Anda di halaman 1dari 3

57 Tahun Intelektualisme PMII

indoprogress.com /2017/05/57-tahun-intelektualisme-pmii/

Harian 15/05/2017
IndoPROGRESS

Penyegaran dan “Modernisasi” NU tidak lepas dari keberhasilan PMII.


Kader-kader PMII menyebar hampir kesemua lini NU se-Nusantara.
Ketaatan kultural terhadap Ulama yang membangun Jam’iyah NU
tidak berubah, tetapi lebih kritis mengembangkan pemikiran-pemikiran
keagamaan yang sejalan dengan dinamika zaman. (M. Said Budairy –
salah seorang deklarator PMII)

57 TAHUN yang lalu, beberapa aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang


tersebar di berbagai kampus sibuk mondar-mandir melakukan
konsolidasi besar-besaran. Mereka mendesak pimpinan PBNU–waktu
itu KH. Idham Chalid–agar secepatnya membentuk organisasi mahasiswa NU. Alotnya perdebatan antara PBNU
dengan mahasiswa NU mengindikasikan adanya dua pemikiran yang bersinggungan, yakni Idham Chalid dengan
karakter politisnya dan aktivis NU dengan populisnya–seperti yang terjadi di tahun-tahun setelahnya dalam catatan
Fealy, dkk (Yogyakarta: LKiS, 2010). Di satu sisi, ghirrah untuk membuat wadah yang memperteguh sekaligus
memperkuat ideologi gerakan mahasiswa ahlus sunnah wal Jama’ah (aswaja) an-Nahdliyah di tengah pembasisan
kultur dan sosial dirasa urgen untuk mereka segerakan-seperti yang sebelumnya dilakukan oleh partai dan
golongan Islam lain untuk membuat organisasi mahasiswa underbow-nya, seperti Masyumi-HMI, Muhammadiyah-
IMM, PSII-SEMII, Perti-KMI, dll (Modul Ashram Bangsa, 2014). Namun di sisi lain, Idham Chalid masih
mempertimbangkan (ihtiyath) efektifitas organisasi, mengingat keberadaan IPNU yang masih menjadi rujukan kaum
pelajar NU.

Setelah berbulan-bulan melakukan lobi, akhirnya restu dari PBNU berhasil dikantongi lewat hasil Konferensi Besar
IPNU bulan Maret 1960. Sebulan setelah keputusan itu, 13 orang yang dipilih untuk menjadi punggawa konsolidasi
lanjut segera mengumpulkan semua aktivis-mahasiswa NU di Surabaya. Walhasil, lahirlah dengan sempurna
perkumpulan yang mendasarkan diri pada tugas dan tanggung jawab mahasiswa Islam atas nama PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Dalam perjalanannya, PMII sudah menghadapi pasang-surut gerakan, mulai dari tuduhan kacung NU (saat itu
menjadi Partai NU), kacang lupa kulitnya (saat PMII memutuskan hubungan struktural dari NU), penegasan
interdependensi PMII dengan NU, sampai yang terbaru adalah tuntutan PMII agar menjadi Banom NU. Dari semua
pergulatan PMII itu– terutama yang ditulis oleh Otong Abdurrahman (Jakarta: PB.PMII, 2005)–, penulis menaruh
fokus refleksi dan minat kajian pada aspek PMII sebagai produsen arah gerakan intelektual.

Tradisi Berpikir

Penulis dalam hal intelektualisme PMII tidak akan melepaskan dari akar tradisi berpikir NU, mengingat PMII masih
menerapkan intellectual chains–meminjam bahasa Zamakhsyari Dhofier–, yakni tali pengikat keluhuran berpikir
yang merujuk pada tokoh-tokoh Islam aswaja an-Nahdliyah. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh pemikir NU, santri
atau kaum terpelajar Islam jebolan pesantren akan dipandang berilmu jika menerapkan tiga prinsip, yakni lelana
belajar, hormat pada ahli ilmu, dan mengaplikasikan ilmunya di masyarakat sesuai konteks kebutuhan–konklusi dari
paparan Ben Anderson (1988). Mengingat NU sangat memegang erat kaidah gerakan “mempertahankan tradisi
baik dan mengambil suatu hal baru yang dipandang baik bagi masyarakat”, maka identifikasi demikian membawa
1/3
implikasi kepada platform aktivis NU sampai detik ini selaku pemikir yang tidak melepaskan diri dari teks klasik,
lokalitas masyarakat, dan kemajuan zaman.

Sebagai medium memahami PMII sebagai basis gerakan intelektual bisa dilihat dari tulisan ciamik Mahbub Junaedi
di bawah ini:

Ada satu sebutan yang dijauhi rektor seperti penduduk kampung menjauhi muntaber: politikus. Tak
ada itu politik-politikan karena yang tersedia cuma ilmiah-ilmiahan. Jika politik itu jalan besar,
universitas akan bikin jembatan penyeberangan melintasi kepalanya. Kaum kampus berpikir ilmiah,
kaum politik berpikir entah cara apa, itu pun kalau boleh disebut berpikir. Pencemaran harus dicegah
mulai dini, karena itu sebaiknya kampus hanya diberi air susu Ibu. (Mahbub Junaedi, 1982)

Kelakar Mahbub tentang kondisi kampus dengan dunia luar mengingatkan penulis pada pendapat luhur KH. A.
Wahid Hasyim yang menyatakan, bahwa kemunduran berpikir Indonesia disebabkan orang lebih mengapresiasi
pejabat partai daripada terpelajar kita, di samping juga banyaknya terpelajar yang terlepas dari nalar common
(mudahnya: bermasyarakat).

Di tahun yang sama, Mahbub memberikan suatu prinsip berpikir PMII yang penting untuk direfleksikan. Dengan
memberikan gambaran tauladan dari Kiai As’ad Situbondo, Mahbub menegaskan bahwa berpikirnya kaum santri
adalah berpikir tentang pertanggungjawaban sebagai makhluk lintas generasi. Kiai As’ad ingin mempertebal i’tikad
para santri dengan mematahkan-secara otomatis-berbagai wacana sosiolog manca negara yang memposisikan
santri sebatas grudak-gruduk desa. Pertanyaan eksplisitnya, bagaimana bisa dikatakan ’sebatas’, padahal terbukti
langkah persuasif kiai kampung telah membuat NU menjadi organisasi yang memiliki cabang terbanyak di
Indonesia (sejak KH. A. Wahid Hasyim memaparkan data itu di tahun 1938)?.

Dalam konteks PMII, Mahbub-sebagaimana Wahid Hasyim-tidaklah menafikan keharusan intelektual Islam untuk
merespon berbagai kondisi masyarakat, baik aspek sosial-kultur maupun ekonomi-politik. Bahkan dengan tanpa
menerjunkan diri pada kondisi masyarakat, intelektual Islam akan cenderung apatis dan sok netral padahal sedang
berdiri di depan masyarakat yang terkapar. Meski demikian, hal yang perlu dicatat adalah seringkali terjunnya PMII
di ranah itu membuat ia terperangkap dalam nalar pragmatis-praktis atau malah romantis merasa sudah aktivis.
Keinginan merespon keadaan tidak dibarengi dengan konsistensi pada nilai dasar pergerakan yang menekankan
proses–oleh karenanya dilarang berpuas diri–dan totalitas–oleh karenanya dimohon tidak mengharapkan ‘profit’–.

Oleh karena spirit intelektualisme PMII menerapkan pola pikir ‘kritis-akomodatif’ (sebagaimana model bahtsul
masail) terhadap tradisi luhur dan kebaruan yang diperlukan plus tidak arogan untuk melakukan gerakan perubahan
sosial, maka penulis memandang bahwa intelektualisme di PMII layak ditempatkan sebagai prototype yang berguna
sekaligus mengoreksi–kalau tidak ingin disebut membantah–intelektual dalam teori Gramscian. Menurut Antonio
Gramsci ada dua macam intelektual: pertama, intelektual tradisional, yakni kaum pemikir yang segala aktivitas
pengetahuannya hanya berkutat pada persoalan teori, dan sering kali mengabdikan teori tersebut untuk
mempertahankan status quo dengan para pemegang kekuasaan. Kedua, intelektual organik, yakni para pemikir
yang mampu membuat konvergensi antara teori dan realita sosial untuk kemudian dijadikan sebagai analisa utama
dalam relasinya dengan struktur dan perubahan sosial.

Kategorisasi Gramsci terbilang ambigu jika PMII harus masuk ke dalam salah satunya. Bagaimana bisa
dimasukkan di intelektual tradisional, sedang PMII meski mempertahankan tradisi namun tidak pernah monopoli
keilmuan dan memuja status quo–harusnya demikian, entah aktornya–? Bagaimana mungkin masuk di intelektual
organik jika makna organik dihadapkan secara biner (plus dikotomik) dengan tradisional, padahal PMII insaf untuk
merangkul ke-tradisional-an yang luhur?.

Akhirnya di harlah PMII ke-57 ini, sebagai sebuah organisasi yang telah merentang berbagai zaman, seyogyanya
2/3
jujur diakui bahwa hal ikhwal yang dicita-citakan seringkali macet saat berhadapan dengan dunia yang sebenarnya
terjadi. Bahwa kemandekan gerakan PMII telah mengindikasikan banyaknya persoalan di Internal yang mustilah
diperbaiki secara simultan oleh seluruh keluarga besar. Pertanyaannya, keluarga PMII akan memperbaiki yang
mana dan dengan cara apa?***

Penulis adalah aktivis PMII D.I.Yogyakarta

3/3

Anda mungkin juga menyukai