Anda di halaman 1dari 21

METODE ISTINBATH HUKUM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Ilmu Fiqih”

Disusun Oleh :

Fauziah Azzahra (60100119011)

Nur Humairah (60100119024)

Nur Syeila Naida (60100119018)

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN PELAJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah melimmpahkan rahmat, karuniah sertah Hidayah-Nya yang sangat besar sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Rasa terima kasih jug kami ucapkan kepada dosen yang selalu memberikan
dukungan serta bimbingannya sehingg makalah ini dapat dapat disusun dengan baik.

Semoga makalah yang telah kami susun ini turut memperkaya khazanah ilmu
serta bisa menambah pengetahuan dan pengalan para pembaca.

Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini juga masih memiliki banyak kekurangan.
Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian demi
penyusunan makalah ini dengan tema serupa yang lebih baik lagi.

Gowa, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Metode Istinbath Hukum .................................................................................... 3
B. Pendekatan lafazd kepada makna ....................................................................... 5
C. „Am/umum dan Khas ....................................................................................... 10
D. Al-Musytarat .................................................................................................... 12
E. Al Muawwal .................................................................................................... 13
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 16
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada


masa rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu
berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah menurunkan ayat
untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi penejelasan kepada umatnya tentang
bagaimana ayat yang diturunkan tersebut. Penjelasan tentang Al-qur,an tidak selamanya
tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang bersifat garis besar(ijmali) dan
terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad.

Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala sudah


ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur‟an dan Al-hadist, tetapi yang
ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan masalah
yang baru timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum
yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam
masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-
qur‟an dan Al-hadist.

Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang seirama
dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan
dan kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta
menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepintingan secara jelas.

Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu ushul fiqh
mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam melakukan istinbanth
hukum. Dalam makalah ini akan kami bahas tentang istinbath hukum dan beberapa poin
saja yang menganai dengan istinbath hukum, sebab kalau kita bahas semua yang ada

1
dalam metode istinbath hukum maka akan cukup banyak yang perlu dibahas dan
memerlukan waktu yang lebih lama.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas yang kami ambil antara
lain:
1. Apa pengertian istinbath?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan pendekatan lafadz kepada makna ? yang
didalamnya terdapat mutlaq, muqayyad, al-amr, an-nahy
3. Bagaimana yang dikatakan dengan:
 „Am/umum dan Khas
 Al-musytarat
 Al-muawwal

C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi fokus tujuan mempelajari metode istinbath hukum adalah:
1. Bisa mengetahui definisi dari istinbath hukum.
2. Supaya mengetahui apa itu mutlaq, muqayyad, al-amr, dan an-nahy
3. Dapat mengetahui apa itu „am/umum, al-musytarat, al-muawwal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Istinbath Hukum


Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya.
Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi,
menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai
metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang
sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam
adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut
dikaji dan diformulasikan.1

Kata istinbat jika dihubungkan dengan hukum, maka istinbat merupakan suatu
upaya penarikan hukum dari Al-Qur‟an dan Sunnah melalui jalan ijtihad. Sedangkan
menurut bahasa istinbat adalah mengeluarkan atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat
adalah upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya
dengan cara mengerahkan kemampuan dari potensi naluriyah. Dari nash-nash tersebut
menghasilkan dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.

1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari
suatu lafadz, yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
b. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
c. Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.

1 Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum

Islam, (Jakarta: 1998), hlm. 2.

3
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara pendekatan
yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni melalui kaidah-
kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan
dengan masalah hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma‟,agar
dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma‟.
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya
untuk istinbat hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f. Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur‟an dan Sunnah tersusun
dalam bahasa Arab.2
Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa metode
istinbath hukum yang dijelaskan oleh pakar(fiqh) guna untuk mendapatkan suatu hukum
yang baru dengan merujuk hukum dasar yang sudah ada dan guna untuk menjawab
persoalan yang ada, disini akan dijelaskan beberapa metode saja yang ada dalam metode
istinbath antara lain adalah:

2 Mu‟in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 2

4
B. Pendekatan lafazd kepada makna
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu pendekatan
makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum
bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah
dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa
faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-
lafal nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya.
Didalamnya dibahas tentang mutlaq, muqayyad, amr dan nahy

a. Mutlaq dan Muqayyad


Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”,
“rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata
tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami,
Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:
Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
maudhu‟nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak.
Sedangkan menurut istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan
tanpa ikatan.Mutlaq dan Muqayad itu sama dengan „am dan Khasa.3
Muqayyad didefinsikan juga oleh para ulama ushul yaitu: menurut Syaikh Al-
KhudariBeik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan suatu objek (afrad) atau beberapa
objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu. Sedangkan menurut Zaky Al-Din
Sya‟ban, muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa
objek dan ia telah oleh suatu sifat. Dan menurut Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk

3 Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur‟an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina Ilmu, 2007,
hlm.129.

5
makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang
mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya.

Artinya “Dan barang siapa membunuh seseorang mikmin karena bersalah


(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS An Nisa 92).

Jadi dapat saya simpulkan bahwa muqayyad adalah suatu lafal nash yang
maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga
pengertiannya lebih terbatas dan pasti. Muqayyad ini kebalikan dari mutlak
pengertiannya lebih spesifik lagi.
1) Bentuk-bentuk mutlak dan muqayyad
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a) Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain
digunakan dengan muqayyad
b) Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
c) Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam
hukumnya ataupun sebab hukumnya
d) Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya
sama.
e) Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

2) Hubungan antara mutlak dan muqayyad


Apabila da suatu lafal, yang disatu tempat berbentuk mutlak, sedangkan ditempat
yang lain berbentuk muqayyad, ada empat kemungkinan dari ketentuannya.
a. Persamaan sebab dan hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka harus
diikutkan satu kepada lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlak tadi, tidak
lagi mutlak, karena harus tunduk pada yang muqayyad dan harus diartikan secara
muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya, memiliki
kesamaan dalam cara mengertikannya. Oleh karena itu, yang muqayyad sebagai

6
pebjelas (yang menjelaskan) pada yang mutlak. Contoh lafal, artinya tiga hari,
bentuknya sebagimana yang terdapat dalam ayat:

‫َف َف ْن َف ْن َف ِج ْن َف ِج َف ُما َف َف َف ِج َف َّي ٍما‬

Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kafaratnya puasa selama tiga hari” (QS Al-Maidah 89)
Menurut bacaan mutawatir, bentuk lafal diatas adalah mutlak. Akan tetapi,
menurut bacaan syadzah, bentuk lafal tersebut adalah muqayyad (bacaan Ubbaid
bin Ka‟ab dan Ibnu Mas‟ud) ayat itu berbunyi

Artinya “Hendaknya puasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dibatasi oleh kata-kata
berturut-turut.”
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, qiraat mutawatir
diatas harus diikutkan pada qiraat syadzah. Jadi, cara mengartikannya
dipersamakan dengan qiraat syadzah, yaitu hendaklah berpuasa tiga hari berturut-
turut. Jadi, dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut karena
keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya, yaitu karena
kafarat sumpah.

b. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama


Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum
(persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama ushul. Menurut sebagian
ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang muqayyad, sedangkan ulama yang
mutlak tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal berbentuk mutlak dalam QS
Mujadilah:3

‫َف َف ْن ِج ُم َف قَف َف ٍم ِج ْن قَف ْن ِج َف ْنو َف َف َف َّيس ۚ َف ِج ُم ْن ُم َفو ُم وَف ِج ِج ۚ َف َّي ُم ِج َف‬ ‫َف ُم َف ِجا ُم وَف ِج ْن ِج َف اِج ِج ْن ُم َّي َف ُم ُمو وَف ِج َف قَف ُم‬ ‫َف َّي ِج‬
‫َف َف ِج ٌر‬ ‫َف ْن َف ُم‬

7
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Mujadilah: 3)

‫َف َف ْن قَف َف َف ُم ْنؤ ِج نً َف َف ً َف َف ْن ِج ُم َف قَف َف ٍم ُم ْنؤ ِج نَف ٍم َف ِجو َف ٌر ُم َف َّي َف ٌر ِج َف‬


ۚ ‫َف ْنا ِج ِج ِج َّي َف ْنو َف َّي َّي قُم‬
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak sengaja),
maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin, serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS. An-nisa 92).
Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad itu
satu tujuan walaupun diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap sama.
Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena bersumpah
zhihar, sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan tidak sengaja.
Jadi, berbeda sebabnya.4

b. Al-amr dan An-nahy


Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan
dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu
tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar
saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti
perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang
sifatnya mewajibkan/mengharuskan.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan
bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa
orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun

4 Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung:2010), hlm 198-199

8
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi
daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh
harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah
kepada hambanya.5
Contoh dari al-amr ini ,isalnya dalam surat al baqarah ayat 43 yang Artinya:
“Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43). Maka ini otomatis tidak dapat dielakkan lagi
karena ini merupakan perintah mutlaq yang tidak bisa diperluaskan lagi.

Sedangkan, nahi menurut bahasa adalah mencegah, melarang (al-man‟u),


sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan,
atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang
diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu),
karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan
yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT
kepada hamba-Nya.
Adapun contoh nahi yang menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah yang
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)
Ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena
tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi. Kecuali apabila ada qarinah yang
memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi
menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang
memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu
menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah
haram.

5 Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur:2008), hlm. 52

9
C. ‘Am/umum dan Khas
1. „Am/umum
„Am menurut bahasa merupakan merata, secara umum. Sedangkan menurut
istilah adalah lafazh yang meliputi pengertian umum , terhadap semua apa yang
termasuk pengertian lafazh itu, dengan hanya disebut sekaligus.
Dengan pengertian lain „Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian
umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak
terbatas, misalnya: al insan yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian
umum , jadi semua manusia termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al
insan sudah meliputi manusia seluruhnya.
Menurut Al Amidi, seorang ulama madzhab syafii, bahwa lafal umum ialah
suatu lafal yang menunjukan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq,
hakekat dari definisi ini ialah lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi
mengandung beberapa satuan pengertian.
Contoh dari lafazd „am secara umum seperti firman Allah dalam surat At-Thur
ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”.

a. Macam- macam „Am


Para ulama dalam hal ini membagi „Am menjadi tiga kategori:
1) Al „Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat
dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan
tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan „iddah (masa
tunggu) selama tiga quru (suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala
bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu
bentuknya. Contoh lain misalnya kata An-nas atau manusia dalam firman Allah
dalam surat Al-baqarah ayat 21 yang Artinya : Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa.
2) Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu
demi satu, tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi

10
yang di utus allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang
disebut nama namanya dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh
nabi yang banyak sekali.
3) Al „Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang
dicakup oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin.
Memberi seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah
cukup. Karena memang lafaz umum di sini adalah al „am badaly.6

2. Khas
Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian „âmm (umum). Dengan
demikian, jika telah memahami pengertian lafaz „âmm secara tidak langsung, juga dapat
memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua penulis yang menguraikan
tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khâsh itu secara
definitif. Al-Amidi sebelum mengemukakan definisi, ia mengeritik penulis yang
mendefinisikan khâsh dengan: “Setiap lafaz yang bukan lafaz „âmm”7
a. Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara‟ menunjukkan satu makna tertentu dengan
pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila
ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath‟i-an
dilalahnya tidak terpengaruh.
1) Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun,
maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak
ada dalil yang membatasinya.
2) Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan
faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma‟mur bih), selama tidak
ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
3) Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan
faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada
qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.

6 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hlm 179-183


7 Muhammad Khudarî Bik, Ushûl al-Fiqh. Hlm 147

11
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang berbunyi:
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih
dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah
maknanya adalah qatiyah.8
b. Macam-Macam Khas
1) Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam
2) Khash Nuu‟, seperti Al-insan adalah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi
seorang laki-laki yang sudah balig.
3) Khash Jinsi, seperti: La insan ialah hewan yang berfikir/berbicara. Itulah
hakikatnya.
4) Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.

D. Al-Musytarat
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai dua
arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya
secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti
itu.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti misalnya seperti yang terdapat
dala firman Allah surat Al-baqarah ayat 222 yang artinya "Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci....”
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau berhenti dari haid
dan sudah mandi wajib.

8 Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 2003), hlm.199

12
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:Artinya: “Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang meninggalkan anak
tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan juga tidak meninggalkan
ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan anak dan jurusan ayah. Namun
yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang meninggalkan anak, tetapi tidak
meninggalkan ayah.9
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan bahwa lafal
musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau disebabkan
perbedaan antara bahasa dan arti syara‟, arti syara‟-lah yang dipakai dan kalau
disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti hakiki yang dipakai.

E. Al Muawwal
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala- Yuawwilu
yang mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir
mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat
kembali.10
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh
yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.
1. Objek Al-muawwal
Kajian takwil(al-muawwal) yang tidak menyangkut nash-nash yang qathi‟ baik
secara khusus atau secara umum yang merupakan landasan-landasan kaidah syari‟ yang
bersifat umum atau kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum
permasalahan dalam furu‟ sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya.

9 Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam,
(Surabaya: 1997), hlm. 204.
10 Rachmat syafiie, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: 2010), hlm. 169

13
Takwil juga tidak menyangkut dengan hukum-hukum agama penting lainnya yang
mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasr-dasar syariat yang bersifat
umum diantaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum
karena maksud syara‟ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath‟i
agar terhindar dari munculnya arti yang spekulatif.11

2. Dali-dalil penunjang Al-muawwal


Takwil(al muawwal) pada dasarnya mencakup arti yang lemah memerlukan dalil
yang mampu memperkuat praduga hasil takwil tersebut. Sehingga arti yang tadinya
lemah akan menjadi kuat karena sesuai dengan kemaslahatan umum dan dugaan para
mujtahid.
Dalil penunjang takwil harus lebih kuat daripada dalil penunjang arti secara bahasa
atau dalilnya harus lebih kuat dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa dilaksankannya
atau tidak, nash tersebut sama saja. Dengan cara seperti itu, hasil penakwilan akan lebih
kuat dan menjadi takwil yang shahih.
Secara ringkas dalil-dalil takwil yang dipakai sebagai berikut:
a. Nash yang diambil dari al-quran dan as sunnah.
b. Ijma‟
c. Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari al-quran dan as sunnah
d. Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan
hal-hal yang bersifat jiz‟i tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para imam
dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam ijtihad.
e. Hakikat kemaslahatan umum
f. Adat yang diucapkan dan diamalkan
g. Hakikat syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan
dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik dan akhlak
h. Qiyas

11 Ibid, hlm 172

14
i. Akal yang merupakan sumberperbincangan segala sesuatu, yang menurut kaum
ushuliyyin lebi dikenal dengan istilah takwil qarib
Rusaknya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak
perlu atau menyalahi salah satu pembentuk syariat kaidah-kaidah umum hukum,
hukum-hukum yang bersumber dari dalil yang qath‟i dan melakukan takwil baid yang
dilarang. Dengan kata lain jangan samapai melakukan ijtihad dengan takwil dan
menyimpang dari kaidah-kaidah dasar di atas.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya.
Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi,
menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai
metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang
sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam
adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut
dikaji dan diformulasikan.
Ada dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.
1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafadznya.
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya.
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz. Sedangkan muqayyad adalah suatu
lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu
sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
Menurut bahasa Arab al-amr adalah perintah, sedangkan menurut istilah adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan
dari atasan kepada bawahan. Sedangkan nahi menurut bahasa adalah mencegah,
melarang (al-man‟u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang
sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita.

16
„Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum, meliputi segala
sesuatu yang terkandung dalam pertkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya: al insan
yang berarti manusia . Perkataan ini memiliki pengertian umum , jadi semua manusia
termasuk dalam perkataan ini. Sekali mengucapkan kata al insan sudah meliputi
manusia seluruhnya. Sedangkan Pengertian khâsh adalah lawan dari pengertian „âmm
(umum). Dengan demikian, jika telah memahami pengertian lafaz „âmm secara tidak
langsung, juga dapat memahami pengertian lafaz khâsh. Karenannya tidak semua
penulis yang menguraikan tentang lafaz khâsh dalam bukunya, memberikan pengertian
lafaz khâsh itu secara definitif.
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai dua
arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya
secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti
itu.
Secara bahasa Al muawwal adalah yang dirujuk dari kata Awwala- Yuawwilu yang
mempunyai arti At-tafsir, Al-marja, Al-mashir. Dari segi bahasa At-tafsir mempunyai
arti penjelasan atau uraian, Al-marja berarti kembali atau tempat kembali.
Menurut istilah Al muawaal yang dikemukakan oleh imam Al Ghazali adalah
sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh
yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat
dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.

B. Saran
Meskipun kami sudah berusaha maksimal menyelesaikan makalah ini, tapi kami
yakin masih banyak kesalahan dan kekurangannya. Karenanya, kritik dan saran sangat
kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya. Terima kasih.

17
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Miftahul dan Haq, A. Faisal, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum
Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.

Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

Ma‟sum Zein Zudbah, Muhammad, UshulFiqh, Jawa Timur: Darul Hikmah. 2008.

Mas‟adi, Gufron, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum


Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Mu‟in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, Jakarta: Departemen Agama, 1986.

Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda
Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran), Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1998.

Syafii, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Cet ke IV. Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.

18

Anda mungkin juga menyukai