Anda di halaman 1dari 18

TUGAS LEGALITAS PRAKTIK KEFARMASIAN

Disusun oleh :

Chardlte Amelia Putri 168114038


Christin Nesia Sukma W. 168114039
Setiahani 168114040
Cindy Prisilia 168114041
Evelyn Angela Sibarani 168114042
Agnes Ambar Sri Pudi A. 168114043
Fabiola Ratna Dentawati 168114045
Natalia Nandita Sari 168114046
Ni Made Ari Praharsini 168114047
Deska Silviana 168114049

Kelas A

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
1. Peraturan Berdasarkan Susunan Hirarkinya
a. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan UUD RI 1945
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 28H ayat 1, 2 dan 3.
Posisi Hirarki : UUD 1945
Nomor Urut : 28H
Tahun Pemberlakuan : 2000
Nama Peraturan : Hak Asasi Manusia
Isi Ketentuan Penutup :-
Mulai Berlakunya Peraturan : 18 Agustus 2000

- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 34 ayat 1, 2, 3 dan 4.


Posisi Hirarki : UUD 1945
Nomor Urut : 34
Tahun Pemberlakuan : 2002
Nama Peraturan : Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial
Isi Ketentuan Penutup :-
Mulai Berlakunya Peraturan : 11 Agustus 2002

b. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan Tap MPR


- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No: II/MPR/1993
Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
Posisi Hirarki : Tap MPR
Nomor Urut : II Bab IV
Tahun Pemberlakuan : 1993
Nama Peraturan : Garis-Garis Besar Haluan Negara
Isi Ketentuan Penutup : -
Mulai Berlakunya Peraturan : 9 Maret 1993

- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No:


XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
Posisi Hirarki : Tap MPR
Nomor Urut : XVII Bab VIII
Tahun Pemberlakuan : 1998
Nama Peraturan : Hak Kesejahteraan
Isi Ketentuan Penutup :-
Mulai Berlakunya Peraturan : 13 November 1998

c. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan UU/Perpu


- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Posisi Hirarki : UU
Nomor Urut : 36
Tahun Pemberlakuan : 2009
Nama Peraturan : Kesehatan
Mulai Berlakunya Peraturan : 13 Oktober 2009
Isi Ketentuan Penutup :
Tercantum pada pasal 204 bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku,
undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang ini ditetapkan
oleh presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan oleh menteri
hukum dan hak asasi manusia RI, Andi Mattalatta di Jakarta pada tanggal 13 Oktober
2009.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga


Kesehatan
Posisi Hirarki : Uu
Nomor Urut : 36
Tahun Pemberlakuan : 2014
Nama Peraturan : Tenaga Kesehatan
Mulai Berlakunya Peraturan : 17 Oktober 2014
Isi Ketentuan Penutup :
Tercantum pada pasal 91 bahwa pada saat undang-undang ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tenaga kesehatan
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam undang-undang ini. Pada pasal 92 juga tercantum pada saat undang-undang ini
mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang ini ditetapkan oleh presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
dan diundangkan oleh menteri hukum dan hak asasi manusia RI, Amir Syamsudin di
Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014.

d. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)


- PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Posisi Hirarki : Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor Urut : 32
Tahun Pemberlakuan : 1996
Nama Peraturan : Tenaga Kesehatan
Mulai Berlakunya Peraturan : 22 Mei 1996
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 36
“Dengan berlakunya PP ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan PP ini”.
Pasal 37
“PP ini mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 1996. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan PP ini dengan penempatanya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia”. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Mei 1996 oleh
Presiden RI, Soeharto.”
- PP No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Posisi hirarki : Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor Urut : 72
Tahun Pemberlakuan : 1998
Nama Peraturan : Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan
Mulai berlakunya peraturan : 16 September 1998
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 81
”Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini”.
Pasal 82
”Dengan berlakunya PP ini, maka :
1. Pharmaceutissche Stoffen Keurings Verordening (Staatsblad Tahun 1938 Nomor
172);
2. Verpakkings Verordening Pharmaceutissche Stoffen Nomor 1 (Staatsblad Tahun
1938 Nomor 173);
3. Verpakkings Verordening Kinine (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 210);
dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Pasal 83
”PP ini mulai berlaku pada tanggal 16 September 1998. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan PP ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 16 September 1998 oleh Presiden RI,
Bacharuddin Jusuf Habibie.

- PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian


Posisi Hirarki : Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor Urut : 51
Tahun Pemberlakuan : 2009
Nama Peraturan : Pekerjaan Kefarmasian
Mulai berlakunya peraturan : 1 September 2009
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 63
”Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2752),
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3169) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990
tentang Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3422), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Pasal 64
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 September 2009, oleh Presiden Republik
Indonesia, ttd Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

e. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres)


- Perpres No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
Posisi Hirarkis : Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor Urut : 72
Tahun Pemberlakuan : 2012
Nama Peraturan : Sistem Kesehatan Nasional
Isi Ketentuan Penutup :-
Mulai Berlakunya Peraturan : 17 Oktober 2012

- Perpres No. 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan


Posisi hirarkis : Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor Urut : 35
Tahun Pemberlakuan : 2015
Nama Peraturan : Kementerian Kesehatan
Mulai berlakunya peraturan : 18 Maret 2015
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 47
”Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku:
a. Semua ketentuan mengenai Kementerian Kesehatan dalam Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 135 Tahun 2014; dan
b. Peraturan Presiden Nomor 165 tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi
Kabinet Kerja sepanjang mengatur mengenai Kementerian Kesehatan; dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku”.
Pasal 48
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 2015 oleh Presiden Republik Indonesia,
ttd. Joko Widodo

- Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan


Posisi Hirarkis : Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor Urut : 12
Tahun Pemberlakuan : 2013
Nama Peraturan : Jaminan Kesehatan
Mulai berlakunya peraturan : 1 Januari 2014
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 47:
”Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 2013, oleh Presiden Republik
Indonesia ttd. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono

f. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan Perda Provinsi


- Perda Provinsi Jawa Timur No.2 tahun 2016 tentang Upaya Kesehatan
Posisi Hirarkis : Peraturan Daerah Provinsi
Nomor Urut :2
Tahun Pemberlakuan : 2016
Nama Peraturan : Upaya Kesehatan
Mulai Diberlakukan Peraturan : 6 Januari 2016
Bagian Keenam belas tentang Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan Pasal 40-44 :
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 85
“Peraturan Gubernur sebagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan
paling lama 6 (enam) bulan setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.”
Pasal 86
“Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembar Daerah Provinsi Jawa Timur.”
Ditetapkan di Surabaya pada tanggal 5 Januari 2016, oleh Gubernur Jawa Timur ttd.
Dr. H. Soekarwo.

- Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan
Daerah
Posisi Hirarkis : Peraturan daerah Provinsi (Perprov)
Nomor Urut :4
Tahun Pemberlakuan : 2009
Nama Peraturan : Sistem Kesehatan Daerah
Mulai diberlakukan peraturan : 13 Juli 2009
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 65:
“Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembar Daerah Khusus Ibukota Jakarta.”
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2009, Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, ttd Fauzi Bowo.
g. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan Perda kabupaten/Kota
- Perda Kabupaten Tulungagung No.7 Tahun 2011 tentang Izin Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan
Posisi Hirarkis : Peraturan Daerah Kabupaten
Nomor Urut :7
Tahun Pemberlakuan : 2011
Nama Peraturan : Izin Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Mulai diberlakukan peraturan : 23 November 2011
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 76:
1. Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku. Peraturan Daerah kabupaten
Tulungagung Nomor 15 tahun 2007 tentang izin Penyelenggaraan Usaha
Pelayanan Kesehatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan yang
merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung
Nomor 15 Tahun 2007 tentang Izin Penyelenggaraan Usaha Pelayanan
Kesehatan dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini.
Pasal 77:
1. Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai
pelaksanaannya lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
2. Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan Peraturan Daerah ini ditetapkan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal pengundangan Peraturan Daerah
ini.
Pasal 78:
“Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung.”
Ditetapkan di Tulungagung pada tanggal 23 Mei 2011, Bupati Tulungagung, ttd Ir.
Heru Tjahjono, MM.

- Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No. 18 Tahun 2014 tentang Pelayanan


Perizinan dan Non Perizinan Bidang Kesehatan di Kabupaten Cilacap
Posisi Hirarki : Peraturan Daerah Kabupaten
Nomor Urut : 18
Tahun Pemberlakuan : 2014
Mulai Diberlakukan : 6 Agustus 2014
Nama Peraturan : Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Bidang
Kesehatan di Kabupaten Cilacap
Bab III : Pelaksanaan Perizinan Kesehatan Pasal 8
1. Setiap tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, yang
akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai
tempat tenaga kefarmasian bekerja.
2. Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi apoteker penanggungjawab di fasilitas pelayanan kefarmasian;
b. SIPA bagi apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
c. SIKA bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian difasilitas
produksi atau fasilitas distributor penyaluran;
d. SIKTTK bagi tenaga teknis kefarmasian yang melakukan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
3. SIPA bagi apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasin
sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, atau SIKA sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c, hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian.
4. Apoteker penanggungjawab di fasilitas kefarmasian berupa Puskesmas dapat
menjadi apoteker pendamping diluar jam kerja.
5. SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga)
tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
6. SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian
7. Masa berlaku SIPA, SIKA, SIKTTK disesuaikan dengan masa berlaku Surat
Tanda Registrasi dan dapat diperpanjang kembali.
8. SIPA, SIKA, SIKTTK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh
dinas.
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 37
“Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah
Kabupaten Cilacap Nomor 3 Tahun 2002 tentang Retribusi Perijinan Sarana dan
Pelayanan Kesehatan Swasta, Registrasi Industri Rumah Tangga Makanan dan
Minuman serta Pengobatan Tradisional di Kabupaten Cilacap (Lembaran Daerah
Kabupaten Cilacap Tahun 2002 Nomor 3, Seri B Nomor 1) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 38
“Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung.”
Ditetapkan di Cilacap pada tanggal 6 Agustus 2014, Bupati Cilacap, ttd Tatto
Suwarto Pamuji. Diundangkan di Tulungagung pada tanggal 6 Agustus 2014, an
Sekretaris Daerah Kabupaten Cilacap, ttd Sutarjo.

h. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan KBPOM


- Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Penggunaan Obat-Obatan
Tertentu yang Sering Disalahgunakan
Posisi Hirarki : Peraturan KBPOM
Nomor Urut : 10
Tahun : 2019
Mulai Berlakunya Peraturan : 22 Mei 2019
Nama Peraturan : Pedoman Penggunaan Obat-Obatan Tertentu yang
Sering Disalahgunakan
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 15
“Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku, maka Peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat
Tertentu yang Sering Disalahgunakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 1161) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Pasal 16
“Peraturan badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.”

- Peraturan BPOM Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi
Obat yang Baik
Posisi Hirarki : Peraturan KBPOM
Nomor Urut :9
Tahun : 2019
Nama Peraturan : Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik
Mulai Berlakunya Peraturan : 22 Mei 2019
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 8
“Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku: 
a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi
Obat Yang Baik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1268);
dan 
b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 40 Tahun 2013
tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung
Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
1104), sepanjang mengatur mengenai pengelolaan prekursor farmasi dan/atau
Obat mengandung prekursor farmasi di Pedagang Besar Farmasi,  dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.” 
Pasal 9
“Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”

- Peraturan BPOM No. 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan
Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Farmasi
Posisi hirarki : Peraturan BPOM
No. Urut :4
Tahun : 2018
Mulai Berlakunya Peraturan : 14 Mei 2018
Nama Peraturan : Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di
Fasilitas Pelayanan Farmasi
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 14
“Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku, maka Peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor
Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1104) sepanjang mengatur mengenai pengelolaan
Prekursor Farmasi di Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Toko Obat,
dicabut dan dan dinyatakan tidak berlaku.”
Pasal 15
“Peraturan badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.”
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Mei 2018, Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan, ttd Penny K. Lukito.

i. 2 Contoh Peraturan Berdasarkan Permenkes / Kepmenkes


- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Apotek
Posisi Hirarki : Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor Urut :9
Tahun : 2017
Nama Peraturan : Apotek
Mulai Berlakunya Peraturan : 13 Februari 2017
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 35
“Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” 
Pasal 36
“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”

- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang


Perubahan Penggolongan Narkotika
Posisi Hirarki : Peraturan Menteri Kesehatan RI
No urut : 2017
Nama Peraturan : Perubahan Penggolongan Narkotika
Mulai Berlakunya Peraturan : 9 Januari 2017
Isi Ketentuan Penutup :
Pasal 2
“Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 415), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.”
Pasal 3
“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”

Berdasarkan peraturan - peraturan diatas kami memilih UU No. 36 Tahun 2014


tentang Tenaga Kesehatan pasal 1 ayat 7 yang berbunyi “Sertifikat Kompetensi adalah
surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga Kesehatan untuk dapat
menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji Kompetensi”. Peraturan ini
sangat menarik karena kita sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kompetensi yang
baik, dan juga untuk dapat melaksanakan praktik sebagai Apoteker kita harus terlebih
dahulu lulus ujian UKAI dan mendapatkan sertifikat kompetensi. Hal tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang maksimal kepada masyarakat supaya
masyarakat mampu meningkatkan kesadaran, kualitas, dan kemampuan untuk hidup
sehat. Selain itu pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab, yang memiliki etika, moral, keahlian yang secara terus menerus
harus ditingkatkan kualitasnya.
Menurut UU No. 36 Tahun 2014 Pasal 62 ayat 1 yang berbunyi,”a. Apoteker
memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian”. Hal ini berdasarkan
kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan
lingkup dan tingkat kompetensinya. Menurut PP RI No. 51 tahun 2009, Pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Seorang apoteker diharapkan
dapat memberikan pelayanan kefarmasian dengan baik. Pelayanan kefarmasian adalah
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien.
2. Kasus Terkait Praktik Kefarmasian di Media Massa
Perusahaan Farmasi Diduga Terlibat Kasus Lab Narkoba di Diskotek MG Kompas.com -
22/12/2017

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga ada dua


perusahaan farmasi yang terlibat kasus laboratorium narkoba di Diskotek MG Club,
Jakarta Barat. Dugaan tersebut muncul setelah ditemukan bahan baku pembuat obat atau
prekursor saat penggerebekan dilakukan pada Minggu (17/12/2017) dini hari. "Bahannya
berasal dari dua sumber, ada yang resmi dan importir. Kita masih dalami, tapi kita sudah
proses pemanggilan perusahaan tersebut," kata Irjen Arman Depari selaku Deputi
Pemberantasan BNN kepada media di Jakarta, Kamis (21/12/2017).
Prekursor merupakan zat kimia yang digunakan dalam pembuatan obat yang
berada dalam pengawasan. Namun, bahan kimia tersebut dapat disalahgunakan untuk
membuat narkoba. "Impor prekursor hanya bisa dilakukan farmasi besar yang punya izin
sebagai importir," ucap Arman.
Arman mengatakan, prekursor yang ditemukan pada pabrik ekstasi cair di
diskotek MG Club menggunakan beberapa jenis bahan padat dan cair, seperti piperonal,
asam asetat murni, dan merkuri klorida. Arman melanjutkan, pihak yang terlibat di
perusahaan tersebut bisa dipidana jika sengaja mendistribusikan bahan baku untuk
pembuatan narkoba di diskotek MG. "Saya tidak ingat persis nama perusahaan tersebut,
tapi mereka ada di Jakarta dan Bogor. Kita akan tindak secara pidana bila memang
diketahui sengaja mendistribusikan barang tersebut," kata Arman.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "2 Perusahaan Farmasi
Diduga Terlibat Kasus Lab Narkoba di Diskotek MG",
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/12/22/05000081/2-perusahaan-farmasi-
diduga-terlibat-kasus-lab-narkoba-di-diskotek-mg.
Penulis : Stanly Ravel

ANALISIS KASUS:

Berdasarkan UU yang dikeluarkan Pemerintah, yaitu UU Nomor 35 Tahun 2009


Tentang Narkotika menjelaskan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika
dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana
Narkotika seperti yang tertuang dalam ketentuan UU Nomor 35 Tahun 2009 bagian (b)
yang berbunyi:
“Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan,
dan atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak
pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar
bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia.”
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi
lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama. Oleh karena itu, penggunaan narkotika perlu pengawasan yang ketat karena
rawan disalahgunakan.
Pada kasus ini, terdapat dugaan penyalahgunaan prekursor narkotika. Menurut
UU Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 (2) berbunyi: “Prekursor Narkotika adalah zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika
yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”
Prekursor narkotika sendiri untuk beberapa oknum berwenang, apabila disalahgunakan
untuk kepentingan pribadi dapat sangat merugikan bagi bangsa dan generasi penerus.
Pengedaran prekursor narkotika dengan tujuan tersebut juga merupakan tindak pidana
Narkotika seperti yang tertuang dalam Pasal 1 (6) yang berbunyi: “Peredaran Gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.”
Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
Narkotika. Menteri telah memberi izin kepada industri farmasi terkait dengan produksi
narkotika sesuai dengan Pasal 11 (1) yang berbunyi: “Menteri memberi izin khusus untuk
memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan.” In
Pasal 5 berbunyi: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "Prekursor
Narkotika" hanya untuk industri farmasi.” Selain mendapatkan hak tersebut, industri
farmasi juga memiliki kewajiban untuk memberi laporan berkala mengenai pemasukan
dan pengeluaran narkotika dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan,
seperti yang tertuang dalam Pasal 14 (1) yang berbunyi: “Industri Farmasi, pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan
wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan
dan atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.”
Hanya perusahaan pedagang besar farmasi yang telah mendapatkan izin importir
dari menteri yang dapat melaksanakan impor Narkotika seperti yang tertuang dalam Pasal
15. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan dalam kasus, dengan demikian dapat
ditelusuri lebih lanjut perusahaan mana yang telah mengimpor secara ilegal prekursor
narkotika tersebut. Sedangkan sesuai dengan UU Nomor 35 tahun 2009 Pasal 40, industri
farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada pedagang besar farmasi
tertentu; apotek; sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan rumah
sakit. Hal tersebut pun tidak lepas dari pelaporan secara berkala kepada pihak yang
berwenang.
Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan industri farmasi tersebut apabila
terbukti bersalah, dapat dijatuhi hukuman pidana. Dengan dilakukannya penyelidikan
lebih lanjut, pihak yang bertanggung jawab akan mendapatkan perlakuan yang sesuai
dengan UU terkait yang mengatur tentang penyalahgunaan prekursor narkotika. Pidana
yang berlaku bagi pelaku penyalahgunaan tertuang dalam Pasal 147 dan 148, yaitu:

Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana
penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau
menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan;
c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan /
atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang - Undang ini
tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor
Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti
pidana denda yang tidak dapat dibayar.
Penyalahgunaan wewenang terkait penyaluran prekursor narkotika yang tidak
bertanggung jawab dan didasarkan atas kepentingan pribadi perlu ditindak secara tegas,
mengingat dampak buruk yang begitu besar yang dapat terjadi. Untuk itu, diperlukan
pengawasan ketat dari pemerintah terhadap industri-industri farmasi, terutama yang
bertanggung jawab atas obat dan bahan obat narkotika. Terbentuknya UU yang mengatur
tentang prekursor narkotika sendiri yang sesuai dengan Pasal 48, bertujuan untuk:
“Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;mencegah
dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; mencegah terjadinya
kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.”
Pihak dari perusahaan yang diduga menyalurkan prekursor narkotika tersebut
secara ilegal dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti dengan sengaja
mendistribusikan barang tersebut. Dan dengan demikian untuk proses penyelidikan, maka
penyidik BNN berwenang untuk melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 75 (a). Penyidik juga dapat
memanggil dan memeriksa pihak yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran
gelap prekursor narkotika maupun saksi.
Dalam proses penyidikan, penyidik berwenang untuk menyuruh berhenti orang
yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;memeriksa, menggeledah, dan
menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; memeriksa surat dan atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; menangkap dan
menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika; melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional; melakukan penyadapan yang
terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
setelah terdapat bukti awal yang cukup.
Penyidik juga berhak untuk melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung
dan penyerahan di bawah pengawasan; memusnahkan Narkotika dan Prekursor
Narkotika; melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA),
dan / atau tes bagian tubuh lainnya; mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; membuka dan
memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang
diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika; melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang disita; melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti
Narkotika dan Prekursor Narkotika; meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika; dan menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya
dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Hal
tersebut sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Pasal
75.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pada kasus ini terjadi penyalahgunaan prekursor
narkotika.
Pada Pasal 9 (1) berbunyi : “Penyaluran Narkotika, Psikotropika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan :
a. Surat pesanan; atau
b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari
Puskesmas “
Pada Pasal 13 (1) berbunyi : “Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/ bahan
pemula/ bahan kimia atau produk antara/ produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh
PBF yang memiliki izin IT Prekursor Farmasi kepada Industri Farmasi dan/ atau
Lembaga Ilmu Pengetahuan ”
Pada kasus ini terjadi penyalahgunaan terkait prekursor farmasi yang tidak
sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan, pada Pasal 46 yang berbunyi : “Menteri,
Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.” dan pada Pasal 47 mengatakan bahwa “Pelanggaran terhadap
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan”.
- Pada PP no 72 tahun 1998 pada pasal 72 disebutkan
1. Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga
kesehatan yang melanggar hukum di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan.
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik produk
sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran yang tidak memenuhi persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan;
c. perintah pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan;
d. pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri, izin edar sediaan
farmasi dan alat kesehatan serta izin lain yang diberikan.
3. Tindakan administratif berupa pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri atau Menteri lain yang
berwenang
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri dan/atau
Menteri lain baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang
tugasnya masing-masing.
Pasal 73
1. Jika pelanggaran hukum dilakukan oleh tenaga kesehatan, tindakan administratif
dikenakan oleh Menteri berupa:
a. teguran;
b. pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Pengambilan tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
- BPOM no 4 Tahun 2018
1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; atau
c. pencabutan izin.
2. Sanksi administratif berupa sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dapat berupa peringatan atau peringatan keras.
3. Sanksi administratif berupa sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c berupa rekomendasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau Organisasi Perangkat Daerah penerbit izin.
Pada kasus ini diduga ada dua perusahaan farmasi yang terlibat kasus laboratorium narkoba di
Diskotek MG Club, Jakarta Barat. Dugaan tersebut muncul setelah ditemukan bahan baku
pembuat obat atau prekursor saat penggerebekan dilakukan pada Minggu (17/12/2017) dini hari.
"Bahannya berasal dari dua sumber, ada yang resmi dan importir. Kita masih dalami, tapi kita
sudah proses pemanggilan perusahaan tersebut. Impor prekursor hanya bisa dilakukan farmasi
besar yang punya izin sebagai importir," kata Irjen Arman Depari selaku Deputi Pemberantasan
BNN kepada media di Jakarta, Kamis (21/12/2017). Sesuai dengan hal tersebut, berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2013 tentang Impor dan
Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi disebutkan pada :
● Pasal 4
(1) Impor Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh
Industri Farmasi, PBF, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Industri Farmasi dan PBF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
izin sebagai IP Psikotropika/IP Prekursor Farmasi atau sebagai IT Psikotropika/IT
Prekursor Farmasi dari Menteri.
(3) Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memerlukan izin sebagai importir Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi.
(4) Menteri mendelegasikan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Direktur Jenderal.
● Pasal 5
(1) Impor Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi hanya dapat
dilaksanakan setelah mendapatkan SPI dari Menteri.
(2) SPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk setiap kali pelaksanaan
impor.
(3) Menteri mendelegasikan pemberian SPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Direktur Jenderal.
● Pasal 7
(1) IP Psikotropika dan/atau IP Prekursor Farmasi hanya dapat mengimpor
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi untuk kebutuhan proses produksinya
sendiri dan dilarang memperdagangkan dan/atau memindahtangankan.
(2) Lembaga Ilmu Pengetahuan hanya dapat mengimpor Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi untuk kebutuhan sendiri dan dilarang
memperdagangkan dan/atau memindahtangankan.
● Pasal 8
(1) IT Psikotropika dan/atau IT Prekursor Farmasi hanya dapat mengimpor
Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi berdasarkan pesanan dari Industri
Farmasi atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
(2) Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib didistribusikan secara langsung kepada Industri Farmasi atau Lembaga
Ilmu Pengetahuan pemesan.
(3) Industri Farmasi atau Lembaga Ilmu Pengetahuan pemesan dilarang
memperdagangkan dan/atau memindahtangankan Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi.
Apabila melanggar peraturan tersebut maka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan yang
tercantum pada :
● Pasal 35
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai sanksi
adminstratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; atau
c. pencabutan izin sebagai importir atau eksportir Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
ini.
(3) Pencabutan izin sebagai Importir atau Eksportir Narkotika, Psikotropika dan/atau
Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Direktur
Jenderal.

Anda mungkin juga menyukai