
kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian demi penyusunan
makalah ini dengan tema serupa yang lebih baik lagi.

Gowa, Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada


masa rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu
berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah menurunkan ayat
untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan kepada umatnya tentang
bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan tentang Al-qur,an tidak selamanya
tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang bersifat garis besar(ijmali) dan
terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala sudah
ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur‟an dan Al-hadist, tetapi yang
ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan masalah
yang baru timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum
yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam
masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-
qur‟an dan Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang
seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan
kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan
masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang
berkepintingan secara jelas.
Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu ushul
fiqh mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam melakukan
istinbanth hukum. Dalam makalah ini akan kami bahas tentang istinbath hukum dan
beberapa poin saja yang menganai dengan istinbath hukum, sebab kalau kita bahas

1
semua yang ada dalam metode istinbath hukum maka akan cukup banyak yang perlu
dibahas dan memerlukan waktu yang lebih lama.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas yang kami ambil antara
lain:
1. Apa pengertian istinbath?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan pendekatan lafadz kepada makna ? yang
didalamnya terdapat mutlaq, muqayyad, al-amr, an-nahy
3. Bagaimana yang dikatakan dengan:
 „Am/umum dan Khas
 Al-musytarat
 Al-muawwal

C. Tujuan
Adapun yang menjadi fokus tujuan mempelajari metode istinbath hukum adalah:
1. Bisa mengetahui definisi dari istinbath hukum.
2. Supaya mengetahui apa itu mutlaq, muqayyad, al-amr, dan an-nahy
3. Dapat mengetahui apa itu „am/umum, al-musytarat, al-muawwal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Istinbath Hukum


Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya.
Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi,
menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai
metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang
sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam
adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut
dikaji dan diformulasikan.1
Kata istinbat jika dihubungkan dengan hukum, maka istinbat merupakan suatu
upaya penarikan hukum dari Al-Qur‟an dan Sunnah melalui jalan ijtihad. Sedangkan

1 Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum

Islam, (Jakarta: 1998), hlm. 2.

3
menurut bahasa istinbat adalah mengeluarkan atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat
adalah upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya
dengan cara mengerahkan kemampuan dari potensi naluriyah. Dari nash-nash tersebut
menghasilkan dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.

1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari
suatu lafadz, yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
b. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
c. Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.

2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara pendekatan
yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni melalui kaidah-
kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan
dengan masalah hukum.

4
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh
ijma‟,agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma‟.
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat
mempergunakannya untuk istinbat hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f. Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur‟an dan Sunnah
tersusun dalam bahasa Arab.2

Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa metode
istinbath hukum yang dijelaskan oleh pakar(fiqh) guna untuk mendapatkan suatu hukum
yang baru dengan merujuk hukum dasar yang sudah ada dan guna untuk menjawab
persoalan yang ada, disini akan dijelaskan beberapa metode saja yang ada dalam metode
istinbath antara lain adalah:

B. Pendekatan lafazd kepada makna


Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu pendekatan
makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum
bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah
dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa
faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-
lafal nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya.
Didalamnya dibahas tentang mutlaq, muqayyad, amr dan nahy

a. Mutlaq dan Muqayyad

2 Mu‟in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 2

5
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”,
“rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata
tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,
Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
maudhu‟nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak.
Sedangkan menurut istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan
tanpa ikatan.Mutlaq dan Muqayad itu sama dengan „am dan Khasa.3
Muqayyad didefinsikan juga oleh para ulama ushul yaitu: menurut Syaikh Al-
KhudariBeik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan suatu objek (afrad) atau beberapa
objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu. Sedangkan menurut Zaky Al-Din
Sya‟ban, muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa
objek dan ia telah oleh suatu sifat. Dan menurut Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk
makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang
mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya.

Artinya “Dan barang siapa membunuh seseorang mikmin karena bersalah


(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS An Nisa 92).
Jadi dapat saya simpulkan bahwa muqayyad adalah suatu lafal nash yang
maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga

3 Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur‟an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007,

hlm.129.

6
pengertiannya lebih terbatas dan pasti. Muqayyad ini kebalikan dari mutlak
pengertiannya lebih spesifik lagi.

 Bentuk-bentuk mutlak dan muqayyad

Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1. Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain
digunakan dengan muqayyad
2. Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3. Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam
hukumnya ataupun sebab hukumnya
4. Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
5. Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

 Hubungan antara mutlak dan muqayyad


Apabila da suatu lafal, yang disatu tempat berbentuk mutlak, sedangkan
ditempat yang lain berbentuk muqayyad, ada empat kemungkinan dari ketentuannya.

1. Persamaan sebab dan hukum


Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka harus
diikutkan satu kepada lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlak tadi, tidak lagi
mutlak, karena harus tunduk pada yang muqayyad dan harus diartikan secara
muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya, memiliki
kesamaan dalam cara mengertikannya. Oleh karena itu, yang muqayyad sebagai
pebjelas (yang menjelaskan) pada yang mutlak. Contoh lafal, artinya tiga hari,
bentuknya sebagimana yang terdapat dalam ayat:

‫َف َف ْن َف ْن َف ِج ْن َف ِج َف ُما َف َف َف ِج َف َّي ٍما‬

7
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kafaratnya puasa selama tiga hari” (QS Al-Maidah 89)

Menurut bacaan mutawatir, bentuk lafal diatas adalah mutlak. Akan tetapi,
menurut bacaan syadzah, bentuk lafal tersebut adalah muqayyad (bacaan Ubbaid bin
Ka‟ab dan Ibnu Mas‟ud) ayat itu berbunyi

Artinya “Hendaknya puasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dibatasi oleh kata-kata
berturut-turut.”

Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, qiraat mutawatir
diatas harus diikutkan pada qiraat syadzah. Jadi, cara mengartikannya dipersamakan
dengan qiraat syadzah, yaitu hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dalam
qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut karena keduanya sama
hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya, yaitu karena kafarat sumpah.

2. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama


Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum
(persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama ushul. Menurut sebagian
ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang muqayyad, sedangkan ulama yang
mutlak tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal berbentuk mutlak dalam QS
Mujadilah:3

‫َف َف ْن ِج ُم َف قَف َف ٍم ِج ْن قَف ْن ِج َف ْنو َف َف َف َّيس ۚ َف ِج ُم ْن ُم َفو ُم وَف ِج ِج ۚ َف َّي ُم‬ ‫َف َّي ِج َف ُم َف ِجا ُم وَف ِج ْن ِج َف اِج ِج ْن ُم َّي َف ُم ُمو وَف ِج َف َفق ُم‬
‫ِج َف َف ْن َف ُم َف َف ِج ٌر‬
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan

8
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Mujadilah: 3)

ۚ ‫َف َف ْن قَف َف َف ُم ْنؤ ِج نً َف َف ً َف َف ْن ِج ُم َف قَف َف ٍم ُم ْنؤ ِج نَف ٍم َف ِجو َف ٌر ُم َف َّي َف ٌر ِج َف‬


‫َف ْنا ِج ِج ِج َّي َف ْنو َف َّي َّي قُم‬
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak sengaja),
maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin, serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS. An-nisa 92).

Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad itu
satu tujuan walaupun diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap sama. Dalam
ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena bersumpah zhihar,
sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda
sebabnya.4

a. Al-amr dan An-nahy


Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan
dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu
tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar
saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti
perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang
sifatnya mewajibkan/mengharuskan.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan
bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya

4 Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung:2010), hlm 198-199

9
kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa
orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi
daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh
harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah
kepada hambanya.5
Contoh dari al-amr ini ,isalnya dalam surat al baqarah ayat 43 yang Artinya:
“Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43). Maka ini otomatis tidak dapat dielakkan lagi
karena ini merupakan perintah mutlaq yang tidak bisa diperluaskan lagi.

Sedangkan, nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang (al-man‟u),


sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan,
atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang
diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu),
karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan
yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT
kepada hamba-Nya.
Adapun contoh nahi yang menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah yang
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)
Ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena
tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi. Kecuali apabila ada qarinah yang
memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi

5 Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur:2008), hlm. 52

10
menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang
memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu
menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah
haram.

C. ‘Am/umum dan Khas


a. „Am/umum
„Am menurut bahasa merupakan merata, secara umum. Sedangkan menurut istilah
adalah lafazh yang meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang termasuk
pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain „Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian
umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak
terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian
umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al
insan sudah meliputi manusia seluruhnya.
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab syafii, bahwa lafal umum ialah
suatu lafal yang menunjukan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq,
hakekat dari definisi ini ialah lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi
mengandung beberapa satuan pengertian.
Contoh dari lafazd „am secara umum seperti firman Allah dalam surat At-Thur
ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

 Macam- macam „Am


Para ulama dalam hal ini membagi „Am menjadi tiga kategori:
1. Al „Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya
tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan tentang kewajiban
wanita yang bercerai untuk melaksanakan „iddah (masa tunggu) selama tiga quru (suci
atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala bentuk perceraian, kecuali jika ada

11
petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya kata An-
nas atau manusia dalam firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 21 yang Artinya : Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa.
2. Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi
satu, tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus
allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama namanya
dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali.
3. Al „Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup
oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi
seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah cukup. Karena
memang lafaz umum di sini adalah al „am badaly.6

b. Khas
Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian „âmm (umum). Dengan
demikian, jika telah memahami pengertian lafaz „âmm secara tidak langsung, juga dapat
memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan
tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara
definitif. Al-Amidi sebelum mengemukakan definisi, ia mengeritik penulis yang
mendefinisikan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan lafaz „âmm”7
 Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara‟ menunjukkan satu makna tertentu
dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian,

6 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hlm 179-183

7 Muhammad Khudarî Bik, Ushûl al-Fiqh. Hlm 147

12
apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath‟i-
an dilalahnya tidak terpengaruh.
a. Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka
lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang
membatasinya.
b. Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah
berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma‟mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain.
c. Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah
berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi)
yang memalingkan dari hal itu.

Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang berbunyi:
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih
dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah
maknanya adalah qatiyah.8

 Macam-Macam Khas
1. Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam
2. Khash Nuu‟, seperti Al-insan adalah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi
seorang laki-laki yang sudah balig.
3. Khash Jinsi, seperti: La insan ialah hewan yang berfikir/berbicara. Itulah hakikatnya.
4. Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.

8 Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 2003), hlm.199

13
D. Al-Musytarat
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai
dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada
artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini
atau arti itu.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti misalnya seperti yang
terdapat dala firman Allah surat Al-baqarah ayat 222 yang artinya "Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci....”
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau berhenti dari
haid dan sudah mandi wajib.
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:Artinya: “Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang meninggalkan
anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan juga tidak
meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan anak dan jurusan
ayah. Namun yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang meninggalkan anak, tetapi
tidak meninggalkan ayah.9
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan bahwa lafal
musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau disebabkan
perbedaan antara bahasa dan arti syara‟, arti syara‟-lah yang dipakai dan kalau
disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti hakiki yang dipakai.

9 Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam,

(Surabaya: 1997), hlm. 204.

14
E. Al Muawwal
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala- Yuawwilu
yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir
mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat
kembali.10
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh
yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

a. Objek Al-muawwal
Kajian takwil(al-muawwal) yang tidak menyangkut nash-nash yang qathi‟ baik
secara khusus atau secara umum yang merupakan landasan-landasan kaidah syari‟ yang
bersifat umum atau kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum
permasalahan dalam furu‟ sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya.
Takwil juga tidak menyangkut dengan hukum-hukum agama penting lainnya yang
mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasr-dasar syariat yang bersifat
umum diantaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum
karena maksud syara‟ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath‟i
agar terhindar dari munculnya arti yang spekulatif.11
b. Dali-dalil penunjang Al-muawwal
Takwil(al muawwal) pada dasarnya mencakup arti yang lemah memerlukan
dalil yang mampu memperkuat praduga hasil takwil tersebut. Sehingga arti yang tadinya

10 Rachmat syafiie, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: 2010), hlm. 169

11 Ibid, hlm 172

15
lemah akan menjadi kuat karena sesuai dengan kemaslahatan umum dan dugaan para
mujtahid.
Dalil penunjang takwil harus lebih kuat daripada dalil penunjang arti secara
bahasa atau dalilnya harus lebih kuat dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
dilaksankannya atau tidak, nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu, hasil
penakwilan akan lebih kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Secara ringkas dalil-dalil takwil yang dipakai sebagai berikut:
a. Nash yang diambil dari al-quran dan as sunnah.
b. Ijma‟
c. Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari al-quran dan as sunnah
d. Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan hal-
hal yang bersifat jiz‟i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan
menjadi dasar adanya perbedaan dalam ijtihad.
e. Hakikat kemaslahatan umum
f. Adat yang diucapkan dan diamalkan
g. Hakikat syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan
kemasyarakatan, perekonomian, politik dan akhlak
h. Qiyas
i. Akal yang merupakan sumberperbincangan segala sesuatu, yang menurut kaum
ushuliyyin lebi dikenal dengan istilah takwil qarib
Rusaknya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak
perlu atau menyalahi salah satu pembentuk syariat kaidah-kaidah umum hukum,
hukum-hukum yang bersumber dari dalil yang qath‟i dan melakukan takwil baid yang
dilarang. Dengan kata lain jangan samapai melakukan ijtihad dengan takwil dan
menyimpang dari kaidah-kaidah dasar di atas.

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya.
Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi,
menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai
metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang
sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam
adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut
dikaji dan diformulasikan.
Ada dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.
1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau
dari segi lafadznya.
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya.

Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah suatu
lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu
sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan
dari atasan kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa adalah mencegah,
melarang (al-man‟u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang

17
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita.
„Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi segala
sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan
yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia
termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi
manusia seluruhnya. Sedangkan Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian „âmm
(umum). Dengan demikian, jika telah memahami pengertian lafaz „âmm secara tidak
langsung, juga dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua
penulis yang menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian
lafaz khâsh itu secara definitif.
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai
dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada
artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini
atau arti itu.
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala- Yuawwilu
yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir
mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat kembali.
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh
yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

B. Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi
kami yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran
sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum
Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Ma‟sum Zein Zudbah, Muhammad, UshulFiqh, Jawa Timur: Darul Hikmah. 2008.
Mas‟adi, Gufron, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Mu‟in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, Jakarta: Departemen Agama, 1986.
Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda
Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1998.

19
Syafii, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Cet ke IV. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai