Anda di halaman 1dari 17

http://kesos.unpad.ac.

id/2011/09/27/corporate-socialentrepreneurship-social-entrepreneurship-dalam-kontekscorporate-social-responsibility/, diakses tgl 18 mei 2016


Corporate Social Entrepreneurship: Social
Entrepreneurship dalam Konteks Corporate Social
Responsibility
Oleh: santoso tri raharjo
September 27, 2011
Pendahuluan
Sejak pertengahan abad ke 20 perdebatan panjang mengenai tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) telah terjadi. Di tahun 1953, Bowen (1953) menulis buku yang berkaitan dengan Social
Responsibilities of the Businessman. Pada perkembangan berikutnya telah terjadi pergeseran
terminologi dari tanggung jawab sosial bisnis ke CSR. Selanjutnya bidang ini berkembang secara
signifikan dan saat ini telah berkembang beragam teori, pendekatan dan terminologi mengenai
CSR. Masyarakat dan bisnis, manajemen isu sosial, public policy and business, management
stakeholders, tanggung jawab perusahaan merupakan sejumlah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan tanggung jawab perusahaan dengan masyarakat. Kini keinginankeinginan baru untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan alternatif konsep baru telah
diajukan, termasuk corporate citizenship dan corporate sustainability. Dalam kaitan antara
social entrepreneurship dan CSR, muncul konsep baru corporate social entrepreneurship (CSE)
sebagai suatu pendekatan baru[1]; yang di Inggris lebih dikenal dengan konsep smart CSR.
Apa itu CSR?
Sekilas akan dikemukakan mengenai pengertian CSR, batasan teori, tantangan dan peluang
penerapan tanggung jawab sosial perusahaan. CSR berasal dari etika bisnis (bisa berlandaskan
agama, budaya, etika kebaikan lainnya) dan dimensi sosial dari aktivitas bisnis. Dengan
demikian CSR atau being socially responsible jelas merupakan suatu cara yang berbeda untuk
setiap orang dan setiap negara. Namun demikian sebaiknya perlu kehati-hatian untuk tidak
terlalu memaksakan gerakan CSR Negara-negara Barat pada realita di Negara berkembang.
Blowfield dan Frynas (2005) membayangkan CSR diibaratkan sebagai sebuah payung bagi
beragam pendekatan, teori dan praktek-praktek yang mengakui hal-hal sebagai berikut:
(a) Bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap dampaknya terhadap masyarakat dan
lingkungan alam, yang terkadang lebih jauh lagi sekedar memenuhi aspek legal dan
pertanggungjawaban individual.

(b) Bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk berperilaku dengan siapa mereka
melakukan bisnis.
(c) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas,
dengan alasan komersial atau untuk nilai tambah terhadap masyarakat.[2]
Dengan demikian melahirkan beragam pemahaman mengenai (multi interpretation) mengenai
CSR, sesuai konteks negara, jenis industri, isyu-isyu yang dihadapi. Beragam interpretasi
mengenai CSR antara lain:
1. Etika dan moralitas bisnis.
2. Akuntabilitas perusahaan.
3. Corporate citizenship (perusahaan warga).
4. Bantuan dan pilantropi perusahaan.
5. Perusahaan hijau dan pemasaran hijau.
6. Manajemen keragaman.
7. Tanggungjawab lingkungan.
8. Hak asasi manusia.
9. Rantai manajemen pembelian dan penyediaan yang bertanggungjawab.
10. Investasi social yang bertanggung jawab.
11. Perjanjian (kesepakatan) stakeholder.
12. Keberlanjutan .
Definisi CSR

the commitment of business to contribute to sustainable economic development working


with employees and their representatives the local community and society at large to
improve the quality of life, in ways that are both good for business and good for
development (World Bank)

Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic


development while improving the quality of life of workforce and their families as well as
of the local community at large (The World Business Council for Sustainable
Development)

Upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan


memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan
dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan (Lingkar Studi CSR Indonesia)

there is broad agreement in Europe on the definition of CSR as a concept whereby


companies integrate social and environmental concerns on a voluntary basis into
their business operations as well as their interaction with stakeholders (European
Communities, 2007)

Melalui definisi tersebut dapat ditarik konsep inti dari CSR yaitu:
1. Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan.
2. Berdasarkan prinsip sukarela
3. Kegiatan bisnis dan interaksi dengan para pemangku kepentingan harus memperhatikan
persoalan sosial dan lingkungan
Roadmap Lahirnya CSR
Konsep tanggung jawab sosial sebenarnya sudah lama ada sejak manusia itu ada. Bentuk dan
penerapan tanggung jawab sosial di masing-masing masayarakat pun beragama, sesuai dengan
nilai-nilai, agama dan kepercayaan masing-masing. Bahkan bukan tidak mungkin konsep
tanggung jawab sosial perusahaan sudah muncul di setiap masyarakat dunia, jauh sebelum
Bowen (sebagai bapak CSR) menggagas tanggung jawab sosial pebisnis. Namun demikian perlu
pula kiranya melihat bagaimana perjalanan popularitas konsep CSR, hingga menjadi konsep baru
yang mulai banyak dikaji oleh berbagai kalangan.

Konsep CSR dipopulerkan tahun 1953 dengan diterbitkan buku Social Responsibilities
of Businessman karya Howard R. Bowen

Tahun 1960-an gema CSR mulai berkembang akibat persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang menjadi perhatian luas dari berbagai kalangan, dan masyarakat
dunia melihat korporasi sebagai sumber alternatif.

KTT Bumi (Earth Summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro menegaskan konsep
sustainable development yang didasarkan perlindungan terhadap lingkungan, ekonomi
dan sosial.

World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Yohannesberg,


Afsel memunculkan konsep Social Responsibility yang mengiringi konsep sebelumnya
yaitu economic and environment sustainability

Sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility tahun 2010

CSR awalnya muncul sebagai sebuah pendekatan dalam mengatasi dampak social dan
lingkungan dari aktivitas perusahaan. Terdapat tiga tantangan dalam hubungan bisnismasyarakat: lingkungan, pemerintah dan pembangunan. Selanjutnya berkembang konsep triple
bottom line yang terdiri dari komponen economic, environmental, dan social. Gagasan triple
bottom line pertama kali dikemukakan oleh John Elkington (1998)[3] berkaitan dengan
sustainable development, sebagaimana terlihat dalam gambar ilutrasi[4] berikut:
3 (tiga) prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom line 3P (people, profit, planet)
tersebut yaitu kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi
kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) agar keberadaan
perusahaan dapat tumbuh berkelanjutan.
Perspektif Strategi CSR
Perspektif Teoritis

Argument Utama

Penulis Utama
Strategy CSR
Teori Agency
CSR didorong oleh perilaku manager Friedman 1962:
sendiri atas pengeluaran shareholder Wright and Ferris
1997
Teori Permainan (Game CSR sebagai perdagangan antara
Prasad 2005
Theory)
biaya sekarang dan manfaat masa
depan
Teori Institusional
CSR didorong oleh penyesuaian
Doh and Guay 2006:
diantara konteks institusi yang
Jennings and
berbeda
Zandbergen 1995
Pandangan BerbasisCSR dapat diperlakukan sebagai
Hart 1995; Russo and
Sumber dalam
keterampilan khusus atau
Fouts 1997
Manajemen strategis
kemampuan untuk memperoleh suatu
keuntungan kompetitif
Teori Stakeholder
CSR didorong oleh hubungan dengan Clarkson 1995;
actor-aktor eksternal khusus
Freeman 1984
Teori stewardship
CSR didorong oleh perintah moral
Donaldson and Davis
manager untuk melakukan sesuatu
1991
yang benar
Teori Perusahaan
CSR didorong oleh penawaran atau Baron 2001;
permintaan bagi aktifitas social dalam McWilliams and
pasar
Siegel 2001
Source: Largely adapted from McWilliams et al.2006; in Frynas Beyond Corporate Social
Responsibility Oils multinationals and Social challenges 2009.
Sedangkan Garriga & Mele (2004) memetakan teori-teori CSR ke dalam empat kelompok besar
berdasarkan konsep Parson mengenai AGIL (adaptation, goal attainment, integration and latent
maintenance) yang berkembang saat ini, sebagai berikut [5]:

1. Kelompok pertama yang berasumsi bahwa perusahaan adalah instrumen untuk


menciptakan kesejahteraan dan bahwa ini merupakan satu-satunya tanggung jawab sosial.
Hanya aspek ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang dipertimbangkan.
Jadi sekiranya terdapat aktivitas sosial yang diterima, jika dan hanya jika hal tersebut
konsisten dengan penciptaan kesejahteraan. Kelompok teori ini dapat disebut
instrumental theories karena mereka memahami CSR sebagai alat belaka untuk
memperoleh keuntungan.
2. Kelompok kedua yang melihat kekuatan sosial dari perusahaan yang menjadi tekanan,
khususnya dalam hubungannya dengan masyarakat dan tanggung jawabnya dalam arena
politis berkaitan dengan kekuatan ini. Hal tersebut mengarahkan perusahaan untuk
menerima tugas-tugas dan hak-hak sosial atau berpartisipasi dalam kerjasama sosial
tertentu. Kita dapat menyebut kelompok ini dengan political theories.
3. Kelompok ketiga termasuk teori-teori yang mempertimbangkan bisnis seharusnya to
integrate tuntutan sosial. Biasanya berpendapat bahwa bisnis tergantung pada masyarakat
untuk kelanjutan dan pertumbuhannya, bahkan untuk keberadaan bisnisnya sendiri.
Kelompok ini adalah integrative theories.
4. Kelompok keempat teori dari pemahaman hubungan antara bisnis dan masyarakat adalah
penanaman nilai-nilai etis. Hal tersebut mengarahkan visi CSR dari suatu perspektif etis
dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus menerima tanggung jawab sosial sebagai
sebuah kewajiban etis di atas pertimbangan lainnya. kelompok ini disebut dengan ethical
theories
Secara singkat Frynas (2009) melihat bahwa pertimbangan perusahaan untuk melakukan
kegiatan CSR antara lain umumnya karena alasan-alasan berikut:
1. Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan
2. Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif
3. Bagian dari strategi bisnis perusahaan
4. Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat
5. Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial
Pada dasarnya tidak ada perspektis teoritis atau metodologi penelitian yang dapat menjelaskan
aktifitas CSR (Lockett et al.2006, p.12) secara memuaskan. Namun demikian terdapat terdapat
dua perspektif kuat yang berkembang saat ini, serta satu alternatif mengenai CSR:
1)
Teori Stakeholder: menekankan reaksi perusahaan (perseorangan) dalam konteks
hubungan dengan stakeholder ekternal. Perspektif ini dapat menjelaskan respon strategis yang
berbeda dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan social walaupun dalam industry sejenis atau
Negara yang sama, berdasarkan pada sifat hubungan eksternal.

2)
Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara kelembagaan (aturan).
Pendekatan ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan dari Negara atau industry berbeda dalam
merespon tekanan social dan lingkungan, dan mengapa di Negara yang berbeda-beda dari
perusahaan multinasional yang sama memililih strategi CSR yang berbeda, sebagai hasil dari
pemberlakuan norma atau keyakinan nasional.
Kedua perspektif tersebut dapat membantu menjelaskan bagaimana respon perusahaan terhadap
tekanan kondisi social ekternal dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk menjelaskan
pilihan strategi aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan CSR
sebagai sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau mengapa perusahaan tertentu
mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan energy.
3)
Austrian economics: perspektif ini menyediakan wawasan terhadap upaya strategi aktif
CSR dalam perusahaan dengan suatu perspektif kewirausahaan.
Austrian economics sebagai suatu alternatif CSR
Dalam kaitan dengankewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi persoalan
sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber pemecahan masalah sosial tersebut.
Beberapa pemikiran Austrian economics mengenai CSR, adalah sebagai berikut:
1. Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa strategi CSR dalam
perusahaan harus dipandang sebagai sebuah keputusan investasi dan sebagai suatu cara
memperoleh keuntungan kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain
yang harus diambil. (p.19)
2. Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan dengan tindakan
kemanusiaan bukanlah berdasarkan external constrains sebagai factor fundamental
pembuatan keputusan (p.19)
3. Perspektif Austrian menekankan peluang future dan kewirausahaan aktif dalam
mengidentifikasi masa depan (p.20).
4. Karakteristik utama keberhasilannya capitalist entrepreneurship; yaitu bukan pada
kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau discover tuntutan eksternal, tetapi
lebih pada kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa
depan (p.20)
Nampaknya konsep-konsep dari Austrian economics dapat lebih linkage dengan upaya
kewirausahaan sosial di Indonesia khususnya dalam penyelesaian permasalahan sosial dan
kemasyarakatan. Sebagai perbandingan dari ketiga perpektif teoritis, dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Perbandingan Perspektif teoritis terhadap strategi CSR[6]
Teori Institusional

Teori Stakeholder

Austrian View

Fokus Utama

Ketaatan pada aturan


dan norma
Determinan Strategi Hidup dengan konteks
CSR
kelembagaan berbeda

Lingkup untuk
kebebasan aksi
manajemen

Non-choice behavior

Hubungan dengan
factor eksternal
Ketergantungan
relative suatu
perusahaan pada
stakeholder
Pilihan perilaku
terbatas

Peran kewirausahaan
Tinjauan masa depan
kewirausahaan

Pilihan perilaku yang


substansial

Sudut pandang kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat memainkan peran kunci dalam
membentuk strategi perusahaan memandang permasalahan social dan lingkungan.
Masalah-masalah Implementasi CSR
Selain hambatan business case, study yang dilakukan Nuffield Foundation[7] telah
mengidentifikasi sejumlah hambatan penting dalam penerapan CSR:

Gagal memahami negara dan konteks isyu-isyu khusus

Gagal melibatkan beneficiaries CSR

Kurangnya sumber daya manusia: spesialist pengembangan masyarakat

Sikap-sikap sosial dari staf perusahaan / atau hanya fokus pada solusi teknis dan
manajerial

Tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembanguan yang lebih luas.

Contoh yang paling terjadi mengenai negara dan konteks isyu-isyu khusus antara lain: konflik
antar suku dan korupsi. Sedangkan kegagalan melibatkan beneficiaries, tidak adanya upaya
membangun partisipasi dari perusahaan dan upaya memandirikan beneficiaries. Sebagaimana
disarankan Ellerman (2001) oleh World Banks Comprehensive Development Framework bahwa
..the doer (a person, a community, a country, etc.) need to be in the drivers seat and actively
help itself. Perusahaan migas biasanya gagal melakukan konsultasi secara lebih luas kepada
pimpinan lokal dan tokoh-tokoh lokal.
Keterlibatan penerima manfaat CSR dalam penerapan proyek cenderung terbatas atau tidak ada
sama sekali, dan paling mungkin terbatas pada pemberian kontrak perusahaan secara lokal. Lebih
buruk lagi, kegagalan melibatkan orang-orang lokal telah memelihara suatu mentalitas
ketergantungan (dependency mentality).
Banyak persoalan tersebut sebetulnya dapat dihindari melalui konsultasi mendalam dan
partisipasi masyarakat lokal dengan inisiatif kemandirian secara sungguh-sungguh menggunakan
pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan alat-alat lokal. Tetapi keterlibatan masyarakat lokal

secara inheren terhambat dengan kurangnya sumber daya manusia perusahaan dan pendekatan
teknis/manajerial dari staf perusahaan minyak.
Kurangnya jalur karier (career path) untuk spesialist pengembangan masyarakat di dalam
perusahaan lebih jauh membatasi keahlian pembangunan secara potensial. Berkaitan dengan
kurangnya sumber daya manusia, inisiatif CSR secara inheren menjadi cacat karena hasil dari
sikap-sikap sosial staf perusahaan minyak, artinya nilai-nilai sosial yang mengarahkan penentuan
keputusan staf perusahaan. Orang-orang yang bergerak di perusahaan minyak biasanya memiliki
latar belakang manjerial atau keahlian teknik. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi
menhadapi tantang teknis dan manajerial. Dengan demikian pendekatan-pendekatan teknik dan
manajerial bisa berhasil mengatasi tantangan lingkungan, tetapi tidak cukup dalam mengatasi
permasalahan sosial yang kompleks dimana lebih mementingkan soft skill, kesabaran, dan
keterampilan interpersonal.
Dengan tidak terintegrasinya SR atau social invesment ke dalam rencana pembangunan yang
lebih luas, potensi pembangunan dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber
mungkin tidak nyambung dengan efektifitas pembangunan yang digunakan. Bahkan akibat buruk
lainnya adalah perusahaan akan menghadapi resiko timbulnya konflik lokal karena kecemburuan
dan menciptakan konsekuensi pembangunan negatif.
Potensi dan Keterbatasan Transparansi
Transparansi dapat berkontribusi mengurangi effek kutukan alam, namun demikian inisiatif
transparansi relatif muda, dan sejumlah kajian akademik yang dilakukan sudah out of date untuk
dimanfaatkan dalam inisiatif transparansi dan dampak aktual transparansi. Namun demikian,
kajian-kajian kuantitatif secara luas jelas-jelas menunjukkan pengaruh perkembangan yang
positif mengenai transparansi, diantaranya:

Pengaruh politik= transparansi memperbaiki aliran informasi dari pengatur dan yang
diatur.

Pengaruh ekonomi= transparansi meningkatkan kredibilitas suatu negara diantara


investor luar negeri dan masyarakat perbankan internasional

Pengaruh sosial= pengaruh positif politik dan ekonomi dapat membawa banyak
pengaruh sosial yang positif.

Namun demikian banyak studi mengenai transparansi menyarankan sejumlah kondisi yang harus
dipenuhi dalam rangka memaksimalkan dampak positif dari transparansi. Berdasarkan literatur
setidaknya ada 3 (tiga) kondisi atau prasyarat yang harus dipenuhi: (1) kebebasan media; (2)
keterlibatan masyarakat sipil; dan (3) timing pengenalan transparansi.
Potensi dan Keterbatasan CSR
Bukti-bukti menunjukkan bahwa CSR memiliki potensi yang besar untuk mengatasi tantang
lingkungan. Sebaliknya CSR memiliki kelemahan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan

dengan pengembangan masyarakat dan pemerintahan. Perusahaan semestinya memperoleh


manfaat yang besar dari relasi dengan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik:
berkurangnya biaya operasional, tidak banyak korupsi, meningkatnya reputasi perusahaan, dan
seterusnya. Negara penyelenggara semestinya juga memperoleh manfaat yang besar dari
peningkatan sumber daya manusia dan pemerintahan, dalam kerangka meningkatnya investasi
swasta, meningkatnya tingkat pendidikan, pelayanan publik yang lebih baik dan seterusnya.
Namun demikian, perusahaan nampak enggan mengatasi isyu-isyu pemerintahan, sementara
pendekatannya melalui pengembangan masyarakat seringkali tidak efektif.
Dua alasan mendasar mengapa perusahaan multinasional gagal mengatasi persoalan
pembangunan dan pemerintahan secara efektif: Pertama, business case for CSR(yakni,
memanfaatkan inisiatif sosial untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan) batas satuan inisiatif
untuk dapat mencapai masyarakat yang lebih luas. Kedua, perusahaan multinasional seringkali
gagal mengenali secara penuh lingkup interaksi mereka dengan masyarakat dan politik, dan
mereka tidak mau menerima tanggung jawab terhadap isyu-isyu di level makro isyu-isyu yang
berkaitan dengan dampak industri mereka terhadap masyarakat luas.
Keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam CSR bukan berarti usaha swasta tidak melakukan
apa-apa terhadap isyu-isyu kemasyarakatan. Perusahaan perlu didorong untuk melibatkan diri
dengan aspek sosial dan lingkungan dalam operasinya, dan mereka akan memperoleh peluangpeluang bisnis yang CSR tawarkan.
Banyak inisiatif sukarela perusahaan gagal karena mereka tidak mendengar stakeholders-nya
dengan baik. Keterlibatan pemangku kepentingan seringkali dangkal dan singkat, perusahaan
mungkin mendengarkan stakeholder-nya dengan daya tawar yang lebih besar dengan prioritas
kepentingan perusahaannya daripada memperhatikan stakeholder-nya. Sehingga masalah krusial
berikutnya adalah keputusan mengenai inisiatif sosial dan lingkungan seringkali dilakukan untuk
mencapai prioritas perusahaan daripada stakeholder, yang akhirnya mengarah pada terbatasnya
kemampuan CSR memberi manfaat signifikan kepada stakeholder.
Corporate Social Entrepreneurship (CSE): Kewirausahaan sosial dalam konteks CSR
Social entrepreneurship is not just for the social sector. Corporation can also be social
entrepreneurs (Austin et.al., 2006:169)
Menurut Austin, Leonard, Reficco & Wei-Skillern [8](dalam Nicholls, 2006:169) corporate
social entrepreneurship merupakan suatu strategi penguatan corporate citizenship (salah
pendekatan CSR). Selanjutnya Austin mendefinisikan corporate social entrepreneurship sebagai
the process of extending the firms domain of competence and corresponding opportunity set
through leveraging of resources, both within and outside its direct control, aimed at
simultaneous creation of economic and social value
Lebih jauh Austin et.al.[9] mengemukakan sejumlah tantangan perusahaan dalam menjalankan
CSE, yaitu:

1)

Leadership; dengan tiga dimensi penting yaitu :

Visi, pemimpin harus memiliki visi dimana dimensi sosial merupakan pusat dan bagian
integral dari kehidupan perusahaan

Legitimasi, pemimpin harus menciptakan lingkungan internal yang tepat dan sesuai
harapan dari proses CSE.

Pemberdayaan, pemimpin harus memberi peluang pemimpin dan agen perubahan lainnya
di perusahaan agar mampu membangun dan memutuskan suatu proses.

2)

Strategy; dengan tiga elemen untuk CSE, yaitu:

Alignment, dimensi sosial dan dimensi bisnis dalam strategi perusahaan harus seiring satu
sama lainnya.

Leveraging core competencies, fokus pada menemukan upaya kreatif dalam memobilisasi
dan menyebarluaskan aset kunci perusahaan, komponen keberhasilan bisnis, sehingga
akan tercipta hubungan nilai sosial dan bisnis yang berlipat ganda untuk terciptanya nilai
ekonomi dan sosial yang lebih besar lagi.

Partnering, bermitra dan menciptakan aliansi dengan entitas usaha lainnya akan lebih
memperkuat proses CSE

3)
Structures; struktur yang dibuat harus mengikuti strategi yang dipilih, sehingga Corporate
Social Entrepreneur harus membuat bentuk organisasi yang inovatif dalam perusahaan dalam
rangka memajukan dimensi sosial baru.
4)
Systems; sistem yang dibuat harus mengikuti struktur, sehingga CSE dapat membentuk
seperangkat sistem yang masyaratkan:

Meningkatkan pembelajaran mengenai proses pembuatan keputusan mengenai dimensi


sosial dan ekonomi;

Memungkinkan eksekusi yang efektif

Suatu proses efektifitas komunikasi nilai-nilai ekonomi dan sosial

Beberapa contoh praktik CSE yang telah dilakukan di Indonesia antara lain dikemukakan oleh
Budi Gunadi Sadikin[10] (direktur Retail dan mikro banking Bank Mandiri) yang menyebut
program Wirausaha Mandiri dan pola kemitraan ini sebagai corporate social entrepreneurship
(CSE) atau kewirausahaan sosial perusahaan. Terdapat dua pola penyaluran program, yaitu
melalui one by one program (penyaluran langsung kepada masyarakat) dan linkage program
(pola inti-plasma, yaitu menggandeng perusahaan besar yang memiliki kemampuan dan
komitmen untuk melakukan pembinaan usaha kecil yang menjadi mitra usahanya).

Konsep kewirausahaan sosial perusahaan (CSE), sebenarnya sudah coba diterapkan oleh
beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) multinasional di Indonesia. Contoh PT. Chevron
Pasific Indonesia (CPI) di Duri Bengkalis, yang mencoba program Local Business Development
(LBD) dengan memberdayakan masyarakat lokal untuk terlibat dalam kegiatan perusahaan yang
terbatas. Pihak CPI melatih dan membentuk usaha-usaha kecil (semacam CV) yang dapat
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang medukung operasi CPI, seperti pemeliharaan kebersihan,
keamanan, pengecatan, gardening, dsb.; yang nilai kontraknya tidak lebih dari Rp. 100 juta
rupiah.
Contoh berikutnya adalah PT. Total Indonesia (perusahaan minyak yang berbasis di Perancis)
yang mereka memberi modal ke masyarakat, melalui coaching clinic dan penciptaan usaha .
Selanjutnya, karena keterbatasan SDM kemudian PT. Total Indonesia menggandeng organisasi
non profit untuk bersama-sama memberdayakan masyarakat sekitar. Demikian pula yang
dilakukan oleh BP (British Petroleum) perusahaan minyak Inggris di Indramayu menggaet
pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat setempat dalam mengembangkan
kegiatan CSR-nya.
Berikut beberapa pengertian kewirausahaan sosial hasil diskusi yang dikembangkan di
Laboratorium Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD tentang kewirausahaan sosial[11]; sebagai
berikut:
Kewirausahaan sosial adalah karakteristik mental orang yang memiliki kepekaan untuk
menangkap peluang (masalah/kebutuhan akibat perubahan sosial), kemampuan berfikir kreatif
dan inovatif, serta keberanian untuk mengisi peluang; substansinya ide solusi masalah/
pemenuhan kebutuhan (pelayanan) sosial.
Kewirausahaan sosial adalah penerapan mental kewirausahaan dalam bidang kehidupan sosial
dalam ujud ide-ide pelayanan sosial di semua level unit sosial (masyarakat, golongan/kelompok,
dan individu).
Sedangkan secara operasional kewirausahaan sosial dapat diartikan sebagai proses kreatif dan
inovatif dalam pengembangan ide pelayanan sosial yang tidak melanggar ajaran agama dan nilainilai sosial-budaya masyarakat; tetapi efektif mengatasi masalah sosial.
CSR dalam kaitan dengan kewirausahaan sosial dapat dipahami sebagai berikut:
1. Sebagai sistem sumber (resource), maka baik perusahaan maupun stakeholders untuk
memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari CSR untuk mengatasi persoalan sosial
kemasyarakatan.
2. Sebagai strategi CSR; maka perusahaan memanfaatkan cara-cara yang kreatif dan
inovatif, dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pemecahan masalah
sosial kemasyarakatan.
3. Sebagai prinsip/semangat dalam melaksanakan kegiatan CSR, baik dilakukan sendiri atau
bermitra dengan stakeholder lainnya.

4. Sebagai media untuk saling berbagi diantara berbagai stakeholders (pemerintah,


masyarakat/ komunitas, ornop, dst.) perusahaan dalam mengatasi persoalan-persoalan
sosial.
Sudah waktunya masyarakat akademik mengkaji kemitraan dan usaha bersama antara korporasi
dengan konsep kewirausahaan sosial, sebagaimana dinyatakan Jane Nelson & Beth Jenkins
(dalam Elkington & Hartigan, 2008: 76-77)[12]. Mereka merekomendasikan bahwa sudah
saatnya dunia usaha khususnya para pemimpin perusahaan mengarah pada wirausaha sosial
melalui kunjungan-kunjungan proyek, pengalaman pembelajaran, dan mengintegrasikan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan elemen-elemen kewirausahaan sosial dalam
mainstream pendidikan bisnis. Durieux & Stebbins (2010: 138-140)[13] memberikan gambaran
dan tip dalam melaksanakan kegiatan CSR serta bagaimana social entrepreneur memanfaatkan
dan mendorong CSR tidak sekedar memperoleh keuntungan, tapi tanggung jawabnya kepada
komunitas dan masyarakat.
Paradigma social entrepreneurship dalam konteks CSR diharapkan tidak hanya sekedar jargon
bagi perusahaan dalam menerapkan kegiatan CSR nya. Paradigma ini juga merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi perusahaan. Peluangnya adalah perusahaan dapat berkreasi dan
berinovasi untuk menciptakan program-program memberdayakan masyarakat yang berbasis
kewirausahaan; sementara itu, tantangannya adalah semangat social entrepreneurship harus
menjadi ruh/semangat yang terintegrasi dalam perusahaan, sehingga inisiasi CSR muncul dari
dalam diri perusahaan itu sendiri, bukan sekedar dorongan eksternal semata.

Bahan Bacaan
Anis Chariri & Firman Aji Nugroho, 2009. Retorika Dalam Pelaporan Corporate Social
Responsibility: Analisis Semiotik atas Sustainability Reporting PT. Aneka Tambang Tbk. FE
Undip (disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntasi XII Palembang 4-6 November 2009)
Belal, 2008. Corporate Social Responsibility Reporting in Developing Countries, The Case of
Bangladesh. Brulington USA: Ashgate Publishing Company.
Bonnafous-Boucher & Pesqueux. 2005. Stakeholder Theory, A European Perspective. New York:
Palgrave macmillan.
Budimanta A., Prasetijo A., & Rudito B., 2005. Corporate Social Responsibility, Jawaban bagi
Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Indonesia Center for Sustaiable Development
(ICSD).
Cetindamar, D. Husoy, K. 2007. Corporate Social Responsibility Practices and Environmentally
Responsible Behavior: The Case of The United Nations Global Compact. Journal of Business
Ethics 76: 163-176.

Cooper, S. & Wagman, G. 2009. Corporate Social Responsibility: A Study of Progression to the
Next Level. Journal of Business & Economics ResearchMay, Volume: 7, Number 5.
DeTienne, K.B & Lewis, LW. 2005. The Pragmatic and Ethical Barriers to Corporate Social
Responsibility Disclosure: The Nike Case. Journal of Business Ethics 60: 359-376.
Durieux, M.B & Stebbins, R.A. 2010. Social Entrepreneurship for Dummies.Indianapolis: Wiley
Publishing, Inc.
Ebner, D. & Baumgartner, R. 2006. The Relationship Between Sustainable Development and
Corporate Social Responsibility. Corporate Responsibility Research Conference 2006, 4th 5th
September, Dublin.
Eweje, G. 2007. Multinational oil companies CSR inisitaives in Nigeria, The Scepticism of
Stakeholders in Host communities. Managerial Law 49:218-235
Emil S. 1987. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara.
Fredericsen, C.S. 2010. The Relation Between Policies Concerning Corporate Social
Responsibility (CSR) and Philosophical Moral Theories An Empirical Investigation. Journal of
Business Ethics 93: 357-371.
Frynas, 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social
Challenges. Cambridge: Cambridge University Press.
Garriga, E & Mele, D. 2004. Corporate Responsibility Theories: Mapping the Territory. Journal
of Business Ethic 53: 51-71
Gerungan. DR. Dipl. Psych. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco.
Gidden, Bell, Forse etc. 2004. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Terjemahan Ninik
Rochani Syam. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Han, Lee, & Khang. 2008. Influential Factors of The Social Responsibility of Newspaper
Corporations in South Korea. Journal of Business Ethics 82: 667-680.
Hanke, T. & Stark, W. 2009. Strategy Development: Conceptual Framework on Corporate
Social Responsibility. Journal of Business Ethics 85: 507-516.
Hartman, Rubin, & Dhanda. 2007. The Communication of Corporate Social Responsibility:
United States and European Union Multinational Corporations. Journal of Business Ethics
74:373-389.
Harmoni, A. 2009. Interaktivitas Isu CSR pada Laman Resmi Perusahaan, Studi pada PT.
Indocement Tunggal Prakarsa. Disampaikan dalam Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Informasi (SNATI 2009), Yogyakarta

Hawkins, 2006. Corporate Social Responsibility, Balancing Tomorrows Sustainability and


Todays Profitability. New York: Palgrave Macmillan.
Henderson, D. 2001.Misguided Virtue, False Notion of Corporate Sosial Responsibility. London:
The Institute of Economic Affairs.
Hond, De Bakker & Neergaard, 2007. Managing Corporate Social Responsibility in Action,
Talking, Doing and Measuring. Hampshire: Ashgate Publishing Limited.
Hopkins, 2007. Corporate Social Responsibility and International Development, Is Bussiness the
Solution?. London & Sterling: Earthscan.
Idemudia, U. 2009. Oil Extraction and Poverty Reduction in the Niger Delta: A Critical
Examination of Partnership Inisiatives. Journal of Business Ethic; 90:91-116
Imbun, B.Y. 2007. Cannot Manage without The Significant Other: Mining, Corporate Social
Responsibility and Local Communities in Papua New Guinea. Journal of Business Ethic 73:177192
Idowu & Filho, Editors, 2009. Global Practices of Corporate Social Reponsibility. Hamburg:
Springer.
_________________, 2009. Professionals Perspectives of Corporate Social Responsibility.
Heidelberg Berlin: Springer.
Jhon.S.N. 1984. Penelitian Tentang Aspek-Aspek Psikologi yang Berpengaruh Dalam
Pengembangan Pabrik PT. Pupuk KujangCikampek Jawa Barat. Bandung, Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
Jonker & de Witte, 2006. Management Models for Corporate Social Responsibility. Heidelberg,
Germany: Springer.
Kampf, C. 2007. Corporate Social Responsibility WalMart, Maersk and the Cultural Bounds of
Representation in Corporate Web Sites. Corporate Communications: An International Journal 12:
41-57.
Maak, T. 2008. Undivided Corporate Responsibility: Towards a Theory of Corporate Integrity.
Journal of Business Ethics 82: 353-3368.
Marat dkk. 1991. Sikap Masyarakat terhadap Pabrik Pupuk Kujang Cikampek Jawa Barat.
Bandung, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Masri S.dan Sofian E.. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta, LP3S.
Maurrasse & Jones, 2004. A Future for Everyone, Innovative Social Responsibility and
Community Partnerships. New York & London: Routledge.

May, Cheney & Roper, 2007. The Debate Over Corporate Social Responsibility. New York :
Oxford University Press
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Desa. Yogyakarta: P3PK, Universitas Gadjah Mada.
Nicholls (ed). 2006. Social Entrepreneurship, New Models of Sustainable Social Change. New
York: Oxford University Press
Ni Wayan Yuniasih & Made Gede Wirakusuma (Tanpa Tahun). Pengaruh Kinerja Keuangan
Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good
Governance sebagai variabel Pemoderasi. Jurusan Akuntansi FE, Universitas Udayana
Parker, Brown, Child and Smith. 1990. Sosiologi Industri (Terjemahan). Jakarta :Rineka Cipta.
Parsons, T, 1991. The Social System. London: Routledge.
Prayogo, D. 2010. Anatomi Knflik Antara Korporasi dan Komunitas Lokal: Studi Kasus pada
Industri Geothermal di Jawa Barat. Makara, Sosiohumaniora Vol.14, No.1.:25-34.
, 2008. Corporate Social Responsibility, Social Justice dan Distributive Welfare
dalam Industri Tambang dan Migas di Indonesia. Jurnal Galang Vol.3.No.3: 57:74.
Raillon, F.. 1990. Indonesia Tahun 2000 Tantangan Teknologi dan Industri. Jakarta, CV. Haji
Masagung.
Ritzer G. & Goodman, D.J., 2007. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan Alimandan. Jakarta:
Kencana.
Ritzer G., 2008. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan Noor Alif Maulana. Yogyakarta: Kreasi
Kencana
Schneider, 1986. Sosiologi Industri (Terjemahan). Aksara Persada.
Smith, KH. & Nystad, . 2006. Is the Motivation for CSR Profit ot Ethics. The Corporate
Responsibility Research Conference (September 4-5 2006), Trinity Collage Dublin, Ireland
Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali Pers.
Suharto, 2006. Pekerjaan Sosial Industri, CSR dan ComDev. Makalah, disampaikan pada
workshop tentang Corporate Social Responsibility, Lembaga Studi Pembangunan (LSP)-STKS
Bandung, 29 Nopember 2006.
, 2010. CSR dan Comdev: Investasi Kreatif Perusahaan di Era Globalisasi. Alfabeta:
Bandung

Wen, S. 2006. Regulatory Stakeholder Consideration in UKs Proposed Company Law Regime
Effects and Expectations. http://www.crrconference.org.
Werna, Keivani and Murphy, 2009. Corporate Social Responsibility and Urban Development,
Lessons from the south. Palgrave Macmillan: New York
Wibhawa, Budhi. dkk. 2010. Kewirausahaan Sosial Perspektif Pekerjaan Sosial. Laboratorium
Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD.
Sumber lainnya:
http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkan-social
entreprener.
[1] (http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkan-social
entreprener.
[2] Frynas 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social
Chalenges. Cambridge: New York
[3] Dirk Matten, dalam Judith Henningfeld et.al (2006). The ICCA Handbook Corporate Social
Responsibility. John Wiley & Sons, Ltd.
[4] http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkan-social
entreprener.
[5] Garriga & Mele. Corporate Social Responsibility Theories: Mapping the Territory Journal of
Business Ethic 53: 51-71, 2004 2004 Kluwer Academic Publishers.
[6] Frynas 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social
Chalenges. Cambridge: New York
[7] Dalam Frynas 2009. Beyond Corporate Social Responsibility. Cambrigde University
PressP.122
[8] Dalam Alex Nicholls (2006: 169). Social Entrepreneurship, New Models of Sustainability
Social Change. Oxford University Press
[9] Dalam Nicholls. 2006. Ibid .P:176-179.
[10] http://attalicious.wordpress.com/2010/08/20/smart-csr-alternatif-solusi-menumbuhkansocial entreprener.
[11] Budhi Wibhawa, dkk. 2010. Kewirausahaan Sosial Perspektif Pekerjaan Sosial.
Laboratorium Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD.

[12] Jane Nelson adalah director of the CSR at Harvard Universitys Kennedy School of
Government dan Beth Jenkins adalah senior consultant with Booz Allen Hamilton, dalam
Elkington & Hartigan, 2008. The Power of Unreasonable People, How Social Entrepreneurs
Create Markets that Change the World. Harvard Business Press, Boston.
[13] Mark B. Durieux, PhD & Robert A. Stebbins, PhD., 2010. Social Entrepreneurship for
Dummies. Wiley Publishing: Indianapolis.

Anda mungkin juga menyukai