Anda di halaman 1dari 45

BAB 3 TANNGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A.

Latar belakang Pengaturan Tanggu Jawab Sosial Perusahaan Perbincangan mengenai tanggung jawab social perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) bukanlah hal yang baru, karena istilah CSR telah berkembang sejak era 1970-an. Pada era tersebut, dicetuskan agar pemerintah melakukan intervensi yang bertujuan memperluas ruang lingkup CSR. Ruang lingkup CSR tidak hanya mencakup tanggung jawab korporasi kepada pemegang saham (shareholders), tetapi juga kepada pekerja, konsumen, pemasok, masyarakat, terciptanya udara bersih, air bersih, dan konstituen lain di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya.1 Namun demikian, baru pada tahun 1990-an CSR menjadi suatu gagasan yang menyita banyak perhatian, mulai dari masyarakat akademik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sampai para pelaku bisnis. CSR tidak hanya dilihat dari aspek kesekahteraan ekonomi (economic prosperity), keadilan social (social justice), dan peningkatan kualitas lingkungan (environmental quality) bahkan telah bergulir sampai pada isu sertifikasi ecolabeling, yaitu sertifikasi yang diberikan kepada suatu perusahaan yang di dalam proses pembuatan produknya dari awal hingga akhir tidak

Douglas M.Branson, Sorporate Governance reform and The New Corporate Social Responsibility, University of Pittsburgh Law Review, 2001, Vol.62/605, hlm 606.

berimplikasi buruk pada lingkungan dan hak asasi manusia. 2 Semenjak itu terjadi perubahan paradigm keberhasilan suatu perusahaan (multinasional) dilihat dari laporan tahunan keuangannya (profit orientate) telah bergeser, di mana keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan, tetapi salah satu variabelnya dilihat dari penerapan CSR sebagai upaya mewujudkan pencitraan perusahaaan (sorporate image). Perubahan paradigma ini semakin diperkuat pada saat dilangsungkannya pertemuan perusahaan (sorporate) tingkat dunia dengan ISO/COPOLCO tanggal 10 juni 2002 di Trinidad, di mana salah satu pokok bahasannya mengenai corporate Social Responsibility-Concepts and Solution. Pada pertemuan tersebut, belum ada kesepakatan tentang sertifikasi ecolabeling, para pelaku usaha yang tergabung dalam ISO (International Standarization Organization) baru sepakat untuk melakukan aktivitas yang berkenaan dengan kewajibannya untuk mensejahterakan komunitas local disekitar wilayah usahanya. Namun, perusahaan yang terhimpun dalam ISO/COPOLCO sendiri hanya memberikan pedoman (guidance) yang dituangkan dalam ISO 26000 yang berkaitan dengan pedoman pelaporan CSR.

Sudharo P.Hadi dan FX adi Amekto, Dimensi Lingkungan dalam Bisnis Kajian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Lingkungan, (Jakarta: ICSD, 2007), hlm.45

Di Indonesia sendiri isu CSR terus bergulit seiring dengan munculnya berbagai tuntutan, tekanan, dan resistensi baik masyarakat local maupun LSM/NGO terhadap aktivitas dunia usaha. Akar dari tuntutan itu sendiri tidak lepas dari: a. Dampak industrialisasi terhadap aspek ekonomi, social, dan lingkungan; b. Proses demokratisasi; c. Perkembangan dunia Informasi dan Teknologi (IT); d. Tantangan globalisasi dan tuntutan pasar bebas; dan e. Budaya perusahaan (corporate culture). Menyikapi hal tersebut, pembuat undang-undang (legislative dan eksekutif) mengakomodir tuntutan itu dengan mengambil sikap yang tidak populis di kalangan dunia usaha, yaitu dengan kebijakan menormakan CSR yang semula didasari atas etika bisnis yang sarat dengan nilai-nilai moral, dijadikan sebagai norma hukum yang dituangkan ke dalam produk peraturan perundang-undangan (UUPM dan UUPT). Kebijakan seperti ini penulis sebut dengan transformative nilai (transform of value). Transformative nilai (transform of value), adlaah kebijakan yang diambil oleh pembuat undang-undang yang didasarkan atas kewajiban etis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat menjadi suatu kewajiban hukum (legal obligation). Dalam transformative nilai ini harus dipenuhi tiga syarat sebagai berikut : a. Tujuannya; untuk memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian terhadap penarapan ataus suatu nilai etis.

b. Sifatnya; memposisikan nilai-nilai etis yang semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi suatu kewajiban hukum (legal responsibility). c. Penghargaan dan sanksi; bagi para pihak yang menerapkannya diberi penghargaan (reward), sebaliknya pihak yang tidak menerapkannya dikenakan sanksi (punishment). Rasionalistas dari transformatis nilai ini tidak terlepas dari dinamika dunia usaha atau bisnis itu sendiri. Secara esensial, hubungan bisnis sebenarnya adalah hubungan antarsubjek hukum, baik dalam makna manusia pribadi, badan usaha dan/ atau lembaga. Bisnis adalah suatu interaksi yang terjadi akibat adanya suatu kebutuhan yang tidak dapat diperoleh atau dipenuhi sendiri oleh individu. Ini menunjukkan meskipun manusia dikaruniai banyak kelebihan (akal, perasaan, dan naluri), namun dalam kenyataannya banyak memiliki kekurangan. Kekurangan itu makin dirasakan justru ketika akal, perasaan, dan naluri menuntut peningkatan kebutuhan-kebutuhan. Akibatnya, kebutuhan manusia kian berkembang dan semakin kompleks sehingga tak terbatas. Untuk itu harus ada regulasi yang menata kompleksitas kebutuhan tersebut. Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur dari transformative nilai ini adalah perilaku dalam menjalankan suatu aktivitas. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari masyarakat (konsumen) dilakukan melalui persaingan usaha yang jujur (fair), terbuka (transparent), dan etis (ethic). Atau sebaliknya, bisnis dikelola secara tidak etis (unethical conduct) misalnya, memberikan informasi yang tidak benar mengenai komposisi, karakteristik, ndan kualitas suatu produk,

menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi pajak, membayar upah karyawan dibawah standar upah yang ditetapkan, melakukan persekongkolan, dan melakukan persaingan tidak sehat. Namun dalam kenyataannya,sangatlah sulit ada suatu ethical code dalam bisnis. Di satu pihak para pelaku usaha telah terbiasa melakukan kekeliruan menganggap kegiatan bisnis sebagai permainan tipu-menipu. Tetapi, dilain pihak para pelaku usaha amat menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak baik. Dengan demikian, secara tidak sadar pelaku usaha mengakui secara diam-diam bahwa perlu ada suatu etika bisnis. Oleh karena itu, para pelaku usaha menghendaki agar bisnis dijalankan secara etis, sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan pihak lain. Begitu pula CSR dalam konteks transformatif nilai, dimana CSR yang diyakini selama ini oleh kalangan dunia usaha adalah berkaitan dengan tanggung jawab manajemen perusahaan yang hanya tertuju kepada pemegang saham perusahaan (shareholders) dalam upaya meningkatkan keuntungan perusahaan sebagaimana yang dinyatakan Milton Friedmans dalam shareholders theory. Seiring dengan dinamika dunia usaha, konsep CSR juga mengalami perubahan, yaitu selain bertanggung jawab kepada pemegang saham, manajemen perusahaan juga harus mempunyai tanggung jawab kepada pekerja, pemasok masyarakat. Dan lingkungan (shareholders) dimana perusahaan itu menjalankan aktifitas usahanya, mengingat dinamika usaha dan kompleksitas tanggung jawab tersebut, sudah seyogyanya pemerintah melakukan

regulasi yang bersifat affirmative regulation, yaitu peraturan yang didasarkan atas pernyataan. Sebagaimana dapat dilihat pada ilustrasi berikut. Dalam konteks transformasi nilai terlihat bahwa konsep CSR mewakili kompromi antara etika dan perilaku-perilaku etis dari perusahaan. Dengan adanya kompromi tersebut, akan meningkatkan image perusahaan di dalam masyarakat di mana perusahaan itu menjalankan aktivitas usahanya. Hal ini diwujudkan dengan memasukkan perencanaan kegiatan social ke dalam rencana strategic perusahaan. Sehingga kegiatan itu tidak lagi dianggap biaya (cost), tetapi merupakan suatu investasi. Begitu pula halnya dari perspektif hukum bisnis, setidaknya ada dua tanggung jawab yang harus dipahami dalam etika bisnis, yaitu tanggung jawab hukum (legal responsibility) dalam makna liability dan tanggung jawab social (social responsibility). Legal responsibility meliputi aspek tanggung jawab social (civil liability) dan aspek pidana (crime liability), sedangkan social responsibility dibangun di atas landasan norma moral yang berlaku di dalam masyarakat (pengusaha). Artinya, sekalipun suatu kegiatan bisnis secara hukum (perdata dan pidana) tidak melanggaru undang-undang atau peraturan, tetapi bisnis tersebut dilakukan dengan melanggar moral masyarakat, maka bisnis tersebut dianggap sebagai perbuatan tidak etis (unethical conduct).

Secara filosofis, penerapan CSR oleh perusahaan mendeskripsikan bahawa perusahaan sebagai personifikasi subjek hukum bukan hanya merupakan entitas bisnis yang hanya berusaha mencari keuntungan semata, tetapi perusahaan juga merupakan entitas social yang berinteraksi dengan lingkungannya, baik dalam aspek ekonomi, social, dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya. Dengan demikian, sudah seharusnya manajemen perusahaan lebih menyadari pentingnya CSR, karena akan memberikan perlindungan terhadap hak konsumen, pemasok, pekerja dan perlindungan terhadap masyarakat di lingkungan perusahaan melakukan aktivitas usahanya. Sejalan dengan perkembangan globalisasi keberadaan CSR dalam dunia usaha menjadi semakin dibutuhkan. Hal ini berkaitan dengan: 1. Pengelolaan risiko; 2. Perlindungan dan meningkatkan reputasi serta image perusahaan; 3. Mebangun kepercayaan dan license to operate bagi perusahaan 4. Meningkatkan efisiensi sumber daya yang ada dan meningkatkan akses terhadap modal; 5. Merespons atau mematuhi peraturan yang berlaku; 6. Membina hubungan baik dengan shareholders seperti pekerja, konsumen, partner bisnis, investor yang mempunyai tanggung jawab secara social, regulator, dan komunitas di mana perusahaan itu beroperasi; 7. Mendorong pemikiran yang inovativ; dan

8. Membangun kesempatan untuk mengikuti pasar masa depan. Pada sisi lain, kebijakan penerapan CSR dapat memberikan nilai tambah dalam rencana strategi kegiatan perusahaan sehari-hari. Berdasarkan strategi

mengintegerasikan prakktik-praktik berusaha yang bertanggung jawabsecara social, analisis social keuntungan perusahaan, return on investment (ROI) atau return on equity (ROE) sebagai single bottom-line digantikan menjadi 3BL yang berkaitan dengan aspek ekonomi, social, dan lingkungan. Sebuah perusahaan yang mengabaikan persoalan social, ekonomi, dan lingkungan dalam kegiatan usahanya memang masih tetap dapat memperoleh keuntungan, tetapi untuk jangka panjang perusahaan itu akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan eksistensinya. Hal ini akan menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan. Dengan demikian, tanggung jawab social dapat dirumuskan dalam dua wujud yaitu: a. Wujud positif, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan didasarkan pada perhitungan untung rugi, melainkan didasarkan pada pertimbangan demi kesejahteraan social. b. Wujud negative, yaitu tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari segi ekonomis menguntungkan, tetapi dari segi social dan lingkungan merugikan kepentingan dan kesejahteraan social. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan dengan mengatur tentang CSR dalam instrument hukum, yakni Pasal 15 huruf b

UUPM dan Pasal 74 UUPT yang menegaskan CSR sebagai kewajiban bagi perseroan. Ternyata kebijakan hukum ini ditentang oleh kalangan usaha dengan berbagai alasan. Kekhawatiran itu di mata pakar hukum perusahaan Pradjoto agak mengherankan. Seolah-olah dunia usaha Indonesia menutup mata terhadap serangkaian kerusakan social, budaya, lingkungan, dan ekonomi yang dihasilkan oleh akibat aktivitas dunia usaha itu sendiri. Lebih prihatin lagi, ketika beberapa para pakar dan pengamat yang mengatakan tidak ada negara, seperti Indonesia yang mengatur CSR ke dalam peraturan perundang-undangan. Mereka lupa bahwa Inggris merupakan salah satu contoh negara yang telah mengadopsi konsep CSR dalam hukum domestic mereka. Inggris merupakan salah satu contoh negara yang telah mengadopsi konsep CSR dalam hukum domestic mereka. Inggris telah memasukkan kewajiban CSR ke dalam UUPT-nya dan ada kewajiban untuk melaporkan pelaksanaan kegiatan CSR bagi perseroan yang tercatat di bursa saham. Inggris memiliki ketentuan tentang CSR yang disebut dengan the 2003 Corporate Responsibility Bill sebagai respons atas kegagalan penerapan White Paper on Modernising Company Law yang mengatur tentang transparasi atau akuntabilitas perusahaan kepada stakrholders. Dalam artikel 2 mengatur tentang penerapan ekstraterotorial CSR di semua bidang, kewajiban perusahaan untuk melakukan konsultasi dengan stakeholders, dan membebankan kewajiban bagi perusahaan untuk menyiapkan dan mempublikasikan laporan perusahaan. Article 7 dan 8 menekankan pada kewajiban direksi terhadap aspek social dan lingkungan. Article 6

membebankan

tanggung

jawab

kepada

perusahaan

induk

terhadap

anak

perusahaannya yang melakukan merger, akuisisi, restrukrisasi dan lainnya yang menyebabkan kerugian bagi seseorang atau lingkungan diwilayah Inggris. Hal yang sama juga dilakukan oleh legislasi Inggris Raya di mana investasi dana pension harus diperlihatkan apakah jenis investasi tersebut telah mempertimbangkan persoalan sosia, lingkungan, atau etika dalam memilih penyimpanan dan penerapan investasi. Selain Inggris, negara lain yang telah mengatur CSR secara normative adalah Prancis melalui Nouvelles Regulation Economiques (NRE). Aturan ini mewajibkan kepada perseroan untuk melaporkan (public disclosure) bagi semua perusahaan yang telah tercatat secara nasional mengenai persoalan lingkungan, hubungan buruh domestic dan internasional, komunitas local, dan lain-lain. Deskripsi di atas telah mematahkan pernyataan hanya Indonesia satu-satunya negara yang mengatur CSR dalam bentuk undang-undang. Namun demikian, menurut hemat penulis sendiri pengaturan CSR dalam bentuk produk undang-undangn (UUPM dan UUPT) yang didasarkan atas transformative nilai dalam konteks Indonesia sudah tepat dengan alasan sebagai berikut: a. Sebagian besar perusahaan dalam aktivitas usahanya masih menunjukkan sikap mementingkan dirinya sendiri (selfish), alienasi dan/atau ekslusivisme dengan lingkungan masyarakat. Sikap seperti ini harus dibuang karena

perusahaan merupakan entitas social yang harus beradaptasi dan berinteraksi secara sosio cultural di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya; b. Masih banyak perusahaan yang belum menyadari bahwa keberlangsungan atau eksistensinya amat tergantung dari factor lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya, sehingga perusahaan selain berusaha mendapatkan legitimasi dari masyarakat juga berkewajiban untuk menjaga agar tidak merusak lingkungan di mana ia melakukan aktivitas usahanya dan sekaligus wujud tanggung jawabnya kepada generasi akan datang; c. Masih rendahnya budaya hukum (legal culture) sebagian besar kalangan dunia usaha, hal ini terlihat dari masih berkembangnya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehubungan kewajiban yang harus dilakukanny, seperti banyaknya tunggangan pajak, belum dilakukan atau belum disetorkannya dana reklamasi, belum diterapkannya prinsip pencegahan perusakan lingkungan dan lain sebagainya. Hal itu didukung oleh lemahnya penegakan hukum (law enforcement). d. Selama ini praktik dana yang dikeluarkan untuk kegiatan CSR, merupakan bagian dari biaya produksi (cost product), sehingga memberatkan konsumen sendiri. Dengan kata lain, kegiatan CSR yang dilakukan berasal dari dana masyarakat yang kemudian diserahkan lagi kepada masyarakat yang dikemas dalam bentuk kegiatan CSR dan sekaligus dijadikan sebagai ajang promosi perusahaan.

Keharusan menerapkan CSR ini juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, di manaterjadinya perubahan paradigm dalam berusaha yaitu: a. Kalau selama ini perusahaan hanya dipandang sebagai instrumenn ekonomi, namun sejalan dengan tuntutan global perusahaan harus dipandang sebagai institusi social. b. Perusahaan tidak hanya mengakomodasi kepentingan shareholders, tetapi juga kepentingan stakeholders. Keharusan menerapkan CSR ini juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, din ama terjadinya perubahan paradigm dalam berusaha yaitu: a. Kalau selama ini perusahaan hanya dipandang sebagai instrument ekonomi, namun sejalan dengan tuntutan global perusahaan harus dipandang sebagai institusi social. b. Perusahaan tidak hanya mengakomodasi kepentingan shareholdersm tetapi juga kepentingan stakeholders. Oleh karena itu, pengelolaan perusahaan tidak bisa hanya semata-mata mengedepanskan keuntungan financial (single bottom line), tetapi juga

mengedepankan aspek social dan lingkungan yang disebut 3BL. Bila dilihat penerapan CSR pada beberapa negara maju, seperti Inggris, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat di mana CSR telah menjadi suatu penilaian hukum oleh

otoritas pasar modalnya yang dituangkan dalam bentuk public report, di samping penilaian dari public sendiri. Perusahaan yang melaksanakan CSR dalam aktivitas usahanya selain mendapatkan penghargaan (reward) juga juga mendapatkan keuntungan kompetitif (competitive advantage), sehingga harga sahamnya menguat di bursa disbanding perusahaan yang hanya berperilaku etis. Atas dasar argumentasi tersebut, sudah seyogyanya CSR yang semula adalah tanggung jawab moral (responsibility) diubah menjadi kewajiban hukum (legal responsibility). Begitu pula halnya bila dilihat dari pertiimbangan penolakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas terhadap pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada esensinya sebagai berikut: a. Dampak kerusakan sumber daya alam dan lingkungan telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan,baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu, peranan negara hak menguasai atas bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk hak untuk mengatur, mengusahakan, memelihara dan mengawasi, dimaksudkan agar terbangun lingkungan yang baik dan berkelanjutan (suistainable development) yang ditujukan untuk kepantingan stakeholders. b. Tanggung jawab social dan lingkungan (TJSL) merupakan kebijakan negara dalam bentuk Affirmative regulation, kebijakan ini bukan hanya harus ditaati,

tetapi dituntut sebagai tanggung jawab bersama untuk bekerja sama (to corporate) antara negara, pelaku bisnis, perusahaan, dan masyarakat. c. Bukan saatnya lagi pelaku usaha berperilaku seperti entitas yang tertutup dan terisolasi serta teralienasi dari masyarakat. Pelaku usaha harus membangun hubungan baik dan harmonis dengan masyarakat sekitarnya. Sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat dengan prinsip pareto superiority (membangun dan mendapat keuntungan tanpa mengorbankan kepentingan orang lain). d. Kalangan dunia usaha harus menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan prinsip legitimasi (legitimacy principle) bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdassarkan nilai-nilai keadilan dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Ketidakselarasan antara system nilai perusahaan dengan system nilai masyarakat depat menyebabkan perusahaan kehilangan legitimasinya, sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Untuk itu setiap perusahaan diharuskan beradaptasi secara sosiokultural dengan komunitas local dan kebijakan pemerintah. Semua itu tidak lepas dari upaya melahirkan kearifan local, terutama berkaitan dengan nilai pandangan hidup,

religiositas, hukum, tata pemerintahan, tata social masyarakat, tata pergaulan, etika, dan nilai etos kerja. Mengingat urgensinya dan mempertimbangkan dinamika social kemasyarakatn baik pada tingkat local maupun global, maka pembuat undang-undang menetapkan menarik CSE yang pada awalnya sebagai tanggunng jawab moral menjadi tanggung jawab hukum dengan menormakannya ke dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan dinormatifkannya prinsip-prinsip CSR ini, maka sifat tanggung jawabnya dari voluntary berubah menjadi mandatory, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut. B. Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam system perekonomian nasional, di samping badan usaha milik swasta dan koperasi. BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan penataan system pengelolaan dan pengawasannya melalui ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri. Atas pertimbangan tersebut, dikeluarkanlah UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN)

Pendirian BUMN ini sendiri mempunyai maksud dan tujuan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) huruf e UU BUMN di antarnaya adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Namun sebelumnya dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) NOmor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero) menegaskan bahwa Persero dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. Untuk itu pemerintah mengemas keterlibatan BUMN PER-05/MBU/2007 tentang Program

Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL). Di mana Pasal 2-nya menegaskan sebagai berikut. (1) Persero dan Perum wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini; (2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan mengenai sumber dananya ditegaskan dalam Pasal 9 yaitu: (1) Dana Program Kemitraan bersumber dari: a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen);

b. Jasa administrasi pinjaman/margin/bagihasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional; c. Perlimpahan dan Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada. (2) Dana Program Bina Lingkungan (BL) bersumber dari: a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen) b. Hasil bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program BL. Menurut ketentuan Pasal 11 Peraturan Menteri Negara BUMN sebagaimana, ditegaskann bahwa Dana Program Kemitraan diberikan dalam bentuk: a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan/atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan; b. Pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanakegiatan Mitra Binaan yang bersifat pinjaman tambahan dan berjangka pendek dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha Mitra Binaan. c. Beban permintaanmeliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan , pemasaran, promosi, dan hal-hal lain yang menyangkut peningkatan produktivitas Mitra Binaan serta untuk pengkajian/penelitian yang berkaitan dengan Program Kemitraan; 2. Beban pembinaan bersifat hibah dan besarnya maksimal 20% (dua puluh persen) dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan.

Sedangkan ruang lingkup bantuan Program BL sebagai berikut. a. Bantuan korban bencana alam; b. Bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; c. Bantuan untuk peningkatan kesehatan; d. Bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; e. Bantuan sarana ibadah; bantuan pelestarian alam. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara BUMN nomor PER-05/MBU/2007 berkaitan dengan PKBL menegaskan bahwa PKBL sebagai bagian dari CSRbagi BUMN tidak lagi kegiatan yang bersifat voluntary, tetapi telah menjadi suatu kegiatan yang bersifat mandatory. Bila disimak lebih dalam secara filosofinya PKBL tidak bisa disamakan dengan CSR, karena PKBL digantungkan pada kondisi suatu perusahaan, yaitu apabila perusahaan BUMN itu beruntung. Dengan kata lain, bila perusahaan BUMN dakam posisi merugi, maka tidak ada kewajibannya untuk melaksanakan PKBL. Namun apabila ketentuan PKBL ini dikaitakan dengan ketentuan Pasal 3PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) timbul persoalan, yaitu bagi BUMN dalam bentuk Persero secara mutatis mutandis berlaku segala prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Untuk menjawab persoalan norma tersebut yag didasarkan atas ketentuan pasal 3 PP persero, maka PKBL dalam maksa CSR sebagai aktifitas yang bersifat mandatory

perlu ditinjau kembali. Apabila PKBL yang dimaknasi sebagai CSR-nnya BUMN tidak harus digantungkan pada syarat untung, tetapi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sejak perusahaan itu melakukan aktivitas usahanya. C. Undang-Undang Penanaman Modal Landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi termasuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yaitu pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan pada demokrasi ekonomi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia. Prinsip demokrasi ekonomi dapatdilihat pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian nasional

diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penerapan prinsip demokrasi ekonomi ini dikukuhkan lebih lanjut melalui TAP MPR RI Nomor XVI Tahun o1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil. Prinsip demokrasi yang dijadikan sebagai landasan filosofis ini pada dasarnya mengandung makna bagaimana menjadikan bangsa Indonesia menjadi negara yang mampu mensejarhterakan rakyatnya. Konsep ini oleh founding fathers disebutnya

dengan negara kesejateraan (welfare state). Konsep negara kesejahteraan yang dianut Indonesia sendiri pada prinsipnya adalah merujuk pada demokrasi ekonomi yang dijadikan sebagai serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standard an kualitas kehidupan manusia. Semua itu terlihat dari konsep social welfare, dan economic development yang oleh Jamse Midgley disebut swebagai antithetical nation. Social welfare berkaitan dengan mementingkan kepentingan orang lain (altruism), hak-hak social, dan retribusi asset. Dengan kata lain, konsep social welfare lebih menonjolkan aspek sosialnya. Sedangkan economic development berkaitan dengan pertumbuhan akumulasi mdal, dan keuntungan ekonomi. Sehingga pembangunan harus dilakukan dengan jalan meningkatkan kekayaan dan kualitas hidup, untuk itu dibutuhkan penanaman modal. Konsep ini dikenal juga sebagai konsep kapitalis. Berkaitan hal tersebut, bagaimana menjadikan penanaman modal menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan menjadikannya sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekkonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kepastian dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta

mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu system perekonomian yang berdaya saing. Oleh karena itu, CSR sebagai perpaduan antara konsep sosialis dan kapitalis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penanaman modal.

Bila dilihat dalam risalah persidangan, di mana proses lahirnya wcana CSR dalam UUPM terdapat perdebatan yang sangat alot antara pemerintah dengan KOmisi VI DPR RI, baik pada tingkat panitia khusus (Pansus) maupun panitia kerja (Panja). Wacana CSR lahir pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal (RUUPM) masa sidang IV tahun sidang 2005-2006, rapat ke-2 Kamis, tanggal 22 juni 2006 yang dihadiri langsung oleh Menteri Perdagangandan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Menurut Fraksi PDIP yang diwakili Aira Bima mengkritisi bahwa RUUPM sangat longgar dan cenderung mengabaikan dasar filosofis sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 berkaitan dengan prinsip demokrasi ekonomi. Dengan diterimanya usul dari Fraksi PDIP, maka prinsip demokrasi ekonomi dijadikan dasar dalam pembahasan pasal demi pasal dalam RUUPM, dan sejak itu pula wacana CSR disepakati untuk dibahas. Pada masa sidang II tahun sidang 2006-2007, rapat pertama Selasa, 5 Desember 1006 membahas RUUPM Pasal 3 berkaitan dengan asas penanaman modal, pada saat itu isu CSR semakin mengerucut. Fraksi PDIP yang diwakili Irmadi Lubis menambahkan agar dalam asas penanaman modal dimasukkan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagai bagian dari CSR. Adapun argumentasi yang disampaikan berkaitan dengan berbagai kasus perusakan dan pencemaran lingkungan serta maslah perburuhan dan konflik baik bersifat vertical maupun horizontal. Bahkan ia mempertanyakan apa yang didapatkan oleh bangsa Indonesia selama 40 tahun diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 1967. Melalui perdebatan yang sangat alot, baik

antarfraksi maupun antara pemerintah dengan fraksi, sehingga diputuskan bahwa pembahasan lebih lanjut mengenai asas penanaman modal yang berkaitan prinsip demokrasi ekonomi yang relevan dengan prinsip CSR dibahas melalui Panitia Kerja (Panja). Pada saat pembahasan mengenai kewajiban penanaman modal, terjadi perdebatan yang alot antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Yang menarik dalam pembahasan tersebut adalah kritikan Hasto Kristiyanto dari fraksi PDIP yang menyatakan bahwa RUUPM ini seolah-olah sebagai obat mujarab atas berbagai persoalan investasi di Indonesia. Persoalan sekarang adalah bagaimana dengan kewajiban penanam modal itu sendiri. Dari berbagai fakta dan persoalan yang telah disampaikan oleh berbagai fraksi, terakhir berkaitan dengan kasus pengalihan saham PT. Great River dan hampir pula pengalihan kepemilikan Lapindo, sedangkan mereka belum menyelesaikan berbagai kewajiban dan tanggung jawabnya lingkungan yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, dalam RUUPM ini perlu ditambahkan mengenai kewajiban penanam modal termasuk di dalamnya mengenai CSR. Akhirnya usul dari fraksi PDIP ini disepakati pemerintah dan dibahas lebih lanjut dalam Panja. Bersadarkan perdebatanyang alot, akhitnya disahkanlah RUUPM menjadi UUPM. Dilihat dari substansi UUPM-nya terdapat beberapa pasal yang secara esensial berkaitan dengan CSR yang terlihat dari:

a. Pasal 3 ayat (1) UUPM mengenai asas penanaman modal, menegaskan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: 1. Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 2. Keterbukaan, yaitu asas yang terbuka atas hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. 3. Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa segala kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan penanaman modal harus

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, yaitu asas perlakuan pelayanan nodiskriminatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal luar negeri maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. 5. Kebersamaan, yaitu asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyyat.

6. Efisiensi berkeadilan, yaitu asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif dan berdaya saing. 7. Berkelanjutan, yaitu asas yang secara terencana mengupayakan

berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejateraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun untuk masa datang. 8. Berwawasan lingkungan, yaitu penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memerhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. 9. Kemandirian, yaitu asas penanaman modal yang dilakukan dengantetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup daripada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. 10. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, yaitu asa yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah, dalam kesatuan ekonomi nasional. b. Pasal 3 ayat (2) UUPM mengenai tujuan penyelenggaraan pananaman modal dapat dilihat pada, yaitu: 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; 2. Menciptakan lapangan kerja; 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; 4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; 6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; 7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan 8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. c. Berkaitan dengan ketenagakerjaan menegaskan sebagai berikut: 1. Pasal 10 ayat (1) UUPM menegaskan perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. 2. Pasal 10 ayat (3) UUPM menegaskan perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 10 ayat (4) UUPM menegaskan perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Berkaitan dengan kewajiban penanaman modal, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 15 UUPM sebagai berikut bahwa setiap penanam modal berkewajiban:

a) Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b) Melaksanakan tanggung jawab sosail perusahaanl c) Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan

menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d) Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e) Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan ditegaskannya tanggung jawab social perusahaan sebagai kewajiban penanam modal, maka Pasal 15 UUPM telah meletakkan landasan yurisdis perubahan paradigma sifat CSR dari voluntary menjadi mandatory. Apalagi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UUPM. Perubahan paradigm ini diperkuat dalam penjelasan umum UUPM yang menyatakanbahwa tanggung jawab social perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan tang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. e. Pasal 16 UUPM menegaskan bahwa setiap penanam modal betanggung jawab sebagai berikut. 1. Menjamin tersedianya modal yang bersala dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; 4. Menjaga kelestarian lingkungan hidup; 5. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanyan, dan kesejahteraan pekerja; dan 6. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan Tanggung jawab penanam modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPM lebih mengarah pada prinsip CSR, sehingga perusahaan yang tidak menerapkan prinsip CSR dalam aktivitasnya tetap dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UUPM. f. Pasal 17 UUPM menegaskan bahwa: Setiap penanam modal yang bergerak di bidang usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan diwajibkan untuk mengalokasikan sebagian dananya untuk pemulihan lokasi usahanya sehingga memenuhi standar lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. g. Pasal 34 berkaitan dengan sanksi menegaskan sebagai berikut:

1. Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenugi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 dapat dikanakan sanksi administrative berupa: a) Peringatan tertulis; b) Pembatasan kegiatan usaha; c) Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d) Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. 2. Sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Selain dikenai sanksi administrative, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari beberapa ketentuan CSR yang diatur dalam UUPM menunjukkan bahwa CSR telah ditegaskan sebagai suatu keharusan (mandatory) dalam makna liability bagi setiap investor. Bagi investor yang tidak menerapkan CSR dalam aktifitas usahanya dikenakan sanksi baik bersifat administrative meupun sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. D. Undang-Undang Perseroan Terbatas

Dibanyak negara, kegiatan CSR merupakan kegiatan yang sudah lazim dilakukan oleh suatu perusahaan. Kegiatan ini tidak diatur dalam ketentuan tersendiri, tetapi esensinya tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, factor pendukung utama penerapan CSR adalah adanya kesadaran dari perusahaan itu sendiri, meskipun motifnya sebagai upaya untuk menjaga hubungan baiknya dengan stakeholders. Sedangkan di Indonesia, kegiatan CSR baru marak dilakukan pada beberapa tahun belakangan, kegiatan ini makin menjadi pusat perhatian pada saat DPR mengetuk palu tanda disetujuinya RUUPT menjadi UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada hari Jumat, 20 Juli 2007. Di mana dalam peraturan tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa CSR merupakan suatu kewajiban bagi perseroan. Dengan adanya pengaturan seperti ini, berarti terlah terjadi suatu revolusi terhadap prinsip tanggung jawab dalam konsep CSR, dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi keharusan (mandatory) dalam makna legal responsibility. CSR yang dimaksuda dalm UUPT, secara terminoligi ada perbedaan dengan CSR yang ada dalam penjelasan UUPM dengan menambahkan tanggung jawab social dengan lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 3 UUPT menegaskan: tanggung jawab social dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Bila dilihat dalam risalah proses lahirnya terminology Pasal 1 angka 3 UUPT ini, terjadinya perdebatan yang sangat alot sekali baik antar fraksi maupun dengan pemerintah. Perdebatan itu sendiri terjadi dalam beberapa kali persidangan yang akhirnya diselesaikan memalui lobby pada masa sidan IV tahun sidang 2006-2007 dalam rapat panitia kerja Komisi VI DPR RI yang bersifat tertutup pada hari Senin, 16 Juli 2007. Dalam risalah tersebut, secara jelas terungkap bahwa RUUUPT yang diberikan oleh pemerintah ke DPR tidak ditemukan satu pasal pun yang bekaitan dengan CSR. Atas inisiatif Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) diusulkan agar dalam RUUPT juga dimasukkan tentang CSR yang sejalan dengan landasan filosofis demokrasi ekonomi Pasal 33 atay (4) UUd 1945 sebagaimana dimuat pada bagian menimbang. Sebenarnya hal ini tidak terlepas dari proses pembahasan RUUPM yang sama-sama berada di Komisi VI dan anggotanya pun baik di tingkat Panitia Khusu (pansus) dan Panitia Kerja (Panja) tidak banyak berubah yang diketuai oleh M.Akil Mochtar. Karena UUPM baru disahkan, maka semangat inilah yang mendorong para fraksi sepakat untuk memasukkan klausula CSR dalam UUPT karema sama-sama berda dalam lingkup hukum ekonomi. Namun demikian ada perbedaan pemahaman terhadap konsep CSR pada saat pembahasan RUUPM dengan RUUPT, di mana Fraksi PDIP yang diwakili oleh Idham begitu berapi-api agar terminology tanggung jawab social harus ditambah dengan tanggung jawab lingkungan.

Bahkan Idham menyatakan akan berusaha mempertahankan usulan ini sampai titik darah terakhir. Dari risalah RUUPT, terungkap bahwa fraksi yang ada sudah sepakat memasukkan CSR dalam pembahasan, permasalahannya hany tgerletak pada penambbahan kata-kata tanggung jawab lingkungan. Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Hukum dan Ham bapak Andi Mattalata tidak sepakat karena harus ada konsistensi dalam penggunaan terminology dalam undang-undang. Dalam UUPM, terminology yang digunakan hanya tanggung jawab social perusahaan saja, tidak dibedakan dengan tanggung jawab lingkungan, karena dalam tanggung jawab social sudah termasuk (include) di dalamnya tanggung jawab lingkungan. Namun akhirnya pihak pemerintah mengalah karena seluruh fraksi yang ada tetap merujuk pada keputusan Panja tanggal 2 Desember 1006y yang menegaskan bahwa antara tanggung jawab social dengan tanggung jawab lingkungan berbeda, sehingga harus ada satu bab tertentu yang membahasnya. Dari risalah terlihat bahwa rasionalitas yang dijadikan dasar keputusan Panja tidak terlepas dari fakta kerusakan dan pencemaran lingkungan, terutama yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam, terutama di sector pertambangan. Perdebatan terus berkembang, terutama pada saat merumuskan judul bab dan isi pasal yang bersangkutan. Fraksi PDIP tetap bersikukuh agar bab tersebut berjudul tanggung jawab social dan lingkungan. Melalui perdebatan dengan berbagai argumentasi, akhirnya disepakati masalah judul diselesaikan melalui Panja yang

memutuskan usul fraksi PDIP diterima menjadi judul bab. Permasalahan berikut yaitu berkaitan dengan rumusan pasalnya. Di sini terjadi perdebatan yang sangat alot dan diselesaikan dalam tiga kali rapat di tingkat Pansus, terutama berkaitan dengan lima poin yaitu: a. Penggunaan terminology perusahaan atau perseroan Pertama kali digunakan kata perusahaan dengan maksud agar seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia terkait dengan ketentuan CSR ini. Namun setelah mendapat penjelasn dari Dirjen Hukum dan HAM berkaitan dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (UUWDP) menjelaskan bahwa yangdimaksud perusahaan adalah badan hukum (perseroan dan koperasi), persekutuan, perorangan (CV dan Firma), dan perusahaan dalam bentuk lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang. Jadi jelas\lah bahwa perusahaan itu tidak hanya dalam bentuk perseroan saja, tetapi masih ada bentuk lain, seperti CS, Firma, Perum, Koperasi, dan lain sebagainya. Akhirnya disepakati menggunakan kata perseroan. b. Berkaitan dengan bidang usaha Untuk pertama kali masing-masing fraksi sepakat bahwa seluruh bidang usaha diwajibkan menerapkan CSR. Melalui perdebatan dengan pemerintah dan dikaitikan dengan latar belakang dicantumkannya ketentuan CSR, akhirnya disepakati melalui

lobby hanya perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang diwajibkan menerapkan CSR. c. Berapa besar presentase dana CSR Pada saat bicara kisaran presentase dana CSR terjadi perdebatan terutama berkaitan dengan: 1. Dari mana sumber dananya, apakah dari keuntungan bersih setelah dipotong pajak, atau keuntungan aktif setelah dipotong pajak. Lalu bagaimana dengan perusahaan yang merugi, apakah juga dikenakan kewajiban CSR? Di sini terjadi perdebatan yang dilandasi dengan berbagai argumentasi, namun tidak menghasilkan titik terang, sehingga penyelesaiannya pun disepakati melalui lobby antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. 2. Bagaimana mekanisme penetapan besarnya presentase dana CSR, apakah oleh direksi atau RUPS dan bagaimana pola penyalurannya? Setelah melalui perdebatan, mengingat hal ini berkaitan dengan masalah teknis, disepakati bahwa ketentuan ini diatur melalui peraturan

pelaksanaannya. d. Bagaimana sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR Pada pembahasan sanksi ini terjadi perdebatan baik antar fraksi maupun antara fraksi dengan pemerintah. Menurut fraksi PDIP dan fraksi PKB harus ada sanksi yang tegas bagi perseroan yang tidak melaksanakan CSR,

sedangkan fraksi yang lain dan pemerintah lebih cenderung sanksinya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Meskipun akhirnya diselesaikan melalui lobby. e. Dalam bentuk ketentuan apa pengaturan lebih lanjut tentang CSR Di sini terjadi perdebatan antara fraksi-fraksi dengan pemerintah, dalam perdebatan tersebut terkesan pemerintah keberatan mengenai CSR diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). akhirnya melalui perdebatan pemerintah mengalah dan bersedia menerima bentuk pengaturan lebih lanjut tentang CSR dalam bentuk PP sebagaimana diputuskan pada rapat Panja tanggal 2 Desembe 2006.

Setelah melalui mekanisme Panja dan lobby maka muncullah rumusan mengenai CSR sebagaimana diatur pada Pasal 74 UUPT yang terdiri daqri empat ayat sebagai berikut. a. Pasal 74 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Dari penjelasannya ditegaskan maksud dari perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan SD. Sedangkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan SD

adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan SD, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan SDA. Bila rumusan pasal yang bersangkutan dikaitkan dengan penjelasannya, secara etimologi sudah cukup jelas perusahaan apa yang diwajibkan menerapkan CSR. Namun demikian, variabel untuk menentukan perusahaan yang aktivitas uusahanya berdampak pada fungsi kemampuan SD bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) variabel ini harus dijelaskan sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda antara kalangan dunia usaha. b. Pasal 74 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Ketentuan ini perlu penjabaran lebih lanjut, terutama berkaitan dengan makna kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Berdasarkan ketentuan ini, setiap perseroan harus merancang kegiatan CSR sejak awal. Secara teoritis aturan ini sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal perusahaan sudah mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, padahal belum diketahui apakah perusahaan itu akan untung(profit) atau rugi(loswe out) dalam tahun anggaran yang bersangkutan meskipun didasari dengan memerhatikan

kepatutan dan kewajaran. Permasalahannya di sini adalah ukuran kepatutan dan kewajaran itu multitafsir. Hal ini berbeda dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-0/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, di mana dana program kemitraan dan bina lingkungan ini diambil 45 dari laba bersih setelah dipotong pajak. Dalam aturan ini jelas dari mana sumber dananya dan kapan harus dilakukan kegiatan dimaksud. Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan dengan Pasal 63 UUPT menegaskan: (1) Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang. (2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan perseroan untuk tahun buku yang akan datang. Karena CSR bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya perusahaan, maka dengan sendririnya CSR tersebut akan menjadi bagian dari laporan tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (2) poin c. hal ini berarti bahwa kegiatan CSR yang dianggarkan itu mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan negara maupun kelembagaan. Implikasi ini di antaranya berkaitan dengan: a. Mengingat biaya CSR sebagai bagaian dari pengeluaran suatu perusahaan dan tidak bagian dari presentase keuntungan. Untuk itu pemerintah harus

memberikan kompensasi ini dapat diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang perpajakan. Apakah itu dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan lain sebagainya. Konsekuensi dari insentif ini akan berdampak pada berkurangnya penghasilan negara dari pajak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan. Jika pemerintah tidak memberikan insentif dalam berbagai bentuk, justru yang muncul adalah penambahan komponen biaya produksi (cost product). Akibat tingginya cost product, yang akan menanggung akibatnya adalah konsumen, sehingga konsumen untuk memperoleh suatu produk atau jasa tidak berdasarkan harga riil, tetapi berdasarkan harga cost product. Maka dengan sendirinya biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan CSR justru dibebani kepada konsumen atau stakeholders. Kalau ini yang terjadi, maka hilanglah makna esensial dari CSR itu sendiri, sehingga CSR hanya sebagai slogan bagi perusahaan dalam rangka strategi bisnisnya. Dengan kata lain, jika tidak jelas wujud dan bentuk insentif yang diberikan kepada perusahaan yang melaksanakan CSR, maka stakeholders tetap pada posisi yang dirugikan, sedangkan perusahaan sebagai pihak yang diuntungkan. b. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya perusahaan. Persoalannya di sini adalah bagaimana jika perusahaan yang bersangkutan mengalami kerugian? Apakah perusahaan tersebut tetap melaksanakan kegiatan CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau menunda sampai

perusahaan itu mendapat keuntungan. Kemudian bagaimana pula halnya dengan kewajiban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan yang bersangkutan? Apakah perusahaan yang mengalami kondisi seperti ini tetap diberikan insentif atau tidak. Kalau regulasinya tidak jelas, insentif yang diberikan justru akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak. c. Mengingat CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan tahunan suatu perusahaan, untuk itu mesti jelas lembaga yang berhak melakukan pengawasan dan/atau mengaudit pelaksanaan CSR. Apakah diserahkan pada departemen dan/atau dinas terkait dengan bidang usaha perusahaan yang bersangkutan atau ditetapkan lembaga atau badan tersendiri untuk itu. Penetapan lembaga ini sangat penting, seperti di Uni Eropa di mana ditetapkan suatu lembaga tersendiri yang bertugas untuk melakukan audit atas pelaksanaan CSR pada suatu perusahaan. Begi perusahaan yang telah diaudit akan diberikan semacam sertifikat sebagai bukti bahwa perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan CSR> sertifikat ini akan menjadi pertimbangan bagi lembaga keuangan dalam perusahaan yang bersangkutan mengajukan permohonan kredit. Selain itu sertifikat CSR ini juga sekaligus sebagai promosi, karena produk yang dihasilkan diberi label CSR. Jadi peran dari lembaga sertifikasi ini sangat penting, kalau memang lembaga CSR ini mau dijadikan sebagai pengejawantahan amanat konstitusi. d. Pasal 74 ayat (3) UUPT juga menegaskan bahwa

perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumusan Pasal 74 ayat (3) UUPT ini mempertegas bahwa prinsip-prinsi CSR telah tertuang dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan sebagai kewajiban dalam makna liability, sehingga pelanggaran atas kewajiban dimaksud tunduk pada sanksi yang telah diatur sedemikian rupa dalam ketentuan yang bersangkutan. Atas dasar tersebut, maka UUPT tidak mengatur mengenai sanksi baik bersifat administrati, keperdataan maupun pidana. e. Pasal 74 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa kebutuhan lebih lanjut mengenai tanggung jawab social dan lingkungan diatur dengan Peratuan Pemerintah. Mengingat pelaksanaan CSR merujuk pada PP, untuk itu pemerintah sesegera mungkin menerbitkannya dengan mempertimbangkan berbagai hal

sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 74 itu sendiri. Diharapkan substansi yang diatur dalam PP tersebut betul-betul bersifat operasional dan tidak menimbulkan multitafsir. Terlepas dari ketentuan normative di atas, bersdasarkan hasil penelusuran terhadap Pasal 74 UUPT terdapat beberapa persoalan yang masih debeteble di kalangan pelaku usaha dengan berbagai argumentasi sebagai berikut:

a. CSR adalah kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat kewajiban (mandatory). Jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan member beban baru kepada dunia usaha, karena mnguras keuangan suatu perusahaan. b. CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti: ketertiban usaha, pajak atas keuntungan, dan standar lingkungan hidup. c. CSR di negara-negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. Bahkan, European Union sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR bukan sesuatu yang akan diatur. d. Di samping itu, lingkup dan pengertian CSR yang dimaksud dalam Pasal 74 UUPT berbeeda dengan pengertian CSR dalam pustaka maupun definisi resmi, baik yang dikeluarkan oleh World Bank maupun International Organization for Standarization (ISO) 26000 Guidance on Social Responsibility. e. Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah pra-syarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. f. Dengan diwajibkannya CSR, maka dengan sendirinya CSR akan bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak social dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan.

g. CSR adlah bersifat subjektif. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas usaha otomatis masuk dalam ranah hukum. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain CSR, maka akan cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekadar pilihan tanggung jawab suatu perusahaan secara social (UUPT) dan secara hukum Undang-Undang Lingkungan Hidup. h. CSR yang digariskan UUPT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal program CSR. Masyarakat seakan menjadi objek semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi. i. CSR akan membuka peluang munculnya perda-perda miltiinterpretasi yang dapat menimbulkan dampak negative terhadap iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Dari berbagai argumentasi yang menolak CSR sebagai suatu kewajiban hanya melihat CSR pada tataran kewajiban saja. Para pelaku usaha lupa akan filosofis CSR sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, karakter pelaku usaha di Indonesia, dan lemahnya law enforcement serta dampak pembangunan terhadap lingkungan selama ini. Selain itu pelaku usaha lupa akan tanggung jawabnya kepada generasi akan datang, sehingga CSR hanya diwajibkan pada perusahaan yang bergerak dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja.

Bila dilihat dari law making process-nya, konsep CSR dalam UUPT tidak dapat terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), setra begitu cepat dan derasnya dinamika social kemasyarakatan, dan terjadinya pergeseran dominasi peran pemerintah ke swasta dalam pelaksanaan pembangunan. Kondisi ini juga dipicu dengan meningkatnya kesadaran dan tuntutan tentang keadilan social, lingkungan hidup dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan law enforcement serta will informed dalam setiap aktifitas usaha. Semua ini dipicu oleh fakta yang menunjukkan banyaknya perusahaan melakukanberbagai aktivitas usaha, tetapi tidak mengindahkan aspek sosiokultural dan kesejahhteraan masyarakat di sekitarnya. Seperti konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, dan sebagainya. Kurangnya tanggung jawab tersebut tidak terlepas dari factor tidak adanya regulasi yang mengatur tentang CSR itu sendiri. Selain itu para pelaku usaha juga melakukan penindasan terhadap buruh, membuat jarak dengan masyarakat sekitar den juga ketidakjujuran dalam membayar pajak dan lain sebagainya. Mengingat amanat konstitusi dan faktasitas dampak pembagunan

sebagaimana diakui pemerintah dalam RPJMN 2004-2009, maka sangat rasional sekali paradigm CSR yang selama ini diyakini bersifat voluntary diubah menjadi mandatory dengan menormakannya ke dalam peraturan perundang-undangan di

bidang hukum perusahaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian yang berlandaskan pada prinsi kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Atas pertimbangan itu, dirumuskanlah ketentuan CSR dalam UUPT sebagai bagian dari kewajiban perseroan di Indonesia. Kemudaian dalam penjelasan UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dari berbagai uraian dan argumentasi sebagai dijelaskan di atas, dapat ditari suatu kesimpulan bahwa perubahan sifat CSR dari voluntary ke mandatory dalam makna liability bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan lagi. Permasalahan sekarang bagaimana merumuskan substansi pengaturan CSR dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana yang diamanatkan Pasal 74 ayat (4) UUPT. Untuk itu pemerintah dalam menyusun RPP tentang CSR tersebut, harus melibatkan berbagai komponen melalui proses yang transparan, sehingga RPP yang dihasilkan itu akan bersifat operasional dan tidak multitafsir

No

Bidang

Ketentuan yang Mengatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha milik Negara

Pasal

Keterangan Turut aktif memberikan bimbingaan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, kopersai, dan masyarakat. Persero dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum Kewajiban persero dan perum untuk melaksanakan PKBL Sumber dana PKBL

Pasal 2 ayat (1) huruf e

PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan Terbatas 1 BUMN Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

Pasal 4 ayat (2)

Pasal 2 Pasal 9

Pasal 11

Bentuk PKBL

Penenaman Modal

Pasal 3 ayat (1) Pasal 3 ayat (2)

Asas penanaman modal Tujuan penanaman

2007 tentang Penanaman Modal Pasal 10 ayat (1), (3) dan (4) Pasal 15 Pasal 16

modal Berkaitan dengan ketenagakerjaan Kewajiban penanam modal Tanggung jawab penanam modal Kewajiban mengalokasikan dana untuk pemulihan lingkungan Rencana kerja tahunan Pengaturan tentang tanggung jawab social dan lingkungan

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 63 Pasal 74 ayat (1), (2),(3), dan (4)

Perseroan Terbatas

Anda mungkin juga menyukai