Anda di halaman 1dari 25

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)


DAN PENGATURANNYA DALAM UUPT
By : Busyra Azheri1
Abstract

“Sejalan dengan dinamika masyarakat dan tuntutan era global, maka


perusahaan harus mengubah paradigmanya dari “profit oriented”
ke “corporate image” yang diimplementasikan dalam bentuk
corporate social responsibility (CSR). Untuk itu perusahaan tidak
lagi memaknai CSR sebagai tanggung jawab “moral” an-sich, tetapi
merupakan suatu kewajiban dalam makna liability. Namun dalam
pelaksanaannya CSR ini sebaiknya lebih bersifat self regulation
yang dikawal dengan regulasi yang bersifat corporate state.
Sehingga Pasal 74 UUPT yang dijadikan dasar sebagai pelaksanaan
CSR di Indonesia perlu di evaluasi secara komprehensif”.

" In line with global era demand and public dynamics, hence
company have to alter the paradigm from" profit oriented" to"
corporate image" what is implementation in the form of corporate
social responsibility ( CSR). For the purpose company [shall] no
longer mean CSR as responsibility" moral" an-sich, but is an
obligation in liability meaning. But in the execution of this CSR
better more have the character of as of self regulation which
guarded with regulation having the character of corporate state. So
That Section of 74 UUPT taken as base as execution of CSR in
Indonesia needing in evaluation comprehensively".

Pendahuluan

Sejak digulirnya diskursus tentang tanggung jawab sosial perusahaan


(Corporate social responsibility, selanjutnya disingkat CSR) dalam amandemen
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, telah timbul pro
dan kontra serta resistensi terhadap hal tersebut. Puncaknya terjadi pada saat
diaturnya CSR dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT). Bahkan Kamar Dagang Indonesia
(KADIN) setelah disahkannya UUPT langsung menyatakan akan menggugat klausul
tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Polemik ini tidak terlepas dari pemahaman
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Sekarang lagi menyelesaikan
Program Doktor pada Program Pascasarja Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Page 1-25
terhadap konsep CSR itu sendiri, hal ini diperkuat lagi dengan berbagai hasil
penelitian dan survei yang menunjukkan bahwa pemahaman dan pelaksanaan CSR di
kalangan dunia usaha di Indonesia amat rendah.2 Selama ini kalangan dunia usaha
melihat CSR sebagai suatu kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary),
kedermawanan (philantropy) dan kemurahan hati (charity), sehingga tidak perlu
diatur dalam undang-undang. Apa lagi disinyalir hanya negara Indonesia satu-
satunya negara yang mengatur CSR secara eksplisit dalam ketentuan perundang-
undangan, karena di negara lain seperti Jerman, Amerika Serikat, Inggris, dan
Prancis serta Australia tetap menyerahkan implementasi CSR pada perusahaan
berlandaskan pada sifat voluntary.

Rendahnya pemahaman terhadap CSR ini terlihat dari implementasinya


sendiri, hal ini dibuktikan dengan dampak keberadaan suatu perusahaan itu sendiri.
Secara teoritis seharusnya keberadaan perusahaan pada suatu wilayah tertentu, dapat
menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset
pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataannya, selama puluhan tahun
keberadaan suatu perusahaan di Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat
sekitarnya, bahkan lebih “ekstrim” lagi justru menanamkan benih konflik yang
bersifat laten. Kondisi ini secara tegas diakui oleh pemerintah, sebagaimana dapat
dibuktikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2004-2009, tentang permasalahan dan agenda pembangunan menegaskan bahwa
telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu timbulnya berbagai kesenjangan,
mulai kesenjangan antar golongan, pendapatan dan pembangunan antar wilayah dan
lain sebagainya.
Fakta empiris lain juga menunjukkan bahwa begitu cepatnya arus dinamika
sosial kemasyarakatan dan semakin berkurangnya peran pemerintah, serta
dominannya peran sektor swasta dalam pembangunan ekonomi suatu negara.3
Kondisi ini juga di picu dengan meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat
terhadap keadilan sosial, lingkungan hidup dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) serta
penegakan hukum (law enforcement) yang berkaitan dengan aktivitas dunia usaha itu

2
Survei KOMPAS tanggal 7 Agustus 2007 menunjukkan tidak lebih dari 30 % perusahaan di
seluruh Indonesia melaksanakan CSR. Pelaksanaan CSR itu sendiri dikaitkan dengan bantuan
terhadap bencana alam.
3
Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate
Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa
Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.

Page 2-25
sendiri. Dengan kata lain, yang dibutuhkan masyarakat dewasa ini terhadap
keberadaan suatu perusahaan adalah transparansi dalam “will imformed”.
Begitu pula halnya bila di lihat dari aspek ekonomi perusahaan, selama ini
sebagian besar perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik yaitu
“maximization profit”, sebagai mana dinyatakan oleh Adam Smith yang
menegaskan bahwa “tujuan utama dari perusahaan adalah menekan biaya serendah
mungkin dan meningkatkan efisiensi setinggi mungkin demi memaksimalkan laba”.
Namun di era global dan pasar bebas dewasa ini, doktrin tersebut sudah usang,
sehingga mesti ada paradigma baru dalam berusaha yaitu bagaimana perusahaan
dalam aktivitasnya mampu menciptakan “positive image” terhadap para
stakeholders yaitu dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip CSR dalam
aktivitas dunia usaha.
Pada sisi lain, dari konteks global CSR telah menjadi suatu tuntutan, dengan
terbentuknya ikatan-ikatan ekonomi dunia seperti WTO, AFTA, APEC, UE dan lain-
lain sebagainya yang mencantumkan berbagai persyaratan untuk berkompetisi dan
dapat memasuki suatu kawasan tertentu, seperti ISO 14000 dan 14001 yang
berkaitan dengan manajemen lingkungan serta ISO 260004 tentang petunjuk
(gaideline) implementasi dan aplikasi CSR.

Begitu pula halnya bila dilihat dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik
(Good Corporate Governance (GCG)) yang dituangkan pada 4 (empat) prinsip
dasar5 yaitu fairness,6 transparancy,7 acuntability8 and responsibility. Sedangkan
CSR sendiri merupakan bagian dari prinsip responsibility yang dijabarkannya
sebagai berikut yaitu :

Bahwa peran pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan


hukum dan kerja sama secara aktif antara perusahaan serta para

4
ISO 26000 baru diluncurkan (launching) pada Oktober 2008. ISO ini hanya bersifat
sukarela dan hanya memuat petunjuk (guideline) tentang standar CSR. Lebih lanjut lihat www.mvo-
platform.nl. Diakses, Oktober, 28,2007.
5
Lebih lanjut lihat I Nyoman Tjager, dkk, Corporate Governance – Tantangan dan
Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, halaman 19.
6
Kewajaran (fairness) adalah perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham dan
keterbukaan informasi serta melarang insider trading. Hal ini dituangkan dalam corporate conduct.
7
Transparansi (transparancy) lebih ditekankan pada hak pemegang saham berkaitan dengan
pemberian informasi yang tepat waktu dan benar, pengambilan keputusan yang mendasar dan turut
memperoleh bagian keuntungan.
8
Akuntabilitas (accuntability) adalah hal yang berkaitan dengan tanggung jawab manajemen
melalui effective oversight didasarkan atas balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan
komisaris dan auditor.

Page 3-25
pemegang kepentingan (stakeholders) dalam menciptakan
kekayaan, lapangan kerja, dan lain sebaginya. Selain itu harus
dipahami juga bahwa perusahaan sebagai bagian lembaga dalam
kehidupan masyarakat dalam bertindak harus memperhatikan
kebutuhan masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Prinsip ini
diwujudkan atas dasar kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan
konsekuensi logis dari adanya wewenang; menyadari akan adanya
tanggung jawab sosial; menghindari penyalah gunakan kekuasaan;
menjadi profesional dan menjunjung etika; memelihara lingkungan
bisnis yang sehat.

Namun demikian perlu dipahami bahwa 3 (tiga) prinsip pertama (fairness,


transparency and accountability) dari GCG memberikan penekanan terhadap
kepentingan pemegang saham (shareholders driven concept). Sedangkan prinsip
responsibility menekankan pada stakeholders driven concept.9 Dengan kata lain,
prinsip responsibility dalam GCG menekankan agar perusahaan lebih
memperhatikan kepentingan stakeholders, baik berkaitan dengan upaya menciptakan
nilai tambah (value added) dari produk barang dan jasa serta memelihara
kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya.

Permasalahannya sekarang adalah belum ada suatu kesatuan pandang, baik


pada tingkat filosofis-teoritis maupun praktis tentang CSR itu sendiri.10 Dengan tidak
adanya kesatuan pandangan tersebut, maka perusahaan dan stakeholders membuat
variabel tersendiri dalam memaknai dan mengimplementasikannya. Sehingga tidak
salah, jika pada saat disahkannya UUPT pada tanggal 20 Juli 2007 timbul berbagai
komentar, tanggapan, dan resistensi sehubungan dengan di masukannya pengaturan
CSR dalam UUPT tersebut. Berkaitan hal tersebut, tulisan yang sederhana ini
berusaha memberikan sumbang pikir tentang pemahaman terhadap pengertian dan
ruang lingkup CSR, dan stakeholders theory serta bagaimana pengaturannya lebih
lanjut dalam konteks hukum perusahaan Indonesia ke depan.

Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social


Responsibility)

Pada saat sekarang ini terdapat suatu yang paradoks terhadap pemaknaan
CSR, karena belum ada kesamaan visi dan pengertian terhadap CSR itu sendiri.

9
Sita Supomo, Corporate Social responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG, dalam
http://www.fcgi.or.id, diakses 05/03/07.
10
Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisus, Yogyakarta, 1998,
halaman 113.

Page 4-25
Kalangan dunia usaha sendiri memahami bahwa CSR itu penting dalam
keberlanjutan (sustainability) usaha dan para stakeholders mereka, namun hanya
sebagian kecil yang mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya. hal ini
senada dengan pernyataan Gurvy Kavei bahwa praktek CSR di percayai menjadi
landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability development),
bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholder dalam arti keseluruhan.11

Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian atau rumusan CSR dapat dilihat
sebagai berikut :
a. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
Menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave
ethically and contribute to economic development while improving the quality of
life of the workforce and their families as wol as of the local community and
society at large”.
b. World Bank
Menegaskan bahwa CSR sebagai “the commitment of business to contribute to
sustainable economic development working with employees and their
representatives, the local community and society at large to improve quality of
life, in ways that are both good for business and good for development”
c. European Union
Merumuskan bahwa “CSR is a concept whereby companies integrate social and
environmental concerns in their business operations and in their interaction with
their stakeholders on a voluntary basis”.
d. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Secara prinsip rumusan WBCSD dengan world bank sama-sama menekankan
CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan, bekerja sama dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan, dan
11
Teguh, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate
Social Responsibility”: Integreting Social Acpect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa
Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.

Page 5-25
masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Namun
demikian world bank menambahkan sepanjang aktivitas dimaksud bermanfaat bagi
perusahaan dan pembangunan sendiri. Sedangkan pengertian dari European Union
tentang CSR hanya menggambarkan sebagai suatu konsep, di mana perusahaan
berusaha mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan serta dengan stakeholders12
atas dasar “voluntary” dalam melakukan aktivitas usahanya. Lain lagi halnya
rumusan CSR yang di tegaskan dalam UUPT justru mencoba memisahkan antara
tanggung jawab sosial (social responsibility) dengan tanggung jawab lingkungan
(environment responsibility). Namun demikian pemisahan tersebut tetap
mendeskripsikan komitmen perusahaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Perbedaan ini diperkuat lagi dengan rumusan dari Trinidad and Tobacco
Bureau of Standard (TTBS) menyimpulkan bahwa CSR terkait dengan nilai dan
standar yang dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah perusahaan.
Sehingga CSR diartikan sebagai komitmen dalam berusaha secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan
masyarakat secara lebih luas.13

Berkaitan hal tersebut, perlu dilakukan “reinterpretasi” terhadap pemahaman


prinsip CSR oleh perusahaan secara komprehensif. Kalau selama ini CSR
diidentikkan dengan tanggung jawab dalam makna sosial an-sich, maka ke depan
tanggung jawab dalam makna “responsibility” harus dimaknai sebagai suatu
kewajiban.14 Jika hal ini dapat dilakukan, maka CSR sebagai komitmen dari suatu
perusahaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan akan dapat memberikan
manfaat, baik pada shareholder maupun stakeholders. Jika kemitraan antara
shareholder dengan stakeholders berjalan baik, sehingga terbentuklah hubungan
yang bersifat simbiosis mutualistik. Oleh karena itu perusahaan harus memaknai
12
Sony Keraf membagi stakeholder atas 2 (dua) yaitu ; kelompok primer yang terdiri atas
pemilik modal atau saham, kreditur, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing atau
rekanan, sedangkan kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok
sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya, dan masyarakat setempat.
Lebih lanjut lihat Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta, Kanisius,
h.90.
13
Abdul Rasyid Idris, Corporate Social Responsibility (CSR), Sebuah Gagasan dan
Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006.
14
Busyra Azheri, Menggugat “Social Responsibility” Perusahaan, Padang Ekspres, Rabu,
28 Maret 2007.

Page 6-25
CSR tidak lagi sebagai beban moral etis, tetapi justru merupakan suatu kewajiban
yang harus dipertanggung jawabkan.

Penjelasan di atas senada dengan rumusan John Elkingston’s tentang


pengertian CSR yaitu sebagai berikut :15
“Corporate Social Responsibility is a concept that organisation,
especially (but not only) corporations, have an obligation to consider
the interests of costomers, employees, shareholders, communities, and
ecological considerations in all aspects af their operations. This
obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply
with legislation”.

Berkaitan dengan pengerian CSR tersebut, John Elkingston’s mengelompokkan CSR


atas 3 (tiga) aspek yang lebih dikenal dengan istilah “Triple Bottom Line” meliputi
kesejahteraan atau kemakmuran ekonomi (economic prosperity), peningkatan
kualitas lingkungan (environmental quality), dan keadilan sosial (social justice).
Selain itu ia juga menegaskan bahwa bagi perusahaan yang ingin menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainability development) harus memperhatikan
“Triple P” yaitu profit, planet, and people. Bila dikaitkan antara “triple bottom
line” dengan “triple P” dapat disimpulkan bahwa “Ptofit” sebagai ujud aspek
ekonomi, “Planet” sebagai ujud aspek lingkungan dan “People” sebagai aspek
sosial.16 Kemudian pada tahun 2002 Global Compact Initiative mempertegaskan
kembali tentang triple P ini dengan menyatakan bahwa sementara tujuan bisnis
adalah untuk mencari laba (profit)¸ ia seharusnya juga menyejahterakan orang
(poeple), dan menjamin keberanjuran kehidupan (planet) ini. Hubungan ini dapat
diilustrasikan dalam bentuk segi tiga sebagai berikut :17

Gambar 1 : Hubungan Tripel “P”

15
John Elkington, Cannibals with forks, the triple bottom line of twentieth century business,
dikutip dari Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat
Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, h. 19.
16
Lebih lanjut lihat Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep & Aplikasi CSR, Fascho
Publishing, Gresik, halaman 22-36.
17
Yanuar Nugroho, Artikel, Dilema Tanggung Jawab Perusahaan, Media Indonesia, 23
Agustus 2005.

Page 7-25
Sosial
(People)

CS
R
(Planet) (Profit)
Lingkungan Ekonomi

Jika dilakukan pemetaan, maka ketiga aspek itu diwujudkan dalam kegiatan
sebagaimana terlihat dari tabel berikut.18
Tabel 1 : Kegiatan Corporate Social Responsibility
No Aspek Muatan
1 Sosial Pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan, penguatan
kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan
karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga, pemuda, wanita,
agama, kebudayaan dan sebagainya.
2 Ekonomi Kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil
dan menengah (KUB/UMKM), agrobisnis, pembukaan
lapangan kerja, infrastruktur ekonomi dan usaha produktif
lain
3 Lingkungan Penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air, pelestarian
alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pengendalian
polusi, serta penggunaan produksi dan energi secara efisien

Menurut Hardinsyah dan Iqbal, agar ketiga aspek tersebut dapat diimplementasikan
dibutuhkan strategi tertentu. Adapun strategi dasar yang dapat digunakan dalam
implementasi prinsip-prinsip CSR tersebut adalah :19
a. Penguatan kapasitas (capacity building);
b. Kemitraan (collaboration); dan
c. Penerapan inovasi.

Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social


Responsibility)

Bila ditarik prinsip tanggung jawab sosial sebagaimana dijelaskan


sebelumnya pada konsep CSR, maka dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan ujud
kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas dari
pada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara

18
Lebih lanjut lihat Hardinsyah dkk, (2005) dan Iqbal, Muhammad (2006) Wacana Sinergi Konsep
Corporate Social Responsibility Dan Payment For Environmental Services Dalam Upaya Pelestarian
Sumberdaya Air (Kasus Daerah Aliran Sungai Brantas) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Departemen Pertanian, Bogor.
19
Ibid.

Page 8-25
moral adalah baik bahwa perusahaan mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan
dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan kepentingan-
kepentingan pihak lain yang terkait. Sehingga setiap perusahaan harus bertanggung
jawab atas tindakan dan kegiatan dari usahanya yang mempunyai dampak baik
langsung maupun tidak langsung terhadap orang-perorangan, masyarakat dan
lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya.20 Permasalahannya
sekarang adalah apa saja yang termasuk lingkup CSR suatu perusahaan ?
Perkembangan etika dunia usaha modern dewasa ini menegaskan paling
sedikit ada 4 (empat) ruang lingkup dari CSR yaitu :21
a. Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi
kepentingan masyarakat luas
Dalam image perusahaan yang berkembang saat ini, justru keterlibatannya dalam
berbagai aktivitas sosial seperti inilah yang menjadi “urgensi” dari CSR, bahkan
inilah satu-satunya yang kegiatan CSR yang dimaksud. Lingkup kegiatan sosial
yang paling banyak mendapat sorotan adalah keterlibatan perusahaan dalam
masalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Kesadaran perusahaan ini diilhami
oleh konsep keadilan distributif.
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan dilibatkan dan atau melibatkan diri
dalam kegiatan sosial tersebut :
1. Perusahaan dan karyawan adalah bagian integral dari masyarakat setempat.
2. Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapatkan hak untuk mengelola
sumber daya alam atau aktivitas lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut
dengan mendatangkan keuntungan pada perusahaan.
3. Melihatkan komitmen moral perusahaan untuk tidak melakukan aktivitas
yang merugikan masyarakat.
4. Sebagai upaya menjalin interaksi sosial antara perusahaan dengan
masyarakat, supaya keberadaan perusahaan dapat diterima ditengah-tengah
masyarakat itu sendiri.
b. Keuntungan ekonomis yang diperoleh perusahaan
Kegiatan usaha modern dewasa ini, sulit untuk memisahkan antara keuntungan
ekonomis dengan keuntungan dari keterlibatannya dalam aktivitas sosial. Fakta

20
Sonny Keraf, Op., Cit., h. 122.
21
Orasi Ilmiah Jack Mahoney Sj, tanggal 19 Agustus 1996 di Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Lebih lanjut bisa juga dilihat dalam Sonny Keraf, Ibid., h. 123-127.

Page 9-25
empiris menunjukkan bahwa keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial
sangat menunjang aktivitas usaha itu sendiri, yang pada akhirnya akan
menguntungkan perusahaan. Namun demikian dewasa ini masih ada perusahaan
yang menganut paham klasik sebagai mana yang diungkapkan M. Friedman
bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah mendatangkan
keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dalam kerangka inilah,
keuntungan ekonomi dilihat sebagai sebuah lingkup tanggung jawab moral dan
sosial yang sah dari suatu perusahaan. Jika suatu perusahaan mengadakan
aktivitas sosial, justru aktivitas tersebut sebagai tanggung jawab sosial dalam arti
negatif.
c. Memenuhi aturan hukum yang berlaku, baik yang berkaitan dengan kegiatan
dunia usaha maupun kehidupan sosial masyarakat pada umumnya
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam orasi ilmiah Jack Mahoney di universitas
Atma Jaya Jakarta, ia menegaskan bahwa lingkup tanggung jawab sosial
perusahaan yang paling penting dan urgen dewasa ini adalah “bagaimana suatu
perusahaan mematuhi aturan hukum”. Hal ini tidak terlepas dari integritas
masyarakat itu sendiri, karena perusahaan adalah bagian masyarakat yang
bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menjaga ketertiban dan keteraturan
tatanan sosial.
Asumsi dasar yang digunakan oleh Jack Mahoney adalah jika suatu perusahaan
tidak mematuhi aturan hukum yang ada, sebagaimana halnya orang lain, maka
ketertiban dan keteraturan masyarakat tidak akan terwujud. Demikian pula
halnya dengan perusahaan, di mana tidak akan ada ketenangan, ketenteraman dan
rasa aman dalam melakukan setiap aktivitas usahanya, jika perusahaan itu tidak
menaati ketentuan hukum yang berlaku.
d. Menghormati hak dan kepentingan stakeholders atau pihak terkait yang
mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung aktivitas perusahaan
Lingkup ke empat dari tanggung jawab sosial perusahaan ini, sedang
mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat pengusaha dan para akademisi
etis dewasa ini. Semua itu tidak terlepas dari asumsi bahwa suatu perusahaan
punya tanggung jawab moral dan sosial, hal ini berarti perusahaan secara moral
dituntut dan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas hak dan
kepentingan pihak-pihak terkait lainnya yang berkepentingan. Tanggung jawab

Page 10-25
sosial perusahaan lalu menjadi hal yang begitu konkret, baik demi terciptanya
suatu kehidupan sosial yang baik, maupun demi keberlanjutan dan keberhasilan
kegiatan usaha perusahaan yang bersangkutan.

Teori Stakeholders dalam Konteks Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


(Corporate Social Responsibility)

Secara sederhana stakeholders sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas


pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu, kepentingan dan atau
rencana tertentu. Ramizes dalam bukunya Cultivating Peace, mengidentifikasi
berbagai pendapat mengenai stakekholder ini. Beberapa definisi yang penting
dikemukakan seperti Freeman yang mendefinisikan stakeholders sebagai kelompok
atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu.22 Sedangkan Biset secara singkat mendefinisikan stekeholder
merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan
tertentu. Stakeholders ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu
sebagaimana dikemukakan Freeman, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan
terhadap isu. Grimble and Wellard melihat stakeholders dari segi posisi penting dan
pengaruh yang mereka miliki.23

Berdasarkan pengertian stakeholders tersebut, jelaslah bawah bicara


stakeholderss theory berarti membahas hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
berbagai pihak. Teori ini lahir atas kritikan dan kegagalan shareholders theory atau
Friedman’s paradigm dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang
terletak pada tanggung jawab tunggal manajemen kepada shareholders. Atau dengan
bahasa lain Philip R.P. Coelho, James E. & John A Spry menyebutnya dengan “the
list of stakeholderss includes only shareholders“.24 Kegagalan tersebut mendorong
munculnya stakeholderss theory yang melihat shareholders merupakan bagian dari
stakeholderss itu sendiri. Atas dasar kedekatan pada pihak yang terkait dengan
perusahaan, maka stakeholderss ini dapat dikelompokkan atas 2 (dua) yaitu :25
22
Baca Freeman, R.E., 1984, Strategic Management: A Stakeholders Approach, Boston,
Fitman, USA, halaman 37.
23
Lihat Ramirez, R., 1999. Stakeholders Analysis and Conflict Management dalam Daniel
Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management,
WBI Washinton, DC, USA, halaman 67.
24
Philip R.P. Coelho, James E. McClure & John A. Spry, 2003, The Social Responsibility of
Corporate Management, A Classical Critique, Mid-American Journal of Business, Vol. 18. No.
1.halaman 17.
25
Sonny Keraf, Op., Cit., halaman 90.

Page 11-25
1. Kelompok Primer.
Kelompok ini terdiri atas pemilik modal atau saham (owners), kreditor,
karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing atau rekanan.
2. Kelompok Sekunder
Sedangkan kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat, pemerintah
asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada
umumnya, dan masyarakat setempat.
Sedangkan pada sisi lain. Brytting menuliskan bahwa suatu organisasi
perusahaan terdiri atas koalisi dari para stakeholders yang berbeda yang memberikan
kontribusi terhadap kegiatan organisasi. Koalisi ini dapat dilihat dari gambar koalisi
stakeholder di bawah ini:26

Gambar 2 : Coalitions of Stakeholders

Customers
Suppliers
Society

Owners CORPORATION Environmen


t

Employers Competition

Pada sisi lain Sadosrky menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi
isu krusial dalam ruang lingkup stakeholders pada saat ini yaitu :27
1. Regulasi pemerintah (govermental regulation) yaitu peraturan yang dikeluarkan
pemerintah menjadi aspek penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan.
2. Kelompok masyarakat (community) adalah elemen konsumen yang
mengkonsumsi hasil produksi dari perusahaan. Jika merugikan masyarakat
kelompok lain seperti institusi pendidikan akan merespon secara kajian akademis

26
Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggungjawab Sosial perusahaan dalam
Masyarakat: Studi Kasus Empat Perusahaan, Yappika, Jakarta.
27
Asyraf Wajdi Dusuki & Humayon Dar, Empirical Examination of Stakeholders
Perspective, dalam http://www.bc.edu/centers/ccc/Media/2002_mbawinner.pdf, diakses Juni, 14,
2007.
.

Page 12-25
3. Organisasi lingkungan (environmental organization) adalah salah satu kekuatan
kontrol sosial yang dapat mengawasi aktivitas perusahaan. aktivitas organisasi
lingkungan dapat memobilisir gerakan masyarakat dan opini terhadap aktivitas
perusahaan, sehingga kepentingan organisasi tersebut sering kali berbenturan
dengan kepentingan perusahaan jika tidak disikapi dengan bijaksana.

Salah seorang tokoh teori ini Kenneth Andrews, di mana pada tahun 1972
memberikan ilustrasi ringkas berkaitan dengan upaya meningkatkan tanggung jawab
perusahaan di luar shareholders. Ia menyatakan bahwa eksekutif perusahaan
sekarang ini termasuk orang yang tidak dapat membatasi dirinya untuk hanya
menjalankan aktivitas ekonomi, sekaligus mengabaikan konsekuensi sosial. Dengan
kata lain para manajer lebih mengarahkan dirinya dan perusahaan kepada masalah
sosial karena mereka terstimulasi untuk melakukan hal tersebut. Para manajer
menyadari bahwa suatu perusahaan privat yang besar adalah sebuah institusi publik
dan manajemen yang dijalankan menurut pedoman nilai moral yang terkandung
dalam kesadaran perusahaan itu sendiri. Lebih jelasnya Kenneth Andrews
menyatakan :28

“.....in effect that present-day corporate executives are increasingly


the kind of people who cannot be excepted to confine themselves to
pursue economic activity while ignoring its social consequences,
means merely that manager will concern themselves and their
companies with social problems because they find it stimulating to
do so. ……(the managers) realize that a large “private”
corporation is a public institution and that its management is
conducted under the guidance of implicit moral values constituting
a corporate conscience.

Selanjutnya Kenneth Andrews menegaskan bahwa perubahan paradigma


shareholders menjadi paradigma stakeholderss tidak terlepas dari 3 (tiga) aspek yaitu
: Pertama; self-interest adalah secara personal akan memberikan stimulus kepada
para eksekutif perusahaan yang akan mengarahkan sumber daya bisnis untuk
mengatasi masalah sosial. Kedua; moralitas adalah nilai etika yang mengatur
aktivitas kegiatan perusahaan dan. Ketiga; refikasi perusahaan adalah nilai moral
yang diyakini oleh perusahaan.29 Diharapkan melalui stakeholderss theory akan

28
Philip R.P. Coelho, James E. McClure & John A. Spry, 2003, The Social Responsibility of
Corporate Management, A Classical Critique, Mid-American Journal of Business, Vol. 18, No. 1,
halaman 19-20.
29
Ibid., halaman 20.

Page 13-25
mampu meningkatkan moralitas keputusan yang akan diambil oleh perusahaan dalam
melaksanakan aktivitas usahanya.

Apabila stakeholderss theory ini dilihat dari perspektif CSR, maka akan
berdampak negatif pada pondasi praktis dan etika kapitalisme serta melemahkan
kewajiban manajer kepada shareholders. Berkaitan hal tersebut Sonny Keraf
menegaskan bahwa teori ini bermuara pada prinsip minimal yaitu tidak merugikan
hak dan kepentingan pihak yang berkepentingan mana pun dalam suatu bisnis. Hal
ini bermakna bawah suatu bisnis harus dijalankan secara baik dan etis demi
kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnis tersebut. Pada akhirnya teori
digunakan demi kepentingan perusahaan itu sendiri, agar perusahaan tersebut
berhasil dan bertahan lama.30

Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social


Responsibility) dalam UUPT

Sebelum bicara mengenai konsep CSR dalam UUPT, perlu dipahami dasar
filosofis CSR dalam konstitusi terutama berkaitan dengan maksud dan tujuan
berbangsa dan bernegara sebagai mana termaktub dalam preambul UUD 1945 yang
menegaskan sebagai berikut :
“.......... Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial,31.........”.

Alinea ke empat pembukaan UUD 1945 ini mendeskripsikan bahwa “the


founding father” ingin meletakkan rumusan tujuan negara Indonesia yaitu negara
kesejahteraan (welfare state). Amanah pembukaan konstitusi ini diejawantahkan
pada Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 28, Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), dan (3) serta Bab XIV
tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (4).32

Pasal 28, 28 C, 28 H dan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas


secara prinsip sebenarnya telah mengamanatkan bahwa setiap perusahaan yang
melakukan aktivitas usaha di Indonesia harus mampu memberikan dampak positif

30
Sonny Keraf, Op. Cit., halaman 89.
31
Cetak tebal dan garis bawah sengaja dilakukan sebagai penegasan saja oleh penulis.
32
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke 4 (empat).

Page 14-25
terhadap masyarakat, terutama berkaitan dengan tingkat kesejahteraannya. Upaya
meningkatkan kesejahteraan ini harus terlihat dari penerapan prinsip demokrasi
ekonomi, efisiensi, keberlanjutan (sustainebility), dan berwawasan lingkungan. Bila
konsep ini dikaitkan dengan pengertian CSR sebagaimana disebutkan di atas,
sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha Indonesia atau perusahaan untuk tidak
menerapkan CSR dalam aktivitas usahanya, karena CSR ini telah menjadi amanat
konstitusi. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana membuat regulasi yang
mampu mengejawantahkan amanat konstitusi itu sendiri, salah satunya adalah
dengan mengamandemen Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.

Sebagaimana diketahui, untuk pertama kali pengaturan tentang Perseroan


Terbatas (PT) tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847:23), tepatnya Pasal 36-56. Untuk mengantisipasi
tuntutan dan perkembangan ekonomi serta dunia usaha, maka dikeluarkanlah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
Meskipun UUPT ini masih relatif baru (± 12 tahun) ternyata dirasakan tidak sesuai
lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, apa lagi berhadapan
dengan tuntutan era global dan pasar bebas sehingga perlu diganti dengan UUPT
yang baru.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga yang


berwenang untuk itu telah merespons dengan membuat Rancangan Undang-undang
Perseroan Terbatas (RUUPT) sejak awal tahun 2000-an. Setelah melalui perjalanan
yang panjang dan proses politik yang alot di tingkat DPR, maka pada hari Jumat, 20
Juli 2007, RUUPT telah disahkan oleh DPR. Salah satu materi dalam UUPT ini
adalah berkaitan dengan lembaga tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
(Corporate Social and Enviroment Responsibility)33. Ketentuan mengenai CSR
dalam UUPT yang baru ini dapat dilihat pada Pasal 74 yang berbunyi sebagai
berikut :

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang


dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

33
Makalah ini tetap menggunakan terminologi CSR, meskipun dalam UUPT menambahkan
dengan lingkungan. Karena terminologi CSR yang dikenal secara umum selama ini telah mencakup
aspek lingkungan.

Page 15-25
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bila dilihat dari law making proces-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT
yang baru disahkan ini tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya di mana
sekarang ini begitu cepat dan derasnya dinamika sosial masyarakat, serta semakin
menurunnya peran pemerintah dan semakin vitalnya peran sektor swasta dalam
pembangunan. Kondisi ini juga di picu dengan meningkatnya kesadaran dan
tuntutan tentang keadilan sosial, lingkungan hidup dan Hak-hak Asasi Manusia
(HAM) dan law enforcement serta will informed dalam aktivitas usaha setiap
perusahaan.

Kemudian mengingat amanat konstitusi dan melihat fakta empiris dari


dampak pembangunan selama ini sebagaimana diakui pemerintah dalam RPJMN
2004-2009, maka sangat rasional sekali CSR diatur dalam sistem perundang-
undangan di bidang hukum perusahaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian yang berlandaskan pada prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Atas pertimbangan hal
tersebut, maka UUPT merumuskan CSR sebagai bagian dari kewajiban perusahaan
dalam melakukan aktivitas kegiatannya di Indonesia. Kemudian dalam penjelasan
UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini dimaksudkan untuk
mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Namun demikian regulasi yang sangat akomodatif ini secara teoritis masih
perlu dievaluasi kembali. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sampai saat
sekarang ini, baik di kalangan akademisi, praktisi, pemerintahan dan maupun LSM

Page 16-25
belum mempunyai visi yang sama terhadap pengertian maupun prinsip dari
terminologi CSR itu sendiri. Walaupun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa CSR
ini penting dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif dan sekaligus sebagai ujud
akuntabilitas publik. Dengan kata lain, baik dari segi terminologi, pengertian, prinsip,
dan ruang lingkup CSR masih bersifat debateble.

Sebelum membahas dan mengkritisi rumusan Pasal 74 UUPT, persoalan


pertama yang perlu dipahami adalah apa yang dimaksud dengan perusahaan itu
sendiri. Jawab atas pertanyaan itu dapat dilihat pada Pasal 5 Undang-undang Nomor
3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan menjelaskan bahwa dimaksud
perusahaan adalah badan hukum (Perseroan dan Koperasi), persekutuan, perorangan
(CV dan Firma), dan perusahaan dalam bentuk lainnya yang ditetapkan dalam
undang-undang. Jadi jelaslah bahwa perusahaan itu tidak hanya dalam bentuk
Perseroan saja, tetapi masih ada bentuk lain, seperti CV, Firma, Perum, Koperasi dan
lain sebagainya. Persoalan di sini adalah apakah perusahaan selain Perseroan tidak
diwajibkan melaksanakan CSR walaupun ia bergerak dalam bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam ? Kalau rujukannya adalah UUPT, maka secara
yuridis jelas perusahaan selain Perseroan tidak terikat dengan aturan CSR tersebut.

Terlepas dari persolan bentuk perusahaan sebagaimana dimaksud di atas,


sebenarnya rumusan Pasal 74 UUPT ini menimbulkan berbagai persoalan yaitu
sebagai berikut :

A. Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa “Perseroan yang


menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”.

Rumusan ini seperti justru bersifat kabur dan berbau diskriminatif, karena hanya
mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam bidang atau berkaitan dengan
sumber daya alam saja yang diwajibkan melaksanakan CSR. Persoalan sekarang
adalah apa yang dijadikan variabel sehingga suatu perusahaan dapat
dikelompokkan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam itu sendiri ? Kemudian bagaimana pula variabel
perusahaan yang tidak bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam itu sendiri ? Kemudian, apakah perusahaan yang tidak termasuk di

Page 17-25
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak diwajibkan
melaksanakan CSR dalam aktivitas usahanya ?

Sebenarnya tidak perlu ditegaskan perusahaan yang bergerak dan/atau


berhubungan dengan sumber daya alam yang diwajibkan melaksanakan CSR,
karena selama ini perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa, seperti
perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi dan lain sebagainya juga aktif
melaksanakan kegiatan CSR.

Bila klausul Pasal 74 ayat (1) ini juga yang dijadikan dasar pelaksanaan CSR,
maka akan tetap muncul makna yang bersifat “ambigu”. Pada satu sisi bersifat
“wajib” dalam makna liability dan pada sisi lain tetap bersifat sukarela
(voluntary) dalam makna responsibility. Oleh karena itu rumusan Pasal 74 ayat
(1) di ubah menjadi “bahwa seluruh perusahaan yang beroperasi di
Indonesia wajib melaksanakan tanggung jawab sosial”. Dengan rumusan
seperti ini tidak ada lagi ambiguitas dan diskriminatif bidang usahanya yang
diwajibkan melaksanakan CSR dalam aktivitas usahanya..

B. Pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa “Tanggung Jawab


Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran”.

Ketentuan ini perlu penyebaran lebih lanjut, terutama berkaitan dengan makna
“kewajiban Perseroan yang dianggarkan” dan “diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan”. Berdasarkan ketentuan ini, setiap Perseroan harus merancang
kegiatan CSR sejak awal suatu perusahaan beroperasi. Secara teoritis aturan ini
sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal perusahaan sudah
mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, pada hal belum diketahui apakah
perusahaan itu akan “profit” atau “lost out” dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Oleh karena itu harus jelas makna kewajiban perseroan yang
dianggarkan tersebut. Apakah dianggarkan sejak perusahaan beroperasi atau
setelah beberapa waktu perusahaan itu beroperasi.

Sebagai perbandingan dapat dilihat Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-


236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan

Page 18-25
Program Bina Lingkungan.34 Yang perlu dicatat dalam ketentuan ini adalah
bahwa dana program kemitraan dan bina lingkungan ini diambil dari 1 % laba
bersih setelah dipotong pajak. Dalam aturan ini jelas dari mana sumber dananya
dan kapan harus dilakukan kegiatan dimaksud.

Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan
dengan Pasal 63 UUPT menegaskan :
(1) Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun
buku yang akan datang.
(2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga
anggaran tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.

Karena CSR bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya
perusahaan, maka dengan sendirinya CSR tersebut akan menjadi bagian dari
laporan tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (2) poin c.
Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang tentu kegiatan CSR yang
dianggarkan itu mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan negara
maupun kelembagaan. Implikasi ini di antaranya berkaitan dengan :

1. Mengingat biaya CSR sebagai bagian dari pengeluaran suatu


perusahaan dan tidak bagian dari persentase keuntungan. Untuk itu
pemerintah harus memberikan kompensasi tertentu kepada perusahaan,
kompensasi ini dapat diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang
perpajakan. Apakah itu dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan
nilai dan lain sebagainya. Konsekuensi dari insentif ini akan berdampak pada
berkurangnya penghasilan negara dari pajak.

Jika pemerintah tidak memberikan insentif dalam berbagai bentuk, justru


yang muncul adalah penambahan komponen biaya produksi (cost product).
Akibat tingginya cost product, yang akan menanggung akibatnya adalah
konsumen, sehingga konsumen untuk memperoleh suatu produk atau jasa
tidak berdasarkan harga riil, tetapi berdasarkan harga cost product. Maka
dengan sendirinya, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan CSR
justru dibebani kepada konsumen atau stakeholders. Kalau ini yang terjadi,
maka hilanglah makna esensial dari CSR itu sendiri, sehingga CSR hanya
sebagai slogan bagi perusahaan dalam rangka strategi bisnisnya. Dengan kata
34
Dalam prakteknya Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sering disebut
dengan Community development (CD).

Page 19-25
lain, jika tidak jelas ujud dan bentuk insentif yang diberikan kepada
perusahaan yang melaksanakan CSR, maka stakeholders tetap pada posisi
yang dirugikan, sedangkan perusahaan sebagai pihak yang diuntungkan.

2. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya


perusahaan. Persoalannya di sini adalah bagaimana jika perusahaan yang
bersangkutan mengalami kerugian ? Apakah perusahaan tersebut tetap
melaksanakan kegiatan CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau
menunda sampai perusahaan itu mendapat keuntungan. Kemudian bagaimana
pula halnya dengan kewajiban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan
yang bersangkutan ? Apakah perusahaan yang mengalami kondisi seperti ini
tetap diberikan insentif atau tidak. Kalau regulasinya tidak jelas, insentif
yang diberikan justru akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk
menghindar dari kewajiban membayar pajak.

3. Karena CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan
tahunan suatu perusahaan, untuk itu mesti jelas lembaga yang berhak
melakukan pengawasan dan atau sertifikasi atas pelaksanaan CSR. Apakah
diserahkan pada departemen dan atau dinas terkait dengan bidang usaha
perusahaan yang bersangkutan atau ditetapkan lembaga atau badan tersendiri
untuk itu.

Penetapan lembaga ini sangat penting, seperti di Uni Eropa di mana


ditetapkan suatu lembaga tersendiri yang bertugas untuk melakukan audit atas
pelaksanaan CSR pada suatu perusahaan. Bagi perusahaan yang telah diaudit
akan diberikan semacam sertifikat sebagai bukti bahwa perusahaan yang
bersangkutan telah melaksanakan CSR. Sertifikat nantinya akan menjadi
semacam pertimbangan bagi lembaga keuangan dalam hal pertimbangan jika
perusahaan yang bersangkutan mengajukan permohonan kredit. Selain itu
sertifikat CSR ini juga sekaligus digunakan sebagai promosi produk yang
dihasilkan, karena produk tersebut diberi label CSR.35 Jadi peran dari
lembaga sertifikasi ini sangat penting, kalau memang lembaga CSR ini mau
dijadikan sebagai pengejawantahan amanat konstitusi.

35
Lebih lanjut lihat Rute Abreu, David Crowther, Fátima David, & Fernando Magro, 2004,
A European Perspective on Corporate Social Responsibility, Journal of Business Ethics 46: 215-237,
Kluver Academic Publishers.

Page 20-25
C. Pasal 74 ayat (3) juga menegaskan bahwa Perseroan yang
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rumusan Pasal 74 ayat (3) ini menegaskan bahwa CSR telah dinyatakan sebagai
kewajiban dalam makna liability, mau tidak mau harus ada sanksi bagai
perusahaan yang tidak melaksanakannya. Permasalahannya sekarang adalah
UUPT tidak mengatur mengenai sanksi baik dari aspek perdata maupun pidana,
termasuk juga sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Hal ini
berbeda dengan UUPM yang mengatur mengenai sanksi bagi investor yang tidak
melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 15 UUPM yang
menegaskan sebagai berikut :
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal
dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman
Modal;
d. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi
kegiatan usaha penanaman modal; dan
e. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagi perusahaan penanaman modal yang tidak melaksanakan kewajibannya, di


antaranya tentang pelaksanaan CSR akan dikenakan sanksi sebagaimana
ditegaskan Pasal 34 UUPM sebagai berikut :
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Pembatasan kegiatan usaha;
c. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal; atau
d. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha
perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Page 21-25
Lebih menarik lagi dari aturan Pasal 74 ayat (3) ini adalah bahwa sanksi yang
dijatuhkan itu merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Rumusan ini juga bermakna bahwa aturan CSR dalam UUPT tetap merujuk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral lainnya, seperti
masalah konsumen tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang
lingkungan tunduk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lain sebagainya. Hal ini semakin
mempertegas bahwa pengaturan CSR dalam UUPT semakin bias dan cenderung
dipaksakan tanpa konsep yang jelas.

D. Pasal 74 ayat (4) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut


mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Permasalahannya di sini adalah bagaimana merumuskan Peraturan
Pemerintah (PP)-nya sendiri, kalau memang ketentuan CSR dalam UUPT masih
merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain. Selain itu
yang dikhawatirkan adalah topang tindihnya aturan yang mengatur mengenai
pelaksanaan CSR itu sendiri. Apabila terjadi pelanggaran aturan mana yang akan
dijadikan sebagai rujukannya, sehingga hal ini berdampak pada upaya penegakan
hukum (law enforcement) itu sendiri.

Rekomendasi

Berdasarkan uraian atas permasalahan yang berkaitan dengan pengaturan


CSR dalam Pasal 74 UUPT, ada beberapa hal yang perlu disikapi dan diperhatikan
dalam upaya mengimplementasikan CSR dalam aktivitas perusahaan yaitu sebagai
berikut :
1. Perlu dilakukan reinterpretasi atas terminologi dan prinsip
yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility). Hal perlu dilakukan supaya jangan terjebak dengan konsep yang
sebenarnya belum tahu sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sendiri yang
berlandaskan pada amanat Pasal 33 UUD 1945.
2. Perlu ditinjau kembali rumusan Pasal 74 UUPT, karena CSR
ini bukan hanya tanggung jawab perusahaan yang bergerak pada bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam saja, tetapi lebih luas dari pada itu. Selain itu
perlu juga di tinjau kembali, apakah perusahaan dalam bentuk Perseroan saja

Page 22-25
yang diwajibkan melaksanakan CSR dan bagaimana dengan bentuk perusahaan
yang lainnya selain Perseroan.
3. Harus dilakukan sinkronisasi dari berbagai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang telah mengatur prinsip-prinsip CSR tidak
terjadi topang tindih antara peraturan yang satu dengan yang lainnya.
4. Mengingat luasnya cakupan dari prinsip-prinsip CSR itu,
sebaiknya pengaturannya lebih bersifat self regulation yang dikawal dengan
regulasi dalam bentuk corporate state. Sehingga masing-masing perusahaan bisa
melakukan berbagai inovasi dan improvisasi dalam pelaksanaan CSR itu sendiri.
5. Apabila dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang
ada masih dianggap belum memadai sebagai dasar hukum pelaksanaan CSR,
untuk itu perlu kiranya dibuat regulasi yang bersifat umum sebagai payung
hukumnya, sepanjang substansinya tidak lagi bersifat ambiguitas dan
diskriminatif terhadap bidang usaha yang ada.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, diharapkan kalangan dunia usaha semakin


memahami esensi dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) dalam aktivitas usaha yang mereka lakukan. Para pengelola
perusahaan tidak lagi memakna CSR sebagai tanggung jawab “moral” an-sich,
tetapi merupakan suatu kewajiban dalam makna liability. Sehingga segala biaya yang
dikeluarkan oleh perusahaan berkaitan dengan implementasi CSR tidak lagi dianggap
sebagai “lost cost” atau “amoral” terhadap shareholders sebagaimana dinyatakan
oleh Milton Friedman36, tetapi dimasukkan sebagai biaya perusahaan. Namun
demikian tetap perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap rumusan Pasal
74 UUPT karena sarat dengan berbagai persoalan yang bisa dimaknai lebih bersifat
ambiguitas dan diskriminatif.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

36
Milton Friedman, September, 13,1970, The Social Responsibility of Business is to Increase
its Profits, The New York Times Magazine, http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/
issues/friedman-soc-resp-business.html.

Page 23-25
Freeman, R.E., 1984, Strategic Management: A Stakeholders Approach, Boston,
Fitman, USA.
Hardinsyah dkk, (2005) dan Iqbal, Muhammad (2006) Wacana Sinergi Konsep
Corporate Social Responsibility Dan Payment For Environmental Services
Dalam Upaya Pelestarian Sumberdaya Air (Kasus Daerah Aliran Sungai
Brantas) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Departemen Pertanian, Bogor.
I Nyoman Tjager, dkk, 2003, Corporate Governance – Tantangan dan Kesempatan
bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta.
Irene, Sadosrky dan Henrique, 1999, Ibid.

Philip R.P. Coelho, James E. McClure & John A. Spry, 2003, The Social
Responsibility of Corporate Management, A Classical Critique, Mid-
American Journal of Business, Vol. 18. No. 1.
Ramirez, R., 1999. Stakeholders Analysis and Conflict Management dalam Daniel
Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural
Resource Management, WBI Washinton, DC, USA.
Rute Abreu, David Crowther, Fátima David, & Fernando Magro, 2004, A European
Perspective on Corporate Social Responsibility, Journal of Business Ethics
46: 215-237, Kluver Academic Publishers.
Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggungjawab Sosial perusahaan dalam
Masyarakat: Studi Kasus Empat Perusahaan, Yappika, Jakarta.
Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisus, Yogyakarta.
Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar
“Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The
Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada
(UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.
Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat
Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi
Enterprise.
Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep & Aplikasi CSR, Fascho Publishing,
Gresik, halaman 22-36.

B. Jurnal, Majalah, dan Koran :


Abdul Rasyid Idris, Corporate Social Responsibility (CSR), Sebuah Gagasan dan
Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006.
Busyra Azheri, Menggugat “Social Responsibility” Perusahaan, Padang Ekspres,
Rabu, 28 Maret 2007.
KOMPAS, tanggal 7 Agustus 2007.
Yanuar Nugroho, Artikel, Dilema Tanggung Jawab Perusahaan, Media Indonesia,
23 Agustus 2005.

C. Peraturan Perundang-undangan :

Page 24-25
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke 4
(empat).
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

D. Wabside :
Asyraf Wajdi Dusuki & Humayon Dar, Empirical Examination of Stakeholders
Perspective, dalam http://www.bc.edu/centers/ccc/Media/2002mbawinner.
pdf, diakses Juni, 14, 2007.
Milton Friedman, September, 13,1970, The Social Responsibility of Business is to
Increase its Profits, The New York Times Magazine,
http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman-soc-resp-
business.html.
Sita Supomo, Corporate Social responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG, dalam
http://www.fcgi.or.id, Maret, 05, 2007.
ISO 26000. Lebih lanjut lihat www.mvo-platform.nl. Diakses, Oktober, 28,2007.

Page 25-25

Anda mungkin juga menyukai