(b) Bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk berperilaku dengan siapa mereka
melakukan bisnis.
(c) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas,
dengan alasan komersial atau untuk nilai tambah terhadap masyarakat.[2]
Dengan demikian melahirkan beragam pemahaman mengenai (multi interpretation) mengenai
CSR, sesuai konteks negara, jenis industri, isyu-isyu yang dihadapi. Beragam interpretasi
mengenai CSR antara lain:
1. Etika dan moralitas bisnis.
2. Akuntabilitas perusahaan.
3. Corporate citizenship (perusahaan warga).
4. Bantuan dan pilantropi perusahaan.
5. Perusahaan hijau dan pemasaran hijau.
6. Manajemen keragaman.
7. Tanggungjawab lingkungan.
8. Hak asasi manusia.
9. Rantai manajemen pembelian dan penyediaan yang bertanggungjawab.
10. Investasi social yang bertanggung jawab.
11. Perjanjian (kesepakatan) stakeholder.
12. Keberlanjutan .
Definisi CSR
Melalui definisi tersebut dapat ditarik konsep inti dari CSR yaitu:
1. Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan.
2. Berdasarkan prinsip sukarela
3. Kegiatan bisnis dan interaksi dengan para pemangku kepentingan harus memperhatikan
persoalan sosial dan lingkungan
Roadmap Lahirnya CSR
Konsep tanggung jawab sosial sebenarnya sudah lama ada sejak manusia itu ada. Bentuk dan
penerapan tanggung jawab sosial di masing-masing masayarakat pun beragama, sesuai dengan
nilai-nilai, agama dan kepercayaan masing-masing. Bahkan bukan tidak mungkin konsep
tanggung jawab sosial perusahaan sudah muncul di setiap masyarakat dunia, jauh sebelum
Bowen (sebagai bapak CSR) menggagas tanggung jawab sosial pebisnis. Namun demikian perlu
pula kiranya melihat bagaimana perjalanan popularitas konsep CSR, hingga menjadi konsep baru
yang mulai banyak dikaji oleh berbagai kalangan.
Konsep CSR dipopulerkan tahun 1953 dengan diterbitkan buku Social Responsibilities
of Businessman karya Howard R. Bowen
Tahun 1960-an gema CSR mulai berkembang akibat persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang menjadi perhatian luas dari berbagai kalangan, dan masyarakat
dunia melihat korporasi sebagai sumber alternatif.
KTT Bumi (Earth Summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan konsep
sustainable development yang didasarkan perlindungan terhadap lingkungan, ekonomi
dan sosial.
CSR awalnya muncul sebagai sebuah pendekatan dalam mengatasi dampak social dan
lingkungan dari aktivitas perusahaan. Terdapat tiga tantangan dalam hubungan bisnismasyarakat: lingkungan, pemerintah dan pembangunan. Selanjutnya berkembang konsep triple
bottom line yang terdiri dari komponen economic, environmental, dan social. Gagasan triple
bottom line pertama kali dikemukakan oleh John Elkington (1998)[3] berkaitan dengan
sustainable development, sebagaimana terlihat dalam gambar ilutrasi[4] berikut:
3 (tiga) prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom line 3P (people, profit, planet)
tersebut yaitu kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi
kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) agar keberadaan
perusahaan dapat tumbuh berkelanjutan.
Perspektif Strategi CSR
Perspektif Teoritis
Argument Utama
Penulis Utama
Strategy CSR
Teori Agency
CSR didorong oleh perilaku manager Friedman 1962:
sendiri atas pengeluaran shareholder Wright and Ferris
1997
Teori Permainan (Game CSR sebagai perdagangan antara
Prasad 2005
Theory)
biaya sekarang dan manfaat masa
depan
Teori Institusional
CSR didorong oleh penyesuaian
Doh and Guay 2006:
diantara konteks institusi yang
Jennings and
berbeda
Zandbergen 1995
Pandangan BerbasisCSR dapat diperlakukan sebagai
Hart 1995; Russo and
Sumber dalam
keterampilan khusus atau
Fouts 1997
Manajemen strategis
kemampuan untuk memperoleh suatu
keuntungan kompetitif
Teori Stakeholder
CSR didorong oleh hubungan dengan Clarkson 1995;
actor-aktor eksternal khusus
Freeman 1984
Teori stewardship
CSR didorong oleh perintah moral
Donaldson and Davis
manager untuk melakukan sesuatu
1991
yang benar
Teori Perusahaan
CSR didorong oleh penawaran atau Baron 2001;
permintaan bagi aktifitas social dalam McWilliams and
pasar
Siegel 2001
Source: Largely adapted from McWilliams et al.2006; in Frynas Beyond Corporate Social
Responsibility Oils multinationals and Social challenges 2009.
Sedangkan Garriga & Mele (2004) memetakan teori-teori CSR ke dalam empat kelompok besar
berdasarkan konsep Parson mengenai AGIL (adaptation, goal attainment, integration and latent
maintenance) yang berkembang saat ini, sebagai berikut [5]:
2)
Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara kelembagaan (aturan).
Pendekatan ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan dari Negara atau industry berbeda dalam
merespon tekanan social dan lingkungan, dan mengapa di Negara yang berbeda-beda dari
perusahaan multinasional yang sama memililih strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari
pemberlakuan norma atau keyakinan nasional.
Kedua perspektif tersebut dapat membantu menjelaskan bagaimana respon perusahaan terhadap
tekanan kondisi social ekternal dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk menjelaskan
pilihan strategi aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan CSR
sebagai sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu
mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy.
3)
Austrian economics: perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif
CSR dalam perusahaan dengan suatu perspektif kewirausahaan.
Austrian economics sebagai suatu alternatif CSR
Dalam kaitan dengankewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi persoalan
sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber pemecahan masalah sosial tersebut.
Beberapa pemikiran Austrian economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut:
1. Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa strategi CSR dalam
perusahaan harus dipandang sebagai sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara
memperoleh keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain
yang harus diambil. (p.19)
2. Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan dengan tindakan
kemanusiaan bukanlah berdasarkan external constrains sebagai factor fundamental
pembuatan keputusan (p.19)
3. Perspektif Austrian menekankan peluang future dan kewirausahaan aktif dalam
mengidentifikasi masa depan (p.20).
4. Karakteristik utama keberhasilannya capitalist entrepreneurship; yaitu bukan pada
kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau discover tuntutan eksternal, tetapi
lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa
depan (p.20)
Nampaknya konsep-konsep dari Austrian economics dapat lebih linkage dengan upaya
kewirausahaan sosial di Indonesia khususnya dalam penyelesaian permasalahan sosial dan
kemasyarakatan. Sebagai perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR[6]
Teori Institusional
Teori Stakeholder
Austrian View
Fokus Utama
Lingkup untuk
kebebasan aksi
manajemen
Non-choice behavior
Hubungan dengan
factor eksternal
Ketergantungan
relative suatu
perusahaan pada
stakeholder
Pilihan perilaku
terbatas
Peran kewirausahaan
Tinjauan masa depan
kewirausahaan
Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam
membentuk strategi perusahaan memandang permasalahan social dan lingkungan.
Masalah-masalah Implementasi CSR
Selain hambatan business case, study yang dilakukan Nuffield Foundation[7] telah
mengidentifikasi sejumlah hambatan penting dalam penerapan CSR:
Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan / atau hanya fokus pada solusi teknis dan
manajerial
Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang lebih luas.
Contoh yang paling terjadi mengenai negara dan konteks isyu-isyu khusus antara lain: konflik
antar suku dan korupsi. Sedangkan kegagalan melibatkan beneficiaries, tidak adanya upaya
membangun partisipasi dari perusahaan dan upaya memandirikan beneficiaries. Sebagaimana
disarankan Ellerman (2001) oleh World Banks Comprehensive Development Framework bahwa
..the doer (a person, a community, a country, etc.) need to be in the drivers seat and actively
help itself. Perusahaan migas biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas kepada
pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal.
Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam penerapan proyek cenderung terbatas atau tidak ada
sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak perusahaan secara lokal. Lebih
buruk lagi, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mentalitas
ketergantungan (dependency mentality).
Banyak persoalan tersebut sebetulnya dapat dihindari melalui konsultasi mendalam dan
partisipasi masyarakat lokal dengan inisiatif kemandirian secara sungguh-sungguh menggunakan
pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal. Tetapi keterlibatan masyarakat lokal
secara inheren terhambat dengan kurangnya sumber daya manusia perusahaan dan pendekatan
teknis/manajerial dari staf perusahaan minyak.
Kurangnya jalur karier (career path) untuk spesialist pengembangan masyarakat di dalam
perusahaan lebih jauh membatasi keahlian pembangunan secara potensial. Berkaitan dengan
kurangnya sumber daya manusia, inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat karena hasil dari
sikap-sikap sosial staf perusahaan minyak, artinya nilai-nilai sosial yang mengarahkan penentuan
keputusan staf perusahaan. Orang-orang yang bergerak di perusahaan minyak biasanya memiliki
latar belakang manjerial atau keahlian teknik. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi
menhadapi tantang teknis dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teknik dan
manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan, tetapi tidak cukup dalam mengatasi
permasalahan sosial yang kompleks dimana lebih mementingkan soft skill, kesabaran, dan
keterampilan interpersonal.
Dengan tidak terintegrasinya SR atau social invesment ke dalam rencana pembangunan yang
lebih luas, potensi pembangunan dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber
mungkin tidak nyambung dengan efektifitas pembangunan yang digunakan. Bahkan akibat buruk
lainnya adalah perusahaan akan menghadapi resiko timbulnya konflik lokal karena kecemburuan
dan menciptakan konsekuensi pembangunan negatif.
Potensi dan Keterbatasan Transparansi
Transparansi dapat berkontribusi mengurangi effek kutukan alam, namun demikian inisiatif
transparansi relatif muda, dan sejumlah kajian akademik yang dilakukan sudah out of date untuk
dimanfaatkan dalam inisiatif transparansi dan dampak aktual transparansi. Namun demikian,
kajian-kajian kuantitatif secara luas jelas-jelas menunjukkan pengaruh perkembangan yang
positif mengenai transparansi, diantaranya:
Pengaruh politik= transparansi memperbaiki aliran informasi dari pengatur dan yang
diatur.
Pengaruh sosial= pengaruh positif politik dan ekonomi dapat membawa banyak
pengaruh sosial yang positif.
Namun demikian banyak studi mengenai transparansi menyarankan sejumlah kondisi yang harus
dipenuhi dalam rangka memaksimalkan dampak positif dari transparansi. Berdasarkan literatur
setidaknya ada 3 (tiga) kondisi atau prasyarat yang harus dipenuhi: (1) kebebasan media; (2)
keterlibatan masyarakat sipil; dan (3) timing pengenalan transparansi.
Potensi dan Keterbatasan CSR
Bukti-bukti menunjukkan bahwa CSR memiliki potensi yang besar untuk mengatasi tantang
lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan
1)
Visi, pemimpin harus memiliki visi dimana dimensi sosial merupakan pusat dan bagian
integral dari kehidupan perusahaan
Legitimasi, pemimpin harus menciptakan lingkungan internal yang tepat dan sesuai
harapan dari proses CSE.
Pemberdayaan, pemimpin harus memberi peluang pemimpin dan agen perubahan lainnya
di perusahaan agar mampu membangun dan memutuskan suatu proses.
2)
Alignment, dimensi sosial dan dimensi bisnis dalam strategi perusahaan harus seiring satu
sama lainnya.
Leveraging core competencies, fokus pada menemukan upaya kreatif dalam memobilisasi
dan menyebarluaskan aset kunci perusahaan, komponen keberhasilan bisnis, sehingga
akan tercipta hubungan nilai sosial dan bisnis yang berlipat ganda untuk terciptanya nilai
ekonomi dan sosial yang lebih besar lagi.
Partnering, bermitra dan menciptakan aliansi dengan entitas usaha lainnya akan lebih
memperkuat proses CSE
3)
Structures; struktur yang dibuat harus mengikuti strategi yang dipilih, sehingga Corporate
Social Entrepreneur harus membuat bentuk organisasi yang inovatif dalam perusahaan dalam
rangka memajukan dimensi sosial baru.
4)
Systems; sistem yang dibuat harus mengikuti struktur, sehingga CSE dapat membentuk
seperangkat sistem yang masyaratkan:
Beberapa contoh praktik CSE yang telah dilakukan di Indonesia antara lain dikemukakan oleh
Budi Gunadi Sadikin[10] (direktur Retail dan mikro banking Bank Mandiri) yang menyebut
program Wirausaha Mandiri dan pola kemitraan ini sebagai corporate social entrepreneurship
(CSE) atau kewirausahaan sosial perusahaan. Terdapat dua pola penyaluran program, yaitu
melalui one by one program (penyaluran langsung kepada masyarakat) dan linkage program
(pola inti-plasma, yaitu menggandeng perusahaan besar yang memiliki kemampuan dan
komitmen untuk melakukan pembinaan usaha kecil yang menjadi mitra usahanya).
Konsep kewirausahaan sosial perusahaan (CSE), sebenarnya sudah coba diterapkan oleh
beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) multinasional di Indonesia. Contoh PT. Chevron
Pasific Indonesia (CPI) di Duri Bengkalis, yang mencoba program Local Business Development
(LBD) dengan memberdayakan masyarakat lokal untuk terlibat dalam kegiatan perusahaan yang
terbatas. Pihak CPI melatih dan membentuk usaha-usaha kecil (semacam CV) yang dapat
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang medukung operasi CPI, seperti pemeliharaan kebersihan,
keamanan, pengecatan, gardening, dsb.; yang nilai kontraknya tidak lebih dari Rp. 100 juta
rupiah.
Contoh berikutnya adalah PT. Total Indonesia (perusahaan minyak yang berbasis di Perancis)
yang mereka memberi modal ke masyarakat, melalui coaching clinic dan penciptaan usaha .
Selanjutnya, karena keterbatasan SDM kemudian PT. Total Indonesia menggandeng organisasi
non profit untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat sekitar. Demikian pula yang
dilakukan oleh BP (British Petroleum) perusahaan minyak Inggris di Indramayu menggaet
pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat setempat dalam mengembangkan
kegiatan CSR-nya.
Berikut beberapa pengertian kewirausahaan sosial hasil diskusi yang dikembangkan di
Laboratorium Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD tentang kewirausahaan sosial[11]; sebagai
berikut:
Kewirausahaan sosial adalah karakteristik mental orang yang memiliki kepekaan untuk
menangkap peluang (masalah/kebutuhan akibat perubahan sosial), kemampuan berfikir kreatif
dan inovatif, serta keberanian untuk mengisi peluang; substansinya ide solusi masalah/
pemenuhan kebutuhan (pelayanan) sosial.
Kewirausahaan sosial adalah penerapan mental kewirausahaan dalam bidang kehidupan sosial
dalam ujud ide-ide pelayanan sosial di semua level unit sosial (masyarakat, golongan/kelompok,
dan individu).
Sedangkan secara operasional kewirausahaan sosial dapat diartikan sebagai proses kreatif dan
inovatif dalam pengembangan ide pelayanan sosial yang tidak melanggar ajaran agama dan nilainilai sosial-budaya masyarakat; tetapi efektif mengatasi masalah sosial.
CSR dalam kaitan dengan kewirausahaan sosial dapat dipahami sebagai berikut:
1. Sebagai sistem sumber (resource), maka baik perusahaan maupun stakeholders untuk
memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari CSR untuk mengatasi persoalan sosial
kemasyarakatan.
2. Sebagai strategi CSR; maka perusahaan memanfaatkan cara-cara yang kreatif dan
inovatif, dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemecahan masalah
sosial kemasyarakatan.
3. Sebagai prinsip/semangat dalam melaksanakan kegiatan CSR, baik dilakukan sendiri atau
bermitra dengan stakeholder lainnya.
Bahan Bacaan
Anis Chariri & Firman Aji Nugroho, 2009. Retorika Dalam Pelaporan Corporate Social
Responsibility: Analisis Semiotik atas Sustainability Reporting PT. Aneka Tambang Tbk. FE
Undip (disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntasi XII Palembang 4-6 November 2009)
Belal, 2008. Corporate Social Responsibility Reporting in Developing Countries, The Case of
Bangladesh. Brulington USA: Ashgate Publishing Company.
Bonnafous-Boucher & Pesqueux. 2005. Stakeholder Theory, A European Perspective. New York:
Palgrave macmillan.
Budimanta A., Prasetijo A., & Rudito B., 2005. Corporate Social Responsibility, Jawaban bagi
Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Indonesia Center for Sustaiable Development
(ICSD).
Cetindamar, D. Husoy, K. 2007. Corporate Social Responsibility Practices and Environmentally
Responsible Behavior: The Case of The United Nations Global Compact. Journal of Business
Ethics 76: 163-176.
Cooper, S. & Wagman, G. 2009. Corporate Social Responsibility: A Study of Progression to the
Next Level. Journal of Business & Economics ResearchMay, Volume: 7, Number 5.
DeTienne, K.B & Lewis, LW. 2005. The Pragmatic and Ethical Barriers to Corporate Social
Responsibility Disclosure: The Nike Case. Journal of Business Ethics 60: 359-376.
Durieux, M.B & Stebbins, R.A. 2010. Social Entrepreneurship for Dummies.Indianapolis: Wiley
Publishing, Inc.
Ebner, D. & Baumgartner, R. 2006. The Relationship Between Sustainable Development and
Corporate Social Responsibility. Corporate Responsibility Research Conference 2006, 4th 5th
September, Dublin.
Eweje, G. 2007. Multinational oil companies CSR inisitaives in Nigeria, The Scepticism of
Stakeholders in Host communities. Managerial Law 49:218-235
Emil S. 1987. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara.
Fredericsen, C.S. 2010. The Relation Between Policies Concerning Corporate Social
Responsibility (CSR) and Philosophical Moral Theories An Empirical Investigation. Journal of
Business Ethics 93: 357-371.
Frynas, 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social
Challenges. Cambridge: Cambridge University Press.
Garriga, E & Mele, D. 2004. Corporate Responsibility Theories: Mapping the Territory. Journal
of Business Ethic 53: 51-71
Gerungan. DR. Dipl. Psych. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco.
Gidden, Bell, Forse etc. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Terjemahan Ninik
Rochani Syam. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Han, Lee, & Khang. 2008. Influential Factors of The Social Responsibility of Newspaper
Corporations in South Korea. Journal of Business Ethics 82: 667-680.
Hanke, T. & Stark, W. 2009. Strategy Development: Conceptual Framework on Corporate
Social Responsibility. Journal of Business Ethics 85: 507-516.
Hartman, Rubin, & Dhanda. 2007. The Communication of Corporate Social Responsibility:
United States and European Union Multinational Corporations. Journal of Business Ethics
74:373-389.
Harmoni, A. 2009. Interaktivitas Isu CSR pada Laman Resmi Perusahaan, Studi pada PT.
Indocement Tunggal Prakarsa. Disampaikan dalam Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Informasi (SNATI 2009), Yogyakarta
May, Cheney & Roper, 2007. The Debate Over Corporate Social Responsibility. New York :
Oxford University Press
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Desa. Yogyakarta: P3PK, Universitas Gadjah Mada.
Nicholls (ed). 2006. Social Entrepreneurship, New Models of Sustainable Social Change. New
York: Oxford University Press
Ni Wayan Yuniasih & Made Gede Wirakusuma (Tanpa Tahun). Pengaruh Kinerja Keuangan
Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good
Governance sebagai variabel Pemoderasi. Jurusan Akuntansi FE, Universitas Udayana
Parker, Brown, Child and Smith. 1990. Sosiologi Industri (Terjemahan). Jakarta :Rineka Cipta.
Parsons, T, 1991. The Social System. London: Routledge.
Prayogo, D. 2010. Anatomi Knflik Antara Korporasi dan Komunitas Lokal: Studi Kasus pada
Industri Geothermal di Jawa Barat. Makara, Sosiohumaniora Vol.14, No.1.:25-34.
, 2008. Corporate Social Responsibility, Social Justice dan Distributive Welfare
dalam Industri Tambang dan Migas di Indonesia. Jurnal Galang Vol.3.No.3: 57:74.
Raillon, F.. 1990. Indonesia Tahun 2000 Tantangan Teknologi dan Industri. Jakarta, CV. Haji
Masagung.
Ritzer G. & Goodman, D.J., 2007. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta:
Kencana.
Ritzer G., 2008. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan Noor Alif Maulana. Yogyakarta: Kreasi
Kencana
Schneider, 1986. Sosiologi Industri (Terjemahan). Aksara Persada.
Smith, KH. & Nystad, . 2006. Is the Motivation for CSR Profit ot Ethics. The Corporate
Responsibility Research Conference (September 4-5 2006), Trinity Collage Dublin, Ireland
Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali Pers.
Suharto, 2006. Pekerjaan Sosial Industri, CSR dan ComDev. Makalah, disampaikan pada
workshop tentang Corporate Social Responsibility, Lembaga Studi Pembangunan (LSP)-STKS
Bandung, 29 Nopember 2006.
, 2010. CSR dan Comdev: Investasi Kreatif Perusahaan di Era Globalisasi. Alfabeta:
Bandung
Wen, S. 2006. Regulatory Stakeholder Consideration in UKs Proposed Company Law Regime
Effects and Expectations. http://www.crrconference.org.
Werna, Keivani and Murphy, 2009. Corporate Social Responsibility and Urban Development,
Lessons from the south. Palgrave Macmillan: New York
Wibhawa, Budhi. dkk. 2010. Kewirausahaan Sosial Perspektif Pekerjaan Sosial. Laboratorium
Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD.
Sumber lainnya:
http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkan-social
entreprener.
[1] (http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkan-social
entreprener.
[2] Frynas 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social
Chalenges. Cambridge: New York
[3] Dirk Matten, dalam Judith Henningfeld et.al (2006). The ICCA Handbook Corporate Social
Responsibility. John Wiley & Sons, Ltd.
[4] http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkan-social
entreprener.
[5] Garriga & Mele. Corporate Social Responsibility Theories: Mapping the Territory Journal of
Business Ethic 53: 51-71, 2004 2004 Kluwer Academic Publishers.
[6] Frynas 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social
Chalenges. Cambridge: New York
[7] Dalam Frynas 2009. Beyond Corporate Social Responsibility. Cambrigde University
PressP.122
[8] Dalam Alex Nicholls (2006: 169). Social Entrepreneurship, New Models of Sustainability
Social Change. Oxford University Press
[9] Dalam Nicholls. 2006. Ibid .P:176-179.
[10] http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkansocial entreprener.
[11] Budhi Wibhawa, dkk. 2010. Kewirausahaan Sosial Perspektif Pekerjaan Sosial.
Laboratorium Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD.
[12] Jane Nelson adalah director of the CSR at Harvard Universitys Kennedy School of
Government dan Beth Jenkins adalah senior consultant with Booz Allen Hamilton, dalam
Elkington & Hartigan, 2008. The Power of Unreasonable People, How Social Entrepreneurs
Create Markets that Change the World. Harvard Business Press, Boston.
[13] Mark B. Durieux, PhD & Robert A. Stebbins, PhD., 2010. Social Entrepreneurship for
Dummies. Wiley Publishing: Indianapolis.